Pencarian

Kamis, 18 Agustus 2022

Mengishlahkan Kaum Mukminin

Setiap orang beriman harus berusaha mengikuti langkah Rasulullah SAW kembali kepada Allah. Hal itu akan mengantarkan kaum mukminin pada pengenalan kepada Allah dan menjadi saksi yang sebenarnya bagi Allah. Perjalanan itu akan menjadikan umat manusia menemukan kesatuan dalam amr jami’ Rasulullah SAW dalam keragaman yang ada pada diri mereka.

Akan tetapi proses kesatuan itu tidak serta merta terwujud di antara kaum mukminin. Ketika seseorang memulai langkah mengikuti Rasulullah SAW, mukminin berada pada keragaman pola pikir di antara mereka dan pengetahuan kebenaran mungkin relatif tidak banyak. Keterbatasan pengetahuan seringkali mengurung seseorang dalam paradigma yang terbatas pula. Kadang seseorang yang baru memperoleh pengetahuan merasa telah mengenal seluruh kebenaran. Selain hal itu, kadangkala beberapa pihak tertimpa kesesatan dalam langkah mereka mengikuti langkah Rasulullah SAW. Hal-hal demikian seringkali mengakibatkan perselisihan dan bahkan pertikaian di antara kaum mukminin.

﴾۹﴿وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ فَإِن فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Dan kalau ada dua golongan dari orang beriman berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Bila salah satu melakukan bughat terhadap yang lain, hendaklah kamu perangi pihak yang melakukan bughat sampai mereka kembali pada amr Allah. Kalau dia telah kembali, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku setimbang; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku setimbang. (QS Al-Hujuraat : 9)

Allah memerintahkan kepada kaum mukminin untuk mengishlahkan pihak-pihak yang bertikai di antara kaum mukminin. Kaum mukminin tidak boleh abai terhadap perselisihan dan pertikaian yang terjadi di antara mereka. Ada sebuah dasar yang harus diperhatikan oleh kaum mukminin untuk melakukan ishlah pihak-pihak yang bertikai di antara kaum mukminin, yaitu hendaknya mereka kembali kepada amr Allah, yaitu untuk mengikuti amr jami’ yang diamanahkan kepada Rasulullah SAW. Tanpa landasan ini, barangkali sulit mendamaikan dua pihak mukminin yang bertikai, karena masing-masing memiliki landasan dalam tindakan mereka.

Kadangkala perselisihan di antara mukminin bersifat bughat, yaitu perselisihan dan pertikaian yang terjadi karena melencengnya salah satu pihak dari amr yang benar. Suatu bughat dilakukan oleh pihak yang keliru dalam melaksanakan amr, dilakukan terhadap pihak yang benar dalam melaksanakan amr. Bila terdapat kesalahan dalam melaksanakan amr, pasti akan terjadi perselisihan di antara kaum mukminin karena Allah memerintahkan kaum mukmininin yang melihat kesalahan untuk tidak mendiamkan kesalahan itu. Bila ia mampu, ia harus melakukan amar ma’ruf nahy munkar. Bila mukmin yang keliru menimbulkan pertikaian, maka dikatakan ia melakukan bughat terhadap mukmin yang lain.

Melawan Bughat

Bila ditemukan permasalahan bughat di antara kaum mukminin, kaum mukminin diperintahkan untuk memerangi kaum yang melakukan bughat hingga orang-orang yang melakukan bughat kembali kepada amr Allah. Memerangi kaum yang demikian tidak boleh tercampur dengan hawa nafsu. Prinsip ini sebenarnya berlaku dalam setiap peperangan, tetapi harus lebih diperhatikan terkait dengan kaum mukminin. Ketika suatu pihak menyadari kekeliruannya, pihak yang lain harus bersegera memberikan kesempatan untuk kembali kepada amr Allah, tidak melanjutkan pertikaiannya.

Permasalahan bughat harus dilihat dari sudut pandang amr Allah. Seorang ulama yang benar tidak dikatakan melakukan bughat terhadap khalifah yang salah, dan demikian sebaliknya khalifah yang benar tidak dikatakan melakukan bughat terhadap ulama yang salah. Demikian pula hubungan di antara semua elemen yang ada dalam suatu umat, permasalahan bughat harus dilihat dari sudut pandang amr Allah, tidak diukur berdasarkan kekuatan pihak-pihak yang bertikai. Seorang yang sendirian dalam amr Allah tidak dapat dikatakan melakukan bughat terhadap masyarakat besar yang keliru dalam mensikapi amr Allah. Amr Allah adalah tolok ukur kedudukan seseorang dalam perkara bughat.

Mengishlahkan dua pihak mukminin hanya dapat dilakukan dalam timbangan amr Allah. Orang yang mengishlahkan harus berusaha memahami amr Allah di antara dua orang yang berselisih dan memberikan saran langkah yang harus dilakukan berdasar amr Allah, bukan berdasarkan keberpihakan emosional. Orang yang tidak mengetahui atau tidak dapat menimbang amr Allah di antara dua pihak yang berselisih tidak layak menghakimi, baik salah satu atau kedua pihak sebagai benar atau salah. Seseorang tidak boleh menghakimi perkara di antara 2 mukmin yang berselisih hanya dengan mendengarkan masalah dari salah satu pihak, atau hanya dengan mengikuti pendapatnya sendiri. Keseluruhan pihak harus dipahami sudut pandangnya terhadap amr di antara mereka. Tidak ada hakim yang adil hanya dengan mengikuti pendapat mereka sendiri tanpa berusaha memahami masalah dari seluruh pihak.

Tujuan yang harus dicapai dalam ishlah adalah kembalinya kedua pihak pada amr Allah. Sikap damai yang ditempuh kedua pihak dengan menghindari amr Allah tidak menunjukkan keberhasilan ishlah, atau justru dapat dikatakan merupakan kegagalan ishlah. Dalam praktiknya, mengishlahkan pihak mukminin yang bertikai seringkali harus dilakukan dengan melawan kedua pihak agar masing-masing kembali kepada Amr Allah, dengan argumentasi atau dengan kekuatan. Kedua pihak yang berselisih seringkali cenderung terpancing berbuat hal yang melenceng dari amr Allah baik secara mandiri ataupun karena berbalasan. Penting memperhatikan keadaan terkini dari dua pihak, karena perselisihan demikian bersifat dinamis tidak seperti keadaan perselisihan orang kafir. Tindakan ishlah demikian tidak dalam rangka menjatuhkan hukuman terhadap salah satu pihak, tetapi membuat kesepahaman. Bila seseorang yang mengishlahkan hanya berdiri pada satu pihak, maka boleh jadi ia akan terlarut dalam perselisihan, dan perselisihan itu akan membesar.

Bila dua pihak yang berselisih menemukan kesepakatan langkah tentang amr Allah bagi mereka, tidak boleh ada pihak ketiga yang merusak kesepakatan itu dan menimbulkan kembali perselisihan di antara 2 pihak tersebut. Hal ini harus benar-benar diperhatikan. Secara syariat, salah satu kebohongan yang diperbolehkan adalah berbohong untuk melakukan ishlah di antara dua pihak mukmin yang berselisih. Hal ini menunjukkan keutamaan nilai ishlah di antara mukminin dibandingkan mempermasalahkan kesalahan. Bila ishlah yang diinginkan oleh dua pihak justru dirusak pihak lain, pihak ketiga itu bertentangan dengan tuntunan agama. Tidak ada seseorang yang memegang amanah Allah dalam bentuk merusak ishlah di atas amr Allah yang diinginkan dua mukminin yang bertikai. Amanah Allah yang tertulis dalam kitabullah adalah mengishlahkan para mukminin yang berselisih hingga mereka kembali kepada amr Allah. Apa yang tertulis dalam kitabullah tidak dapat dikalahkan dengan suatu pendapat yang bertentangan dengan hal itu.

Melakukan ishlah di antara kaum mukminin merupakan perintah Allah. Perintah ini tidak boleh dianggap remeh oleh kaum mukminin. Betapa buruknya keadaan yang akan menimpa kaum mukminin manakala perintah melakukan ishlah tidak dilakukan di antara mereka. Harus disadari bahwa sering terjadi permasalahan yang sangat besar karena suatu upaya ishlah di antara dua orang tidak terfasilitasi atau bahkan dicegah terjadi di antara kaum mukminin, sedangkan keduanya berikhtiar melakukan ishlah untuk kembali kepada amr Allah bersama-sama. Pencegahan upaya ishlah demikian merupakan langkah syaitan untuk memecah belah kaum mukminin. Campur tangan syaitan ini harus disadari kaum beriman, bahwa akibatnya bisa sangat buruk sebagaimana syaitan memisahkan seorang isteri dari suaminya. Syaitan yang paling tinggi kedudukannya memisahkan seorang perempuan dari suaminya, dan memisahkan seorang mukmin dari mukmin lain berikutnya. Hal itu akan menyebabkan terpecah-belahnya umat manusia oleh syaitan. Para syaitan itu akan sangat leluasa memecah belah manakala mereka menemukan sekutu dari kalangan manusia. Kaum mukminin hendaknya tidak membangkitkan permusuhan di antara mukminin lain.

Suatu perselisihan kadangkala timbul dari rasa tidak suka atau kebencian seseorang kepada yang lain. Ishlah harus dilakukan termasuk dalam hal semacam ini agar terbentuk persaudaraan yang kuat di antara kaum mukminin. Kaum mukminin tidak boleh memfasilitasi perasaan tidak suka dan kebencian untuk terpantik dan berkobar di antara satu mukmin dengan mukmin yang lain, sebaliknya harus diupayakan semua pihak kembali kepada amr Allah. Ishlah harus dilakukan di antara mukminin. Rasa tidak suka atau kebencian merupakan perasaan yang timbul dari hawa nafsu, dan ikut serta mengobarkan perasaan itu juga merupakan karakteristik hawa nafsu, sedangkan hawa nafsu merupakan kebodohan. Keimanan tidak akan dapat tumbuh bersama kebodohan, dan kaum mukminin tidak boleh tumbuh di atas kebodohan.

Membangun Persaudaraan dan Kendalanya

Ishlah paling utama dilakukan di antara kaum mukminin adalah untuk menyatukan langkah dalam melaksanakan urusan Allah. Perintah ishlah di antara kaum mukminin tidak hanya dibatasi pada bentuk-bentuk pertikaian, akan tetapi juga dalam membangun persaudaraan dalam amr Allah. Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara, dan persaudaraan itu hendaknya dibina dengan kuat melalui ishlah di antara satu mukmin dengan mukmin yang lain dalam melaksanakan perintah Allah berupa amr jami’ yang menjadi amanah Rasulullah SAW.

﴾۰۱﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS Al-Hujuraat : 10).

Ayat di atas mempunyai penekanan sedikit berbeda dengan ayat 9 untuk urusan yang sama berupa ishlah. Ishlah dalam ayat 10 lebih ditekankan dalam membentuk persaudaraan di antara kaum mukminin yaitu agar setiap mukmin memahami amr Allah secara komprehensif dan saling memahami satu dengan yang lain, sedangkan ayat 9 lebih ditekankan dalam menekan perselisihan dan pertikaian. Orang yang menegakkan ishlah di antara dua pihak yang bertikai dengan sikap setimbang akan dicintai Allah, dan orang-orang yang membangun ishlah untuk persaudaraan dalam ketakwaan akan memperoleh rahmat Allah.

Ada banyak penghalang bagi kaum mukminin dalam membangun persaudaraan, di antaranya adalah sikap suatu kaum merendahkan kaum yang lain dalam berbagai urusan. Sebagian orang merendahkan kaum yang lain dalam urusan ilmu dan pengetahuan, sebagian kaum merendahkan kaum yang lain dalam urusan duniawi. Dalam bidang apapun kaum mukminin tidak dibolehkan merendahkan kaum yang lain. Suatu kaum laki-laki tidak dibolehkan merendahkan kaum laki-laki yang lain, dan kaum perempuan tidak dibolehkan merendahkan kaum perempuan yang lain.

﴾۱۱﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum laki-laki merendahkan kaum laki-laki yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula suatu kaum perempuan merendahkan kaum perempuan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah kefasikan sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS Al-Hujuraat : 11)

Sikap merendahkan bukanlah sikap yang baik, dan sebenarnya hal itu seringkali terjadi pada kaum yang berakhlak rendah. Ketika seseorang atau suatu kaum merendahkan kaum yang lain, seringkali sikapnya itu mencerminkan dirinya sendiri. Suatu kaum yang merendahkan kaum yang lain seringkali tidak lebih baik dari kaum yang direndahkan, dan lebih sering kaum yang direndahkan sebenarnya lebih baik dari kaum yang merendahkan. Sikap merendahkan demikian sangat menghambat proses terbentuknya ishlah dan persaudaraan di antara kaum mukminin.

Hal itu tidak hanya terjadi pada orang yang berakhlak rendah. Ketika seorang yang tinggi merendahkan orang lain, sangat mungkin orang yang direndahkan sebenarnya lebih baik dari yang merendahkan dan orang yang merendahkan tidak mampu melihat kebaikan orang yang direndahkan. Dalam keadaan apapun, sikap merendahkan orang lain bukan merupakan sifat yang baik. Orang yang merasa baik hendaknya mengajak orang lain pada kebaikan, tidak terjebak dalam sikap merendahkan hal-hal yang terlihat tidak baik pada orang lain. Bila seseorang merendahkan, perlu diperiksa barangkali ada keropos pada pondasi akhlak mulia orang tersebut.

Hal ini terkait dengan pertaubatan seseorang. Orang yang merendahkan sebenarnya dipertanyakan akad pertaubatannya. Tidak ada sifat sombong atau merendahkan orang lain dalam akhlak islam. Bila seseorang memiliki sikap merendahkan, boleh jadi sebenarnya ia tidak termasuk orang yang bertaubat, dan ia termasuk dalam orang yang dzalim. Pondasi akhlak mulia ini harus diperhatikan oleh setiap orang. Sejauh apapun ia mengikuti langkah Rasulullah SAW, ketika pondasi tersebut keropos maka sangat mungkin bangunan agamanya akan runtuh.

Selain tidak merendahkan orang lain, seseorang tidak dibolehkan menganggap diri sendiri tidak berharga. Hal ini menghambat perjalanan seseorang untuk dapat memahami amr jami’ Rasulullah SAW, termasuk di antaranya untuk mengenali jati dirinya sendiri. Setiap orang diciptakan untuk suatu tujuan mulia yang harus ditunaikan bagi setiap manusia. Permasalahan dosa dan kesalahan bagi orang lain harus disikapi dengan tepat, tidak menjadikan seseorang menganggap diri sendiri tercela. Hal ini bisa dilakukan dengan mengingat bahwa ia harus menjadi bagian dari jihad Rasulullah SAW. Penyesalan terhadap kesalahan terhadap orang lain harus ditempatkan pada sayap khauf dari yang berbeda dari sayap raja’ berupa harapan untuk memperoleh bagian dari amr Rasulullah SAW. Apa yang tercela dari dirinya berasal dari hawa nafsu dan syahwatnya, sedangkan dirinya tetaplah makhluk yang memikul suatu amanah yang harus diketahui dan ditunaikan. Ada banyak jalan syariat yang disediakan Allah agar seseorang dapat menundukkan syahwat dan hawa nafsunya, bila ia bergantung kepada Allah.

Penghalang ketiga yang menjadi penghalang membangun persaudaraan yaitu perilaku memberikan stigma buruk kepada orang lain. Hal itu akan menghambat upaya seseorang untuk memperoleh pengenalan terhadap amr Rasulullah SAW. Tidak ada kebaikan bagi suatu umat untuk memunculkan suatu stigma buruk bagi seseorang di antara mereka, dan memunculkan stigma itu dalam suatu panggilan tidak diperbolehkan. Di antara stigma dan panggilan yang paling buruk terhadap seorang mukmin adalah kefasikan setelah keimanan. Manakala mengalami peristiwa stigma tersebut atau stigma yang semakna dengan itu, maka itu adalah suatu stigma yang terburuk yang dapat terjadi di antara kaum mukminin.

Kadangkala suatu panggilan buruk itu benar terjadi, dan seringkali panggilan buruk itu tidak terjadi tetapi hanya merupakan prasangka buruk seseorang pada orang lainnya. Benar atau tidak, panggilan buruk itu hendaknya tidak dilakukan. Panggilan buruk itu adalah jalan yang buruk, dan setiap orang beriman harus mencari jalan yang lebih baik dalam mensikapi tindakan orang lain yang dipandang tidak baik. Hal ini terkait dengan akhlak, di mana akhlak yang mulia akan mensikapi hal yang buruk yang terjadi terhadap dirinya dengan cara yang baik. Melakukan panggilan buruk ini menunjukkan akhlak yang buruk, dan hal ini tidak mendatangkan manfaat bagi jamaah orang beriman. Bila seorang beriman memberikan stigma secara salah kepada orang beriman lain sebagai orang yang keluar dari iman atau kata lain yang semakna dengan itu, maka itu adalah akhlak yang paling buruk yang mungkin terjadi pada seorang yang beriman. Barangkali ia berada pada batas akhlak kufur.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar