Pencarian

Senin, 11 Maret 2024

Mewujudkan Kebaikan dengan Ijin Allah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Di antara tanda bahwa seseorang benar-benar mengikuti langkah Rasulullah SAW kembali kepada Allah adalah terwariskannya kitabullah kepada dirinya. Allah mewariskan kitabullah kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih untuk menerima, maka para hamba Allah yang terpilih itu kemudian mempunyai bagian dari kitabullah untuk dijadikan sebagai landasan bagi amal-amal yang harus mereka lakukan.

﴾۲۳﴿ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang mendzalimi diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang bersegera berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (QS Faathir : 32)

Sebagian dari hamba terpilih penerima waris kitabullah diijinkan Allah untuk bersegera berbuat kebaikan dengan kitabullah yang menjadi bagian mereka. Mereka dapat bersegera berbuat kebaikan demikian karena ijin Allah. Sebagian penerima waris tidak memperoleh ijin Allah sekalipun sangat ingin melakukan kebaikan, maka mereka menjadi suatu kaum yang berupaya keras untuk melangkah selaras dengan kitabullah bagi diri mereka. Mereka barangkali selalu berusaha berbuat untuk kebaikan, akan tetapi mungkin mereka tidak berhasil melakukan dan usaha mereka tidak mendatangkan hasil yang memadai. Hal demikian akan mewarnai para pewaris kitabullah yang tidak mendapatkan ijin Allah untuk bersegera melakukan kebaikan berdasarkan warisan yang telah mereka terima. Sebagian pewaris tersebut ada yang berbuat dzalim. Barangkali mereka juga memandang bahwa diri mereka adalah orang yang berbuat kebaikan bagi sesama, akan tetapi mereka tidak memperhatikan kitabullah maka mereka berbuat dzalim. Manakala mereka bertentangan dengan kitabullah, mereka tidak mengetahuinya atau merasa bahwa hal demikian tidak mungkin terjadi.

Pembinaan Insan Sempurna

Pewarisan kitabullah tersebut terjadi melalui mekanisme yang ditentukan Alquran berupa pembinaan misykat cahaya pada diri seorang hamba. Setiap hamba Allah hendaknya berusaha membentuk diri mereka sebagai misykat cahaya (layaknya kamera) yang membentuk bayangan cahaya Allah. Cahaya Allah itu berupa ayat-ayat kitabullah dan ayat-ayat kauniyah yang terjadi pada semesta. Manakala misykat cahaya seseorang terbentuk dengan baik, bayangan cahaya Allah itu akan menjadi ayat-ayat Allah yang jelas di dalam dada mereka, dan kumpulan ayat-ayat itu akan membentuk kitabullah manakala Allah berkehendak mewariskannya.

﴾۵۳﴿ اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah (adalah) cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah seperti sebuah benda berlubang yang tak tembus (misykat), yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu di dalam bola kaca (dan) bola kaca itu seakan-akan bintang (yang berkilau) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan pohon yang penuh berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS An-Nuur : 35)

Misykat (benda berlubang) dan zujaajah (bola kaca) itu dapat digambarkan layaknya badan kamera dan lensanya. Cahaya Allah dapat dimisalkan dengan benar oleh orang-orang yang membina misykat dirinya layaknya kamera dalam susunan yang dapat membentuk bayangan cahaya Allah. Bayangan cahaya Allah yang terbentuk pada diri seseorang sebagai misal bernilai itu benar walaupun bersifat parsial tidak menceritakan seluruh cahaya Allah. Ibaratnya, gambar foto dari suatu kamera dapat menceritakan dengan benar suatu objek yang dipotretnya, walaupun tidak seluruh aspek objek tergambarkan pada gambar foto tersebut. Demikian suatu misal cahaya Allah dapat diceritakan secara benar tetapi terbatas oleh orang-orang yang membina diri sebagai misykat cahaya.

Allah mewariskan kitabullah kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih untuk mewarisinya. Hamba-hamba yang terpilih itu berasal dari kalangan orang-orang yang membentuk diri mereka sebagai misykat cahaya Allah. Hal demikian merupakan prasyarat utama, karena kitabullah akan mempunyai tempat dan kedudukan dalam dada orang-orang yang demikian. Bila tidak membentuk diri sebagai misykat cahaya, kitabullah tidak akan mempunyai kedudukan yang layak dalam diri manusia. Adanya kecintaan dalam hati seseorang terhadap kebenaran akan menjadikan kitabullah mempunyai nilai yang tinggi manakala diwariskan kepada mereka. Bila tidak mempunyai kecintaan terhadap kebenaran, kitabullah tidak layak diwariskan kepada mereka.

Hal-hal demikian merupakan syarat pewarisan kitabullah, dan tidak semua orang demikian memperoleh pewarisan. Kebanyakan manusia tidak memenuhi syarat demikian. Kecintaan manusia terhadap kebenaran tidak jarang hanya merupakan ilusi yang menutupi fanatisme terhadap ajaran yang mereka ikuti, bukan benar-benar bentuk kecintaan terhadap kebenaran. Manakala suatu ayat kitabullah dihadapkan dengan pengajaran yang mereka terima, hanya sedikit manusia yang benar-benar akan memikirkan kebenaran kitabullah. Kebanyakan manusia hanya mengikuti pengajaran yang mereka terima, kadang disertai dengan alasan kosong mempertahankan keimanan terhadap pengajarannya, tidak berusaha memikirkan dan kemudian mengikuti kitabullah. Hal demikian menunjukkan bahwa kitabullah tidak mempunyai kedudukan di dalam dada mereka, dan belum tumbuh kecintaan terhadap kebenaran dalam hati mereka.

Bila mereka dari kalangan orang yang berusaha membentuk misykat, pembinaan mereka belum menyentuh dasar dari pembinaan. Kecintaan terhadap kitabullah tidak akan dapat ditumbuhkan kecuali di atas kecintaan terhadap kebenaran. Misykat merupakan sarana utama bagi seseorang untuk memahami ayat-ayat Allah yang terbentuk dari akhlak mulia. Akhlak mulia terbentuk di atas pondasai kecintaan terhadap kebenaran, yaitu kebenaran dari sisi Allah. Sebagian orang memandang kebenaran adalah ajaran yang mereka ikuti, maka itu tidak selalu termasuk dalam kebenaran. Sebagian manusia menumbuhkan kecintaan terhadap kitabullah dengan suatu narasi kecintaan, maka narasi itu tidak akan benar-benar menumbuhkan kecintaan terhadap kitabullah dan tidak jarang hanya menjadi waham puja-puji yang kurang tepat. Kecintaan terhadap kitabullah harus dibangun di atas pondasi mencintai kebenaran dari sisi Allah.

Membina Bayt

Pembinaan misykat cahaya harus dilakukan dari pondasi hingga menyentuh kauniyah, sehingga seseorang dapat menghubungkan ayat kitabullah dengan ayat kauniyah yang terjadi pada semesta dirinya. Dimulai dengan pengenalan dasar-dasar dalam menempuh taubat, setiap orang harus dibina hingga menemukan jalan kehidupan yang ditentukan bagi dirinya dalam kehidupan di dunia, dan melihat ayat-ayat Allah di alam kauniyah ketika melaksanakan ketetapan itu.

Di antara cara pembinaan untuk mencapai tujuan itu adalah pernikahan. Pernikahan merupakan sunnah Rasulullah SAW yang berfungsi untuk dapat mencapai sasaran akhir millah nabi Ibrahim a.s yaitu membina bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah.

﴾۶۳﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
di dalam bayt-bayt yang telah diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang (QS An-Nuur : 36)

Bila suatu pernikahan dapat dibina hingga terbentuk bayt yang diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah, maka sasaran akhir kehidupan manusia di dunia telah tercapai. Ia hanya perlu meninggikan dan mendzikirkan asma Allah melalui bayt tersebut. Adapun perjalanan taubat selanjutnya berupa mi’raj ke hadirat Allah merupakan karunia yang tidak dapat diusahakan seorang hamba. Allah yang menentukan apakah seorang hamba hendak diperjalankan ke hadirat-Nya atau tidak.

Bayt yang diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah sangat terkait dengan pewarisan kitabullah kepada hamba-hamba Allah yang terpilih. Seorang hamba yang menerima warisan kitabullah akan menjadi orang yang bersegera berbuat kebaikan dengan ijin Allah bila ia berhasil membentuk bayt yang diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Sebaliknya, seseorang dapat membentuk bayt yang diijinkan untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah bila ia menjadi hamba yang terpilih untuk menerima warisan kitabullah. Pewarisan kitabullah menjadi prasyarat terbentuknya bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah, dan pembinaan diri sebagai misykat cahaya menjadi prasyarat pewarisan kitabullah terhadap seseorang.

Pewarisan kitabullah merupakan fungsi personal seorang hamba, sedangkan pembentukan bayt merupakan fungsi sosialnya. Dalam prosesnya, pencapaian pewarisan kitabullah itu akan sangat terbantu dengan pernikahan, baik disertai keberhasilan membentuk bayt ataupun tidak. Pernikahan akan sangat berperan dalam membentuk misykat diri seorang hamba, sekalipun misalnya pernikahan itu kemudian porak poranda. Seorang hamba mungkin saja dapat mencapai fungsi personalnya memperoleh pewarisan kitabullah tetapi tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya bagi masyarakat karena tidak berhasil membentuk bayt yang diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Keadaan itu akan menjadikan orang-orang demikian sebagai orang-orang pertengahan (مُّقْتَصِدٌ), orang yang tidak dapat berbuat kebaikan setelah menerima pewarisan kitabullah, sekalipun tidak terjatuh sebagai orang yang dzalim.

Bayt merupakan fungsi sosial, dan sangat dipengaruhi keadaan sosial. Perempuan sebagai penghubung seorang laki-laki ke alam duniawi mereka sebenarnya akan sangat terwarnai dengan keadaan sosial di masyarakat. Seorang isteri seringkali mewakili karakter duniawi, mencerminkan permasalahan di masyarakat yang harus ditangani. Sekalipun seorang isteri adalah perempuan shalihah, ia mungkin akan terlihat bengkok di mata suaminya, sedangkan kebengkokan itu sebenarnya merupakan kebengkokan masyarakatnya. Kebengkokan yang terlihat itu tidak dapat diluruskan karena akan menjadikannya patah. Kebengkokan itu dapat diluruskan melalui kebengkokan serupa yang ada di masyarakat maka isteri tersebut akan lurus. Dalam kasus tertentu, pengaruh terhadap kaum perempuan demikian akan menjadikan sebagian orang menjadi orang-orang pertengahan (مُّقْتَصِدٌ) yang tidak diijinkan untuk bersegera berbuat kebaikan.

Pembinaan yang benar terhadap kaum perempuan akan menentukan keberhasilan para laki-laki melakukan pengaliran khazanah dari sisi Allah ke alam duniawi. Bila pembinaan perempuan dirusak, akan terjadi kerusakan yang sangat besar di alam duniawi sekalipun banyak laki-laki shalih di antara mereka. Laki-laki shalih akan tampak tidak berguna bila para perempuan rusak. Pembinaan kaum perempuan yang benar itu berwujud pembinaan untuk membina bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Pembinaan ini tidak ditujukan khusus untuk perempuan, tetapi ada perbedaan penekanan bentuk dengan laki-laki. pembinaan perempuan harus ditujukan hingga sasaran demikian, tidak berhenti pada sasaran lain. Banyak hal yang harus diperhatikan dalam pembinaan ini, baik ketika menikah ataupun sebelumnya.

Pembinaan bayt merupakan dasar-dasar pembinaan al-jamaah berdasarkan nafs wahidah. Allah memperkenalkan seluruh urusan penciptaan kepada Rasulullah SAW, dan setiap orang akan mengenal urusan itu melalui nafs wahidah mereka. Kaum laki-laki akan mengenal kedudukan diri masing-masing dalam urusan Rasulullah SAW melalui nafs wahidah mereka, mengenalnya dalam hubungan yang berjalin bersama-sama dengan para sahabatnya, baik dalam hubungan vertikal sebagai wasilah dan umat, ataupun hubungan horisontal persahabatan. Manakala seseorang mengenal dirinya tanpa mengenal kesatuan nafs wahidah, ia belum benar-benar mengenal diri. Kaum perempuan akan mengenali urusan itu melalui nafs wahidah suaminya sebagai penghubung terhadap urusan Rasulullah SAW, dan kadangkala disertai mengenal hubungannya dengan madunya. Hubungan-hubungan dalam agama demikian terbentuk sebagai suatu hubungan fraktal. Fraktal paling mewakili dan melekat pada seseorang dalam pembinaan al-jamaah berdasar nafs wahidah akan ditemukan dalam pernikahan dirinya.

Pembinaan akhlak mulia pada manusia hendaknya dilakukan dengan menapaki langkah membina bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Ada hal-hal buruk yang harus ditutup dan ada sifat-sifat baik yang harus ditumbuhkan dalam diri manusia dengan mengikuti tahap-tahap dalam millah nabi Ibrahim a.s. agar terbentuk akhlak mulia. Ada sifat buruk yang mutlak harus musnah dari diri manusia agar sifat baik dapat tumbuh dengan baik. Misalnya setiap orang harus menghindarkan sifat takabbur dari dirinya. Setiap orang harus mempunyai kemampuan mengenali kebenaran yang sampai kepada dirinya dan tidak merendahkan orang lain, karena itu menjadi syarat dasar membina akhlak mulia. Iblis terusir dari kedudukannya karena takabbur terhadap manusia. Setiap isteri tidak akan memahami kebenaran bila ia bersikap merendahkan suaminya. Demikian pula para laki-laki tidak akan mengenali kedudukan dirinya bila ia tidak mengenali kebenaran yang sampai kepada dirinya atau merendahkan orang lain. Kedudukan diri dalam al-jamaah hanya akan dikenali oleh orang yang tidak mempunyai sifat kesombongan dalam dirinya.

Pembinaan bayt harus dilakukan terhadap setiap orang, baik menikah ataupun tidak menikah. Ada beberapa prinsip dalam pernikahan harus dikenal oleh setiap orang. Misalnya setiap orang harus menghindari jalan yang keji, tidak terbatas hanya orang yang menikah. Jalan yang keji akan menjadikan seseorang berakhlak salah dan menentang kebenaran. Pada dasarnya Rasulullah SAW melarang keras umat islam untuk hidup tanpa menikah, akan tetapi dalam kehidupan nyata kadangkala seseorang kesulitan untuk memperoleh jodohnya baik karena harapan dalam diri salah maupun budaya masyarakat yang salah dan lain-lain. Bila seseorang tidak dapat membentuk bayt, ia harus dibina untuk dapat menyesuaikan diri di antara al-jamaah dengan sebaik-baiknya, membina suatu pribadi yang selaras dengan orang-orang yang meninggikan dan mendzikirkan asma Allah tidak menjadi penentang atau penghalang bagi mereka. Penentangan terhadap orang-orang yang berusaha untuk meninggikan asma Allah dan mendzikirkan-Nya akan mendatangkan kerusakan yang sangat besar terhadap umat manusia. Manakala seseorang memperoleh jalan dalam membina bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah, ia harus mensyukuri dengan sebaik-baiknya hingga terbentuknya bayt yang diijinkan Allah untuk itu.

Pembinaan bayt menjadi kunci pemakmuran bumi sesuai dengan kehendak Allah. Kaum laki-laki hendaknya membentuk diri sebagai misykat cahaya yang membentuk bayangan cahaya Allah, dan kaum perempuan berperan melahirkan ke alam dunia bayangan cahaya Allah yang terbentuk pada diri suaminya. Dengan jalan demikian, pemakmuran bumi mengikuti kehendak Allah akan terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar