Pencarian

Minggu, 21 Agustus 2022

Takwa Yang Sebenarnya (Haqqa Taqwa)

Allah memerintahkan kepada kaum mukminin untuk memperbaiki hubungan (ishlah) di antara mereka. Ishlah paling utama dilakukan di antara kaum mukminin adalah untuk menyatukan langkah dalam melaksanakan urusan Allah. Perintah ishlah di antara kaum mukminin tidak hanya dibatasi pada bentuk-bentuk pertikaian, akan tetapi juga dalam membangun persaudaraan dalam amr Allah. Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara, dan persaudaraan itu hendaknya dibina dengan kuat melalui ishlah di antara satu mukmin dengan mukmin yang lain dalam melaksankan perintah Allah berupa amr jami’ yang menjadi amanah Rasulullah SAW.

﴾۰۱﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS Al-Hujuraat : 10).

Membangun persaudaraan di antara kaum mukminin harus dilandasi sebuah sikap takwa. Dengan sikap takwa maka kaum mukminin akan memperoleh rahmat Allah yang dijanjikan bagi mereka. Sikap takwa akan menjadikan seorang dan setiap mukmin dapat berjalan lurus dengan langkah yang kokoh untuk memperoleh rahmat Allah.

Tidak mudah untuk membuat batasan tentang takwa. Terminologi takwa berasal dari firman Allah kepada Rasulullah SAW, bukan kata yang berasal dari lisan orang-orang Arab. Bahkan di antara para sahabat seringkali terjadi pertanyaan tentang terminologi takwa agar diperoleh pemahaman yang lebih baik bagi diri mereka sendiri. Di kisahkan bahwa Umar bin Khatthab r.a pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang takwa. Ubay bin Ka’ab r.a menjawab, ”Pernahkan Anda melewati jalan yang penuh dengan duri?” Umar ibn Khattab r.a menjawab, “Pernah.” Ubay bertanya, “Lalu apa yang Anda lakukan?” Umar menjawab, “Aku singsingkan lengan bajuku dan berhati-hati dalam melewatinya.”

Dari sisi lisan bahasa Arab, makna yang paling mendekati kata taqwa adalah “dengan penuh kekuatan, menambah kekuatan” (تَقَوّى). Terkait dengan perjalanan kembali kepada Allah yang digambarkan dalam berbagai ayat dalam Alquran, perintah taqwa kepada Allah memberi gambaran tentang suatu perintah untuk menambah kekuatan dalam berpegang pada kehendak Allah. Setiap mukmin diperintahkan agar berpegang pada kehendak Allah dalam berjalan kembali kepada Allah dengan kekuatan penuh dan menambah kekuatannya. Dengan ketakwaan, seseorang akan memperoleh sarana membina hubungan transenden dengan rabb-nya.

Ketakwaan dapat terwujud dalam setiap lapis keadaan dalam perjalanan kepada Allah. Seseorang dapat bertakwa pada tingkatan nafs dengan qalbnya atau lubb, dan dapat bertakwa pada tingkatan lahiriah. Keseluruhan ketakwaan itu harus terbangun pada diri seseorang, dari ketakwaan tingkat lahiriah hingga ketakwaan qalb yang tertinggi secara simetris. Dengan ketakwaan pada seluruh lapisan keadaannya maka seseorang akan memperoleh ketakwaan yang sesungguhnya (Haqqa Taqwa).

Pondasi bagi Ketakwaan yang Haqq

Pondasi ketakwaan terdapat pada lapis alam dunia. Ketakwaan di setiap lapisan dapat dibangun dengan baik bila ketakwaan di lapis kehidupan dunia dibangun. Seseorang mungkin diijinkan untuk dapat membangun ketakwaan pada lapisan qalb mereka, tetapi bila tidak disertai dengan membangun ketakwaan pada lapis dunia, maka ketakwaan itu dapat melenceng dan menyesatkannya. Ketakwaan pada lapis dunia adalah berpegang pada nash yang tertulis dalam Alquran. Sebagian kaum mukminin akan ditanggalkan pakaian ketakwaannya di akhirat kelak karena ketakwaan yang tidak terbangun hingga alam duniawi, sedangkan mereka membangun ketakwaan pada lapisan qalb yang tinggi di dunia. Ketakwaan pada lapis duniawi akan menentukan kekuatan ketakwaan yang sesungguhnya (haqqa tuqootihi) di seluruh lapisan kehidupan.

Untuk membangun ketakwaan yang sesungguhnya (haqqa tuqootihi), setiap orang harus berpegang teguh pada tali yang diturunkan Allah hingga alam duniawi. Tidak boleh seorang mukmin membangun hubungan kepada Allah tanpa disertai memperhatikan sarana yang diturunkan Allah hingga alam dunia sebagai washilah. Allah telah menurunkan seluruh fasilitas meraih ketakwaan pada segenap ufuk hingga mencapai alam duniawi. Alquran dapat dibaca oleh makhluk di alam bumi, dan mempunyai makna pada setiap lapisan alam hingga mencapai sisi Allah SWT. Hendaknya setiap manusia berpegang teguh pada tali Allah untuk mencapai ketakwaan yang sesungguhnya.

﴾۳۰۱﴿وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS Ali Imran : 103)

Alquran itu merupakan tali Allah yang diturunkan sebagai salah satu washilah agar manusia memperoleh jalan untuk bertakwa di setiap lapis keadaan mereka. Selain Alquran, Allah mengutus Rasulullah SAW sebagai makhluk yang dapat memahami seluruh kandungan Alquran dan sebagai pemimpin bagi seluruh makhluk. Tanpa memperhatikan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, seseorang tidak akan memperoleh ketakwaan, dan menentang Alquran akan mendatangkan kecelakaan bagi orang yang menentangnya.

Setiap orang harus berpegang teguh dengan kitabullah dengan akalnya. Ia harus membentuk akalnya dalam citra kitabullah tidak meleset darinya karena mengikuti yang lain. Kadangkala kerusakan ketakwaan manusia datang melalui fitnah-fitnah kemunkaran yang kecil dan manusia tidak mengingkarinya, dan kemunkaran-kemunkaran itu akhirnya menjadikan mereka mempunyai hati yang hitam. Ia menjadi tidak mengenali kebenaran dan tidak mengingkari kemunkaran, tetapi hanya mengenali apa yang disampaikan kepada mereka berdasarkan hawa nafsu mereka. Rasulullah SAW bersabda :

تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَىُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَىُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلاَ تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ وَالآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لاَ يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلاَّ مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ
Fitnah-fitnah itu akan dihadapkan kepada hati, seperti tikar, satu serat satu serat. Hati mana saja yang menyerap fitnah itu, maka satu noda hitam tertempel dalam hatinya. Dan hati mana saja yang tidak menerimanya, akan tertitiklah pada hati itu satu titik putih, sehingga, jadilah hati itu dua macam; putih seperti batu pualam, sehingga fitnah apapun tidak akan membahayakannya selama ada langit dan bumi, sementara hati lainnya berwarna hitam legam, seperti teko terbalik, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemunkaran, tetapi hanya mengenali apa-apa yang diserap hawa nafsunya. [HR Muslim no. 144]

Bila seseorang tidak membentuk hatinya untuk mengenali kebaikan dan membenci kemunkaran berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka mereka akan menjadi orang-orang yang hatinya seperti teko terbalik. Mereka mengenali kebaikan dari apa yang dikatakan oleh orang lain sebagai kebaikan, dan mengenali kemunkaran dari apa yang dikatakan oleh orang lain sebagai kemunkaran. Mereka tetap mengikuti perkataan orang lain itu walaupun perkataan itu terbalik-balik dari realitasnya layaknya fitnah. Mereka tidak mengenali kebenaran dan kemunkaran dengan hatinya berdasarkan kitabullah. Dengan keadaan demikian, tidak akan ada jalan ketakwaan bagi mereka.

Ketakwaan palsu merupakan salah satu jenis fitnah yang terbentuk dengan cara demikian. Manusia mengira sebuah ketakwaan sedangkan sebenarnya tidaklah demikian. Apa yang tampak sebagai ketakwaan demikian sebenarnya ketakwaan yang tidak berakar pada realitas tetapi melayang pada prasangka. Orang-orang yang mengikuti ketakwaan palsu akan mempunyai hati sebagaimana teko yang terbalik, tidak menyimpan pengetahuan kecuali hanya kata-katanya, dan pengetahuan (yang benar) tertumpah kembali keluar dari teko itu ketika kata-kata itu telah berlalu. Tidak terbentuk timbangan kebaikan dan kemunkaran dalam diri seseorang, hingga mereka tidak dapat menimbang kebaikan dan kemunkaran dengan akal mereka. Mereka mengenal kebaikan dan mengingkari kemunkaran berdasarkan perkataan yang  mereka ikuti tanpa timbangan dalam dirinya dan mengira semua perkataan itu benar tanpa mempunyai timbangan pengetahuan realitasnya.

Ketakwaan dan Persaudaraan

Ketakwaan yang benar mempunyai akar di semesta berupa persaudaraan. Ishlah di antara kaum mukminin menjadi dasar pembentukan persaudaraan yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang beriman. Tanpa membangun ishlah di antara orang-orang beriman, tidak akan terbentuk persaudaraan dan ketakwaan yang sesungguhnya. Merusak ishlah di antara dua orang mukmin yang menginginkan ishlah berimplikasi merusak akar persaudaraan dan ketakwaan. Dalam perkara demikian, hati orang yang bertakwa akan mempunyai sikap setidaknya merasakan kesegaran bersemainya akar takwa dari ishlah yang akan terjadi dan merasakan bahaya merusakkannya. Hatinya tidak merasa netral atau justru menentang terjadinya ishlah kecuali ada pengetahuan yang kuat tentang tipu daya syaitan. Lebih dari itu, ada pengetahuan yang besar dari setiap syariat dan hukum yang ditempuh oleh setiap mukmin. Setiap orang beriman harus membangun ketakwaan yang berkait erat dengan persaudaraan di antara mereka. Persaudaraan dan ketakwaan ini harus dibangun di atas landasan kitabullah, karena banyak hal palsu yang sebenarnya mendatangkan keburukan ketika suatu tujuan dicapai tanpa berpegang pada kitabullah.

Orang yang tidak berpegang pada kitabullah akan celaka. Gejala kecelakaan itu akan muncul terlebih dahulu, yaitu bercerai berai (tafarruq) dalam firqah yang saling bertentangan, dan bermusuh-musuhan. Bercerai-berai (tafarruq) merupakan bentuk lebih lanjut dari perselisihan (ikhtilaf), di mana suatu perselisihan telah memunculkan kelompok-kelompok yang saling menyalahkan pihak lain. Perselisihan merupakan hal yang biasa terjadi pada kaum mukminin yang belum memperoleh nikmat Allah karena pemahaman yang berbeda-beda. Bila tidak bertaubat, perselisihan dapat berlanjut menjadi bercerai-berai (tafarruq). Tanpa berpegang pada kitabullah, orang yang beriman tidak akan dapat menyatukan hati. Penyatuan hati akan mungkin terjadi bila setiap mukmin berpegang pada kitabullah menggunakan akalnya.

Ketakwaan yang sesungguhnya berkaitan dengan terbentuknya persaudaraan, dan terkait dengan amanah dalam kitabullah. Penyangkalan terhadap suatu ayat dalam kitabullah merupakan hambatan yang sangat besar dalam membentuk persaudaraan dan ketakwaan yang sesungguhnya. Demikian pula pelanggaran dan dosa terhadap ayat kitabullah menjadi hambatan besar berikutnya. Orang beriman mungkin terjatuh dalam perbuatan dosa, tetapi tidak akan menyangkal, berargumen, beralibi atau berkelit terhadap kebenaran kitabullah. Dosa terhadap kitabullah yang paling utama adalah menyangkalnya dan menyusun argumen yang berlainan dari kitabullah. Hal ini akan menyebabkan seseorang terlepas dari tuntunan kitabullah. Dosa seseorang berikutnya berupa melanggar amr terkait kitabullah yang telah diketahui. Persaudaraan yang mengantar pada ketakwaan sesungguhnya hanya terbangun di atas amr yang terkait kitabullah, tidak dapat terbentuk pada hal yang lain.

Penyatuan hati yang sebenarnya akan terjadi manakala seorang mukmin mengenal amr jami’ yang merupakan amanah Rasulullah SAW. Orang yang mengenal amr tersebut dan menjalankan peran dirinya adalah orang-orang yang memperoleh fadhilah Allah dan memperoleh nikmat Allah. Orang yang memperoleh nikmat Allah itulah yang akan berproses menjadi bersaudara karena nikmat Allah. Bila mukmin tidak memperoleh nikmat Allah, maka akan ditemukan adanya perselisihan baik dalam pengetahuan ataupun dalam amal yang dikerjakan. Orang yang memperoleh nikmat cenderung akan bersepakat dengan saudaranya walaupun mempunyai bentuk ilmu dan amal yang berbeda. Mereka berjalan dengan serasi sesuai dengan nikmat yang mereka peroleh tanpa membuat perselisihan.

Allah menurunkan wahana ketakwaan hingga mencapai kehidupan di bumi, menyentuh kehidupan setiap manusia dalam hubungan semi-vertikal transenden. Rasulullah SAW adalah imam bagi setiap laki-laki yang menjadi sarana ketaatan setiap orang kepada Allah. Setiap orang terhubung kepada Rasulullah SAW melalui para imam mereka, maka para imam mereka merupakan perpanjangan dari Rasulullah SAW. Ketika seseorang berusaha taat kepada Allah, maka mereka harus mentaati Rasulullah SAW. Bila akan mentaati Rasulullah SAW, maka mereka harus mentaati imam mereka selama tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Tanpa wahana turunan itu, tidak ada ketakwaan terbangun dalam diri seseorang. Persaudaraan dan ketakwaan yang sesungguhnya terdapat dalam jaring-jaring washilah hubungan semi-transenden ini.

Fragmen fraktal ketakwaan yang paling menyentuh kehidupan setiap manusia adalah pernikahan. Pernikahan akan membangun ketakwaan setiap insan secara utuh pada jiwa dan raga. Setiap orang akan memperoleh wahana untuk mengerti tuntunan Allah dalam kehidupan di alam raga hingga alam nafs masing-masing. Pernikahan menjadikan setiap manusia terlibat intensif secara jiwa dan raga membangun pemahaman terhadap kehendak Allah. Dengan wahana itu, seseorang dapat membangun ketakwaan secara paripurna, tumbuh dengan baik dalam kehidupan baik secara ragawi maupun tumbuh qalb mereka, terbangun ketakwaan di lapis alam dunia dan bertakwa pula di alam nafs hingga seseorang dapat mengerti kehendak Allah.

Hubungan semi-vertikal transenden yang membentuk jaring washilah tergambar pula dalam pernikahan. Seorang suami adalah wahana ketakwaan seorang isteri yang menjadi wakil dari rabb sebagai objek bagi isterinya. Tanpa mentaati suami, seorang isteri tidak dapat memperoleh ketakwaan yang sebenarnya. Sebaliknya juga demikian, tanpa berusaha menuntun isterinya kepada Allah berdasarkan kitabullah, seorang laki-laki tidak memperoleh ketakwaan yang sebenarnya.

Mencederai prinsip semi-vertikal transenden yang tergambar dalam pernikahan akan mendatangkan kerusakan bangunan ketakwaan. Mungkin seorang perempuan dapat membangun ketakwaan pada tingkatan nafs mereka hingga dapat memperoleh sarana hubungan transenden dengan rabb-nya, atau memperoleh pengetahuan berbagai hal duniawi dari alam yang tinggi, akan tetapi bila ia meninggalkan suaminya, kelak di akhirat pakaian ketakwaan itu akan ditanggalkan. Demikian pula bila seorang laki-laki bertindak tanpa berpegang pada kitabullah dalam hubungan semi transenden tersebut, ia mungkin memperoleh sarana hubungan dengan rabb-nya melalui hatinya, akan tetapi kelak akan ditanggalkan pakaian ketakwaan itu dari dirinya. Sebenarnya hasil hubungan transendennya pun tidak sepenuhnya lurus bila ia memperhatikannya karena adanya ketakwaan palsu. Allah memberikan kepadanya petunjuk dengan kualitas sebagaimana sikapnya yang tidak konsisten dalam mengikuti Alquran. Keberpakaian palsu demikian terutama dapat terbentuk bila terdapat hal yang keliru dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Jalan membangun ketakwaan seutuhnya ini menjadi sasaran utama yang dirusak oleh syaitan jajaran tertinggi mereka. Seseorang akan disesatkan dari ketakwaannya manakala bisa disesatkan, dan dirusak jalan ketakwaan seutuhnya bila seseorang berjalan dengan lurus menuju ketakwaan sebenarnya. Kadangkala ditemukan orang yang telah membangun takwa di nafs mereka tetapi amal dan keadaannya di alam mulkiyah bertentangan dengan Alquran, kadang ditemukan orang yang diberi kemampuan membangun jalan ketakwaannya (hanya) pada lapis duniawi, tetapi sebenarnya ia telah membangun takwa karena jalannya yang seutuhnya telah dirusak syaitan. Perjuangan pasangan menikah untuk mewujudkan ketakwaan seutuhnya ini akan menghadapi upaya syaitan yang sangat banyak dari kalangan syaitan yang tertinggi mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar