Pencarian

Senin, 04 Maret 2024

Membina Istiqamah dalam Agama

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan. Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah.

Allah telah menggariskan jalan-jalan kehidupan bagi setiap manusia, baik jalan ketakwaannya ataupun jalan yang penuh dosa. Setiap orang dapat memilih garis kehidupan yang telah ditentukan tersebut. Bila bertakwa, seseorang akan menemukan di jalan kehidupan yang dikehendaki Allah pengetahuan yang banyak tentang Allah. Pengetahuan itu merupakan sumber keihsanan bagi setiap hamba. Agama yang paling ihsan dapat diperoleh seseorang dengan jalan menempuh kehidupan berserah diri, berbuat dengan penuh keihsanan dan mengikuti millah nabi Ibrahim a.s secara hanif.

Jalan yang dikehendaki Allah bagi setiap hamba-Nya sebagai jalan ketakwaannya disebut shirat al-mustaqim. Orang yang berusaha untuk melaksanakan jalan ketakwaannya disebut sebagai orang-orang yang melakukan istiqamah. Istiqamah secara bahasa berarti menegakkan diri, yaitu menegakkan diri untuk melaksanakan jalan kehidupan yang dikehendaki Allah sebagai jalan ketakwaan dirinya berupa shirat al-mustaqim.

﴾۰۳﴿إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka mereka beristiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka agar (mengatakan) : "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS Fusshilat : 30)

Orang-orang yang mampu istiqamah adalah orang yang mampu berkata bahwa Tuhan mereka adalah Allah. Hal ini menunjukkan keadaan orang-orang yang telah mengenal Allah sebagai rabb mereka, tidak menunjuk pada umat islam secara umum yang ingin menjadi hamba-hamba Allah. Mereka orang-orang yang telah mengenal penciptaan diri mereka, yang diturnjukkan di antaranya dengan pengenalan terhadap amal-amal yang dikalungkan Allah di leher mereka. Dengan mengenal penciptaan diri mereka maka mereka mengenal rabb mereka. Mereka itulah yang dikatakan pada ayat-ayat di atas sebagai orang-orang yang mengatakan bahwa rabb mereka adalah Allah.

Keadaan mengenal penciptaan diri merupakan suatu tahapan tertentu dalam perjalanan kembali kepada Allah, yang setara dengan perjalanan bani Israel mencapai tanah suci yang dijanjikan, atau perjalanan nabi Ibrahim a.s dan Siti Hajar r.a ke lembah bakkah. Perjalanan kembali (taubat) kepada Allah harus ditempuh dengan langkah-langkah dengan arah tertentu sesuai dengan millah nabi Ibrahim a.s dan sunnah Rasulullah SAW. Taubat tidak sepeuhnya sama dengan memohon ampunan atas dosa-dosa (Istighfar). Istighfar merupakan bagian dari taubat, dan taubat merupakan perjalanan panjang agar seorang hamba layak dihadirkan di hadirat Allah sebagaimana Rasulullah SAW hadir di ufuk yang tertinggi. Sebagian besar manusia akan dihadirkan di hadirat Allah kelak pada masa penimbangan, baik sebagai makhluk mulia ataupun sebagai makhluk yang hina, dan sebagian kecil manusia dihadirkan sebelum masa itu sebagai makhluk mulia.

Perjalanan taubat itu harus ditempuh setiap orang di dunia dengan mengikuti millah nabi Ibrahim a.s di antaranya berhijrah ke tanah suci yang dijanjikan dan membina bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah. Hijrah nabi Musa a.s bersama bani Israel ke tanah yang dijanjikan merupakan bagian dari millah nabi Ibrahim a.s. Millah nabi Ibrahim a.s merupakan bagian dari sunnah Rasulullah SAW, dan pencapaian tanah suci yang dijanjikan merupakan bagian dari millah nabi Ibrahim a.s yang diperinci penjelasannya dalam perjalanan nabi Musa a.s bersama bani Israel dari negeri mesir menuju tanah yang dijanjikan. Millah nabi Ibrahim a.s merupakan tauladan yang sempurna bagi kehidupan di dunia, sedangkan sunnah Rasulullah SAW menjelaskan tauladan yang lebih luas dan lebih sempurna.

Perjalanan nabi Musa a.s pada dasarnya merupakan langkah mengikuti kitabullah, yaitu kitabullah yang diturunkan kepada nabi Musa a.s. Kitab tersebut hendaknya dijadikan imam bagi orang-orang yang berhijrah, karena kitab tersebut merupakan imam dan sarana mencapai rahmat Allah bagi orang-orang yang berhijrah. Secara praktis, sulit bagi muslimin untuk menemukan kitab nabi Musa yang otentik, karena bahkan bani Israel sendiri pun kehilangan kitab tersebut sejak dahulu kala. Akan tetapi, Alquran sangat banyak menjelaskan tentang tauladan nabi Musa a.s dalam menuntun bani Israel berhijrah, dan sebenarnya ada hamba-hamba Allah di kalangan umat Rasulullah SAW yang dijadikan sebagai pembimbing umat manusia untuk berhijrah. Maka mereka itulah orang-orang yang memahami kandungan kitab nabi Musa a.s untuk berhijrah, sehingga menjadikan kitab nabi Musa sebagai imam dan rahmat bukan suatu hal yang mustahil dilakukan oleh umat nabi Muhammad SAW.

Alquran menjelaskan setiap kebenaran dengan jelas, termasuk seluruh kandungan kitab nabi Musa a.s ataupun shuhuf nabi Ibrahim a.s. Tetapi hanya orang-orang tertentu yang dapat menurunkan penjelasan tersebut dalam nilai-nilainya. Hanya saja penurunan penjelasan itu mungkin akan dibatasi oleh orang yang menurunkannya sehingga mereka mungkin tidak mengungkap seluruh kandungan kitab nabi Musa a.s ataupun shuhuf nabi Ibrahim a.s. Keterbatasan umat manusia dalam mengungkap kandungan kitabullah-kitabullah tidak akan menjadikan seseorang atau orang-orang yang mengikuti mereka celaka selama tidak bertentangan atau menyimpang dari tuntunan kitabullah Alquran. Bila seseorang berpegang pada kitabullah Alquran dengan hati bersih, mereka tidak akan celaka. Orang yang mengikuti langkah uswatun hasanah tidak celaka walaupun hanya mampu menempuh langkah yang sedikit, selama ia dapat memenuhi syarat-syarat minimal.

Bila seseorang telah mengikuti kitab nabi Musa a.s hingga memperoleh rahmat, mereka akan mengenal diri mereka dan mengenal rabb mereka. Mereka tiba di tanah suci yang dijanjikan. Apabila mereka melaksanakan amal-amal yang dikehendaki Allah bagi mereka, maka mereka itulah orang-orang yang istiqamah. Mereka orang-orang yang menempuh shirat al-mustaqim. Proses istiqamah ini dapat dilakukan bila seseorang telah melempar jumrah, mengusir syaitan dari pengetahuan ma’rifah dalam dirinya. Tanduk syaitan akan ikut serta terbit manakala matahari mulai terbit atau manakala tenggelam. Hal ini terkait dengan terbit atau tenggelamnya suatu ma’rifah pada manusia. Bila suatu ma’rifat yang terbit tidak disertai dengan langkah mengusir syaitan dari ma’rifat itu, maka syaitan akan menyertainya di shirat al-mustaqim. Istiqamah hanya dapat dilakukan oleh seseorang manakala ia telah mengusir syaitan dari ma’rifah yang terbuka kepada dirinya.

Hidayah Thariq

Manakala seseorang telah istiqamah, ia dapat melakukan dzikir yang sebenarnya. Dzikir merupakan upaya mengartikulasikan suatu pemahaman hingga terwujud ke semesta diri mereka. Sebagian orang berdzikir dengan melafadzkan pujian-pujian kepada Allah dengan lidah mereka, dan sebagian berdzikir dengan mewujudkan pemahaman diri mereka tentang kehendak Allah hingga terwujud pada semesta melalui amal-amal yang dilakukan. Shabahat Ali ibn Abi Thalib r.a termasuk orang yang diperintahkan untuk berdzikir dangan cara tersebut. Rasulullah SAW memerintahkan kepada sahabat Ali bin Abi Thalib r.a untuk mendzikirkan asma Allah dengan mengikuti petunjuk, yaitu petunjuk Allah kepada beliau r.a yang dijadikan Allah sebagai jalan hidupnya ( الطَّرِيقَ).

Dari Ali ibn Abi Thalib berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda :
وَاذْكُرْ بِالهُدَى هِدَايَتَكَ الطَّرِيقَ، وَالسَّدَادِ سَدَادَ السَّهْمِ
Berdzikirlah dengan hidayah, yaitu hidayah bagimu tentang jalan (at-thariq), dan (berusahalah) dengan sadad (ketepatan) seperti tepatnya anak panah (yang mengenai sasarannya)“. (HR Muslim no: 2725)

Amal seseorang hendaknya dilakukan sebagai dzikir untuk merealisasikan petunjuk tentang jalan hidup ( الطَّرِيقَ). Jalan hidup ( الطَّرِيقَ) artinya jejak yang membentuk jalan, atau jalan setapak, menunjuk pada suatu jalan yang lingkupnya terbatas, bersifat terikat pada ruang dan/atau waktu tertentu. Seluruh alam semesta diciptakan bagi Rasulullah SAW, dan setiap orang memperoleh bagian dari urusan Rasulullah SAW sesuai ruang dan waktu kehidupan mereka, maka bagian bagi mereka itu merupakan jalan hidup ( الطَّرِيقَ) mereka. Di kalangan umat islam, dikenal adanya thariqah-thariqah berupa jamaah-jamaah yang berusaha untuk menemukan dan melaksanakan amr jami’ untuk ruang dan jaman mereka masing-masing, dipimpin oleh orang-orang yang mengenal amr jami’ Rasulullah SAW untuk ruang dan jaman mereka. Thariq tidak terbatas pada thariqah, mencakup juga jalan semua orang yang menyatukan diri pada amr Rasulullah SAW untuk ruang dan jaman mereka. Orang-orang yang memperoleh petunjuk demikian itu diperintahkan untuk berdzikir dengan hidayah tersebut.

Pengenalan tentang amr jami’ Rasulullah SAW untuk ruang dan waktu demikian penting untuk dipahami oleh orang-orang yang berthariqah. Tidak ada gunanya berthariqah manakala seseorang tidak mau memahami amr jami’ tersebut. Sebagian orang mengaku berthariqah akan tetapi mencela orang-orang yang berusaha untuk memahami amr jami’ Rasulullah SAW bagi ruang dan jaman mereka, maka mereka itu secara prinsip mendustakan mursyid yang mengajak mereka untuk menyatukan diri dalam amr jami’ Rasulullah SAW. Masalah ketidaksiapan nafs atau berlebihannya para murid dalam memahami menjadi tanggung jawab sang mursyid, bahwa ia harus memangkas sikap berlebihan atau mencegah pertumbuhan hawa nafsu murid yang salah. Setiap mursyid bertanggung jawab untuk membersihkan nafs para murid, membantu murid untuk memahami urusannya dengan tepat dan menjaga dari kesesatan. Para murid tidak berhak mencela murid lain berdasarkan kepingan yang dilihat dari tindakan sang mursyid. Adapun bila ia mengetahui urusan itu, ia boleh berbagi pemahamannya kepada sahabatnya, atau bila ia mengetahui sikap berlebihan sahabatnya ia boleh memperingatkan kesalahan itu. Tetapi hendaknya ia tidak mencela sahabatnya dalam upayanya memahami urusan Rasulullah SAW tanpa alasan yang jelas atau prasangka. Dalam hal ini, ia juga tidak boleh menyepelekan sahabatnya bila shahabatnya ternyata mempunyai pengetahuan yang lebih baik karena sikap demikian itu termasuk kesombongan.

Melakukan dengan Tepat

Prinsip berikutnya dalam istiqamah adalah melakukan dengan tepat urusannya. Setiap amal istiqamah mempunyai sasaran tertentu sebagaimana orang yang memanah mempunyai sasaran di tempat yang jauh yang harus dibidik. Istiqamah tidak diibaratkan orang yang menghujani musuh dengan anak panah secara acak, tetapi memanah suatu sasaran. Ia harus mengetahui sasaran itu sebelum melakukan amalnya, dan kemudian beramal untuk mencapai sasaran yang diketahuinya. Seseorang yang istiqamah tidak boleh beramal tanpa mengetahui sasaran yang dituju, dan tidak boleh melakukan amal secara menyimpang dari sasarannya. Ia harus mengetahui sasarannya, dan melakukan amal dengan sebaik-baiknya untuk mencapai sasaran itu.

Ketepatan (السَّدَاد ) menunjukkan ketepatan sebagaimana perkataan yang tepat dalam menjelaskan masalah dan merumuskan langkah untuk mencapai tujuan. Prinsip ketepatan lebih diutamakan Rasulullah SAW terhadap umatnya dibandingkan dengan jumlah pelaksanaan perintah. Umat Rasulullah SAW tidak akan mempunyai kesanggupan atau kemampuan untuk melaksanakan semua perintah yang disampaikan kepada mereka. Karena hal ini, Rasulullah SAW tidak memerintahkan umat islam untuk melaksanakan semua perintah Allah, akan tetapi hendaknya mereka lebih memperhatikan ketepatan mereka dalam melaksanakan perintah.

dari al-Hakam bin Hazn al-Kulafi bahwa Rasulullah SAW bersabda :

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لَنْ تُطِيقُوا أَوْ لَنْ تَفْعَلُوا كُلَّ مَا أُمِرْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ سَدِّدُوا وَأَبْشِرُوا
Wahai manusia! Sesungguhnya kalian tidak akan mampu mengerjakan – atau tidak akan sanggup – (mengerjakan) semua yang diperintahkan padamu, akan tetapi (berusahalah) untuk lebih tepat (dalam melaksanakan) dan berilah kabar gembira“. (HR Abu Dawud no: 1097, Ahmad 17856)

Akar dari ketepatan adalah pemahaman. Semakin baik pemahaman seseorang, semakin besar kemungkinan langkah yang tepat bisa dilakukan. Bila tidak mempunyai pemahaman, seseorang hanya bisa meniru perbuatan, tidak dapat dikatakan melaksanakan amal untuk mencapai sasaran. Meniru amal itu seringkali tidak salah, tetapi amal tidak seharusnya terus dilakukan dengan cara demikian. Setiap orang harus berusaha memahami sasaran yang diberikan kepada dirinya, dan melakukan amal dengan tepat. Ibarat orang memanah, ia melihat sasaran disertai dengan memahami dinamika yang terjadi pada sasarannya, memahami fenomena medan yang ada di antara sasaran dengan dirinya, dan memahami mekanisme dalam dirinya. Hal itu akan menjadikan seseorang bisa mengarahkan dengan tepat anak panahnya. Bila hanya bisa melontarkan anak panah tanpa mengerti sasaran dan medan, ia sebenarnya tidak memahami. Demikian seorang beriman diajar memahami untuk memperoleh ketepatan mencapai sasaran.

Sasaran thariq setiap orang berbeda-beda, tetapi semuanya adalah penyatuan terhadap amr jami’ Rasulullah SAW dalam bidang masing-masing. Ada suatu penanda yang jelas bahwa seseorang mengetahui sasaran hidupnya. Pengetahuan tentang sasaran itu pada kebanyakan orang seringkali hanya berupa pengetahuan samar-samar atau persangkaan dari meraba-raba pengalaman hidupnya, maka itu belum menjadi pemahaman yang jelas tentang sasaran amalnya. Sasaran yang sebenarnya bagi setiap orang akan terbuka secara tiba-tiba, berupa keterbukaan jati diri penciptaannya. Sebelum itu, ia harus mengikuti orang-orang yang telah mengerti jati diri mereka.

Manakala seseorang dapat mengetahui sasaran bagi amal yang harus dilaksanakan, hendaknya mereka beramal sesuai dengan sasarannya. Banyak fenomena yang ada di antara seseorang dengan sasaran yang harus diperhatikan, maka ia akan dapat mewujudkan amal yang sadid (tepat sasaran). Mewujudkan amal yang sadid akan menjadi medan jihad yang menyenangkan bagi orang-orang yang telah mengetahui sasaran hidupnya, menjadi suatu sumber kegembiraan bagi orang-orang yang memperolehnya. Mereka itu adalah orang-orang yang memperoleh kabar gembira tentang surga yang dijanjikan bagi mereka, di mana surga mereka kelak akan serupa dengan kehidupan dirinya di bumi tersebut, dalam intensitas yang berbeda. Orang-orang yang memperoleh keadaan demikian hendaknya memberikan kabar gembira kepada orang-orang lain agar mereka juga mengetahui jalan untuk memperoleh kegembiraan.

Kabar gembira tentang surga bagi para hamba Allah yang istiqamah merupakan pencapaian yang sangat baik. Kabar itu hendaknya disampaikan pula kepada orang lain agar orang lain dapat mengarahkan kehidupan mereka mencapai keadaan yang sama. Amal-amal yang meniru keadaan orang yang memperoleh kabar gembira tersebut sebenarnya juga akan mendatangkan kegembiraan, walaupun dalam intensitas yang berbeda. Bila setiap orang bekerja untuk mencapai sasaran yang tepat dengan timbangan yang teliti maka mereka akan memperoleh kegembiraan dengan pekerjaan mereka, sekalipun mungkin hanya berbentuk kegembiraan di dunia. Di dunia yang korup, sekadar bekerja untuk membidik sasaran yang tepat seringkali susah dilakukan karena tuntutan dari banyak pihak untuk bekerja secara tidak jujur dan curang. Dalam keadaan demikian, suasana muamalah di antara manusia akan lebih mendekati suasana interaksi ahli neraka daripada berita gembira layaknya surga. Tidak sedikit juga orang-orang yang beramal baik dalam kungkungan kebodohan, tidak mampu memahami arah kehidupan apakah mereka mengarah ke surga atau ke neraka. Banyak masalah lain terkait dengan sikap istiqamah yang dapat dijelaskan dengan memberikan kabar gembira tentang sikap istiqamah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar