Pencarian

Minggu, 05 Maret 2017

Akidah Al-wasithiyah ; Sebuah Komentar

Dalam sebuah pertunjukan pada tahun 1931, Albert Einstein bercakap-cakap dan memuji penampilan Charlie Chaplin, bahwa Chaplin telah membuat sebuah bahasa universal tanpa batasan bangsa. Charlie Chaplin membalas pujian Einstein mengatakan : “Anda lebih menakjubkan tuan Einstein. Masyarakat di seluruh dunia memuji anda tanpa mereka mengetahui akan apa yang anda bicarakan”. 

Einstein adalah sosok jenius yang telah merumuskan beberapa teori fisika modern.  Masyarakat di dunia memuji kejeniusan dirinya walaupun mereka tidak mengetahui apa yang diceritakan oleh Einstein. Teori Einstein  adalah teori yang bisa dipahami oleh para fisikawan, bukan sebuah teori yang tidak bisa dijangkau oleh manusia. Para fisikawan yang mempelajari dan memahami teori-teori Einstein merupakan para saksi yang benar terhadap kejeniusan Einstein, dan  masyarakat kebanyakan yang memuji kejeniusannya hanyalah massa mengambang yang dipengaruhi oleh pendapat-pendapat para fisikawan. Para fisikawan mempunyai platform berpikir yang sama dengan platform berpikir Einstein sehingga mereka mengetahui benar ketelitian dan terobosan berpikir yang dilakukannya. Para fisikawan mengenal dengan benar kejeniusan Einstein.

AKIDAH ISLAM


Ajaran akidah dalam islam bukanlah indoktrinasi kalimat-kalimat tentang Allah yang tidak bisa dipahami. Alquran telah menceritakan kerangka akidah bagi setiap orang, yaitu sebagaimana diterangkan dalam ayat berikut :
Tidakkah engkau perhatikan bagaimana Allah mengambil permisalan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit. Memberikan buahnya setiap saat dengan ijin tuhannya. Dan Allah mengambil pemisalan itu bagi manusia  agar mereka selalu berdzikir. Dan permisalan kalimat yang buruk adalah seperti pohon yang buruk, tercerabut akarnya dari bumi tanpa dapat tegak. (QS Ibrahim 24-26)
Ayat di atas menetapkan platform akidah, yaitu kalimah thayyibah,  yang bisa membuat seseorang mampu mengenal Allah SWT sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Tanpa platform akidah itu, seseorang tidak akan mampu mengenal Allah, karena kalimat yang diperolehnya adalah kalimat yang buruk. Seseorang tidak akan memuji Allah dengan sebenarnya tanpa berada di atas platform itu. Hal itu bisa diibaratkan sebagaimana seorang yang tidak mengenal fisika memuji kejeniusan Einstein, pujian itu hanyalah pujian yang kosong.

Platform akidah dalam ayat itu mensyaratkan muslim untuk menumbuhkan jiwanya, dengan membaca ayat-ayat qauliyah di langit dan ayat-ayat kauniyah di bumi secara selaras kemudian menghasilkan buah-buahan yang berguna bagi sesama makhluk agar  dirinya bisa mengenal Allah. Pertumbuhan jiwa ditunjukkan dengan pertumbuhan akal yang telah diberikan sejak awal, yaitu akal jiwa yang berguna untuk mengenal Allah, yang bisa dikenali dengan tumbuhnya akhlak yang baik, baik ditingkat rasa, kehendak, pemikiran hingga perbuatan. Kecerdasan yang tidak disertai tumbuhnya akhlak merupakan kecerdasan jahalah, yaitu kecerdasan jasadiah yang dikendalikan hawa nafsu.

Kalimat tauhid yang baik adalah seperti pohon yang baik, akarnya teguh ke bumi dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon adalah makhluk yang hanya bisa melakukan proses apabila mendapatkan cahaya, dan pohon tidak mampu mendefinisikan cahaya.  Pengetahuan pohon tentang cahaya hanyalah sebatas proses yang bisa dilakukan dirinya ketika mendapatkan cahaya. Kalimat thayyibah berfungsi menumbuhkan jiwa seseorang untuk mengenal dan mencintai Allah SWT sebagai sumber cahaya bagi langit dan bumi, sehingga bisa memberikan manfaat bagi orang lain dengan buahnya. Jiwa itu mencari rizki dari cahaya Allah dengan cabangnya yang menjulang ke langit, sedangkan pengetahuannya berakar teguh di bumi. Apa yang terjadi di bumi merupakan ayat Allah yang dipahaminya selaras dengan ayat alquran. 

Sedangkan kalimat yang buruk adalah seperti pohon yang buruk, akarnya tercerabut dari bumi tidak dapat tegak. Itu permisalan bagi pengetahuan tauhid yang tidak terkait dengan ayat-ayat Allah di bumi, sehingga jiwanya tidak mampu mencari rizki dari cahaya Allah. Ayat-ayat Alquran yang dipersepsi hanya berupa doktrin ideologi dan tata aturan tidak akan menumbuhkan jiwa yang kokoh yang mempu mencari cahaya Allah dan tidak  mempunyai keterkaitan dengan kehidupan di bumi.

AKAL, AYAT QAULIYAH DAN AYAT KAUNIYAH


Dzat Allah adalah sesuatu yang tidak bisa dikenal oleh siapapun kecuali diri-Nya sendiri.  Dia (Huwa) adalah dzat yang maha wujud, tidak berawal dan tidak berakhir yang telah menciptakan segala sesuatu.  Tidak ada yang bisa mengenal atau menggambarkan tentang  Huwa sedikitpun, baik wujud-Nya, keagungan-Nya, shifat-Nya, kecuali diri-Nya sendiri.
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. (QS As-Syuura : 11)
Huwa (Dia) berkehendak untuk dikenal. Kehendak-Nya adalah untuk dikenal dengan asma “Allah”.  Surat al-ikhlas  ayat 1 menjelaskan tentang perintah  kepada makhluk untuk berkata : “Dia (Huwa) adalah Allah yang Esa (Ahad)”. Maksud perintah-Nya berupa  “katakanlah” bukanlah sekadar untuk berkata, tetapi untuk berkata-kata dengan pengetahuan. Maka perintah itu dijabarkan rasulullah SAW sebagai kalimat syahadat (persaksian) yaitu : “Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah”. Persaksian tidak akan  bermanfaat dan tidak sah tanpa disertai dengan pengetahuan.

“Allah”  adalah nama yang dikehendaki-Nya untuk dikenal makhluk, sebagai aspek dzahir Huwa (Dia)  yang bisa dikenal oleh makhluk. Tidak ada satupun makhluk yang mengenal aspek bathin Huwa (Dia)  karena tidak ada sesuatupun yang bisa menjadi misal bagi-Nya. Dia (Huwa) berkehendak agar nama “Allah” dikenal sebagai ilah, yaitu  sesuatu yang menjadi puncak kecintaan makhluk.

Untuk memperkenalkan diri-Nya itulah alam semesta ini diciptakan. Alam ini adalah perwujudan kehendak-Nya yang berupa perkataan : Kun (jadilah) maka semua kemudian terjadi. Perkataan-Nya mewujud sebagai alam semesta raya yang hampir tidak berhingga besarnya. Seluruh alam semesta ini adalah perwujudan dari ilmu-Nya yang hendak diperkenalkan-Nya kepada makhluk, sedangkan makhluk tidak mampu mengetahui ilmu-Nya  yang tidak hendak Dia katakan. Makhluk hanya mampu mengerti sebatas kemampuan dirinya.

Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT sebagai makhluk paling sempurna. Manusia diciptakan dengan kedua tangan-Nya dan diajarkan kepada manusia nama-nama seluruhnya yang menjadikan manusia menjadi makhluk yang paling berpengetahuan. Jasad manusia diciptakan dari tanah, dan Dia menciptakan pasangannya berupa jiwa (nafs) dari tangan-Nya yang lain.  Di dalam jasad manusia terdapat nafs yang mempunyai akal membawa kecerdasan langit  hingga bisa mengenal Allah SWT melebihi para makhluk surga. 

Selain diberikan indera dan akal, manusia diberi bekal dan sarana yang ada di luar dirinya. Allah SWT menghadirkan kalimat-kalimat-Nya di alam semesta dan alquran yang menjadi panduan untuk membaca ayat-Nya di alam semesta. Dengan bekal itu, manusia dapat berjalan menuju tuhan dengan memperkuat akalnya. Dengan semakin sempurna akalnya, akan semakin mulia akhlak dirinya dengan kemampuan membaca kehendak Allah.

Akal tidak dapat dikontradiksi dg alquran. Alquran dan petunjuk nabi merupakan cahaya yang diturunkan untuk menyinari akal agar berjalan, sedangkan akal adalah instrument dalam diri untuk berjalan. Akal yang memahami adalah akal yang pengetahuannya selaras dengan alquran dan sesuai keadaan alam, karena keduanya adalah kalimat Allah yang tidak saling bertentangan Pengetahuan akal yang berbeda dengan tuntunan alquran dan petunjuk nabi menunjukkan suatu ketidakpahaman akan ayat. Orang yang memahami agama akan mengetahui kedudukan alquran di semesta dirinya, dan mengetahui bahwa itu adalah firman Allah bagi dirinya.

AKIDAH AL-WASITHIYAH


Seorang Qadhi dari negeri Wasith yang sedang melaksanakan haji datang kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan memohon beliau untuk menulis tentang Aqidah Salafiyah yang diyakininya . Maka, Ibnu Taimiyah menulisnya dalam tempo sekali jalsah, (sekali duduk), seusai shalat 'Ashar. Tulisan Ibn Taimiyah ini dikenal sebagai Aqidah Al-Wasithiyah.  Banyak muncul syarah/penjelasan tentang tulisan beliau yang ditulis secara berlebihan. Beberapa hal diantara penjelasan itu  adalah kerangka akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah terkait sifat-sifat Allah SWT .

Tidak ada jalan bagi seorang muslim untuk mengetahui sifat Rabbnya yang Maha Tinggi dan Asma'-Nya yang Maha Indah, melainkan sebagaimana yang diwahyukan. Asma' dan Sifat-sifat Allah itu bersifat tauqifiyah. Maka, apapun yang ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya, atau oleh Rasulullah SAW, kita harus meyakininya. Demikian pula, apa yang dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, atau oleh Rasulullah SAW, kita menafikannya. Cukuplah bagi manusia informasi yang datang dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. 

Ahlus Sunnah wal Jama'ah menetapkan sifat-sifat Allah Ta'ala, tanpa ta'thil (penafian), tamtsil (pemisalan), tahrif (pengubahan), dan takyif (menetapkan bentuk). Mereka mempercayainya sebagaimana tersebut dalam nash Al-Qur'an dan Al-Hadits. Semua nama dan sifat yang telah ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya atau oleh Rasulullah SAW mereka tetapkan untuk Allah, sesuai dengan keagungan sifat-Nya. Sebaliknya, Ahlus Sunnah wal Jama'ah menafikan apa yang telah dinafikan oleh Allah dari diri-Nya, atau oleh rasul-Nya, dengan penafian secara ijmal,

KOMENTAR ATAS AKIDAH AL WASITHIYAH 


Untuk kalangan umum, terdapat sedikit kesulitan dalam memahami akidah alwasitiyah. Akidah bertujuan mengenal Allah, yang tidak bisa dijelaskan, tetapi di sisi lain fungsi alamiah akal dibatasi, sedangkan akal itu sendiri merupakan instrument utama untuk pemahaman. Fungsi akal secara alamiah tidak akan bisa menerima pengetahuan baru yang tinggi tanpa mendapatkan informasi lain yang mendukungnya, sedangkan pengetahuan ketuhanan adalah pengetahuan yang tinggi. Akidah Al-wasithiyah tidak menjelaskan bahwa mengenal Allah SWT hanya bisa dilakukan dengan mengenal ayat-ayat yang ada pada ciptaan-Nya. Sebagai ilustrasi, para fisikawan bisa mengenal Einstein hanya dengan cara membaca karya yang dihasilkannya.

Dalam platform akidah islam, penyempurnaan akal  merupakan syarat utama untuk mendapatkan pengetahuan tentang Allah,  sedangkan syarah akidah alwasithiyah lebih menekankan pemahaman terhadap sifat-sifat Allah ditetapkan tanpa melakukan ta’thil, tahrif, tamtsil maupun takyif., mempercayainya sebagaimana tersebut dalam nash Al-Qur'an dan Al-Hadits.  Akidah al wasithiyah  tampak layaknya indoktrinasi suatu faham terhadap pengikutnya. Walaupun telah membatasi fungsi akal dari sifat alamiahnya dalam memahami asma dan sifat Allah, akidah alwasitiyah tidak berusaha menghindarkan asma dan sifat Allah sebagai objek pembahasan akal manusia. Pembahasan itu menghasilkan kontradiksi yang sulit untuk di pahami karena keterbatasan akal. Hal ini berbeda dengan yang tersirat dalam platform akidah islam yang menempatkan sifat-sifat dan asma Allah sebagai subjek yang diharapkan melakukan transformasi jiwa manusia.  

Akidah alwasithiyah terlihat menjadikan alquran dan hadits sebagai suatu monumen kebenaran, tetapi tidak menjadikannya sebagai alat transformasi jiwa. Hal itu berbeda dengan akidah islam yang menjadikan Alquran dan hadits sebagai panduan transformasi jiwa untuk mencapai akidah yang benar. Ayat-ayat Alquran merupakan kalam Allah bagi seluruh makhluk sebagai penjelasan alam semesta. Mustahil pemahaman satu orang disamakan dengan pemahaman yang lain, karena makhluk satu berbeda dengan makhluk yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar