Pencarian

Selasa, 02 Agustus 2022

Melihat Langit dan Bumi Membina Akal

Allah memberikan cahaya keimanan kepada orang-orang yang diijinkan untuk beriman. Cahaya keimanan merupakan cahaya milik Allah yang tidak dapat diaku makhluk tanpa ijin dari Allah. Tidak ada jiwa seseorang yang dapat beriman tanpa ijin Allah. Seseorang boleh mengatakan bahwa dirinya seorang yang berserah diri atau muslim, tetapi tentang keimanan adalah hak Allah untuk memberikan atau menahan dari hamba-Nya.
﴾۰۰۱﴿وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَن تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kekotoran kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya (QS Yunus : 100)

Fungsi cahaya keimanan adalah agar seseorang dapat mengendalikan dirinya bersesuaian dengan kehendak Allah dengan akal. Akal yang dimaksudkan dalam alquran tidak menunjuk pada setiap kecerdasan manusia, akan tetapi secara khusus menunjuk pada kekuatan membina diri untuk memahami kehendak Allah dan berbuat berdasarkan pemahaman tersebut. Akal merupakan tali kekang yang berguna untuk mengendalikan diri sebagaimana tali kendali yang dipasangkan pada kuda tunggangan atau penarik kereta. Orang yang berusaha memahami dan berbuat sesuai dengan kehendak Allah adalah orang yang berakal, dapat diibaratkan kuda yang mudah dikendalikan tuannya, sedangkan tanpa akal dapat diibaratkan kuda liar yang tidak dikendalikan.

Seseorang tidak dibolehkan mengaku sebagai orang beriman, tetapi harus selalu berharap kepada Allah agar melimpahkan cahaya keimanan kepada dirinya. Ada landasan yang harus dijadikan pegangan dalam mengharapkan keimanan, yaitu agar terbentuk akal yang menghubungkan dirinya kepada Allah. Seseorang tidak boleh mengharapkan cahaya keimanan untuk status dirinya di antara manusia. Cahaya keimanan itu harus dimanfaatkan dengan benar oleh setiap orang yang memperolehnya, yaitu memahami dan berbuat sesuai dengan kehendak Allah tidak menggunakannya untuk mengunggulkan diri di antara manusia.

Bila seseorang memperoleh cahaya keimanan dan tidak digunakan untuk membina akal, maka Allah akan menurunkan kotoran pengetahuan bersama petunjuk yang turun melalui cahaya keimanan. Batasan hal tersebut adalah bila cahaya keimanan tidak digunakan untuk membina akal. Bila ada keinginan tidak baik dengan memanfaatkan keimanan, maka boleh jadi akan lebih buruk lagi apa yang turun karena keimanannya. Allah hanya memberikan cahaya keimanan kepada orang-orang yang diijinkan untuk menerimanya.

Kotoran ( الرِّجْسَ) yang ditimpakan Allah kepada orang-orang yang tidak menggunakan akalnya akan menjadikan mereka sebagai orang yang keliru dalam beragama. Mereka mungkin merasa melakukan kebaikan sedangkan mereka melakukan kerusakan, atau merasa sebagai orang-orang yang mendapatkan petunjuk sedangkan mereka menghalangi manusia dari jalan Allah, atau merasa mengagungkan Allah sedangkan mereka membantu urusan-urusan syaitan dalam merusak umat manusia.

Sebagian manusia yang tertimpa kotoran itu dapat diumpamakan bagai orang-orang yang memegang pisau pada bilah tajamnya. Orang-orang khawarij berbuat demikian terhadap petunjuk-petunjuk Alquran. Pada sebagian orang beriman, orang-orang demikian dapat diibaratkan seperti orang yang tidak amanah dalam menjalankan profesinya. Semisal seorang tukang jahit, ia seharusnya menjahit pakaian sesuai dengan pemakainya, baik dirinya sendiri ataupun pelanggannya. Ia tidak boleh memotong pakaian pelanggannya untuk dirinya, atau mensia-siakan bahan pakaian milik pelanggannya yang diberikan untuk dijadikan pakaian. Bila penjahit itu tertimpa kotoran (الرِّجْس), ia akan merasa benar melakukan hal yang melanggar ketentuan itu, sehingga orang yang membutuhkan pakaian akan kebingungan untuk menemukan pakaian bagi dirinya. Ketika orang yang membutuhkan pakaian mengalami kebingungan, penjahit yang tertimpa kotoran itu mungkin merasa tidak ada sesuatu yang salah dalam perbuatannya, sedangkan masalah itu timbul karena perbuatannya.

Hal pokok yang harus diperhatikan oleh orang yang membina akal adalah pemahaman terhadap Alquran. Pemahaman itu harus diusahakan sedemikian hingga dapat memahami semesta mereka bersesuaian dengan ayat dalam kitabullah. Hal itu tercapai bersamaan dengan keterbukaan ayat dalam diri, yaitu qalb mereka menerangkan apa yang ada dalam Alquran dan apa yang terjadi pada semesta mereka. Setiap orang mempunyai kesempatan memperoleh kefahaman dalam tingkatan demikian. Keterbukaan itu dapat terjadi pada setiap orang, akan tetapi tanpa berpegang pada Alquran, kefahaman yang muncul dalam nafs seseorang boleh jadi merupakan kotoran (الرِّجْس) yang ditimpakan Allah kepadanya.

Memperhatikan Langit dan Bumi

Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk memperhatikan segala apa yang ada di langit dan di bumi agar mereka dapat membina akal. Hal ini terkait dengan alam mulkiyah dan alam ghaib yang dapat dipahami oleh orang-orang beriman. Perintah ini tidak berlaku bagi orang-orang yang tidak beriman, karena tidaklah berguna ayat-ayat dan peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.

﴾۱۰۱﴿قُلِ انظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا تُغْنِي الْآيَاتُ وَالنُّذُرُ عَن قَوْمٍ لَّا يُؤْمِنُونَ
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat ayat-ayat Allah dan para pemberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman". (QS Yunus : 101)

Hanya orang-orang yang beriman yang akan memperoleh manfaat dari memperhatikan apa-apa yang ada di langit dan bumi, yaitu bila mereka menemukan ayat-ayat Allah dan mengerti penjelasan para pemberi peringatan. Orang-orang yang tidak beriman tidak memperoleh manfaat. Manfaat yang diperoleh orang-orang beriman adalah arah bentuk kehidupan di bumi bersesuaian dengan bentuk kehidupan yang dikehendaki Allah, sehingga memungkinkan terjadinya perwujudan bentuk kehidupan tersebut. Orang-orang yang tidak beriman tidak akan memahami bentuk kehidupan yang dikehendaki Allah, dan tidak semua orang beriman memahami yang demikian. Kehidupan orang-orang yang tidak beriman hanya akan berputar-putar dalam rutinitas yang berulang-ulang.

Terkait kotoran ( الرِّجْسَ), terdapat banyak kotoran baik yang ada di alam mulkiyah maupun di alam atasnya. Kotoran di alam mulkiyah merupakan sifat kotor yang ada pada alam jasmani, sedangkan kotoran di alam nafs berasal dari syaitan. Kotoran pada tingkat nafs merupakan hal utama yang harus dijaga setiap orang agar tidak mengenai nafs, dan penjagaan itu harus dilakukan sejak dari tingkatan ragawi. Allah menjadikan beberapa hal najis, beberapa makanan diharamkan, dan beberapa sifat manusia harus disucikan. Bagi manusia, hal itu merupakan pagar agar manusia tidak tertimpa kotoran di alam nafs mereka karena hal itu menimbulkan masalah yang rumit di antara manusia.

Kotoran tersebut menimbulkan banyak masalah bagi makhluk-makhluk hidup dan lebih lanjut juga bagi makhluk-makhluk berakal. Kotoran di bumi dapat menyebabkan penyakit bagi makhluk-makhluk jasmaniah, dan kotoran di alam nafs menimbulkan masalah yang merupakan penyakit bagi akal makhluk yang berakal. Kotoran di bumi dan kotoran di langit itu dapat saling mempengaruhi satu dengan yang lain menimbulkan masalah bagi seluruh makhluk. Misalnya mengabaikan najis akan mempengaruhi keteledoran seseorang dalam menjaga kesucian nafs. Memakan daging babi dapat menyuburkan sifat rakus dalam diri manusia. Sifat buruk satu orang dapat memicu munculnya sifat buruk lain, dan menularkan sifat buruk itu pada orang lain. Keseluruhan batasan yang ditentukan Allah merupakan pagar yang menjaga manusia dari kotoran, terutama kotoran di alam nafs.

Kotoran pada nafs tidak hanya muncul dari alam mulkiyah. Syaitan pun membuat kotoran bagi nafs dari alam mereka, dan kotoran dari syaitan inilah kotoran yang paling berbahaya bagi umat manusia. Najis dan makanan haram akan mempengaruhi kekotoran manusia secara berjenjang, dari kotoran di tingkatan raga, kotoran hawa nafsu hingga kotoran nafs. Syaitan dapat tiba-tiba menimpakan kotoran dalam hawa nafsu ataupun nafs seseorang tanpa melalui alam mulkiyah. Kotoran pada hawa nafsu akan menjadikan seseorang kehilangan ketenteraman dalam hidupnya, sedangkan kotoran pada nafs akan membuat tatanan kehidupan masyarakat menjadi semrawut dan terbalik-balik. Kadangkala seseorang merasa mengagungkan Allah tetapi sebenarnya mengangkat syiar syaitan karena kotoran pada nafs manusia.

Kesemrawutan dan terbalik-baliknya akal manusia akan berakibat tenggelamnya kebenaran dari pandangan umat manusia. Pada taraf tertentu, umat manusia tidak mampu melihat atau memihak kebenaran dan sebaliknya membenarkan kebathilan karena kotoran pada nafs. Rasulullah SAW mengalami masa akhir hayat yang sangat berat karena apa yang akan menimpa umatnya, di antaranya karena masalah yang timbul karena kotoran pada nafs. Tumbuhnya akal manusia hendaknya selalu dijaga dari kotoran yang mungkin menimpa, karena pada dasarnya akal yang terkotori oleh syaitan akan mempunyai kecenderungan tumbuh mengikuti syaitan. Kotoran itu akan menjadikan sendi kehidupan umat manusia menjadi sulit, baik untuk kehidupan dunia maupun untuk kehidupan akhirat. Manusia tidak melihat kebenaran dalam kehidupan mereka bila banyak yang tumbuh mengikuti syaitan.

Mewujudkan Kehendak Allah dalam Kehidupan Bumi

Memperhatikan pasangan langit dan bumi berhubungan erat dengan penggunaan akal dan pikiran serta dengan keberpasangan laki-laki dan perempuan. Akal berfungsi menghubungkan kehidupan seorang manusia di bumi dengan kehendak Allah, sedangkan pikiran lebih berfungsi dalam memahami proses kehidupan di bumi. Bila seseorang berakal, maka seharusnya mereka mengimplementasikan pemahaman mereka terhadap kehendak Allah ke dalam kehidupan di bumi. Hal ini membutuhkan integralitas akal dengan pikiran dalam diri manusia. Dalam upaya membentuk kehidupan sesuai dengan kehendak Allah, setiap orang membutuhkan kebersamaan. Seorang laki-laki memahami kehendak Allah dan isteri memahami kehendak Allah dari suaminya dan menghadirkan aspek bumi bagi mereka. Keberpasangan antara suami dan isteri merupakan representasi langit dan bumi dalam wujud manusia.

Kehidupan seorang manusia di bumi tidak dapat dikatakan sepenuhnya merupakan realisasi kehendak Allah. Banyak kehidupan manusia berjalan sebagai turunan dari kehendak Allah, akan tetapi sebenarnya terdapat pula banyak hal bathil yang berasal dari natur kegelapan mewarnai kehidupan baik di dalam diri manusia itu sendiri ataupun dari semesta mereka. Syaitan banyak menyisipkan kebathilan dalam sendi-sendi kehidupan di bumi dan mengatur manusia dengan sendi-sendi yang dibuatnya. Setiap manusia harus berusaha membangun akal agar mengetahui kehendak Allah yang sebenarnya bagi kehidupan mereka dan merealisasikannya, dan demikian itulah tugas setiap manusia sebagai khalifatullah.

Intergralnya seseorang dalam akal dan pikiran akan mempengaruhi tingkat kebersyukuran. Kadangkala seseorang berserah diri pada kehendak Allah tetapi tidak memahami kehendak Allah dan tidak memahami pengaturan yang ditentukan Allah bagi mereka dalam kehidupan di bumi. Dengan keadaan demikian, seseorang tidak dikatakan bersyukur sepenuhnya. Orang yang bersyukur mempersyaratkan adanya pemahaman tentang kehidupan mereka di bumi bersesuaian dengan pemahaman terhadap kehendak Allah, kemudian berbuat yang terbaik dengan pemahaman tersebut. Kebersyukuran seseorang yang sebenarnya seringkali dimulai pada usia 40 tahun.

Kebersyukuran pada prinsip dasarnya adalah berusaha mengarahkan bentuk kehidupan sesuai bentuk kehidupan yang dikehendaki Allah. Kadangkala seseorang hanya berserah kepada Allah dalam berbuat tanpa memperhatikan keadaannya di bumi. Misalnya kadang seseorang beramal hanya untuk satu kali mengerjakan perintah Allah, dan ia tidak memikirkan keberlanjutan perjuangannya. Hal ini merupakan sikap yang tidak terlalu tepat karena kurang integralnya akal dan pikirannya. Setiap orang harus berusaha memikirkan bentuk perjuangan yang harus dilakukannya berdasarkan bentuk kehidupannya di bumi. Bila seseorang harus berhutang untuk memulai perjuangannya, ia harus berpikir sungguh-sungguh hingga perjuangannya memperoleh bentuknya sesuai dengan kehendak Allah, kemudian rejeki mengalir dari perjuangannya hingga ia dapat mengembalikan hutangnya.

Manakala seseorang mengetahui kehendak Allah yang menjadi amanahnya, maka ia seharusnya berusaha mengetahui sarana untuk memperjuangkannya di muka bumi. Boleh jadi ia harus bekerja atau berjual beli agar dapat memberikan manfaat yang sebesarnya bagi umat, atau ia memanfaatkan atau mengelola infaq umat untuk perjuangannya, yaitu apabila ia mengetahui perjuangannya akan mendatangkan manfaat bagi umatnya berlipat ganda daripada infaq yang dimanfaatkannya dari umat. Boleh jadi seseorang harus mengkombinasikan berbagai metoda kebumian untuk membiayai apa yang perlu diperjuangkan dari pemahamannya tentang kehendak Allah.

Di sisi lain, untuk terwujudnya pelaksanaan amanah, setiap orang harus mengelola keberpasangan dirinya dengan isterinya. Keberpasangan antara suami dan isteri merupakan bagian lain dari usaha melihat langit dan bumi, sebagai representasi langit dan bumi dalam wujud manusia. Kebersamaan ini akan menjadi sarana terbentuknya kehidupan sesuai dengan kehendak Allah dan manusia akan dapat bersyukur dengan kehidupan yang demikian. Tanpa keadaan demikian, sangat sulit membentuk kehidupan sesuai dengan kehendak Allah. Suami dan isteri merupakan pakaian satu sama lain. Bila berpakaian baik, seseorang akan mudah menutup aib dirinya dan akan dipandang baik oleh orang lain, dan sebaliknya bila pakaiannya buruk maka kelemahan dan aibnya akan sangat mudah terlihat oleh orang lain. Dengan baiknya keberpakaian, sepasang manusia akan mudah membentuk kehidupan mereka agar sesuai dengan kehendak Allah. Sekalipun masih banyak aib yang ada pada salah satu pihak atu kedua pihak, keberpasangan itu akan menutupi aib-aib yang ada. Syaitan sangat merusak terbentuknya hubungan yang baik di antara suami isteri dan menimbulkan fitnah yang paling besar dengan memisahkan seorang isteri dari suaminya.

Kebersamaan seseorang dengan isterinya dalam perintah Allah merupakan wujud ekstensi integralitas pikiran dan akal manusia, dan itu akan menjadi pintu integrasi terhadap semesta mereka. Kedua hal tersebut berhubungan erat satu dengan lainnya. Orang yang integral dalam berpikir dan menggunakan akal akan mempunyai arah dalam membentuk kehidupan keluarga, dan kehidupan keluarga yang baik akan memudahkan pasangan untuk menggunakan akal dan pikirannya dengan baik dan benar. Menyatukan pikiran dan akal merupakan perbuatan memperhatikan apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Allah memerintahkan manusia untuk memperhatikan apa-apa yang ada di langit dan di bumi, karena terdapat ayat-ayat Allah dan penjelasan peringatan para pemberi peringatan bagi orang-orang yang memperhatikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar