Pencarian

Selasa, 30 Agustus 2022

Membina Diri dan Membina Semesta

Rasulullah SAW bersama orang-orang yang mengikuti menyeru umat manusia untuk kembali kepada Allah. Mereka menempuh perjalanan menuju akhlak mulia agar layak hadir kelak di hadirat Allah SWT hingga mereka memperoleh tempat di surga. Sejauh jarak perjalanan menuju akhlak mulia yang dapat ditempuh, sejauh itu pula kedudukan yang akan diberikan kepada seseorang kelak di akhirat. Sebagian orang celaka dalam kehidupannya sehingga mereka memperoleh neraka, dan sebagian orang yang berakhlak mulia dengan akalnya memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah.

Terdapat beberapa tahapan perjalanan yang harus dilalui dalam membentuk akhlak mulia. Seseorang mungkin mempunyai akhlak sebagai orang kafir. Bila timbul keinginan untuk mengikuti Rasulullah SAW, maka ia akan menjadi seseorang yang mempunyai akhlak sebagai muslim. Bila seorang muslim terus mengikuti Rasulullah SAW maka ia akan mempunyai akhlak sebagai mukmin. Dengan cahaya keimanan, seseorang dapat berupaya mengubah akhlak menjadi seorang yang shalih, kemudian mencapai keadaan syuhada’ ataupun seorang shiddiqin. Itu merupakan jenjang-jenjang akhlak yang akan ditemukan seseorang bila ia mengikuti Rasulullah SAW.

Dengan akhlak mulia, seseorang dapat memakmurkan bumi berdasarkan fadhilah yang ada dalam dirinya. Hal itu tidak serta merta dapat dilakukan walaupun ia mengetahui jalannya. Yang perlu dilakukan untuk memberikan kemakmuran di bumi adalah mengumpulkan yang terserak dari dirinya. Hal itu bukanlah sesuatu yang serakah, tetapi bahwa sebenarnya mengumpulkan bagian dirinya di jalan Allah akan mendatangkan kemakmuran yang sebesarnya, baik untuk dirinya ataupun semestanya.

Berbagai Derajat Akhlak

Dalam tataran praktis, akhlak dalam berbagai tingkatannya seringkali bercampur dalam diri seorang manusia. Seorang muslim kadang melakukan perbuatan kafir, atau bahkan orang mukmin berbuat hal-hal yang berlandaskan akhlak kafir. Setiap orang harus benar-benar berusaha agar ia berada pada akhlak terbaiknya. Bila ia berbuat sesuatu yang rendah, hendaknya ia bersegera kembali pada akhlaknya yang sebenarnya dengan memohon ampunan kepada Allah. Hal itu akan mengurangi keadaan akhlaknya, namun selalu ada jalan kembali bagi orang yang menyadarinya. Hal yang paling berbahaya bagi seseorang adalah tidak menyadari ketergelinciran dirinya. Ia telah terjatuh pada hal yang rendah sedangkan ia tidak menyadari hal itu dan merasa sebagai orang yang berakhlak mulia.

Orang-orang dengan akhlak kafir bertindak hanya berdasarkan keinginan sendiri tanpa sebuah keinginan untuk menjadi baik. Bila seseorang mempunyai keinginan menjadi baik, ia dapat menemukan jalan mengikuti Rasulullah SAW menjadi muslim. Dengan terus mengikuti Rasulullah SAW, seseorang muslim dapat memperoleh pengetahuan dalam jiwanya hingga ia dapat membedakan kebaikan dari kemunkaran melalui keimanannya. Dengan pengetahuan melalui jiwanya, maka seseorang akan terus menambah kemuliaan akhlaknya.

Tingkatan akhlak beriman dan diatasnya tidak boleh disebutkan seseorang sebagai miliknya. Hal itu terkait ketidakmampuan seseorang untuk mengupayakan tetapi hanya karena Allah yang memberikan kepadanya. Walaupun demikian, seseorang harus berusaha menangkap seruan Allah kepada orang-orang dalam derajat itu agar ia dapat mengikuti langkah mereka. Ia harus berusaha memahami seruan tanpa memaksakan diri bahwa ia termasuk dalam golongan yang diseru. Seseorang dapat mengevaluasi keimanan dirinya dengan petunjuk Allah.

﴾۲﴿أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
﴾۳﴿وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
﴾۴﴿أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ أَن يَسْبِقُونَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
(2)Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang tidak kami datangkan bagi mereka fitnah?(3)Dan sesungguhnya kami telah datangkan fitnah pada orang-orang yang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang berbuat benar dan sungguh Dia mengetahui orang-orang yang berbuat dusta. (4)Ataukah orang-orang yang mengerjakan sayyiah itu mengira bahwa mereka akan mendahului Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu. (QS Al-’Ankabuut: 2-4)

Ayat di atas menjelaskan tentang (di antaranya) tanda batas keimanan. Tanda itu dapat dijadikan bahan uji apakah dirinya termasuk dalam golongan orang beriman atau sebenarnya ia belum melewati batas itu. Tanda yang diberikan Allah kepada hamba-Nya adalah didatangkannya fitnah kepada mereka. Bila mereka mensikapi fitnah itu dengan benar, maka ia termasuk dalam golongan orang beriman, sedangkan bila ia salah, maka ia tidak boleh mengatakan bahwa ia termasuk orang beriman.

Seringkali fitnah dalam ayat di atas diterjemahkan sebagai ujian. Dalam beberapa hal, terjemahan itu terasa kurang tepat. Rasulullah SAW sebenarnya telah memberikan penjelasan yang sangat baik tentang fitnah. Fitnah bagi orang-orang beriman akan dihadapkan kepada hati mereka secara berangsur-angsur, satu helai demi satu helai. Setiap helai yang didatangkan kepada hati orang beriman harus dihadapi dengan tepat. Bila yang datang adalah helai kebenaran, ia harus mengenali helai itu sebagai kebenaran. Bila helai yang datang adalah helai kemunkaran, ia harus mengenali helai itu sebagai kemunkaran. Bila seseorang salah mengenali helai yang datang, maka hati mereka akan tertutup noktah hitam yang menghalanginya dari keimanan.

تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَىُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَىُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلاَ تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ وَالآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلاَّ مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ
Fitnah-fitnah itu akan dihadapkan kepada hati, seperti tikar, satu serat satu serat. Hati mana saja yang menyerap fitnah itu, maka satu noda hitam tertempel dalam hatinya. Dan hati mana saja yang tidak menerimanya, akan tertitiklah pada hati itu satu titik putih, sehingga, jadilah hati itu dua macam; putih seperti batu pualam, sehingga fitnah apapun tidak akan membahayakannya selama ada langit dan bumi, sementara hati lainnya berwarna hitam legam, seperti teko atau ceret terbalik, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemunkaran selain hawa nafsu yang diserapnya. [HR Muslim no. 144]

Keimanan terkait dengan pengenalan seseorang terhadap kebaikan dan kemunkaran. Seseorang tidak layak mengatakan dirinya beriman bila ia tidak dapat mengenali kebaikan dan kemunkaran dengan benar. Bila seseorang hanya mengikuti kata orang lain tentang kebaikan dan kemunkaran tanpa mengenalinya dengan hati, maka ia belum benar-benar melewati batas minimal keimanan. Bila seseorang mempunyai hasrat terhadap sesuatu yang hakikatnya merupakan kebaikan, dan membenci sesuatu yang hakikatnya merupakan kemunkaran, maka boleh jadi ia termasuk dari golongan orang-orang beriman. Hati orang beriman tidak dapat bersikap netral terhadap kebenaran dan kemunkaran yang sampai ke hatinya, walaupun mungkin tidak terwujud dalam amalnya.

Setiap orang beriman harus mengasah hatinya untuk mengenali setiap kebenaran dan kebaikan hingga ia dapat berbuat dengan landasan kebenaran, dan mengingkari kemunkaran agar dapat mencegah terjadinya. Seringkali Allah mendatangkan kepada seseorang hal yang terlihat secara terbalik layaknya fitnah. Kebenaran tersaji kepadanya dalam wujud yang dikatakan sebagai kemunkaran, dan kemunkaran tersaji kepadanya dalam wujud yang dikatakan sebagai kebaikan. Bila seseorang tidak mengenali hakikatnya, maka hatinya akan terhijab dari iman dan selayaknya ia tidak mengatakan dirinya beriman. Ujian demikian dapat terjadi pada setiap kaun. Banyak perbuatan munkar yang dikatakan sebagai kebaikan, ilmu agama yang tidak mempunyai dasar yang benar dikatakan sebagai kebenaran, dan banyak petunjuk dalam hati yang merupakan tipuan dikatakan sebagai kebenaran. Orang yang beriman harus mengetahui hakikat di balik fitnah yang datang.

Di bawah derajat akhlak orang beriman terdapat akhlak islam. Akhlak islam adalah akhlak orang-orang yang melapangkan dadanya untuk berserah diri berselaras dengan kehendak Allah. Derajat akhlak ini berada di bawah orang-orang beriman yang dapat mengetahui kehendak Allah yang benar walaupun datang dalam bentuk fitnah. Seorang muslim mungkin mudah tertipu dengan fitnah dari Allah, sedangkan orang beriman tidak demikian. Hal yang penting diperhatikan, setiap orang baik ia muslim ataupun mukmin tidak boleh tertipu oleh fitnah syaitan karena fitnah syaitan berbahaya bagi umat manusia.

Dalam amaliah, perbedaan derajat ini tidak dapat dibalikkan. Seorang yang beriman harus beramal berdasarkan pengetahuan kebenaran melalui iman mereka yang dapat menembus tirai dan tembok fitnah, tidak boleh dikalahkan dengan upaya untuk berselaras dengan kehendak Allah tanpa suatu dasar pengetahuan dari iman. Manakala amaliah ini dibalikkan derajatnya, maka syaitan akan memasukkan fitnah mereka. Bila seorang mukmin dipaksa mengikuti seseorang dalam derajat muslim, maka muslim tersebut akan ditimpa fitnah dari para syaitan, sedangkan mereka tidak mempunyai pengetahuan berdasarkan cahaya iman. Para syaitan akan memberikan petunjuk bagi seorang muslim yang tidak mempunyai pengetahuan hakikat tentang petunjuk itu.

Masalah iman dan islam demikian harus dilihat dari ukuran kitabullah. Seseorang tidak dapat dikatakan sebagai mukmin bila bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang lulus dalam ujian fitnah Allah akan selalu berselaras dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Bekal melihat kehendak Allah di balik fitnah-Nya adalah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, tidak dapat diganti dengan yang lain. Bila ia menggunakan yang lain, maka ia akan terkalahkan oleh fitnah-Nya, atau bahkan terkalahkan hanya oleh fitnah syaitan sekalipun. Maka seorang muslim tidak diperbolehkan mengikuti orang yang dianggap beriman sedangkan ia bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Bila demikian, maka orang yang mengikuti akan mengikuti fitnah. Sebagai gambaran, fitnah dari Allah itu dapat berupa ketakwaan palsu yang akan terlepas dari seseorang kelak jauh di alam akhirat, melampaui alam kubur atau alam makhsyar.

Di antara berbagai jenis akhlak, setiap orang yang mengikuti Rasulullah SAW harus menghindari akhlak syaitan. Akhlak itu tidak terbentuk secara natural pada umat Rasulullah SAW, tetapi terbentuk melalui tipuan terhadap umat Rasulullah SAW. Akhlak itu akan membuat umat menderita. Syaitan menjadikan umat beliau SAW bercerai berai dan bermusuhan, baik tercerai berai umatnya maupun tercerai-berainya diri seseorang dengan apa yang menjadi bagian dirinya. Upaya syaitan demikian berpuncak pada terpisahnya perempuan dari pasangannya. Membangkitkan dan meningkatkan potensi perselisihan dalam rumah tangga orang lain merupakan akhlak syaitan. Demikian pula mencegah terjadinya ishlah di antara dua orang mukmin untuk kembali pada amr Allah yag diturunkan di antara mereka merupakan akhlak syaitan. Perbuatan meniru akhlak syaitan sebagaimana contoh-contoh di atas tidak boleh diikuti oleh umat Rasulullah SAW, dan umat tidak boleh bersikap bodoh bersikap seolah-olah mereka mengikuti kehendak Allah. Ada standar minimal yang harus dipenuhi oleh setiap muslim, tidak boleh menyimpang dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, tidak menjadi bodoh mengikuti syaitan dengan akalnya. Penderitaan umat manusia yang terbesar akan muncul dari perbuatan mengikuti syaitan memisahkan perempuan dari pasangannya.

Menyatukan yang Terserak untuk Kemakmuran

Mengikuti sunnah Rasulullah SAW dilakukan dengan membangun tauhid dalam ibadah kepada Allah. Tauhid adalah langkah penyatuan diri seorang hamba terhadap kehendak Allah, sehingga seorang hamba mengerjakan amal-amal yang dikehendaki Allah baginya. Tanpa tauhid, seseorang mungkin merasa menjadi hamba Allah, sedangkan ia mengerjakan amal-amal hanya berdasarkan keinginan atau wahamnya sendiri.

Benarnya langkah penyatuan/tauhid seseorang secara dzahir ditandai dengan penyatuan diri dari keadaan terseraknya. Kadang seeorang tidak dapat mewujudkan penyatuan ini, tetapi mengetahui apa yang mesti disatukan dari yang terserak. Ketika di dunia, seorang manusia sebenarnya disebar dalam berbagai kepingan diri secara terserak. Pasangannya sebagai keping terdekat jiwanya terlahir di suatu tempat yang awalnya tidak ia ketahui. Rezeki bagi jiwa dan raganya pun terserak dan harus dicari. Bila seseorang berkeinginan membangun tauhid, ia harus berharap kepada Allah untuk dapat menemukan kepingan dirinya yang terserak. Dengan penyatuan kepingan diri yang terserak, ia dapat membina diri sebagai hamba Allah yang sebenarnya. Setiap orang yang benar perjalanannya akan menemukan bagian-bagian dirinya dan menemukan jalinan persaudaraan mereka sejauh perjalanan mereka yang benar, dan mereka dapat melaksanakan fungsi sosial mereka dengan menyatukan yang terserak.

Syaitan tidak menyukai hal ini, sangat berkeinginan menghalangi tauhid dengan menjadikan manusia tetap terserak. Syaitan mendorong manusia untuk menginginkan hal yang tidak menjadi bagian dirinya. Kadangkala syaitan melibatkan seseorang untuk membuat manusia tetap terserak. Dengan melibatkan manusia, mereka mempunuyai kekuatan merusak jauh lebih kuat daripada tanpa sekutu manusia. Seringkali seseorang merasa baik dalam melakukan perbuatan meniru syaitan memisahkan mukmin dengan bagian diri dan jalinan persaudaraan mereka. Hal ini tidak terlepas dari sihir syaitan. Tauhid seseorang akan pincang atau lumpuh bila bagian diri mereka terpisah, sebagaimana gasing yang dibelah sejajar sumbunya akan sulit untuk berfungsi dengan baik. Bila pasangannya yang dipisahkan adalah orang yang baik, hal itu dapat diibaratkan gasing yang dibelah tepat pada sumbunya sehingga seseorang sulit untuk melaksanakan fungsi dirinya.

Sangat mungkin orang yang terlibat memecahkan langkah tauhid orang lain bertindak salah dalam melihat masalah, apalagi bila derajat akhlak orang lain itu lebih baik. Seorang dengan akhlak islam seringkali tidak melihat kebenaran yang dilihat oleh seorang dengan akhlak mukmin. Amal shalih yang hendak dilakukan oleh seorang mukmin berdasarkan Alquran tidak boleh dihalangi dengan diharuskan mengikuti langkah seseorang dengan akhlak muslim, sedangkan orang yang menghalangi tidak mempunyai ilmu tentang amal itu berdasarkan Alquran. Kadang secara aneh seseorang merasa benar ketika merusak langkah tauhid orang lain, sedangkan ia berbuat dengan perbuatan dosa yang jelas. Memandang baik perbuatan dosa ini merupakan pengaruh sihir syaitan.

Seseorang tidak seharusnya merasa berbuat baik bila melakukan perbuatan memecah integritas seorang mukmin dan kaum mukminin. Hal itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah, dan perbuatan yang sangat disukai oleh syaitan. Seorang isteri yang tidak berbahagia dengan suaminya tidak selayaknya dihibur kehadiran laki-laki lain. Dua mukmin yang berselisih dalam amr Allah di antara kebersamaan mereka tidak selayaknya dipisahkan dari amr mereka. Memandang indah dua solusi buruk di atas merupakan perbuatan syaitan menghiasi kemunkaran. Ada suatu amr tertentu yang diturunkan Allah di antara mukmin yang berselisih yang tidak seharusnya dibatalkan manusia. Hawa nafsu dan komunikasi di antara mereka-lah yang harus diperbaiki, tidak memotong mereka dari amr yang mungkin mulai teridentifikasi. Apalagi bila keduanya menyadari adanya amr Allah di antara kebersamaan mereka dan menginginkan ishlah dalam amr tersebut. Hal ini merupakan benih tumbuhnya pengenalan penciptaan diri mereka. Merusak ishlah tersebut berarti merusak benih ketakwaan seseorang. Masyarakat yang memotong upaya ishlah demikian merupakan masyarakat yang terjangkit akhlak buruk syaitan.

Kadang perselisihan menyebabkan terjadinya cedera secara bathiniah yang perlu dilakukan penyembuhan dengan melibatkan mukmin yang lain. Ibarat seseorang yang terkilir, ia mungkin tidak dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Perintah mengishlahkan mukminin dapat diibaratkan seperti perintah untuk membantu orang yang terkilir. Meluruskan otot terkilir tidak dapat dilakukan hanya dengan menangani satu otot yang terdislokasi. Dua orang yang berselisih harus terlebih dahulu dipersiapkan untuk dapat kembali pada posisi yang ditentukan, baru kemudian keduanya dikembalikan pada amr mereka bersama setelah siap. Tanpa hal itu, dapat terjadi cedera yang lebih parah di antara keduanya. Kadangkala tidak hanya dua pihak yang harus diishlahkan, tetapi terkait pula dengan orang-orang di sekitar mereka. Solusi amputasi seringkali bukanlah sebuah solusi yang baik, perlu dipertimbangkan tingkat keperluannya apakah orang-orang yang baik harus dipotong dari amr mereka. Organ tubuh yang terpisah dari amr karena diamputasi akan mati.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar