Pencarian

Selasa, 16 April 2024

Menemukan Jalan Keselamatan

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Orang-orang yang mengikuti keridlaan Allah akan memperoleh petunjuk jalan-jalan keselamatan, dikeluarkan dari kegelapan menuju cahaya, dan memperoleh petunjuk menuju shirat al-mustaqim.

﴾۶۱﴿يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan mengeluarkan mereka dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus (QS AL-Maidah : 16)

Pemahaman yang benar terhadap realitas kauniyah berdasarkan tuntunan ayat Allah akan menumbuhkan suatu petunjuk dalam menempuh jalan yang dikehendaki Allah berupa petunjuk dalam menghadapi problema kauniyah yang terjadi. Petunjuk demikian dikatakan sebagai petunjuk sabil (subulus-salaam). Bila seseorang memperoleh petunjuk sabilnya, ia akan mengetahui suatu permasalahan tertentu yang terjadi pada masyarakatnya, dan mengetahui jalan keluar dari permasalahan itu berdasarkan tuntunan kitabullah. Dengan petunjuk sabil itu, suatu masalah di masyarakat akan terurai hingga terwujud suatu bentuk kemakmuran di masyarakat.

Perlu tekad yang kuat (‘azam) berpegang teguh pada kitabullah Alquran agar seseorang bisa memperoleh petunjuk tentang sabil yang harus mereka tempuh. Syaitan akan benar-benar menghalangi umat manusia untuk mengerti sabil yang harus mereka tempuh. Bila seseorang atau suatu kaum bersikap abai dalam berpegang pada kitabullah Alquran, syaitan akan masuk menghalangi mereka dari petunjuk sabil. Mereka barangkali akan mengerjakan amal-amal yang tidak menjadi solusi bagi masalah yang ada pada masa dan ruang kehidupan mereka. Mungkin amal-amal yang mereka kerjakan begitu menakjubkan, tetapi tidak menyentuh masalah yang digelar Allah.

Syaitan akan menghantam dengan sungguh-sungguh manakala seorang manusia atau suatu kaum mengarah kepada sabil mereka. Manakala hakikat dari suatu fenomena terungkap, syaitan akan bersiap untuk menghalangi. Bila kebenaran yang diikuti manusia hanya merupakan kebenaran-kebenaran nisbi yang tidak mengantar manusia menemukan sabilnya, syaitan akan membiarkan atau justru ikut menurunkan petunjuk kebenaran yang setara. Manakala seseorang mulai mengenal hakikat dari firman Allah yang terjadi pada kauniyahnya, maka syaitan akan menghalangi langkah yang akan ditempuh orang-orang yang mengenalnya.

Beban Berat Dalam Sabil

Melaksanakan sabilussalaam seringkali menjadi beban berat yang membutuhkan tekad yang sangat kuat, terutama dalam menghadapi dorongan dalam diri sendiri. Upaya syaitan dalam menghalangi manusia dari jalan Allah sangat kuat. Demikian pula upaya mereka agar manusia tidak beriman. Sekalipun seseorang yang berusaha menjalankan sabilus-salaam mungkin tidak secara langsung terhalang oleh syaitan, akan tetapi akan timbul suatu beban berat dalam nafs hingga seseorang mungkin akan merasa kelelahan menanggung beban itu. Bahkan Rasulullah SAW termasuk orang yang kadang mengalami kelelahan dalam menanggung beban demikian.

Sikap kufur manusia akan menjadi beban berat bagi para nabi dan orang-orang mulia yang mengikuti. Kerusakan yang akan ditimbulkan oleh orang-orang yang bersikap mengingkari kebenaran dan mengikuti pendapat mereka sendiri seringkali sedemikian besar dan tidak disadari oleh orang-orang yang melakukannya, dan justru menjadi beban berat bagi orang-orang yang mulia sedangkan orang yang tidak beriman tidak mengetahui akibat dari perbuatan mereka karena kebodohannya.

Beban berat yang dirasakan oleh orang-orang mulia akibat kerusakan yang akan ditimbulkan orang-orang kafir itu kadangkala sedemikian berat hingga muncul suatu keinginan pada diri nabi dan orang-orang mulia untuk membinasakan diri karena kekufuran mereka.

﴾۳﴿لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman. (QS As-Syu’araa : 3)

Contoh perasaan ingin binasa pada nabi dapat dilihat pada nabi Musa a.s manakala bani Israel menyembah patung sapi emas yang dibuat oleh Samiri. Nabi Musa a.s menginginkan agar Allah membinasakan dirinya dengan gempa. Manakala malaikat Izrael diutus untuk menjemput, nabi Musa memukul malaikat tersebut hingga terlepas matanya karena beliau ingin mati dengan cara dibinasakan, bukan mati secara terpandang dijemput malaikat mulia. Tawaran tambahan umur untuk beramal shalih sebanyak bulu sapi yang dapat tertutupi oleh tangan beliau tidak menawarkan hati nabi Musa a.s yang ingin dibinasakan, sedangkan pada akhirnya beliau hanya akan dimatikan dengan cara biasa. Peristiwa demikian menjadi contoh perasaan ingin dibinasakan yang ada pada nabi karena perbuatan kaumnya.

Hal demikian pada dasarnya terjadi pula pada para nabi terhadap kekufuran pada umatnya. Sebagian orang yang dapat memahami perasaan para nabi mungkin bersikap pula demikian manakala menghadapi kekufuran dan kerusakan yang terjadi pada umatnya. Boleh jadi seorang mulia berharap datangnya gempa yang akan membinasakan dirinya bersama umat yang sesat karena kerusakan umatnya, akan tetapi Allah tidak mengijinkan kebinasaan itu baginya. Orang yang tidak memahami sikap demikian mungkin akan memandangnya aneh atau hanya mampu bertanya-tanya tentang yang diperbuat sang rasul atau orang mulia tersebut, sedangkan orang yang memahami akan turut bersedih bersama orang mulia. 

Kesedihan pada orang-orang yang mengikuti nabi semacam itu hendaknya dipahami oleh umatnya, bahwa kesedihan itu disebabkan karena adanya kerusakan pada diri mereka.  Ketidakbinasaan itu hanya karena Allah tidak mengijinkan, sedangkan para nabi dan yang mengikuti mereka benar-benar ingin dibinasakan. Kerusakan itu benar-benar terjadi dan harus diperbaiki walaupun tidak/belum mendatangkan adzab Allah, dan orang-orang yang bersedih itu tidak menjadi pihak yang salah hanya karena Allah tidak mengabulkan kebinasaannya. Ketidakbinasaan karena tidak diijinkan Allah itu hendaknya tidak digunakan sebagai bukti tentang kesalahan pendapat orang yang bersedih dan tidak sebaliknya sebagai bukti kebenaran pendapat mereka yang berbeda dengan rasul.

Manakala seorang rasul memililiki rasa ingin membinasakan diri, pada dasarnya kebinasaan itu sebenarnya akan menimpa umatnya. Kebinasaan yang sebenarnya justru terjadi pada umatnya bukan pada sang rasul. Masalah tidak adanya kesedihan pada umat dan adanya kesedihan pada rasul tidak menunjukkan bahwa jalan umat telah benar dan sang rasul salah, tetapi hanya karena umatnya tidak mengetahui dan sang rasul mengetahui. Hendaknya manusia mencari jalan keselamatan dengan berpegang pada kitabullah, dan di antara tanda jalan keselamatan itu adalah adanya orang yang memahami. Seringkali orang yang tidak memahami menyangka bahwa mereka telah menempuh jalan keselamatan, sedangkan mereka tidak memahami keadaan sang rasul. Petunjuk jalan keselamatan (Subulussalaam) akan diberikan kepada orang-orang yang mengikuti keridhaan Allah melalui kitabullah Alquran.

Di Antara Umat Rasulullah SAW

Pangkal dari kesedihan demikian adalah tidak berimannya manusia kepada Allah dan kekufuran mereka. Keimanan seseorang ditunjukkan dengan tumbuhnya kemampuan untuk memahami cahaya Allah yang diberikan kepadanya. Keimanan akan diberikan kepada seseorang setelah keislaman. Tidak semua orang islam merupakan orang beriman, sedangkan keislaman merupakan syarat dilimpahkannya keimanan. Tidak tumbuhnya seseorang menjadi orang yang beriman merupakan beban yang akan membuat Rasulullah SAW bersedih, dan dalam hal tertentu menginginkan kebinasaan.

Kekufuran tidak selalu berbentuk gerakan permusuhan terhadap nabi, sebagaimana bani Israel merupakan umat nabi Musa a.s. Sebagian bentuk pembangkangan dan penentangan merupakan bentuk kekufuran, secara khusus berupa kekufuran umat nabi dimana walaupun berstatus umat, mereka membangkang nabinya. Kekufuran yang demikian itu dapat terjadi pada setiap umat termasuk umat nabi Muhammad SAW, tidak terbatas pada bani Israel. Sebagian bentuk kekufuran pada umat memunculkan keinginan pada rasul terhadap kebinasaan dirinya. Kasus demikian tidak tercatat terjadi pada masa nabi Muhammad SAW hidup di dunia, akan tetapi umat nabi Muhammad SAW mencakup umat islam yang ada di seluruh dunia hingga hari kiamat kelak tiba, maka mungkin saja ada suatu kaum dalam umat islam pada suatu masa yang menjadikan Rasulullah SAW menginginkan kebinasaan.

Pembangkangan dan penentangan terhadap ayat kitabullah Alquran merupakan bentuk kekufuran yang mendatangkan kesedihan pada nabi Muhammad SAW. Orang yang membangkang atau menentang kitabullah adalah orang yang meyakini pendapat dan/atau perbuatan dirinya yang menentang atau menyimpang dari tuntunan kitabullah sebagai perbuatan yang benar atau lebih baik. Kadangkala seseorang menyangka bahwa ia berkedudukan khusus hingga suatu ayat kitabullah tertentu tidak berlaku bagi dirinya, maka ia juga termasuk orang yang membangkang. Orang yang berbuat tidak sesuai kitabullah tidak serta merta menjadikan ia orang yang membangkang atau menentang kitabullah, karena mungkin ia tidak menginginkan berbuat demikian, atau terpaksa berbuat demikian. Atau sekalipun ia senang berbuat demikian karena dorongan menyimpang sedangkan ia mengharap dapat mengikuti kitabullah, ia tidak tergolong sebagai orang yang membangkang.

Seorang yang membangkang kadangkala tidak menyadari perbuatannya karena syaitan menjadikannya memandang indah perbuatannya. Sekalipun terlihat baik, perbuatan menentang kitabullah tetaplah sebuah pembangkangan. Demikian pula perbuatan menentang perintah Rasulullah SAW sepenuhnya merupakan pembangkangan. Sekalipun misalnya seseorang mampu memperoleh pengetahuan seperti Azazel, firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW tetaplah lebih benar dari seluruh pengetahuan yang dikuasainya. Tidak ada manusia yang membangkang kepada Allah yang bisa mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang lebih atau sekadar setara dengan Iblis. Seringkali membangkang ulul amr merupakan pembangkangan, akan tetapi manakala seseorang melakukan sesuatu karena lebih memilih mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dengan menyelisihi ulul amr, ia tidak dapat dikatakan membangkang. Hal ini sangat jarang terjadi manakala berurusan dengan ulul amr yang benar, tetapi kemungkinan itu tetap ada. Bila sekadar menyelisihi ulul amr atau atasan tanpa alasan yang benar, maka ia seorang yang bodoh dan tercela.

Manakala seseorang membangkang perintah Allah, salah satu perintah Allah telah ditinggalkan dan umat sebenarnya hanya mengerjakan urusan mereka sendiri. Kadangkala manusia sepenuhnya mengerjakan urusan mereka sendiri, atau kadangkala mereka mengerjakan urusan yang diperintahkan Allah dengan cara yang menentang tuntunan Allah. Akibat dari kedua perbuatan tersebut sama, bahwa sebenarnya mereka mengikuti syaitan menimbulkan madlarat yang besar bagi umat manusia. Hal demikian bisa terjadi karena lemahnya manusia dalam menggunakan akal hanya mengikuti penglihatan atau pendengaran mereka. Jalan taubat dari penyimpangan demikian hanya dapat dilakukan dengan sepenuhnya kembali kepada perintah Allah. Pujaan dan pujian Iblis kepada Allah dengan segenap pengetahuannya tidak dapat mengembalikan pada kedudukan dirinya di sisi Allah selama ia tidak mau bersujud kepada Adam sebagaimana perintah-Nya dahulu ketika ia membangkang. Demikian pula manakala manusia membangkang kepada Allah, jalan taubatnya hanya kembali kepada perintah Allah sepenuhnya, dan segenap pujaan dan pujian lain tidak bermakna di hadapan Allah selama ia tidak kembali.

Mencari Jalan Keselamatan (SubulusSalaam)

Dalam kasus tertentu, pembangkangan seseorang tidak didzahirkan Allah sebagaimana dahulu didzahirkannya pembangkangan Iblis dengan menolak bersujud kepada Adam. Boleh jadi seseorang yang taat kepada Allah dan orang yang membangkang tampak tetap berjalan bersama sedangkan ada perselisihan di antara mereka. Perselisihan itu kadangkala ditampakkan seseorang secara tersandi tanpa memberikan penjelasan pokok perselisihan mereka, hanya sekadar menunjukkan bahwa dirinya berselisih dengan pihak yang lain tanpa menimbulkan kegaduhan kepada orang lain yang tidak memahami. Mereka hanya berharap akan ada orang yang memahami kemudian membela dan melanjutkan apa yang perlu diperjuangkan bagi umatnya.

Sekalipun misalnya tampak bersama dalam banyak urusan yang tidak diperselisihkan, kedua pihak tidak akan dapat menyatu pada urusan yang mereka perselisihkan. Pembicaraan seringkali tidak akan dapat dilakukan dengan baik karena bahkan firman Allah pun tidak berusaha dipahami oleh salah satu pihak di antara mereka, maka mustahil pembicaraan di antara manusia dapat membantu keduanya. Seseorang yang memahami hanya dapat menunggu proses perubahan menuju kesadaran untuk mentaati perintah Allah pada kedua pihak, tidak dapat memberikan masukan berdasarkan pembicaraan dan upaya-upaya yang lain dalam waktu singkat. Panduan mewujudkan kehendak Allah itu barangkali dapat dibangun, akan tetapi barangkali perlu waktu untuk dibicarakan kepada pihak yang lain.

Kadangkala ada orang-orang tertentu yang sebenarnya menjadi kunci penyatuan perkara perselisihan demikian sehingga ia harus berusaha untuk memahami masalahnya secara setimbang. Orang demikian berasal dari kalangan yang mempunyai urusan yang dekat pada salah satu atau kedua orang yang berselisih, dan manakala telah terlibat dalam perselisihan itu, ia harus memberikan penjelasan sikap kedua pihak. Tugas penyatuan itu akan lebih mudah bila ia sungguh-sungguh menggunakan akalnya untuk menempati kedudukannya. Bila orang-orang kunci tersebut ikut bertaklid meninggalkan upaya memahami kehendak Allah dengan sebaik-baiknya, maka penyatuan tersebut akan sulit terjadi. Keimanan diri setiap orang harus difungsikan secara optimal agar terlahir orang-orang yang dapat memahami kehendak Allah, tidak hanya menjadi kaum yang bertaklid.

Jalan keluar dari perselisihan untuk menuju ketaatan termasuk dalam petunjuk jalan keselamatan (Subulussalaam). Pada prinsipnya, subulussalaam diperoleh dengan mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan millah Ibrahim a.s membentuk bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah dengan basis mengenal nafs wahidah. Pengenalan nafs wahidah merupakan pokok bagi seseorang untuk berjamaah. Pokok itu mempunyai cabang-cabang yang tumbuh mengakar dari pokoknya, secara vertikal berupa pengenalan kedudukan diri dalam amr Rasulullah SAW melalui para wasilahnya, secara intrinsik berupa terkumpulnya hal-hal yang terserak dari dirinya baik berupa jodoh ataupun rezeki-rezeki baik duniawi ataupun bathiniah, dan secara horizontal berupa pengetahuan berjamaah dengan sahabat-sahabatnya.

Hendaknya manusia mengusahakan cabang-cabang itu agar memperoleh jalan keselamatan (subulassalaam). Bila seseorang merusak cabang-cabang itu, atau mengikuti langkah orang yang merusak, maka ia akan mendatangkan kecelakaan bagi umat manusia. Pada umumnya, manusia digoda dengan keinginan terhadap sesuatu secara bathil sehingga mendzalimi orang lain atau bughat, hingga puncaknya kadang seseorang dibujuk syaitan dengan keinginan terhadap isteri orang lain untuk menimbulkan madlarat yang sangat besar bagi umat manusia. Pada puncaknya, syaitan berusaha merusak dengan memisahkan seseorang dengan isterinya. Dengan keadaan itu, tanda-tanda cabang intrinsik dan cabang horizontal tidak bersifat mutlak. Suatu keberjamaahan boleh jadi hanya dapat dibangun setelah perselisihan diselesaikan karena masalah prinsip yang harus benar terlebih dahulu. Atau boleh jadi seseorang yang berhasil menemukan sabilassalaam dipisahkan secara bathin dengan isterinya hingga tidak mampu mengumpulkan apa-apa yang terserak bagi dirinya. Di lain sisi, boleh jadi seseorang mengumpulkan rezeki-rezeki hanya karena kecintaan terhadap duniawi tidak untuk meninggikan asma Allah. Tanda-tanda itu tidak bersifat mutlak, tetapi hendaknya dijadikan arah untuk menemukan sabilussalaam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar