Pencarian

Senin, 06 September 2021

Malu Sebagai Akhlak Agama Islam

Rasulullah diutus ke dunia untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak. Di antara akhlak yang dibentuk Rasulullah SAW bagi umatnya adalah rasa malu. Rasa malu adalah akhlak yang menjadi ciri bagi agama Islam. Setiap muslim harus membentuk akhlak malu dalam kehidupannya untuk mengikuti tarbiyah Rasulullah SAW.
dari Anas bin Malik r.a, Rasulullah SAW bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ
Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu. (HR.Ibnu Mâjah no. 4181)

Hanya dengan rasa malu maka seseorang dapat mengikuti Rasulullah SAW menyempurnakan akhlaknya, karena rasa malu merupakan akhlak dalam agama Islam. Bila mengikuti definisi yang ketat sesuai dengan terminologi Alquran dan Rasulullah SAW, tanpa rasa malu seseorang sebenarnya belum mengenal agamanya, karena akhlak agama Islam adalah rasa malu. Mungkin seseorang memperoleh sebagian rasa malu, mungkin ia sepenuhnya mempunyai rasa malu yang sebenarnya.

Rasa Malu yang Sebenarnya

Malu yang dimaksud oleh Rasulullah SAW bukanlah rasa malu sebagaimana persepsi kebanyakan manusia atau persepsi kebanyakan orang-orang beriman. Malu merupakan amal dalam wujud bathiniah yang harus terwujud dalam wujud dzahiriah. Setiap rasa malu membawa kebaikan bagi seseorang, akan tetapi tidak setiap rasa malu itu merupakan indikasi akhlak agama Islam. Rasa malu sebagai akhlak agama Islam telah dijelaskan dengan terperinci sebagaimana hadits berikut :

Dari Abdullah bin Mas’ud berkata, Rasulullah saw. Bersabda :
اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ
Malulah kalian terhadap Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya malu!” Para sahabat berkata, “Sungguh kami telah memiliki rasa malu, wahai Nabi. Alhamdulillah.” Nabi SAW bersabda :
لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
Tidak, kalian belum merasa malu. Orang yang betul-betul merasa malu di hadapan Allah hendaknya menjaga kepala dan isinya (pikiran), menjaga perut dan apa yang terbit darinya, dan hendaklah mengingat mati dan kebinasaan. Siapa yang menginginkan akhirat, hendaklah meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang sudah melakukan itu semua, berarti dia sudah betul-betul mempunyai rasa malu.” ((HR.at-Tirmidzi (no. 2458), Ahmad (I/ 387), al-Hâkim (IV/323) Abu Ya’la, dan Al Bazzar)

Yang dimaksud sebagai rasa malu yang sebenarnya adalah menjaga kepala dan pikiran sesuai dengan kehendak Allah, menjaga perut dan hal-hal yang terbit karena perutnya, mengingat mati dan memperhatikan hal-hal yang menguji dirinya (al-balaa), dan menginginkan akhirat dengan meninggalkan perhiasan-perhiasan dunia. Keseluruhan hal itulah rasa malu yang menjadi akhlak agama Islam.

Menjaga kepala dan anggota badan adalah wujud amal dzahir, sedangkan menjaga pikiran merupakan wujud amal bathin. Menjaga makanan adalah wujud amal dzahir dan mengendalikan syahwat dan keinginan yang terbit dari perut menunjuk pada pembentukan karakter bathin. Demikian pula amal yang lain mencakup wujud bathiniah dan dzahiriah. Wujud amal dzahir tanpa disertai wujud bathin tidak menunjukkan adanya rasa malu, dan wujud bathin tanpa wujud dzahir menunjukkan ketidaksempurnaan rasa malu.

Ada ketentuan halal dan haram dalam perkara menjaga kepala serta pikiran dan menjaga perut dan apa yang terbit dari perut. Ini adalah pondasi untuk terbentuknya rasa malu. Apa yang diharamkan bagi kepala dan pikiran dapat diukur dari beberapa parameter, yaitu : (1) kekejian baik yang dzahir maupun yang bathin, (2) perselisihan dan pertengkaran dalam masyarakat, (3) dosa, (4) kesyirikan dan (5) perkataan tentang Allah tanpa pengetahuan. Hal-hal itu akan menyimpangkan manusia dari tujuan kehidupan yang sejati. Sebagai contoh, perzinaan merupakan bentuk paling nyata melencengnya seseorang dari pengabdian kepada Allah. Seorang perempuan yang memberikan kesetiaan hatinya dan dedikasi kepada laki-laki selain suaminya juga merupakan wujud melencengnya pengabdian. Wujud dasarnya merupakan kekejian yang harus dihindari setiap orang, tidak terbatas perempuan. Seorang laki-laki yang mengharapkan isteri orang lain juga merupakan bentuk kekejian. Banyak bentuk amal yang sebenarnya menunjukkan melencengnya pengabdian kepada Allah, dan itu merupakan kekejian.

Dalam hal perut, halal dan haram itu akan berpengaruh pada tabiat jasmani dalam pengabdian kepada Allah. Ketentuan halal dan haram telah dijelaskan dengan baik dalam fiqh yang telah banyak dirumuskan para fuqaha. Yang harus dijaga seseorang dalam rangka membangun akhlak rasa malu tidak terbatas pada ketentuan-ketentuan dalam fikih saja, tetapi juga mencakup apa yang terbit dalam jasmaninya karena perutnya. Pendidikan terhadap jasmani harus benar-benar diperhatikan melalui fikih. Ada hal yang terbit dari perut yang diharamkan karena dapat memjadikan liar jasmani, tetapi kemudian dihalalkan setelah dapat diletakkan pada tempatnya, seperti keinginan terhadap lawan jenis yang diletakkan dalam pernikahan. Rasa malu dalam urusan yang telah dihalalkan tidak termasuk dalam rukun pokok rasa malu sebagai akhlak Islam, tetapi ada kebaikan bagi yang memilikinya.

Mengingat maut dan kebinasaan juga merupakan amal bathin dan dzahir. Dengan mengingat maut, seseorang akan memperoleh pengetahuan yang lebih sejati tentang arti kehidupan dirinya, dan kemudian beramal sesuai dengan pengetahuan yang lebih sejati. Kadang-kadang seseorang beramal sepenuhnya untuk duniawi tanpa mengingat kehidupan setelah kematiannya. Dengan amal demikian, seseorang tidak akan dapat memperoleh pengetahuan tentang kehidupan bagi dirinya, dan manfaat yang dihasilkan mungkin sebenarnya memalukan. Orang-orang Islam yang beramal dengan pengetahuan setelah kematian lah yang bisa mendatangkan manfaat bagi orang lain.

Seseorang yang beramal dengan mengingat maut kadang-kadang harus menghadapi tipuan-tipuan dalam kehidupan dirinya. Itu adalah penyebab kebinasaan yang harus diketahui, dikenali dan dihindari. Syariat Islam harus benar-benar menjadi pedoman untuk mengetahui kebinasaan. Kadang-kadang kebinasaan itu datang kepada seseorang tanpa disadari dan tidak dikenali, kemudian seseorang terjebak dalam amal yang membinasakan karena mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan petunjuk Allah. Tanpa berusaha mengetahui dan mengenali tipuan-tipuan dalam kehidupan, seseorang akan tersesat dan binasa. Amal yang dilakukan oleh orang-orang yang tertipu akan menyebabkan madlarat bagi masyarakat, tidak mendatangkan manfaat. Kadang-kadang amal itu terlihat berkilau indah di mata manusia tetapi madlarat yang tersembunyi sangat besar. Mengingat kebinasaan merupakan salah satu rukun dalam terbentuknya rasa malu sebagai akhlak dalam agama Islam. Rasa malu yang lain tidak menggantikan sendi-sendi malu sebagai akhlak Islam.

Sendi malu sebagai akhlak Islam yang lain adalah mengharapkan akhirat dan meninggalkan perhiasan dunia. Keadaan ini adalah hasil dari memalingkan wajah dari dunia dan mengharapkan akhirat. Upaya demikian pada akhirnya menjadikan seorang hamba akan merasa malu untuk berhias dengan dunia. Barangkali perhiasan-perhiasan dunia bukanlah sesuatu yang diharamkan, dan bukan pula sebagai sebuah bentuk kesombongan, akan tetapi orang-orang yang memiliki rasa malu sebagai akhlak Islam akan merasa malu untuk berhias dengan perhiasan dunia lebih dari yang dibutuhkannya. Mereka akan menggunakan dunia hanya sebatas yang mereka butuhkan secara layak.

Sendi-sendi demikianlah yang menegakkan rasa malu sebagai akhlak agama Islam. Tanpa sendi-sendi tersebut, rasa malu sebagai akhlak agama Islam tidak tegak walaupun seseorang mempunyai banyak sifat malu yang lain. Kadang-kadang seorang muslim berhasil menegakkan satu hal tetapi belum mampu atau belum berhasil menegakkan yang lain, maka sedemikianlah tingkatan rasa malu yang ada padanya. Tidak boleh seseorang melanggar dengan sengaja batasan yang menjadi pondasi rasa malu, sedangkan sebenarnya ia telah mampu menegakkan batasan itu dalam dirinya. Demikian pula tidak dibolehkan melanggarnya sedangkan batasan itu diharamkan karena menjadi pondasi terbentuknya rasa malu.

Rasa malu sebagai akhlak agama Islam harus terwujud dalam tingkatan dzahir. Perasaan malu ini akan dikenali oleh seseorang ketika ia mulai mengenal arah kehidupannya dan mengenal keping-keping jati dirinya. Hal ini digambarkan dalam pertemuan Musa dengan calon isterinya, dimana puteri sulung nabi Syuaib a.s datang kepadanya dengan perasaan malu. Gambaran ini mungkin akan terjadi secara umum, dimana seseorang akan merasa malu ketika menemukan pasangan jiwanya pada usia yang telah cukup untuk mengenal kepingan jati dirinya. Ia akan berharap tentang pasangan jiwanya dengan perasaan malu, berangan-angan tetapi sekaligus menjaga diri dalam hal pikiran, syahwat, dan banyak hal tentang agamanya dalam batas-batas yang diperbolehkan sesuai keadaan dirinya. Hal demikian tidak sama dengan yang ditemukan pada remaja, dimana angan-angannya dibiarkan lebih bebas.

Contoh lain, ketika seseorang melihat kilasan jati dirinya, ia akan membatasi pikirannya dalam batas-batas keadaan dirinya, tidak membiarkan pikiran itu melambung liar karena melihat kilasan jati diri. Itu adalah rasa malu yang mulai tumbuh dan rasa malu itu harus terus ditumbuhkan. Bila seseorang membiarkan pikirannya melambung jauh ketika melihat kilasan jati dirinya tanpa ada keinginan mengukur dengan benar keadaan dirinya, hal itu menunjukkan belum ada rasa malu yang tumbuh. Hawa nafsu dan raga harus mengenal rasa malu bahwa ia sebenarnya tidak layak memperoleh karunia itu tanpa rahmat Allah.

Rasa Malu Sebagai Hiasan Iman

Rasa malu demikian akan tumbuh dalam hati orang yang beriman dan bertakwa, dan rasa malu itu menjadi hiasan bagi keimanannya. Rasa malu merupakan salah satu cabang dari iman yang penting di antara cabang-cabang iman yang lain. Hal ini disebutkan secara khusus oleh Rasulullah SAW ketika beliau menjelaskan tentang cabang-cabang iman kepada umatnya. Cabang iman yang paling tinggi adalah pengetahuan tentang tauhid yaitu kalimat Laa Ilaaha Illa Allah, sedangkan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.

Rasulullah SAW bersabda :
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Iman memiliki tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih. Yang tertinggi adalah ucapan LÂ ILÂHA ILLALLÂH dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu itu salah satu cabang dari keimanan. [HR. Muslim]

Cabang adalah sesuatu yang tumbuh dari pokok. Rasa malu sebagai cabang iman menunjukkan adanya pokok berupa iman sebagai basis pertumbuhan, dan rasa malu yang bisa tumbuh hanya di atas dasar keimanan. Tumbuhnya rasa malu yang dimaksud Rasulullah SAW hanya dapat terjadi bila ada keimanan dalam hati seseorang. Tanpa adanya keimanan, rasa malu yang tumbuh barangkali bukanlah rasa malu yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW.

Rasa malu demikian akan dapat tumbuh bersama dengan tumbuhnya pengetahuan tentang kalimah tauhid Laa Ilaaha Illa Allah dan tumbuhnya sifat menghilangkan halangan dari jalan. Cabang yang akan tumbuh pertama kali adalah sifat baik yang tampak dalam bentuk keinginan menghilangkan halangan dari jalan. Bila seseorang memiliki kecenderungan suka menghalangi jalan bagi orang lain, maka keimanannya sebenarnya perlu dipertanyakan mengapa tidak menumbuhkan cabang yang paling rendah. Boleh jadi keimanannya membusuk sehingga tidak menumbuhkan cabang yang paling rendah sekalipun, atau barangkali ia tersesat dengan keimanannya. Menyingkirkan halangan dari jalan adalah cabang paling rendah yang seharusnya tumbuh dalam diri orang beriman.

Dengan pertumbuhan sifat-sifat di atas keimanan itu, orang yang memiliki sifat malu mempunyai kedudukan yang tinggi. Rasa malu akan terlahir pada orang yang telah bertakwa, dan ilmu akan terlahir pada seseorang yang telah tegak rasa malunya.

dari Abu Darda’ r.a berkata, Rasulullah SAW bersabda :
الإيمانُ عُرْيَانٌ وَلِبَاسُهُ التَّقْوَى، وَزِينَتُهُ الحَيَاءُ، وثَمَرَتُه العِلْمُ
Iman itu telanjang, dan pakaiannya adalah taqwa, dan perhiasannya adalah malu dan buahnya ilmu(HR Al-Hakim)

Hadits tersebut menjelaskan tentang pertumbuhan keimanan seseorang. Keimanan harus menumbuhkan ketakwaan, ketakwaan harus menumbuhkan sifat malu, dan sifat malu harus menumbuhkan ilmu. Rasa malu yang dimaksudkan adalah rasa malu sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW, bukan rasa malu yang diketahui orang-orang umumnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar