Pencarian

Senin, 30 Desember 2019

Akal dan Sikap Hanif

Setiap mukmin harus berusaha untuk mendapatkan penyaksian terhadap Allah. Setiap mukmin harus menumbuhkan jiwanya sebagai pohon thayyibah agar dirinya dapat mengenal kehadiran cahaya Allah dalam seluruh aspek kehidupannya. Pohon itu adalah akal yang ada di dalam jiwanya, yaitu bagian seseorang yang menghubungkan dirinya dengan cahaya Allah. Tanpa pertumbuhan akal tidak akan tumbuh pemahaman seseorang atas cahaya Allah, dan tidak akan tumbuh pengenalannya kepada Allah. Allah telah menebarkan cahaya-Nya dalam segenap ciptaan, dan akal jiwa manusia yang akan mengenali cahaya-Nya. Cahaya ini akan menerangi orang-orang yang mempunyai akal dan kurang bermanfaat bagi orang yang tidak mempunyai akal. 

Akal adalah kecerdasan untuk mengenali kebenaran dari Allah. Ini berbeda dengan kecerdasan yang tumbuh pada tataran jasadiah yang ditentukan oleh perkembangan hawa nafsu. Hawa nafsu tumbuh pada jasad manusia yang hidup karena adanya interaksi dengan jiwa. Ketika mati, hawa nafsu itu akan lenyap. Akal akan tumbuh bila seseorang mempunyai keinginan untuk memperhatikan alam sekitarnya dengan hatinya, sebaliknya kecerdasan hawa nafsu cenderung akan tumbuh dengan kecenderungan mementingkan diri sendiri. 


أَفَلَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَتَكُونَ لَهُمۡ قُلُوبٞ يَعۡقِلُونَ بِهَآ أَوۡ ءَاذَانٞ يَسۡمَعُونَ بِهَاۖ فَإِنَّهَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَلَٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِي فِي ٱلصُّدُورِ [ الحج:46-46] 

maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. [Al Hajj:46] 

Kecerdasan jiwa tidak ditunjukkan oleh kecerdasan dalam lisan, tetapi ditunjukkan dengan kepedulian untuk memperhatikan kebaikan bagi sekitarnya. Wujud kecerdasan akal itu akan terlihat dalam bentuk akhlak mulia, yaitu kemampuan seseorang untuk bertindak sesuai dengan kehendak Allah. Tindakan berdasarkan akhlak mulia tidak selalu menyenangkan bagi manusia lain, akan tetapi selalu baik karena sesuai dengan kehendak Allah. Seorang pengajar agama yang pandai mengajarkan teori-teori agama tetapi tidak bisa mengenali kebenaran yang datang padanya bukanlah seseorang yang cerdas akalnya. Dengan kekurangan akalnya, orang tersebut tidak bisa berakhlak mulia. Akhlak yang buruk boleh jadi mewarnai kehidupan orang yang mempunyai gudang teori tentang agama. Teori-teori yang dimilikinya menjadi taghut yang memandu dirinya menuju kegelapan. 

Kadangkala kegelapan taghut menutup seseorang yang berilmu hingga orang itu bersembah kepada taghut, tidak sekadar berakhlak buruk, baik taghut berupa perkataan-perkataan tentang Allah yang disusun berdasarkan hawa nafsu, taghut manusia suci seperti nabi Isa a.s dan para alim ulama, ataupun teks kitab suci dan perkataan-perkataan yang tidak dipahami akalnya dengan benar sesuai kehendak Allah. Boleh jadi teks-teks mulia itu dikuasainya dengan fasih, tetapi akhlak mulia tidak muncul dalam jiwanya. Ketika ulamanya menghalalkan yang haram, dirinya ikut serta menghalalkannya, dan sebaliknya dalam pengharaman. Dirinya terkungkung dalam dogma dan doktrin, tidak dapat mengenali kebenaran cahaya Allah dengan hatinya, mendustakan ayat-ayat Allah walaupun ayat tersebut terjadi pada semestanya dan secara bersamaan telah tertulis dalam kitab suci, dan lebih memilih dogma dan doktrin yang diterima dari taghutnya. Akalnya terjebak dalam kegelapan yang tampak bagai cahaya. 


Hanif sebagai pembuka Akal 


Untuk memperoleh shirat al-mustaqim, setiap orang harus mempunyai sebuah sikap dasar yang telah dicontohkan oleh Ibrahim a.s semenjak muda. Beliau bersikap hanif dalam mencari kebenaran, tidak terpaku pada sebuah pemikiran sendiri ataupun dogma dan doktrin lain yang diajarkan kepada dirinya, tetapi selalu berusaha memikirkan segala sesuatu dalam sudut pandang yang lebih baik dan lebih baik lagi. Beliau menolak bersembah kepada patung-patung, dan berusaha mencari tuhan yang sebenarnya hingga Allah memperkenalkan diri-Nya kepadanya. Beliau tidak berhenti pada satu konsep tuhan atau kebenaran yang ada dalam pikirannya sendiri. 

ثُمَّ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ أَنِ ٱتَّبِعۡ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ١٢٣ 

Kemudian Kami wahyukan kepadamu : "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.  QS An-Nahl : 123) 

Menurut bahasa, istilah hanif berasal dari kata kerja hanafa yang mempunyai arti condong atau cenderung. Hanif diartikan setiap orang yang mengikuti millah Nabi Ibrahim yang selalu condong pada kebenaran, selalu berusaha mengikuti kebenaran yang lebih baik. 

Sikap tersebut kemudian diperintahkan untuk diikuti oleh segenap manusia. Allah SWT mewahyukan kepada rasulullah SAW agar mengikuti millah Ibrahim a.s yaitu sikap hanif. Sekalipun Ibrahim pernah mempertuhankan bintang, bulan dan matahari dalam hidupnya, hal itu tidak menunjukkan bahwa beliau termasuk orang-orang yang musyrik. Ibrahim bukanlah termasuk dalam golongan orang-orang musyrik. 

Sikap hanif merupakan pangkal pertumbuhan akal. Tanpa sikap hanif, tidak akan tumbuh akal pada diri seseorang sehingga sangat mungkin orang tersebut terjebak dalam penyembahan kepada thaghut. Kedua hal ini kadangkala sangat tipis perbedaannya pada masyarakat yang taat pada ajaran agama. Kitab suci, orang-orang suci dan segala hal yang membawa cahaya Allah harus disikapi sebagai sebuah media untuk mengenal kehendak Allah melalui akal, jangan sampai menjadi thaghut yang membawa manusia dari cahaya menuju kegelapan. Bila terjebak dalam thaghut, segala ayat/tanda dari Allah yang dihadirkan dalam ruang kehidupannya tidak akan dapat dirasakan atau dimengerti, atau bahkan malah dijadikan bahan olok-olokan yang akan memberatkan kehidupannya. Hal itu sebenarnya mencerminkan keadaan dirinya sendiri yang patut menjadi olok-olokan karena kelemahan akalnya. 


Menumbuhkan Akal 


Manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna. Ada entitas jasadiah dalam diri seorang manusia yang setara dengan batuan, tanah, binatang dan makhluk lain di bumi. Tetapi ada juga dalam diri setiap manusia unsur ruh dan jiwa yang setara dengan para malaikat. Hal ini merupakan sebuah tanda bahwa manusia adalah sebuah entitas tasbih yang mampu menghubungkan makhluk bumi untuk menghadap Allah. 

Dalam penciptaan, makhluk diciptakan dalam berbagai martabat yang terpisah . Ini adalah sifat tanzih, di mana alam-alam diciptakan dalam berbagai lapisan yang terpisah. Terdapat makhluk mulkiyah di bumi yang terpisah dengan makhluk langit di alam malakut. Seekor domba tidak akan dapat menghubungkan diri dengan seorang malaikat. Demikian pula seorang malaikat tidak akan dapat mencari jalan ke alam ruh tanpa ijin Allah. 

Akan tetapi Allah memberikan pula jalan tasbih, sebuah jalan bagi makhluk untuk mendaki agar bertemu Allah. Hal ini diberikan kepada manusia. Setiap manusia dapat menemukan jalan tasbih agar dapat bertemu Allah, akan tetapi hanya sedikit manusia yang memperolehnya. Seorang manusia diciptakan dari bahan tanah yang merupakan entitas paling jauh dari cahaya sumber cahaya, akan tetapi disediakan jalan bagi manusia untuk mendekat kepada Allah, dengan dirinya sendiri. Tidak hanya dari tanah, manusia juga diciptakan dengan kelengkapan entitas dari alam malakut dan ruh. Keseluruhan entitas dalam diri seorang manusia itulah jalan tasbih yang disediakan bagi manusia untuk berjalan untuk menuju Allah. Manusia dapat mengenal Allah dengan jalan tasbih itu. Dengan mengenal dirinya, maka manusia akan mengenal rabb-nya. Tidak ada jalan lain untuk mendekat kepada Allah dari alam mulkiyah kecuali jalan tasbih ini. 

Jalan itu diperpanjang untuk menjangkau alam mulkiyah. Setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan agar seorang laki-laki yang mengenal Allah dapat menunjukkan ayat Allah kepada semestanya. Seorang istri adalah pemimpin bagi semesta seorang laki-laki agar dapat mengerti ayat Allah yang ditunjukkan oleh suaminya. Seorang istri harus mengerti suaminya agar semesta mereka mengerti ayat Allah yang ditunjukkan suaminya. Seorang suami adalah jalan tasbih bagi setiap perempuan, tidak ada jalan tasbih lain bagi seorang istri kecuali suaminya sebagaimana jiwa seorang laki-laki menjadi jalan tasbih bagi laki-laki itu sendiri. Fir’aun menjadi jalan tasbih bagi Asiyah binti Muzahim r.a. Tanpa bantuan seorang istri, sang Nabi SAW tidak akan menjadi nabi, dan seorang Nuh a.s dipandang sebagai orang yang tidak mempunyai kelebihan apa-apa di antara umatnya. Dakwahnya selama 950-an tahun tidak membuat umatnya mengerti kebenaran yang diajarkan. 

Untuk menempuh jalan tasbih itu, setiap manusia harus menumbuhkan akalnya dengan memperhatikan semestanya. Seorang suami harus memperhatikan istrinya, dan berusaha memberikan kebaikan-kebaikan bagi semesta yang dibawa oleh istrinya. Seorang istri harus memperhatikan suaminya, dan berusaha menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan akal suaminya. Suami dan istri merupakan satu entitas yang terpisah agar seseorang dapat melihat bayangan dirinya pada bagian lain dirinya. Hal ini telah ditetapkan sejak penciptaan Adam dan Hawa, dimana mereka mempunyai satu pohon yang sama, yang telah menggelincirkan keduanya. Dengan memperhatikan semesta mereka, maka akal akan tumbuh pada diri setiap orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar