Pencarian

Jumat, 26 Agustus 2022

Fitnah Bagi Orang Beriman

Dalam kehidupan seorang beriman, akan dihadapi suatu fase dimana mukminin dituntut untuk kembali beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar. Pada saat tersebut, orang-orang beriman hidup dalam keimanan setengah-setengah atau cenderung kembali kepada kekafiran. Allah bertanya kepada kaum mukminin tentang keimanan mereka dengan menegaskan keadaan kaum mukminin pada saat tersebut.

﴾۱۰۱﴿وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنتُمْ تُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَن يَعْتَصِم بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Bagaimanakah kamu (akan) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan di tengah-tengah kalian ada Rasulullah SAW? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS Ali Imran : 101)

Kaum mukminin pada saat itu (hampir) kembali kepada kekafiran. Hal ini terjadi pada masa masa depan dari jaman Rasulullah SAW yang ditunjukkan dengan bentuk kata kerja present future. Secara khusus, kekafiran itu terjadi karena mereka mengikuti ahli kitab. Pada jaman Rasulullah SAW tidak ada catatan kejadian orang-orang beriman kembali menjadi kafir karena mengikuti para ahli kitab kecuali seorang mukmin yang pertama hijrah ke Habsyi, dan ayat ini tidak diturunkan terkait hal tersebut. Maka dapat dipahami bahwa hal ini terjadi pada masa setelah Rasulullah SAW.

Walaupun telah wafat, sunnah Rasulullah SAW tetaplah berlaku hingga waktu yang tidak terbatas. Karena itu disebutkan pertanyaan bagi keadaan kafirnya kaum mukminin “padahal di tengah kalian ada Rasulullah SAW?”. Hal ini tidak secara langsung terkait dengan kehadiran fisik beliau SAW tetapi lebih ditekankan pada makna kehadiran Rasulullah SAW bagi kaum beriman pengikut beliau SAW sebagai kaum yang memperoleh jalan untuk mencapai kebenaran tertinggi di antara semua orang beriman. Pengikut beliau SAW seharusnya dapat mengenal kebenaran tertinggi bila benar-benar mengikuti sunnah, akan tetapi kaum beriman justru menjadi kafir karena mengikuti ahli kitab. Pada saat itu, orang-orang beriman tampaknya telah banyak melupakan makna kehadiran Rasulullah SAW bagi mereka, sehingga mereka mengikuti para ahli kitab.

Masalah kafirnya orang-orang beriman ini dapat diukur manakala dibacakan ayat-ayat Allah dengan benar kepada mereka. Kaum mukminin yang kufur terhadap bacaan yang benar tentang ayat Allah termasuk dalam orang-orang yang kembali menjadi kafir. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menyebutkan tentang keberadaan orang yang beliau jadikan sebagai mitsal bagi beliau dengan kriterianya. Boleh jadi orang tersebut mempunyai bacaan yang layak untuk beliau jadikan sebagai mitsal bagi beliau SAW. Bila orang tersebut membacakan ayat-ayatnya, maka bacaannya itu bersesuaian dengan bacaan beliau sebagai bagian dari bacaan beliau SAW yang tidak keliru. Kaum mukminin yang kufur terhadap bacaan ayat Allah tersebut termasuk dalam orang-orang yang kembali menjadi kafir, sedangkan orang yang mengikutinya dapat mengikuti golongan orang-orang yang berpegang pada tali Allah.

Benarnya orang yang membacakan dapat dilihat dari caranya berpegang pada ayat Allah. Mereka membaca dengan mengikuti ayat-ayat dalam Alquran, dan bertindak mengikuti bacaannya sebagai amal shalih mereka. Mereka tidak mencari amal shalih berdasarkan hawa nafsu, tetapi menemukan amal mereka dari bacaan kitabullah. Mereka tidak menggunakan ayat-ayat Allah untuk pembenar perbuatan-perbuatan mereka, tetapi menggunakannya untuk mengetahui keadaan diri mereka. Mereka itu orang yang berpegang teguh pada ayat Allah, dan mereka itulah orang yang sebenarnya telah memperoleh petunjuk shirat al-mustaqim.

Ahli Kitab Menghalangi Jalan Allah

Tampaknya sebagian ayat Allah yang dibacakan tidak selalu menyenangkan bagi umumnya kaum mukminin karena menyangkut batas-batas kekafiran yang harus dipatuhi. Hal ini barangkali menjadi hal yang berat bagi orang beriman, karena kekafiran itu dibuat oleh para ahli kitab yang merupakan para syuhada’.

﴾۹۹﴿قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ مَنْ آمَنَ تَبْغُونَهَا عِوَجًا وَأَنتُمْ شُهَدَاءُ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi orang-orang yang telah beriman dari jalan Allah, kamu berupaya hingga (jalan itu) bengkok, padahal kalian adalah syuhada’?". Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS Ali Imran : 99)

Sulit membayangkan seorang syuhada’ yang berasal dari ahli kitab, tetapi hal ini benar-benar ada karena Allah menyebutkannya. Tampaknya ahli kitab demikian berasal dari golongan muslimin yang mempunyai keterbukaan terhadap kitabullah, sehingga mereka mempunyai derajat syuhada’. Pada jaman setelah Rasulullah SAW tidak akan ada umat beragama lain dapat mencapai derajat syuhada’, hanya muslimin yang dapat mencapai kedudukan syahid.

Hal ini hanya dapat dimengerti bila seseorang memahami peta perjalanan taubat kepada Allah. Dalam peta perjalanan taubat, ada sebuah fase yang dapat membalikkan seseorang kembali kafir, yaitu fase ketika seseorang mencapai tanah haram. Ini adalah fase pengenalan seseorang tentang dirinya sendiri. Seseorang dapat kembali kufur terhadap nikmat Allah setelah mencapai tanah suci baginya karena disesatkan oleh syaitan. Tanduk syaitan akan muncul pada saat terbitnya matahari yang menyinari kehidupan seorang mukmin. Bila seseorang tidak menyadari penyesatan syaitan ketika mereka tiba pada tanah suci mereka, maka ia dapat menjadi ahli kitab walaupun mempunyai derajat syuhada’. Mereka akan terlupa dari mengikuti Rasulullah SAW, dan mereka kemudian mempunyai arah perjuangan sendiri dan berupaya mencapai tujuan perjuangan mereka dengan jalan mereka sendiri hingga jalan mereka bengkok. Karena tidak mengikuti Rasulullah SAW, maka mereka tergolong ahli kitab. Alquran memberikan status bagi syuhada’ yang menghalangi manusia dari jalan Allah sebagai ahlul kitab.

Masalah demikian tentulah merupakan persoalan yang rumit. Belum tentu orang yang beriman dapat mengetahui duduk masalah yang timbul dari ahli kitab dalam derajat syuhada’. Persoalan dari mereka boleh jadi mulai dapat diketahui oleh seseorang dalam derajat syuhada’ pula, yang tetap dalam dalam keimanannya tanpa kufur. Allah tidak akan menghukumi seseorang sedangkan mereka tidak mengetahui, akan tetapi selalu ada penghakiman bagi setiap orang beriman yang kembali pada kekafiran. Allah akan menanyakan kepada orang beriman yang kembali kufur hal-hal berikut beserta konsekuensi turunannya yang kompleks, yaitu : bukankah ayat Allah telah dibacakan kepada kalian? Dan bagaimana sikap kalian terhadap makna kehadiran Rasulullah SAW di antara kalian?

Keduanya adalah tuntunan yang telah diturunkan Allah kepada orang-orang beriman, dan orang beriman harus memahami itu. Seorang beriman tidak dapat mendustakan atau meninggalkan salah satu atau keduanya maka ia akan menjadi kafir karenanya. Seseorang juga tidak dapat mengandalkan dirinya sendiri dalam ketaatan kepada Allah, tetapi harus dibuktikan dengan ketaatan pada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Semua ketaatan kepada Allah bernilai tidak benar bila seseorang bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, bahwa ketaatan itu hanyalah hembusan syaitan pada hawa nafsunya.

Orang-orang beriman hendaknya berpegang teguh pada kedua tuntunan itu dengan teguh, atau mereka akan kembali pada kekafiran. Persoalan yang dimunculkan oleh ahli kitab syuhada’ demikian pasti bukanlah persoalan yang jelas kekufurannya, akan tetapi sangat mungkin sebagian merupakan kebenaran dan tercampur di antaranya bagian yang menyebabkan kembalinya orang beriman kepada kekufuran. Bila orang-orang beriman mengikuti sebagian hal yang berasal dari orang-orang yang diberi kitab demikian, maka sebagian hal itu akan mengembalikan mereka kepada kekufuran.

﴾۰۰۱﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تُطِيعُوا فَرِيقًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. (QS Ali Imraan : 100)

Ayat di atas menekankan pada setiap mukmin untuk berpegang pada kitabullah dengan sungguh-sungguh menggunakan akalnya. Seseorang yang diberi kitabullah bukanlah jaminan yang akan menyelamatkan langkah orang yang mengikutinya. Sebagian orang yang diberi kitabullah dapat mengembalikan seorang mukmin menjadi kafir, sekalipun seorang ahli kitab yang berkedudukan syahid. Mukminin dapat mengikuti orang yang diberi kitabullah dengan syarat ia berpegang teguh pada kitabullah Alquran, bukan pada hal yang diberi oleh ahlul kitab tersebut, karena ada hal-hal yang dapat mengembalikan orang yang telah beriman menjadi kufur dalam hal tersebut. Apa yang merupakan turunan yang jelas dari Alquran dapat atau harus diikuti, sedangkan apa yang bertentangan tidak boleh diikuti.

Fitnah Bagi Mukminin

Masalah kembalinya seorang yang beriman kepada kekafiran merupakan fitnah yang akan menimpa umat Rasulullah SAW. Suatu fitnah dapat dipandang sebagai sesuatu yang tidak terlihat sebagaimana mestinya. Suatu kebenaran yang terlihat salah, atau suatu kebodohan yang dipandang makrifat merupakan contoh fitnah. Tidak terbatas dalam hal demikian, fitnah mencakup banyak hal yang terkait suatu penampilan yang tidak sesuai dengan realitasnya.

Orang-orang beriman harus menyadari fitnah yang akan menimpa mereka. Terkait ayat-ayat yang menerangkan tentang kembalinya orang-orang beriman pada kekafiran, Rasulullah SAW memberikan penjelasan tentang fitnah yang akan melanda mereka. Rasûlullâh SAW bersabda :

تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَىُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَىُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلاَ تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ وَالآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلاَّ مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ
Fitnah-fitnah itu akan dihadapkan kepada hati, seperti tikar, satu serat satu serat. Hati mana saja yang menyerap fitnah itu, maka satu noda hitam tertempel dalam hatinya. Dan hati mana saja yang tidak menerimanya, akan tertitiklah pada hati itu satu titik putih, sehingga, jadilah hati itu dua macam; putih seperti batu pualam, sehingga fitnah apapun tidak akan membahayakannya selama ada langit dan bumi, sementara hati lainnya berwarna hitam legam, seperti teko atau ceret terbalik, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemunkaran selain hawa nafsu yang diserapnya. [HR Muslim no. 144]

Setiap orang beriman harus membina dirinya dalam citra Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, tidak dalam citra yang lain. Ada banyak ajaran yang akan menyimpang dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW yang mendatangi orang-orang beriman. Setiap orang beriman harus dapat menimbang setiap ajaran yang diterima dengan hatinya berdasarkan kitabullah, tidak dengan berdasarkan kata-kata orang lain.

Hal ini terkait dengan fitnah, bahwa fitnah itu akan mendatangi hati orang-orang beriman satu per satu. Bila hati orang beriman tidak dapat menimbang kebenaran atau kemunkaran dari apa yang diterimanya, maka fitnah itu akan menyebabkan timbulnya titik-titik noda yang menggelapkan hatinya. Misalnya suatu kebenaran yang dikatakan sebagai kemunkaran dan ia menganggapnya kemunkaran, maka anggapannya itu akan mendatangkan noktah hitam dalam hatinya. Demikian pula suatu kemunkaran yang dikatakan sebagai kebenaran dan ia menganggapnya kebenaran, maka anggapannya itu mendatangkan noktah hitam. Seorang beriman harus dapat menimbang suatu kebenaran sebagai kebenaran walaupun dikatakan sebagai kemunkaran dan suatu kemunkaran sebagai kemunkaran walaupun dikatakan kebenaran, maka hatinya akan menjadi bersih bagaikan pualam.

Kemampuan menimbang itu adalah akal. Akal dapat terhubung kepada Allah untuk memahami hal-hal yang terjadi sesuai dengan kehendak Allah. Akal itulah yang harus dibangun oleh setiap mukmin dalam dirinya. Untuk membangun hal itu, Allah menghamparkan ayat-ayat-Nya di alam semesta, dalam kitabullah dan dalam diri manusia. Ketiganya harus dibaca secara terpadu dipimpin ayat dalam kitabullah. Ibarat membangun suatu bangunan, pekerjaan itu harus dikerjakan berdasarkan suatu gambar rencana dan spesifikasi yang benar. Rencana itu dibaca dan diwujudkan oleh orang yang mampu membaca gambar bangunan hingga detail elemennya, dan keadaan lingkungan harus diketahui agar tidak keliru dalam membangun. Ketiga hal itu tidak dapat ditinggalkan salah satunya agar terwujud bangunan yang baik, benar dan kokoh.

Membangun akal tidak boleh meninggalkan ketiga ayat Allah. Seseorang tidak bisa membangun akalnya hanya dengan mengamati dirinya sendiri tanpa peduli semestanya. Kadang seseorang hanya membaca ayat kauniyah tanpa panduan kitabullah. Kadang seseorang hanya memohon Allah agar ditegakkan akalnya dengan pasrah tanpa berusaha membaca ayat-ayat Allah yang telah diturunkan daalam kitabullah, di alam semesta dan dirinya. Hal ini merupakan langkah yang tidak tepat dalam membangun akal. Setiap mukmin harus membaca ayat-ayat Allah secara integral agar dapat membangun akalnya untuk memahami kehendak Allah.

Ada salah satu metode membina akal menjadi perhatian Rasulullah SAW dalam hadits di atas dan beliau jelaskan bahwa itu merupakan fitnah bagi orang beriman, yaitu metode yang akan menjadikan seseorang mempunyai hati yang berbentuk teko/ceret yang diletakkan terbalik. Hati itu dapat menampung pengetahuan, akan tetapi hati itu diletakkan secara terbalik yang menyebabkan pengetahuan itu selalu tertumpah lagi dari teko. Bila seseorang terus mengikuti cara pembinaan demikian, maka kelak hatinya akan menjadi hitam dan tetap terbalik sebagai ceret, tidak dapat mengenali kebenaran dan tidak mengingkari kemunkaran. Mereka hanya mengikuti kebenaran sesuai yang dikatakan oleh orang lain, dan mengingkari kemunkaran sesuai yang dikatakan oleh orang lain, bukan kebenaran atau kemunkaran yang diketahui hatinya.

Cara membentuk hati sebagai teko/ceret yang menampung pengetahuan itu benar, akan tetapi cara meletakkannya salah. Tetap saja hal demikian berbahaya bagi orang beriman, karena justru orang beriman akan menyangka itu sebuah kebenaran, dan hal itu akan menjadi fitnah bagi orang beriman. Seandainya tidak meletakkannya secara terbalik, maka hati itu dapat menampung pengetahuan kebenaran. Ia akan dapat mengenali kebenaran dengan hatinya, dan dapat mengingkari kemungkaran dengan hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar