Pencarian

Jumat, 24 September 2021

Mengenali Kebenaran

Allah telah menurunkan penjelasan kepada segenap makhluk yang berakal tentang hakikat penciptaan diri mereka melalui segenap ciptaan dan firman-Nya. Dengan penjelasan yang diturunkan tersebut, makhluk berakal di segenap alam dapat mencari pengetahuan tentang dirinya dan mengubah dirinya menuju akhlak yang mulia. Manusia di alam dunia ini dapat kembali kepada rabb-nya dengan menempuh jalan kembali yang ditentukan baginya dengan berpedoman kepada Alquran dengan akalnya, sedangkan para jin dan malaikat dapat mengikuti manusia yang diberi pengetahuan dari Alquran.

Untuk menempuh jalan itu, setiap orang harus berusaha memahami penjelasan yang baik tentang kauniyah, dan juga berpegang pada bunyi ayat yang tercantum dalam Alquran. Manusia berada pada tempat yang paling jauh dari cahaya, sedangkan Alquran merupakan firman yang diturunkan dari sisi-Nya. Penjelasan yang harus berusaha dipahami adalah penjelasan yang tidak bertentangan dengan keadaan kauniyah, dan tidak bertentangan dengan yang tercantum dalam setiap ayat Alquran. Manusia tidak boleh menerima penjelasan yang bertentangan dengan ayat yang tertera dalam Alquran, dan harus berusaha memahami penjelasan keadaan kauniyah bilamana penjelasan itu benar. Penjelasan yang menyimpang tidak boleh diterima.

﴾۹۱﴿ أَفَمَن يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَىٰ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُوا الْأَلْبَابِ
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah ulul albab saja yang dapat mengambil pelajaran, (QS Ar-Ra’du : 19)

Sikap demikian sebenarnya merupakan nilai pembeda tiap-tiap manusia dalam pandangan Allah dan pandangan orang-orang yang berakal. Allah memerintahkan manusia untuk memperhatikan keadaan makhluk, dan para Ulul albab-lah yang mengerti maksud perintah itu. Dalam ayat itu, Ulul albab dikatakan sebagai satu-satunya yang dapat mengambil pelajaran dari perbedaan antara orang yang dapat mengenali kebenaran dengan orang yang buta. Ulul albab itulah orang yang memperoleh pelajaran dari pandangan Allah terhadap perbedaan sikap manusia-manusia yang diciptakan-Nya, yaitu perbedaan antara orang yang dapat mengenali kebenaran dengan orang yang buta.

Sikap berusaha mengenali kebenaran merupakan pangkal pertumbuhan akal setiap manusia. Bagi para Ulul albab, mereka itulah yang akan dapat diseru untuk tumbuh bersama hingga mencapai kedudukan sebagai ulul albab. Setiap Ulul albab berangkat dari sikap berusaha mengenali kebenaran, sedangkan sifat berusaha mengenali kebenaran adalah modal bagi akal untuk tumbuh. Sulit bagi siapapun untuk memberikan pelajaran kebenaran kepada orang-orang yang tidak mempunyai keinginan untuk mengenali kebenaran, atau orang-orang yang tidak bersikap berusaha untuk mengenali kebenaran. Mereka sudah mempunyai kebenaran dalam versi mereka sendiri, sehingga tidak akan mengenali kebenaran dari sisi Allah. Akal mereka, ada ataupun tidak ada, akan sulit tumbuh tanpa sikap berusaha mengenali kebenaran yang diturunkan dari sisi Allah.

Orang yang tidak berusaha mengenal kebenaran yang diturunkan dari sisi Allah sebenarnya termasuk dalam kelompok orang-orang yang buta. Demikian perbedaan yang disebutkan dalam ayat di atas. Allah membedakan antara seseorang yang mengenali kebenaran dari sisi Allah dengan orang tidak berusaha mengenali kebenaran itu, dengan menyebutnya sebagai orang yang buta, tidak disebut sebagai orang yang tidak mengenali kebenaran. Akal seseorang baik ada ataupun tidak ada, dikatakan sebagai buta bilamana tidak berusaha mengenali kebenaran yang diturunkan dari sisi Allah.

Ulul Albab

Orang yang dapat memperoleh pelajaran demikian adalah orang yang termasuk dalam kelompok Ulul albab. Ada kriteria-kriteria tertentu yang membuat seorang ulul albab memperoleh pelajaran dari perintah untuk memperhatikan orang yang mengenali kebenaran dan orang buta. Hal itu disebutkan dalam ayat-ayat berikutnya.

Kriteria pertama dan kedua adalah orang-orang yang memenuhi perjanjian dengan Allah dan tidak mengurai ikatan perjanjian yang ada.

﴾۰۲﴿الَّذِينَ يُوفُونَ بِعَهْدِ اللَّهِ وَلَا يَنقُضُونَ الْمِيثَاقَ
(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, (QS Ar-Ra’du : 20)

Perjanjian dengan Allah yang paling utama adalah ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Secara fundamental, setiap orang yang kembali kepada Allah sebenarnya mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian untuk taat kepada Allah dan rasul-Nya. Perjanjian itu akan menjadi jalan yang membentang untuk kembali kepada Allah dari kehidupannya saat itu hingga berada di sisi Allah dengan mengenal risalah yang dibawa beliau SAW. Dalam kehidupan yang jauh dari jaman beliau SAW, ada orang-orang yang membawa bagian dari risalah yang memperoleh wasilah hingga sampai kepada beliau SAW. Orang-orang demikian harus ditaati oleh orang-orang yang berusaha mengikuti sunnah beliau SAW. Fundamen perjanjian ini harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang.

Perjanjian yang kedua disebut sebagai mitsaq, yang merujuk pada perikatan satu pihak dengan pihak lain. Perjanjian yang terkuat di alam semesta terletak pada dua mitsaq, yaitu perjanjian (mitsaq) antara Allah dengan rasul-Nya, dan perjanjian (mitsaq) antara seorang laki-laki dengan isterinya dalam pernikahan. Kedua perjanjian itu disebut sebagai mitsaqan ghalidza (perjanjian yang teguh). Menguraikan kedua perjanjian itu merupakan sumber kerusakan yang sangat besar bagi alam semesta. Barangkali tidak ada yang bisa merusak antara perjanjian antara Allah dengan rasul-rasul-Nya, akan tetapi banyak yang dapat menguraikan perjanjian pernikahan antara seorang laki-laki dengan isterinya. Hal ini dapat menjadi fitnah yang sangat besar bagi alam semesta. Perjanjian-perjanjian yang lebih rendah dari kedua perjanjian di atas juga harus diperhatikan dengan benar, karena merusak perjanjian dapat menyebabkan kekacauan.

Kriteria ulul albab berikutnya adalah menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan untuk dihubungkan, dan mereka takut kepada rabb-nya dan takut kepada hisab yang buruk.

﴾۱۲﴿وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (QS Ar-Ra’du : 21)

Hal paling utama yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan adalah washilah. Allah dan para malaikat memberikan washilah kepada rasulullah SAW. Beliau adalah puncak washilah segenap Alam semesta kepada Allah. Makhluk-makhluk yang berakal seharusnya mencari washilah kepada Allah melalui rasulullah SAW. Para malaikat yang tinggi mencari washilah melalui beliau SAW, sedangkan Iblis menolak untuk kembali kepada jalannya dalam upaya mencari washilah beliau melalui khalifatullah. Iblis dan para pengikutnya adalah orang-orang yang terputus dari washilah, sedangkan beliau SAW diberi karunia berupa telaga al-kautsar.

Ulul albab harus mencari washilah kepada Allah melalui washilah kepada Rasulullah SAW. Itu adalah jalan yang ditentukan Allah yang harus ditempuh untuk kembali kepada-Nya. Tidak ada seorang makhluk yang dapat mengenal Allah tanpa melalui rasulullah SAW. Bahwa sebenarnya seseorang belum mengenal Allah tanpa mengenal rasulullah SAW. Allah juga menurunkan tata cara menempuh jalan itu, yaitu sebagaimana dicontohkan oleh nabi Ibrahim dan para ahlu sunnah. Mereka menghubungkan tali kasih sayang (shilaturrahmi) di antara manusia dan segenap makhluk yang lain. Nabi Ibrahim a.s adalah makhluk yang paling dekat dengan rasulullah SAW, tanpa washilah lain di antara kedua insan agung tersebut. Manusia yang lain menemukan washilahnya melalui orang lain, setidaknya melalui nabi Ibrahim a.s sebelum terhubung kepada rasulullah SAW. Walaupun khulafa’ arrasyidin tampak memperoleh washilah langsung kepada rasulullah SAW, nabi Ibrahim a.s sebenarnya sangat dekat dengan rasulullah SAW hampir tidak ditampakkan perbedaan kedudukan washilah kedua insan agung tersebut bagi orang lain. Tidak mengikuti nabi Ibrahim a.s berarti tidak mengikuti rasulullah SAW.

Manusia diperintahkan untuk membina washilah kepada rasulullah SAW. Sangat penting bagi setiap ulul albab untuk mengenal washilahnya hingga kepada rasulullah SAW. Ketika tidak mau mengenal washilah yang menyambungkannya, iblis di kedudukan yang tinggi kemudian terjatuh ke tempat yang hina. Washilah iblis terputus pada dirinya sendiri. Memperoleh washilah kepada rasulullah SAW lebih penting dari apappun sebagai segel kebenaran perjalanan seseorang. Seseorang yang berjuang di atas kebenarannya sendiri tidak terjamin keselamatannya, sebagaimana iblis terjatuh karena mempertahankan kebenarannya sendiri di hadapan Allah. Terhadap orang yang berjihad, Iblis bersumpah untuk menyesatkannya dengan Izzah Allah. Seseorang yang memperjuangkan suatu Izzah tanpa memahami washilah kepada rasulullah SAW sangat mungkin dapat disesatkan Iblis berdasar Izzah yang diperjuangkannya.

Ulul albab akan merasakan rasa takut dengan kebenaran yang dikenalnya, dan hal itu akan menuntut dirinya untuk mencari sandaran. Rasa takut yang hinggap pada seorang ulul albab seringkali berupa kebenaran yang terbuka kepada dirinya. Hal itu akan membuatnya seolah-olah kehilangan tempat berpijak sebelumnya, dan rasa takut itu membuatnya mencari sandaran. Sandaran kebenaran itu bukanlah pikiran-pikirannya atau pikiran yang lain, tetapi ia akan mencari sandaran kebenaran berupa sunnah rasulullah SAW dan Alquran. Tidak ada yang lain yang sebanding dengan rasulullah SAW dan Alquran. Wasilah yang terdekat dengan dirinya akan lebih dikenalnya melalui Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Rabbul ‘alamiin merupakan wujud yang tidak tersentuh oleh makhluk, tetapi Dia memberikan washilah agar dapat dikenal dengan cara yang Dia tentukan. Washilah itu adalah rasulullah SAW, sedangkan pedoman yang harus dipegang adalah Alquran al-karim.

Tanpa berpedoman pada Alquran dan sunnah rasulullah SAW, keadaan sebagai ulul albab akan terasa menakutkan. Ada pengetahuan yang mengalir, sebagian benar dan sebagian terselipi sesuatu yang berasal dari hawa nafsu atau bahkan syaitan, sedangkan hawa nafsu mereka sangat cerdas. Perbedaan antara hal yang salah dan benar akan terasa sangat halus, sangat sulit untuk dibedakan. Tanpa berpegang pada Alquran dan sunnah rasulullah SAW, seorang ulul albab dapat terjatuh dari kedudukan yang tinggi.

Pengetahuan dan washilah yang dikenal pada tingkatan itu harus diwujudkan dalam amal-amal. Amal yang terlahir dari setiap orang akan menentukan hisab bagi diri mereka sendiri. Para ulul albab akan merasa takut dengan hisab terhadap amal-amal yang terlahir dari keburukan hawa nafsu mereka. Mereka akan berusaha berjalan dengan hasanah-hasanah dalam setiap amal mereka, dan mereka takut dalam melakukan perbuatan yang berasal dari hawa nafsu yang buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar