Pencarian

Minggu, 28 April 2024

Membina Hubungan Sesuai Kehendak Allah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Pemakmuran hanya dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya melalui penghambaan yang sungguh-sungguh kepada Allah. Orang-orang yang mengikuti langkah Rasulullah SAW akan memperoleh washilah kepada Allah dan dapat mengalirkan khazanah dari sisi Allah, dan khazanah itu akan menjadi sumber bagi terjadinya pemakmuran di bumi. Pemakmuran bumi yang sebenarnya hanya akan dapat dilakukan dengan jalan demikian, sedangkan upaya-upaya pemakmuran yang dilakukan tanpa terhubung kepada Allah seringkali tidak mendatangkan pemakmuran dengan baik.

Mengalirkan khazanah dari sisi Allah hingga terwujud di alam dunia merupakan peran manusia sebagai khalifatullah di bumi. Ada berbagai sarana yang disediakan bagi manusia hingga manusia dapat melakukan pemakmuran di bumi. badan jasmaniah mereka dapat dipergunakan untuk melakukan kebaikan di bumi. Badan jasmaniah mereka dapat dipergunakan untuk melakukan kebaikan di bumi. Beberapa upaya manusia akan mendatangkan suatu janji Allah yang dapat diwujudkan di muka bumi melalui hubungan-hubungan yang harus dibentuk di antara mereka. Hal-hal demikian menjadi sarana bagi manusia untuk mengalirkan khazanah dari sisi Allah ke bumi.

Di antara manusia, ada orang-orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan proses pemakmuran.

﴾۷۲﴿الَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِن بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
(yaitu) orang-orang yang mengurai janji Allah sesudah perjanjian itu diperikatkan, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi (QS Al-Baqarah :27)

Ketiga hal di atas merupakan hal-hal yang akan merusak proses pemakmuran bumi bila dilakukan manusia. Proses dan sarana-sarana yang disediakan bagi dirinya dan masyarakat untuk melakukan pemakmuran bumi justru dirusak hingga tidak terjadi pemakmuran pada bumi mereka. Manakala ada suatu potensi pemakmuran yang terbentuk, mereka merusak potensi-potensi yang telah tumbuh hingga tidak dapat terwujud di bumi. Sebagian manusia melakukan hal-hal demikian, dan ayat ini membahas mereka yang melakukannya.

Hubungan Antar Insan Sebagai Sarana Pemakmuran

Salah satu sarana yang disediakan bagi manusia adalah terbentuknya jalinan hubungan antar manusia. Allah sebenarnya telah memberikan perintah kepada masing-masing manusia untuk membentuk suatu hubungan tertentu dengan orang lain dalam rangka mewujudkan pemakmuran bumi. Bentuk hubungan itu utamanya adalah hubungan washilah, berupa jalinan urusan yang harus ditunaikan oleh setiap manusia yang berfungsi mengalirkan khazanah dari sisi Allah hingga terwujud di alam bumi. Setiap manusia mempunyai urusan dari sisi Allah yang dijadikan amanah bagi mereka untuk ditunaikan di bumi, dan urusan itu saling berjalin antara satu dengan yang lain yang harus ditunaikan secara sinergis. Setiap manusia hendaknya melaksanakan urusan yang menjadi bagian dirinya, sedangkan bagian lain harus ditunaikan oleh ahlinya. Seseorang tidak akan dapat mewujudkan pemakmuran bumi sendirian, harus membangun hubungan dengan orang-orang lain yang urusan dirinya berdekatan.

Tidak semua orang memahami perintah tersebut. Sebagian besar manusia merasa tidak mempunyai urusan dengan washilah. Sebagian kecil manusia tumbuh menyadari kebutuhan dirinya terhadap pemimpin yang menuntun dirinya dalam urusan Allah, di antaranya ada yang benar-benar mencari washilah hingga memperoleh washilah yang tepat bagi dirinya, dan sebagian merasa tenteram mengikuti orang lain dengan bertaklid tanpa menambah pengetahuan terhadap kedudukan dirinya dalam penghambaan kepada Allah. Ada orang-orang yang merusak hubungan-hubungan washilah yang terbentuk di antara manusia. Ada pula orang-orang yang tidak mempunyai rasa tentang hubungan washilah tetapi merasa telah memperhatikan perintah Allah. Tidak adanya rasa demikian menunjukkan lemahnya akal dalam memahami perintah Allah. Sangat banyak macam manusia dalam bersikap terhadap perintah membina hubungan dengan orang lain sesuai dengan kehendak Allah.

Orang-orang yang mencari bentuk hubungan yang tepat kepada para washilahnya dan orang-orang lain itu adalah orang-orang yang paling bersungguh-sungguh memperhatikan perintah Allah. Allah benar-benar telah memberikan perintah kepada manusia untuk membina hubungan washilah. Keinginan membina washilah demikian kadangkala tumbuh dalam diri seseorang tanpa suatu pengajaran dari orang lain ataupun dari suatu pembacaan ayat tertentu, akan tetapi tumbuh dengan sendirinya dalam hati karena kebutuhan dirinya. Kalaupun demikian, tumbuhnya keinginan itu tetaplah merupakan bentuk memperhatikan perintah Allah, karena benar Allah telah memberikan perintah untuk membina hubungan washilah. Orang yang merasa belum tenteram manakala belum menemukan bentuk washilah yang tepat tidak berarti memberontak terhadap masyarakat mereka atau secara khusus terhadap atasan mereka, tetapi mungkin mereka mengikuti dorongan hati untuk mengenal kedudukan diri mereka di antara orang beriman.

Setiap orang mempunyai washilah, dan bentuk washilah diri seseorang mungkin berbeda dengan orang lain. Pembinaan washilah demikian dilakukan terutama melalui pernikahan. Hubungan washilah yang seharusnya dibangun seseorang sepenuhnya merupakan fungsi dari nafs wahidah dirinya dan keberpasangannya dengan isterinya. Manakala seseorang mempunyai hubungan-hubungan duniawi yang baik dengan orang lain, kebaikan hubungan itu akan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka dalam banyak urusan. Tetapi khusus dalam urusan menurunkan khazanah dari sisi Allah, hubungan washilah yang tumbuh dari nafs wahidah itu yang menjadi jalan yang harus dibangun. Hubungan washilah dari nafs wahidah itulah hubungan yang diperintahkan Allah untuk disambungkan.

Dalam beberapa hal, dorongan diri seseorang untuk mengenal bentuk washilah lebih menunjukkan sungguh-sungguhnya keinginan untuk mengenal diri, karena mereka akan menemukan kedudukan diri secara tepat di antara aljamaah hingga tidak mudah terjatuh atau menyimpang sebagai orang yang dzalim manakala tiba masa pengenalan dirinya. Kadangkala orang demikian tidak memperhatikan jati dirinya, lebih memperhatikan urusan Allah untuk ruang dan jamannya, tetapi dengan jalan itu ia diijinkan mengenal dirinya. Bila terjadi perselisihan, orang-orang demikian mungkin tidak terlalu mengerti bila perselisihan mengarah pada hal personal tentang dirinya atau diri orang lain, tetapi akan lebih mudah mengerti bila pembicaraan dilakukan terkait tentang urusan Allah bagi mereka.

Orang-orang yang mengenal bentuk washilah mereka dengan tepat berarti telah membina hubungan yang tepat kepada Allah. Bilamana mereka mengalami kegagalan dalam membina hubungan kepada orang lain di masyarakat, kegagalan itu boleh jadi tidak menunjukkan kesalahan dalam membina hubungan kepada Allah, karena mungkin saja ada orang-orang lain yang memotong-motong bentuk hubungan shilaturahmi di antara manusia. Biasanya yang lebih mudah dipotong adalah bagian hubungan dengan manusia lainnya, bukan pada bagian hubungan seseorang terhadap washilahnya hingga kepada Rasulullah SAW. Terpotongnya hubungan seseorang kepada washilah lebih sering terjadi karena perbuatan orang itu sendiri.

Memutuskan Hubungan

Ada orang-orang yang memutus hubungan washilah yang seharusnya dibentuk. Ada banyak bentuk tindakan yang dilakukan manusia dapat memutuskan hubungan-hubungan yang terbentuk di antara manusia, bahkan hingga memutus hubungan-hubungan yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan. Seseorang dapat terputus hubungannya dengan sahabatnya, atau kerabatnya, atau isterinya. Hal ini dapat dilakukan seseorang terhadap hubungan dirinya sendiri atau terhadap hubungan orang lain. Seseorang dapat pula memutuskan hubungan dirinya kepada washilahnya atau kepada Rasulullah SAW. Manakala seorang washilah mengusir pengikutnya, boleh jadi sebenarnya pengikut itu telah memutuskan hubungan kepada washilahnya. Seringkali terputusnya hubungan seseorang kepada washilahnya sebenarnya juga memutuskan hubungannya kepada Rasulullah SAW.

Skala kerusakan di masyarakat akibat ulah seseorang yang memutuskan hubungan yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan tergantung pada objek hubungan yang dirusak. Derajat objek ditunjukkan sesuai dengan derajat fungsi objek dalam penghambaan kepada Allah. Derajat kerusakan paling tingga adalah merusak hubungan pernikahan, karena pernikahan terkait langsung dengan nafs wahidah yang merupakan entitas penghamba Allah yang paling sempurna. Fitnah terbesar syaitan akan dilakukan terhadap manusia melalui jalan memisahkan seseorang dari isteri-(isteri)nya.

Pernikahan merupakan media pertumbuhan manusia yang menyentuh nafs wahidah. Baiknya suatu pernikahan ditunjukkan dengan penyatuan nafs wahidah di antara suami dan isteri, di mana seorang laki-laki akan mengenal dan mempunyai akses terhadap khazanah dalam diri isterinya. Nafs wahidah merupakan jati diri penciptaan setiap manusia, nafs yang mampu mengetahui jalan penghambaan diri masing-masing. Penyatuan nafs wahidah hanya dapat dilakukan bila suami dan isteri menundukkan hawa nafsu mereka untuk menghambakan diri kepada Allah. Manakala keduanya tidak bersatu, kehidupan mereka akan menjadi sulit. Pemutusan hubungan yang diperintahkan Allah tidak hanya memisahkan suami dan isteri dalam wujud fisik saja, tetap dapat terjadi hanya pada hubungan penyatuan nafs wahidah demikian. Sekalipun hanya pada penyatuan nafs wahidah, akibat dari pemisahan demikian juga dapat menimbulkan masalah yang besar.

Sepasang manusia dapat menyatukan diri mereka dalam berbagai tingkatan diri mereka, baik nafs wahidah ataupun hawa nafsu dan syahwat. Mereka akan dapat tumbuh dengan baik melalui penyatuan itu di dunia, terlepas dari akhirat yang akan diperoleh masing-masing. Orang beriman hendaknya berusaha menyatukan diri mereka pada nafs wahidah ataupun hawa nafsu yang terbaik dari diri mereka. Bila seseorang dipengaruhi dengan kuat oleh hawa nafsu buruk, penyatuan nafs wahidah sulit dilakukan. Perempuan yang merendahkan seorang laki-laki tertentu karena takut kekurangan harta, takut tidak terpandang di masyarakat atau kurang tampan, ia akan sulit menyatukan nafs wahidah dengan laki-laki itu bila menikah. Perselisihan itu akan membuat perkembangan mereka terhambat. Penyatuan nafs wahidah itu dapat terjadi bila kedua pihak yang menikah mempunyai iktikad yang sama untuk menghambakan diri kepada Allah melalui pernikahan mereka. Manakala salah satu pihak mempunyai iktikad yang berbeda, perbedaan itu akan menghambat penyatuan yang seharusnya dilakukan.

Hal itu tidak berarti menafikan pengusahaan hal duniawi dalam pernikahan. Hanya saja rezeki duniawi hendaknya diusahakan dengan mengikuti kehendak Allah. Justru pernikahan sebenarnya berfungsi menyatukan hal duniawi dengan kehendak Allah. Seorang isteri merupakan pembawa khazanah duniawi yang harus diperhatikan suaminya, dan seorang suami harus menggunakan akalnya untuk memahami kehendak Allah terhadap khazanah dari isterinya. Setiap orang harus memperhatikan pihak lainnya untuk memperhatikan kehendak Allah. Bila seorang laki-laki tidak memperhatikan isterinya dalam beribadah, pada dasarnya Allah tidak membutuhkan ibadah dari laki-laki itu. Setiap perempuan harus berusaha memahami dan mendukung suaminya dalam mencari jalan penghambaan mereka melayani kehendak Allah agar menemukan rezeki duniawi mereka. Demikian setiap pihak harus memahami makna penghambaan melalui pernikahan yang mereka lakukan.

Ada batas-batas yang harus dipatuhi oleh setiap pihak dalam pernikahan agar hubungan yang diperintahkan Allah untuk disambungkan tidak terpotong. Sepasang manusia mungkin hanya berhasil membina sedikit bagian dari keseluruhan yang seharusnya dibangun, atau membangun banyak hubungan di antara mereka sesuai perintah Allah, maka sedikit atau banyaknya yang terbina itu hendaknya dijaga agar tidak terpotong. Terpotongnya hubungan yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan di antara suami isteri itu terjadi manakala hal ghaib yang ada pada perempuan diberikan sepenuhnya kepada orang lain selain suaminya. Wujudnya berupa iktikad menyerahkan hidupnya untuk mendampingi laki-laki lain. Hal itu menunjukkan kekejian pada tingkatan bathiniah, maka ibadah mereka akan menyimpang. Hal demikian berlaku pula bagi laki-laki yang mempunyai keinginan meninggalkan isterinya untuk perempuan lain tanpa alasan yang benar. Putusnya hubungan itu menunjukkan telah terpotongnya hubungan secara bathin sekalipun tidak mewujud di tingkatan jasmaniah. Manakala kekejian itu menampakkan wujud pada tingkatan jasmaniah berupa hubungan jasmani, maka berlaku had terhadap bentuk hubungan yang keji demikian, dan hubungan itu telah pula terpotong bagi penyatuan nafs wahidah suami isteri.

Selain terpotong pada tingkatan penyatuan nafs wahidah, banyak perbuatan yang dapat menghambat terbentuknya hubungan yang diperintahkan Allah di antara suami dan isteri. Adab yang terbentuk di antara suami dan isteri harus dibina sesuai dengan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak hanya mengikuti keinginan hawa nafsu dan syahwat. Suami dan istri harus dapat menerima pihak lain apa adanya, tidak boleh mencerca atau mencela kekurangan yang ada, setidaknya ia menyimpannya untuk dirinya sendiri walaupun mungkin itu akan mengganggu. Cercaan atau celaan yang keluar dari pasangan itu yang didengar oleh makhluk berpotensi merusak pembinaan hubungan yang seharusnya dibina sesuai dengan kehendak Allah. Suatu celaan rawan menimbulkan celaan balik dari pihak lainnya. Dalam beberapa hal, sikap buruk demikian akan menjadikan seseorang tidak dapat melangkah pada shirat manakala ia telah mengenal shiratal mustaqim dirinya.

Potensi merusak itu dapat diperbaiki atau dihilangkan dengan berkomunikasi dan saling memaafkan, tetapi syaitan akan berusaha merusak pula upaya perbaikan itu. Manakala syaitan dapat melibatkan orang lain, perbaikan hubungan itu akan menjadi rumit. Manakala suatu pihak yang menikah menyampaikan sesuatu secara langsung, hendaknya apa yang disampaikan lebih dipercaya pihak lainnya daripada omongan pihak ketiga. Sebisa mungkin komunikasi di antara suami dan isteri tidak melibatkan pihak ketiga agar tidak menimbulkan masalah di antara mereka. Manakala melibatkan, pihak ketiga yang terlibat hendaknya memperhatikan sebaik-baiknya keadaan semua pihak di antara laki-laki dan perempuan yang seharusnya membina hubungan sesuai perintah Allah, tidak justru memunculkan fitnah di antara suami isteri atau antara pihak yang seharusnya membina pernikahan.

Keberhasilan membina hubungan nafs wahidah di antara suami dan isteri akan menjadi bahan terbinanya hubungan yang diperintahkan Allah di antara masyarakat. Pernikahan merupakan hubungan washilah yang menjadi elemen dari suatu fraktal besar hubungan washilah yang seharusnya dibangun masyarakat. Bila keping elemen itu baik, fraktal besar yang dapat dibentuk akan baik. Bila keping element itu rusak, sulit membangun fraktal besar yang baik. Hubungan yang harus dibina sesuai kehendak Allah terkait secara langsung dengan nafs wahidah. Hubungan washilah yang seharusnya dibangun seseorang sepenuhnya merupakan fungsi dari nafs wahidah dirinya dan keberpasangannya dengan isterinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar