Pencarian

Jumat, 19 April 2024

Mewujudkan Penghambaan Kepada Allah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Ibadah adalah bentuk penghambaan yang harus ditunaikan oleh setiap manusia bagi Allah. Seorang hamba adalah seseorang yang melaksanakan tanggung jawab yang diberikan oleh tuannnya kepada dirinya untuk mencapai sasaran yang dikehendaki tuannya. Untuk tugas demikian, seorang hamba seharusnya mempunyai pemahaman sebaik-baiknya tentang kehendak tuannya. Bila ia tidak memahami kehendak tuannya, ia tidak akan bisa menjadi hamba yang baik. Sebaliknya apabila ia memahami kehendak tuannya, ia akan bisa menjadi hamba yang sebaik-baiknya. Demikian itu berlaku dan bisa menjadi gambaran yang baik tentang kehambaan seseorang kepada Allah.

Pemahaman sesungguhnya seorang hamba terhadap kehendak Allah terletak pada pengenalan nafs wahidah dirinya. Nafs wahidah merupakan asal mula penciptaan manusia, bahwa setiap manusia diciptakan berdasarkan suatu nafs wahidah tertentu. Jati diri penciptaan setiap manusia terletak pada nafs wahidah, di mana seseorang akan mengenal kehendak Allah yang harus ditunaikan apabila ia mengenal nafs wahidah dirinya. Sebelum seseorang mengenal nafs wahidah dirinya, ia tidak benar-benar memahami kehendak Allah. Hal ini tidak menghilangkan nilai penghambaan seseorang sebelum mengenal nafs wahidah, akan tetapi menunjukkan bahwa nilai penghambaan seseorang yang mengenal nafs wahidah berbeda dengan nilai penghambaan orang yang tidak mengenal nafs wahidah dirinya.

﴾۱﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An-Nisaa : 1)

Nafs wahidah diciptakan secara berpasangan. Setiap laki-laki dan pasangannya pada dasarnya diciptakan dari satu nafs wahidah tertentu. Setiap perempuan diciptakan dari suatu nafs yang berasal dari nafs wahidah laki-laki tertentu, sebagai bagian dari laki-laki tertentu tersebut. Hal ini berimplikasi bahwa penghambaan seorang laki-laki dilakukan dalam bentuk melayani Allah, dan penghambaan seorang perempuan dilakukan dalam bentuk membantu suaminya dalam melayani Allah. Untuk beribadah kepada Allah, seorang perempuan harus menemukan peran dirinya dalam membantu suaminya melayani kehendak Allah, seringkali tidak perlu mencari bentuk penghambaan secara langsung kepada Allah.

Bentuk ibadah demikian tidaklah menunjukkan suatu ketidakadilan. Sebenarnya setiap laki-laki pun tidak dapat mencari bentuk penghambaannya kepada Allah secara langsung, tetapi harus mencarinya melalui Rasulullah SAW. Ini merupakan bentuk kemudahan yang diberikan Allah sebagai rahmat bagi manusia. Setiap orang dapat membina hubungan transenden secara personal langsung kepada Allah, akan tetapi bentuk hubungan penghambaannya harus dilakukan secara terhubung kepada Allah melalui Rasulullah SAW. Membina washilah melalui Rasulullah SAW selain mengantar seseorang menemukan bentuk penghambaan juga akan sangat membantu seseorang dalam membina hubungan transenden kepada Allah. Hubungan semacam ini terpatri pula dalam bentuk ikatan suami isteri, di mana seorang isteri harus mengenal pelayanannya kepada suaminya untuk beribadah kepada Allah.

Nafs Wahidah dan Pernikahan

Ikatan pernikahan merupakan keping fraktal terkecil dalam membina penghambaan kepada Allah. Pernikahan bukanlah semata perjanjian antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Ada bentuk-bentuk perikatan yang terbentuk antara seseorang dengan orang lainnya melalui suatu pernikahan, dan bentuk-bentuk itu terhubung kepada Allah. Perjanjian dan perikatan itu akan mengantarkan sepasang manusia untuk membina bentuk penghambaan yang tepat kepada Allah dan sekaligus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada semesta alam. Bentuk perjanjian  melalui pernikahan itu dikenal sebagai mitsaq. Perikatan yang terbentuk merupakan hubungan washilah, di mana seorang perempuan memperoleh washilah kepada Allah melalui suaminya. Terlepas dari semua tingkah laku suaminya, seorang perempuan telah memperoleh washilah kepada Allah manakala ia menikah dengan seorang laki-laki. Sebenarnya seorang laki-laki juga memperoleh suatu penghubung yang menghubungkan dirinya kepada alam duniawi, dan hal itu akan membentuk suatu hubungan shilaturahmi, sedangkan washilahnya kepada Allah harus dikenal melalui shilaturrahmi yang terbina tersebut.

Suatu perjanjian (mitsaq) menunjuk pada terbentuknya suatu ide bersama yang dapat diwujudkan bilamana kedua pihak bersama-sama. Perjanjian (mitsaq) dapat diibaratkan kain tenun yang disusun dari satu benang dengan benang yang lain secara sinergis sehingga terbentuk suatu pola tertentu berdasarkan benang-benang yang tersusun. Suatu pernikahan antara seorang laki-laki dengan perempuan akan membentuk suatu suatu perjanjian (mitsaq) yang paling kokoh di semesta alam, berupa suatu mitsaqan ghalidza. Mitsaqan ghalidza tersebut mendatangkan suatu bentuk tertentu janji Allah bagi kedua insan yang menikah. Allah memberikan suatu bentuk janji tertentu kepada kedua insan yang menikah, janji yang seharusnya dapat diwujudkan oleh keduanya di alam dunia dan alam berikutnya manakala keduanya dapat bersama-sama merealisasikan bentuk janji tersebut. Barangkali tidak semua orang menikah mengetahui bentuk janji Allah bagi mereka pada saat menikah, tetapi sebagian manusia dapat melihat bentuk janji Allah bagi mereka. Hendaknya pasangan menikah tidak terpancing hasratnya untuk mengetahui bentuk janji itu karena akan muncul penghalang yang besar manakala pasangan itu mengetahuinya dan mengusahakannya. Pasangan itu hanya perlu mensyukuri setiap langkah kebersamaan mereka setiap saat untuk beribadah, maka janji itu akan terwujud.

Mensyukuri kebersamaan itu harus dilakukan dengan membina shilaturahmi bersama. Shilaturrahmi merupakan pembinaan hubungan kasih sayang di antara manusia yang dibentuk untuk membina hubungan kepada Allah. Bentuk dasar shilaturrahmi dalam pernikahan berupa suami sebagai washilah isteri kepada Allah. Shilaturahmi itu harus dibina dengan baik mencapai semesta mereka, tidak terbatas hanya pada hubungan antara suami dan isteri saja. Shilaturahmi ke pihak lain harus dibina berdasar kasih sayang di antara suami dan isteri, karena kasih sayang di antara keduanya menunjukkan kekuatan kasih sayang yang sesungguhnya, dan kasih sayang kepada pihak lain merupakan perpanjangan dari kasih sayang keduanya. Seorang isteri harus berusaha benar-benar memahami perkembangan suaminya dalam usaha menjadi hamba Allah, dan seorang suami harus terhubung juga dengan orang-orang yang terkait dengan isterinya dan membina kasih sayang dengan mereka dengan memberikan sumbangsih yang baik.

Tidak Merusak Janji Allah

Setiap manusia harus bertakwa dengan berusaha menjaga dan mewujudkan perjanjian (mitsaq) dan perikatan-perikatan melalui pernikahan. Pernikahan akan menghadapkan seseorang pada bentuk penghambaan dirinya kepada Allah bila  seseorang bertakwa dalam pernikahannya. Pengenalan kepada bentuk janji Allah akan menuntun seseorang mengenal bentuk penghambaannya, dan shilaturrahmi akan membantu mewujudkan amal-amal shalih yang harus dilaksanakannya. Setiap pihak harus berusaha bertakwa kepada Allah dalam pernikahannya, karena dengan ketakwaan kedua pihak maka perbaikan di muka bumi akan terjadi.

Apabila seseorang tidak bertakwa dalam pernikahannya, bentuk  janji Allah dan perikatan itu dapat mengalami kerusakan. Banyak hal-hal yang diperbuat manusia dapat merusak janji Allah dan perikatan di antara manusia, dan hal demikian harus dihindari. Orang-orang yang fasik melakukan banyak kerusakan dengan merusak perjanjian dan perikatan hingga timbul kerusakan yang sangat besar di muka bumi. Bentuk kerusakan demikian yang terbesar berupa kerusakan dalam pernikahan.

﴾۷۲﴿الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
(yaitu) orang-orang yang mengurai janji Allah sesudah perjanjian itu diberikan, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi (QS Al-Baqarah :27)

Ayat di atas berbicara tentang perbuatan orang-orang fasik yang berbuat kerusakan di muka bumi dengan perbuatan mereka membuyarkan janji Allah setelah diberikan kepada manusia, memotong-motong apa-apa yang diperintahkan Allah untuk disambungkan, dan melakukan kerusakan di bumi. Mengurai perjanjian mencakup pula pengubahan yang menyebabkan janji Allah berubah dari keadaan terbaiknya, tidak terbatas hal yang membuyarkannya saja. Orang-orang fasik yang berbuat demikian itu adalah orang-orang yang merugi.

Janji Allah yang telah diberikan kepada seorang hamba dapat terbuyarkan kembali karena perbuatan atau sikap hamba. Seorang manusia atau sepasang manusia dapat membuyarkan janji Allah yang diberikan kepada mereka, sekalipun janji itu telah diberikan. Ibarat kain yang telah tertenun kemudian diuraikan kembali, demikian janji Allah yang telah tersusun itu dapat terurai kembali. Hal ini karena perbuatan manusia sendiri, bukan kehendak Allah. Kerusakan ini dapat terjadi termasuk pada janji Allah yang diberikan melalui pernikahan, dan pernikahan menjadi ikatan yang paling mewakili perjanjian demikian. Sepasang manusia bisa saja kehilangan bentuk kehidupan yang dijanjikan Allah kepada mereka sebagai jalan penghambaan manakala mereka tidak bertakwa kepada Allah. Orang-orang yang membuyarkan janji Allah merupakan orang-orang yang fasik.

Seorang laki-laki yang berkhianat kepada isterinya mengejar syahwat dan hawa nafsu bersama perempuan lain merupakan bentuk contoh perbuatan yang membuyarkan janji Allah kepada mereka. Demikian pula seorang isteri yang membawakan dirinya kepada laki-laki selain suaminya bisa menjadi contoh bentuk perbuatan membuyarkan janji Allah. Manakala seorang isteri membawakan sesuatu yang ghaib dalam dirinya, yang seharusnya dijaga untuk Allah, dibawakan kepada selain suaminya, suaminya akan benar-benar kehilangan media untuk mewujudkan janji Allah ke alam duniawi mereka. Tidak ada janji Allah tentang bentuk kehidupan penghambaan diri mereka yang akan terwujud. Manakala ada sedikit sisa dari hal ghaib itu, maka bagian itulah yang dapat menjadi media terwujudnya walau belum tentu dapat diwujudkan. Pasangan itu berikutnya akan kehilangan arah membentuk kehidupan mereka. Hal ini berbeda dengan kerusakan hubungan sebelum menikah dimana tidak ada bentuk janji Allah yang dirusak. Sebelum menikah, kerusakan itu hanya menyentuh bentuk-bentuk hawa nafsu tetapi tidak merusak janji Allah. 

Banyak bentuk-bentuk sikap dan perbuatan yang menyebabkan janji Allah kepada sepasang manusia terurai kembali. Perbuatan ini kadangkala bahkan dapat dilakukan oleh seseorang terhadap pernikahan orang lain, bukan hanya pernikahan dirinya sendiri. Manakala seseorang memunculkan suatu bentuk pengkhianatan pada pernikahan orang lain, maka ia telah membuyarkan janji Allah yang diberikan melalui pernikahan itu.   

Dengan buyarnya janji Allah, seseorang dapat kehilangan sarana mengenal bentuk penghambaan dirinya. Hal ini tidak selalu berlaku pada setiap orang yang dibuyarkan janji Allah baginya. Seorang pengkhianat akan kesulitan menemukan bentuk penghambaannya karena pengkhianatannya, akan tetapi pihak yang tidak berkhianat mungkin saja masih dapat melihat bentuk penghambaan yang dijanjikan bagi mereka walau tidak memperolehnya. Sekalipun ia tidak dapat memperoleh bentuk kehidupan yang dijanjikan, tetapi ia telah memahami bentuk penghambaan dirinya kepada Allah walau tidak dapat melaksanakannya. Dengan demikian, setiap orang hendaknya bertakwa dalam pernikahannya. Ia bisa kehilangan sarana mengenal bentuk penghambaan dirinya atau ia dapat menghilangkan bentuk penghambaan itu bila tidak bertakwa.

Ketakwaan itu dapat disiapkan pondasinya sebelum pernikahan dilakukan. Setiap orang hendaknya membangun keyakinan bersama dalam melaksanakan penghambaan kepada Allah. Setiap pihak harus melepas bayang-bayang masa lalu yang dapat merusak janji Allah, membatasi atau menghilangkan interaksi yang dapat mengganggu hati, dan menjauhkan orang lain yang mungkin merusak janji Allah yang diberikan melalui pernikahan yang akan dilalui. Dalam hal tertentu, mungkin ada orang-orang yang seharusnya tidak didekatkan dalam jarak tertentu terhadap hubungan mereka karena mungkin dapat menimbulkan kerusakan janji Allah dalam pernikahan mereka. Penilaian terhadap potensi yang merusak ini boleh pula dilakukan terhadap calon pasangannya dan mencegahnya agar tidak terjadi. Hal-hal demikian hendaknya dapat dimengerti oleh masing-masing pihak, dan ada baiknya tindakan itu dilakukan yang bersangkutan tanpa harus dicegah oleh pasangannya karena seringkali menimbulkan pertengkaran.

Celah yang berpotensi menimbulkan kerusakan demikian tidak boleh dianggap sepele. Syaitan akan berusaha keras untuk memanfaatkan setiap celah yang ada untuk mengurai kembali janji Allah di antara manusia. Pada pokoknya, setiap orang harus setia untuk menepati ikatan pernikahan mereka, sedangkan masalah potensi kerusakan itu (hanya) merupakan kepingan-kepingan yang mungkin merusak. Walaupun demikian, mensikapi secara salah kepingan tersebut benar-benar dapat mendatangkan kerusakan yang besar. Tindakan mendatangkan dengan sengaja potensi yang merusak harus dihindari. Tindakan itu setidaknya akan menurunkan kepercayaan terhadap kebersamaan dalam mewujudkan janji Allah pada satu pihak terhadap yang lain. Menjelang pernikahan, setiap pihak harus mempunyai keyakinan iktikad menepati sumpah setia pernikahan yang akan dilakukannya, dan juga mempercayai adanya keyakinan iktikad pada pasangannya. Tanpa keyakinan pada dan terhadap kedua pihak, pernikahan itu akan dihantui masalah kecurigaan dan pengkhianatan yang berpotensi merusak janji Allah.

Keyakinan di antara dua insan dalam pernikahan itu dapat berupa tujuan kehidupan yang sama. Hal ini dapat terwujud pada orang-orang yang mengenal tujuan kehidupan mereka. Pada dewasa pemula, tujuan semacam ini barangkali belum terbentuk kecuali hanya pada tingkatan hawa nafsu. Dalam keadaan ini, masing-masing  pihak harus memahami makna pernikahan yang akan mereka tempuh. Pernikahan merupakan jalan untuk mengenal nafs wahidah sebagai landasan penghambaan. Pengenalan ini harus ditempuh melalui perjuangan dalam kebersamaan. Manakala pernikahan dipandang sebagai penyatuan dan pemenuhan selera hawa nafsu dan syahwat masing-masing, sangat sulit menjaga kebersamaan dalam jangka panjang. Hawa nafsu dan syahwat itu akan berubah-ubah dalam waktu singkat, manakala pernikahan tidak dilandasi tujuan mengenal nafs wahidah maka mereka akan mudah mengalami kejenuhan.

Upaya sepasang manusia mewujudkan janji Allah melalui pernikahan termasuk bentuk perjanjian tertinggi. Hendaknya setiap pihak dapat menghormati perjanjian ini. Seorang isteri harus menghadapkan arah wajahnya melalui suaminya untuk menghadap kepada Allah, tidak mengharapkan wajah lain sebagai wasilah kepada Allah. Berbagai hal yang dihadirkan baginya melalui suaminya harus dipandang sebagai wujud yang dihadirkan Allah. Mengharapkan wujud-wujud dalam bentuk lain melalui orang lain selain suaminya akan memalingkan wajahnya dari penghadapan kepada Allah. Demikian pula suami harus menyambut isterinya sebagai amanah Allah yang harus disikapi dengan sebaik-baiknya.

Mengurai janji Allah setelah diperikatkan, memotong sesuatu yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan dan membuat kerusakan di muka bumi membentuk suatu kesatuan rangkaian. Merusak janji Allah setelah diberikan akan diikuti perbuatan memotong sesuatu yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan dan mendatangkan kerusakan di muka bumi. Dalam pernikahan, kerusakan janji Allah itu dapat menimbulkan kerusakan yang sangat besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar