Pencarian

Minggu, 17 Maret 2024

Memurnikan Iman dari Kedzaliman

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Mengikuti langkah Rasulullah SAW merupakan perjalanan yang sangat panjang, dan tidak akan dapat dilakukan tanpa langkah-langkah yang lebih terperinci. Sangat banyak nabi dan rasul diutus bagi umat manusia yang berfungsi memberikan perincian langkah-langkah mengikuti langkah Rasulullah SAW. Millah nabi Ibrahim a.s merupakan perincian utama bagi sunnah Rasulullah SAW dalam derajat uswatun hasanah bagi umat manusia. Millah tersebut merupakan tahapan yang lebih terlihat jelas oleh kebanyakan umat manusia, bilamana diikuti maka akan mengantarkan mereka untuk lebih memahami sunnah Rasulullah SAW.

Di antara tahapan mengikuti millah Ibrahim a.s adalah pencapaian keimanan tanpa tercampur dengan suatu kedzaliman. Keadaan itu merupakan keadaan yang harus dicapai berdasarkan suatu sikap hanif dalam mengikuti kebenaran. Manakala seseorang bersikap hanif dalam kehidupannya, maka ia akan mencapai keadaan beriman dan tidak mencampurkan keimanan tersebut dengan suatu kedzaliman sedikitpun.

﴾۲۸﴿الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedzaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS Al-An’aam : 82)

Kedzaliman menunjukkan suatu keadaan di mana seseorang menempatkan sesuatu tidak sesuai tempatnya. Hal itu berlaku pula terhadap turunan dari keadaan itu. Melakukan pekerjaan dengan cara yang menjadikan pekerjaan itu tidak bisa mencapai sasarannya merupakan kedzaliman. Menempuh perjalanan secara menyimpang hingga tidak mencapai tempat tujuan juga termasuk kedzaliman. Demikian pula perbuatan yang dilakukan terhadap sesuatu atau orang lain dengan cara tidak sebagaimana seharusnya merupakan kedzaliman. Banyak contoh-contoh terkait dengan kedzaliman yang berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Objek utama suatu kedzaliman adalah terhadap manusia termasuk diri sendiri, tetapi tidak terbatas pada manusia. Seseorang bisa melakukan suatu kedzaliman baik terhadap orang lain maupun diri sendiri. Hal ini terkait dengan hakikat penciptaan manusia, di mana setiap manusia pada dasarnya diciptakan untuk suatu kedudukan tertentu yang harus ditempati. Sebagian manusia melakukan kedzaliman karena kejahatan hawa nafsu dan sebagian melakukannya karena kebodohan. Memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu yang menyalahi ketentuan Allah untuk mencapai keinginan sendiri merupakan contoh kedzaliman karena kejahatan. Manakala seseorang tidak memahami langkah yang perlu dilakukan dalam kehidupan dirinya, itu merupakan contoh kedzaliman karena kebodohan.

Banyak tingkatan kedzaliman yang biasa dilakukan oleh manusia pada setiap tahap langkahnya. Ada orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan sama sekali bahwa dirinya diciptakan Allah untuk kedudukan tertentu karena tidak mencari ilmu, maka ia telah dzalim terhadap diri sendiri. Kadangkala seseorang mengetahui berita tentang jalan taubat, tetapi ia tidak menempuh perjalanan taubat kembali kepada Allah maka ia telah berbuat dzalim. Kadangkala seseorang menyeret orang-orang lain secara paksa untuk suatu pemenuhan keinginan diri mereka sendiri, maka ia telah berbuat dzalim kepada orang lain. Kadangkala seseorang telah mengetahui takdir penciptaan dirinya tetapi kedudukan itu tidak dipenuhi karena memilih bentuk kehidupan yang lain maka ia telah berbuat dzalim. Dalam setiap perjalanan taubat terdapat bentuk kedzaliman masing-masing, termasuk hingga orang-orang terpilih yang tidak berpegang pada kitabullah dalam amalnya maka ia termasuk dalam golongan orang-orang yang dzalim.

Mengenal Kasus Kedzaliman

Gambaran paling nyata bentuk kedzaliman dapat dilihat pada ikatan pernikahan. Suatu pernikahan merupakan gambaran paling nyata bentuk hubungan manusia dalam kedudukan yang ditentukan bagi masing-masing, dan pernikahan merupakan sarana paling utama yang disediakan Allah untuk mengenal nafs wahidah. Seorang isteri mempunyai kedudukan khusus di sisi suaminya yang diikat dalam suatu perjanjian yang sangat kuat di hadapan Allah berupa mitsaqan ghalidza. Kedudukan itu merupakan gambaran turunan dari adanya suatu kedudukan khusus setiap laki-laki dalam amr jami’ Rasulullah SAW di alam yang lebih tinggi. Gambaran turunan itu ditampakkan di alam dzahir untuk memudahkan manusia memahami urusan kedudukan mereka di alam yang lebih tinggi. Suatu perbuatan yang keliru menyalahi tuntunan Allah yang dilakukan di dalam atau terhadap suatu pernikahan bisa menjadi kedzaliman yang sangat tinggi karena kedzaliman tersebut terkait mitsaqan ghalidza.

Perjodohan menjadi suatu masalah turunan dari pernikahan yang harus diperhatikan agar manusia bisa mencapai kedudukan dirinya, dan tidak terjebak pada kedzaliman. Pada prinsipnya, landasan utama perjodohan adalah menemukan jati penciptaan diri berupa nafs wahidah. Pasangan manusia pada dasarnya diciptakan dari satu nafs wahidah yang dibagi menjadi seorang laki-laki dengan pasangannya. Ada banyak jalan untuk memperoleh jodoh dengan berbagai derajat keutamaannya, Sekalipun tujuan prinsipnya satu yaitu untuk mengenali nafs wahidah, berbagai jalan itu diperbolehkan bagi manusia di dunia ini. Jalan yang berderajat paling dekat dengan tujuan itu adalah petunjuk jodoh. Banyak jalan lain dalam derajat yang lebih rendah yang diperbolehkan, maka hendaknya umat mengenali jalan-jalan itu agar tidak berbuat dzalim baik terhadap diri sendiri ataupun terhadap umat manusia. Satu keputusan seseorang tentang jodoh akan menentukan jalan kehidupan dirinya dan umat manusia, baik keputusan yang tepat ataupun keputusan yang keliru. Manakala seseorang memutuskan dengan keliru, ia telah berbuat dzalim.

Petunjuk merupakan jalan menemukan jodoh dalam derajat paling baik. Mengingkari petunjuk kadangkala merupakan sikap kufur dan dzalim. Di sisi lain tidak jarang petunjuk jodoh pada seseorang atau bahkan sepasang manusia merupakan hamburan keinginan syahwat dan hawa nafsu, hingga bahkan mungkin saja seorang isteri memperoleh petunjuk jodoh laki-laki lain atau sebaliknya. Petunjuk diharamkan demikian melibatkan syaitan. Kebenaran dari petunjuk jodoh harus diperiksa dengan sebaik-baiknya, tidak hanya diukur berdasarkan rasa suka atau tidak. Justru rasa suka atau tidak merupakan jebakan petunjuk yang paling sulit dikenali. Kemudian dua pihak hendaknya membuka hubungan untuk saling mengenali satu dengan yang lain. Medan pengenalan yang dibangun itu berkisar pada hal-hal yang mengarah pada pengenalan nafs wahidah. Sekiranya telah dapat mengukur tingkat kebenaran petunjuk, hendaknya mereka segera mengarah pada pernikahan.

Memutus proses perkenalan demikian termasuk kedzaliman yang besar. Perkenalan (ta’aruf) untuk memperoleh pengetahuan nafs wahidah termasuk langkah besar seseorang untuk memperoleh shirat al-mustaqim. Syaitan sangat mengawasi langkah orang-orang yang melangkah menuju kedudukan dirinya dengan benar, dan akan membuat mereka terputus dengan sekuat tenaga. Seseorang yang memutus usahanya sendiri untuk memperoleh kedudukan yang tepat tanpa alasan yang benar termasuk orang yang dzalim. Demikian pula orang-orang yang memotong kesempatan orang lain untuk berusaha demikian termasuk orang-orang yang dzalim. Kadangkala seseorang memutuskan sesuatu berdasar keinginan salah, maka hal demikian tidak menunjukkan alasan yang benar. Ada orang yang memutuskan secara salah karena informasi yang salah, tetapi dilakukan dengan nalar yang benar. Kadangkala kesalahan seseorang dalam memutuskan dipengaruhi adanya konsekuensi buruk yang mengancam dirinya bila mengambil keputusan yang lain. Dalam kesalahan demikian maka seseorang tidak sepenuhnya dzalim selama tidak sekadar mengikuti keinginan yang salah. Ada orang-orang yang tidak mau mengetahui sedikitpun dengan benar duduk masalahnya dan merasa berkuasa memutuskan hukumnya berdasarkan pendapatnya sendiri, baik untuk diri sendiri maupun orang lain, maka hal demikian termasuk kedzaliman.

Kadangkala seseorang berjalan dalam remang-remang dalam urusan menemukan jodoh. Hal demikian merupakan hal yang wajar dalam kehidupan dunia. Sekalipun seseorang kemudian menikah dengan orang lain yang tidak diciptakan dari nafs wahidah yang sama, ia tidak menjadi orang yang celaka atau dzalim karena pernikahan itu, selama pernikahannya diusahakan dengan cara tidak melanggar syariat dan tidak bersikap munafik mengabaikan jodoh yang lebih tepat. Setiap upaya yang dilakukan dengan benar untuk memperoleh kedudukan yang tepat harus dihormati dengan baik, dan seharusnya dibantu tidak boleh diganggu. Bila usahanya salah hendaknya masyarakat tidak menghukumnya melebihi kesalahannya. Misalnya manakala seseorang baru berusaha menjajagi kebenaran petunjuk jodohnya, bila ternyata ia salah hendaknya tidak dihukum layaknya penjahat buronan. Cara memberi hukuman pun dapat menimbulkan kedzaliman. Misalnya bila seseorang dihukum suatu hukuman yang harus dilaksanakan terhadapnya oleh isterinya atau keluarganya yang lain sedangkan ia telah mempunyai akal, maka ia akan kehilangan seluruh kedudukan sosial dirinya. Hilangnya kedudukan sosial itu mungkin lebih kejam dari hukumannya sendiri, tetapi kejamnya hukum demikian itu tidak mendatangkan kebaikan bagi pihak manapun. Seorang laki-laki akan kehilangan kedudukan sosial dirinya bahkan di keluarganya, isteri akan kehilangan rasa bersyukur dan penghormatan terhadap suaminya, dan masyarakat tidak menerima keutamaan dari keluarga yang terhukum itu. Hukuman demikian termasuk kedzaliman, dan mencerminkan adanya suatu masalah berupa kebodohan sosial yang besar.

Sangat banyak jenis kedzaliman dapat terjadi pada diri seseorang tidak terbatas pada masalah pernikahan. Pada dasarnya semua bentuk kedzaliman yang lain dapat dipahami serupa dengan gambaran kedzaliman terhadap pernikahan, yaitu perbuatan yang akan merusak manusia dari kedudukan yang seharusnya hingga manusia tersingkirkan dari jalan Allah. Semua masalah kedzaliman pada dasarnya akan mendatangkan masalah yang sama yaitu tersingkirnya manusia dari jalan Allah. Kadangkala suatu kedzaliman tidak hanya menjauhkan seseorang dari jalan Allah, tetapi menjauhkan umat manusia seluruhnya dari jalan Allah, yaitu bila terjadi kedzaliman pada tingkat yang tinggi. Merusak pernikahan merupakan contoh kedzaliman paling tinggi karena terkait dengan mitsaqan ghalidza di sisi Allah. Demikian pula masalah merusak perjodohan yang tepat merupakan kedzaliman yang tinggi. Syaitan mendatangkan kerusakan paling besar kepada umat manusia dengan cara yang tinggi demikian.

Tauhid Dengan Amr Rasulullah SAW

Banyak tingkatan kedzaliman yang biasa dilakukan oleh manusia pada setiap tahap langkahnya. Ada orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan sama sekali bahwa dirinya diciptakan Allah untuk kedudukan tertentu karena tidak mencari ilmu, maka ia telah dzalim terhadap diri sendiri. Kadangkala seseorang mengetahui berita tentang jalan taubat, tetapi ia tidak menempuh perjalanan taubat kembali kepada Allah maka ia berbuat dzalim. Kadangkala seseorang menyeret orang-orang lain secara paksa untuk suatu pemenuhan keinginan diri mereka sendiri, maka ia telah berbuat dzalim kepada orang lain. Kadangkala seseorang telah mengetahui takdir penciptaan dirinya tetapi kedudukan itu tidak dipenuhi karena memilih bentuk kehidupan lain yang disukainya maka ia berbuat dzalim.

Dalam setiap perjalanan taubat terdapat bentuk kedzaliman masing-masing, termasuk hingga kalangan orang-orang terpilih yang tidak berpegang pada kitabullah dalam amalnya maka ia termasuk dalam golongan orang-orang yang dzalim. Orang-orang yang telah bersih hatinya dapat terhenti atau tersesat mengikuti ajaran yang tidak mengarah kembali kepada Allah. Bahkan orang-orang yang telah menjadi hamba Allah yang terpilih dapat berbalik menempuh kembali jalan kedzaliman.

﴾۲۳﴿ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang mendzalimi diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang bersegera berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (QS Faathir : 32)

Orang-orang yang terpilih Allah untuk menerima pewarisan kitabullah dapat terjatuh berbuat dzalim kepada diri sendiri. Manakala seseorang yang terpilih tidak berusaha mengenali kedudukan dirinya dalam amr jami’ Rasulullah SAW secara tepat, ia dapat melampaui batas-batas dirinya atau bahkan menyimpang hingga keluar dari al-jamaah tidak berada pada amr jami’ Rasulullah SAW. Batas-batas diri bagi mereka terdapat dalam kitabullah yang diwariskan kepada dirinya, tetapi mereka tidak memperhatikan dengan baik urusannya. Perbuatan melampaui batas dan perbuatan yang lebih dari itu merupakan bentuk kedzaliman yang mungkin dilakukan oleh seorang yang terpilih Allah.

Manakala seseorang yang terpilih melakukan sesuatu pergerakan di luar amr Rasulullah SAW, mereka akan terjebak pada suatu bid’ah yang merusak. Amal mereka akan tertolak dari sisi Allah sekalipun tampak berbuat banyak kebaikan dalam pergerakannya. Amal mereka tertolak kecuali mereka benar-benar kembali kepada amr Rasulullah SAW dalam al-jama’ah. Adapun kebaikan yang diperoleh tidak akan menutup kerusakan yang ditimbulkan. Dalam prakteknya, hal demikian sangat menguras kekuatan umat untuk mengikuti perintah Rasulullah SAW dengan benar karena menjalankan suatu amr semu. Landasan pergerakan dan operasional praktisnya harus dikembalikan hingga sesuai dengan urusan Rasulullah SAW untuk ruang dan jaman mereka sesuai dengan kitabullah bersama al-jamaah yang lain, dimulai dengan memahami secara tepat kitab yang diwariskan kepadanya berdasarkan kitabullah Alquran sebagai kitab Rasulullah SAW. Dengan demikian ia akan mengenali dengan lebih tepat urusan dirinya sebagai bagian dari amr Rasulullah SAW. Hendaknya seruan atau peringatan dari sahabat al-jamaah tidak diabaikan, tidak terjebak pada kebenaran semu diri sendiri. Kadangkala ahli bid’ah merasa bahwa ia termasuk al-jamaah, sedangkan sahabatnya atau wasilahnya telah melihat dan memperingatkan bahwa ia telah sendirian menyimpang dari al-jamaah.

Kedzaliman orang-orang yang terpilih seringkali tidak dapat dilihat oleh orang-orang umum. Bukan tanggung jawab semua orang untuk meluruskan kedzaliman demikian, tetapi setiap orang harus bertanggungjawab atas lurusnya langkah diri sendiri. Hendaknya setiap orang berusaha untuk kembali melangkah di jalan taubat dengan mengikuti kitabullah Alquran tanpa penyimpangan, karena setiap satu celah penyimpangan akan menjadi jalan masuk syubhat. Para pencari kebenaran harus waspada terhadap kemungkinan kesesatan yang bisa menimpa dirinya, waspada hingga dalam bentuk bersikap bahkan penyimpangan itu mungkin pula menimpa orang terpilih yang diikutinya, secara khusus manakala berselisih atau bertentangan dengan kitabullah.

Mengikuti nabi Ibrahim a.s harus dilakukan hingga mencapai keimanan yang bersih tanpa bercampur dengan kedzaliman. Dalam keadaan tertentu, seorang hamba Allah harus dapat bersikap tanpa toleransi memberikan pilihan kepada orang lain secara diskrit antara mengikuti petunjuk atau mencampurnya dengan kedzaliman. Di antara bersihnya keimanan adalah tidak mempertentangkan firman Allah dengan perkataan manusia yang berselisih atau bertentangan dengannya. Manakala seseorang menentang firman Allah karena mengikuti perkataan manusia, ia telah berakhlak buruk terhadap Allah hingga menutupi jalan menjadi makhluk mulia yang layak didekatkan kepada Allah. Suatu bid’ah akan menjadikan manusia mencampurkan keimanan dengan dengan kedzaliman hingga manusia menjadi tersesat, dan setiap kesesatan akan bertempat di neraka. Sekalipun orang yang mengikuti bid’ah dapat mencapai telaga al-kautsar dengan kebenaran mereka, mereka akan ditangkap para malaikat di sana dan digiring menuju neraka, dan Rasulullah SAW akan menjadi ridla atas penangkapan dan penggiringan itu setelah sebelumnya menyangka mereka umat beliau SAW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar