Pencarian

Senin, 20 September 2021

Rasul dan Ahli Dzikri

Allah telah mengutus para rasul kepada umat manusia untuk menerangkan kepada umat manusia tentang hakikat kehidupan mereka. Rasul-rasul yang Allah utus kepada umat manusia berwujud laki-laki yang diberi wahyu. Laki-laki yang dimaksud ayat itu bukanlah semata-mata wujud seseorang berkelamin laki-laki. Wujud seseorang laki-laki yang berkelamin laki-laki disebut dengan istilah dzakarun (laki-laki). Laki-laki (rijal) menunjuk pada bentuk makhluk manusia yang berjalan kepada Allah dengan akal mereka.

Allah memilih orang-orang yang diberi wahyu dari kalangan rijal. Orang-orang yang terpilih untuk diberi wahyu itulah manusia-manusia yang dijadikan sebagai rasul.

﴾۳۴﴿وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada ahli dzikri (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui (QS An-Nahl : 43)

Tidak semua orang dapat memahami secara langsung dan menyeluruh keberadaan para rasul dan kandungan wahyu yang diturunkan kepada mereka. Orang-orang yang dapat memahami dengan baik keberadaan rasul dan apa-apa yang diwahyukan kepada mereka adalah para ahli dzikri, yaitu orang-orang yang mempunyai pemahaman dengan lubb mereka atau disebut ulul-albab. Sebagian orang dapat meraba-raba potongan makna dan kandungan wahyu para rasul, sebagian tidak dapat mengetahui sama sekali, dan sebagian mengetahui dengan benar kandungan wahyu bagi mereka.

Ulul albab yang memikirkan wahyu para rasul itulah yang disebut sebagai ahli dzikri. Mereka orang-orang benar yang mengetahui konteks wahyu yang diturunkan kepada para rasul sesuai dengan keadaan jaman mereka, dan sesuai dengan kehendak Allah atas mereka. Pengetahuan ahli dzikri bukan potongan pengetahuan karena membaca wahyu saja, tetapi mengenal kehendak Allah bagi mereka sesuai dengan kauniyah di sekitar mereka. Mereka mengenal kehendak Allah dalam pengetahuan yang utuh terbatas dalam urusan mereka. Mereka bisa menjadi tempat bertanya bagi orang-orang yang ingin mencari pengetahuan tentang wahyu yang diturunkan kepada para rasul.

Seorang rasul mempunyai kewajiban menjelaskan pokok-pokok pengetahuan yang penting bagi jiwa manusia. Kadangkala seorang rasul tidak menjelaskan cabang-cabang pengetahuan dalam wahyu mereka agar tidak tercampur dengan pokok yang penting dalam ajaran mereka. Kadang suatu cabang pengetahuan tidak dijelaskan rasul karena terkait dengan jaman tertentu setelah masa mereka. Banyak hal yang menyebabkan suatu pengetahuan dalam wahyu mungkin saja tidak dijelaskan oleh seorang rasul, karena alasan yang haq. Cabang-cabang pengetahuan itu kemudian menjadi bidang yang harus diperdalam oleh para ahli dzikri di setiap zaman, baik yang hidup bersama dengan rasul ataupun orang-orang yang hidup setelahnya.

Manusia diperintahkan untuk bertanya kepada para ahli dzikri tentang wahyu yang diturunkan kepada para rasul. Hal itu merupakan suatu perintah agar setiap manusia dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan wahyu yang kontekstual sesuai dengan jaman mereka. Wahyu Allah merupakan firman dari alam yang tinggi, dan pengetahuan tentang wahyu Allah merupakan sumber pengetahuan dari alam yang tinggi. Dengan pengetahuan demikian, seseorang dapat mendekati dan bahkan menemukan amal shalih yang dapat mendekatkan diri pada jalan kepada Allah.

Berpegang dengan Kitabullah

Ada sebuah prinsip yang harus dipegang ketika menanyakan perihal wahyu kepada seorang ahli dzikri, yaitu berpegang pada penjelasan (albayyinat) dan kitab-kitab (az-zubur). Penjelasan (albayyinat) merupakan pemahaman terhadap konteks kauniyah, dan kitab-kitab (az-zubur) adalah bunyi ayat wahyu. Setiap orang harus berusaha memahami penjelasan yang baik tentang kauniyah, dan juga berpegang pada bunyi ayat yang tercantum dalam wahyu tersebut. Penjelasan dari ahli dzikri tidak boleh bertentangan dengan keadaan kauniyah, dan tidak boleh ada yang bertentangan dengan yang tercantum dalam setiap ayat wahyu. Orang yang bertanya tidak boleh menerima penjelasan yang bertentangan dengan ayat yang tertera dalam wahyu, dan harus berusaha memahami keadaan kauniyah yang dijelaskan bilamana penjelasan itu benar. Penjelasan yang menyimpang tidak boleh diterima, dan hendaknya berpegang pada wahyu kepada rasul.

﴾۴۴﴿بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
dengan penjelasan-penjelasan dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu adz-dzikra, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (QS An-Nahl : 44)

Allah menurunkan kepada para ahli dzikri pengetahuan kontekstual terhadap ayat-ayat yang diwahyukan kepada rasul berupa adz-dzikra. Apa yang diturunkan kepada ahli dzikri di jaman rasulullah SAW dan setelahnya adalah pengetahuan tentang ayat Alquran. Ayat Alquran diturunkan seluruhnya kepada rasulullah SAW sebagai sebuah pedoman pokok yang menjadi mata air pengetahuan bagi para ahli dzikri. Pengetahuan tentang ayat-ayat yang kontekstual diturunkan Allah kepada ahli dzikri pada setiap zaman. Setiap ahli dzikri akan mengetahui kandungan ayat yang diperuntukkan bagi mereka, yang menjelaskan keadaan mereka. Sedangkan pengetahuan menyeluruh tentang Alquran hanya diberikan Allah kepada rasulullah SAW.

Ahli dzikri harus menerangkan kepada umat manusia pengetahuan-pengetahuan yang diturunkan kepada mereka. Ini merupakan kewajiban mengikuti rasulullah SAW, sebagai turunan sifat tabligh Rasulullah SAW yang harus menyampaikan risalah kepada umat manusia. Yang wajib disampaikan adalah adz-dzikra yang diturunkan Allah kepada mereka, yaitu pengetahuan alquran dan kitab-kitab para rasul yang kontekstual bagi mereka dan kehidupan umat manusia pada zaman mereka. Hendaknya ahli dzikri menerangkan dengan presisi sesuai dengan Alquran dan wahyu yang tertulis. Ini tidak membatasi apa-apa yang harus disampaikan. Hal-hal yang tidak tertulis langsung dalam wahyu dapat disampaikan sebagai tambahan selama tidak melenceng dari adz-dzikra yang diturunkan.

Sasaran Penjelasan

Ahli dzikri harus mencapai dua sasaran dalam menjelaskan adz-dzikra kepada manusia. Sasaran pertama adalah menyampaikan objek adz-dzikra kepada umat manusia agar mereka mengetahui apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Sasaran kedua adalah menjadikan umat manusia berpikir berdasarkan adz-dzikra tersebut.

Penjelasan para ahli dzikri itu hendaknya menjadikan umat manusia mengetahui apa-apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Hal ini merupakan bentuk perjuangan menolong para rasul, hingga pada ujungnya membantu rasulullah SAW. Seorang ahli dzikri tidak boleh membelokkan umat manusia dari perjuangan menolong para rasul atau menolong rasulullah SAW menuju perjuangannya sendiri. Berpegang erat pada kitab sangat penting dilakukan oleh ahli dzikri, sehingga ia tidak membelokkan perjuangan dari menolong para rasul. Apa yang harus diterangkan kepada umat manusia adalah apa-apa yang tercantum dalam Alquran dan kitab para rasul, bukan pikirannya sendiri. Bila ia lebih memberikan bobot pada pikirannya sendiri, mungkin saja ia telah membelokkan perjuangan bagi dirinya.

Pengetahuan ini penting bagi umat manusia agar mereka memiliki modal pengetahuan untuk beramal shalih sesuai dengan keadaan zaman. Semakin jelas, akurat dan presisi penjelasan tentang apa yang diturunkan, maka umat manusia akan semakin mudah dan tepat melakukan amal yang sesuai dengan jamannya. Kadangkala umat manusia mencari amal shalih tanpa bekal pengetahuan tentang zaman mereka, sedangkan mereka hanya mengikuti sesuatu karena menganggap baik apa yang diikutinya. Hendaknya penjelasan tentang Alquran dan wahyu kepada rasul dijadikan landasan dalam melakukan penjelasan kepada umat manusia dalam mencari amal shalih.

Penjelasan itu hendaknya membuat umat manusia berpikir, menghindarkan umat manusia dari sikap taklid yang menuntun kepada kegelapan. Hal itu menjadi modal agar terbangun umat manusia yang berakal.

Banyak tingkatan berpikir yang biasa dilakukan manusia. Seorang penjudi mengerahkan pikirannya dengan sangat keras untuk memenangkan perjudian yang dilakukannya. Misalnya ketika bermain kartu, mereka menghitung semua kartu yang akan mereka mainkan. Sebagian manusia akan mencela kehidupan mereka sebagai kehidupan yang semu. Para penjudi tidak menganggap demikian. Bagi mereka, perjudian itu dunia yang sangat nyata untuk mencari harta kekayaan. Para petani berpikir dan bekerja keras menanam dan berharap hasil yang baik dari pertanian itu. Mereka memetik hasil dari usaha mereka. Sebagian hasil itu dihargai dengan harga yang sangat murah, dan sebagian dihargai dengan sangat layak. Para negarawan berpikir untuk memajukan negara dengan semua strategi, akan tetapi karena kualitas kenegarawanan yang tidak layak, banyak kebijakan-kebijakan yang dirumuskan malah menjerumuskan negara menuju kemelaratan. Itu adalah contoh-contoh berpikir yang dilakukan. Banyak tingkatan berpikir yang biasa dilakukan oleh manusia.

Seorang ahli dzikri harus menyampaikan adz-dzikra kepada umat manusia agar manusia berpikir untuk menemukan kedudukan mereka dalam Alquran, dan kemudian menempuh jalan untuk kembali kepada Allah melalui Alquran yang mereka pahami. Bukan semata objek adz-dzikra yang harus diterangkan kepada manusia, tetapi ahlu dzikri juga harus membuat umat manusia mampu berfikir tentang kehidupan mereka sesuai dengan Alquran dan kitab para rasul yang lain. Umat manusia harus selalu berpegang kepada albayyinat dan kitab-kitab (az-zubur) ketika bertanya kepada ahli dzikri, dan ahlu dzikri harus menerangkan berdasarkan albayyinat dan alquran dan kitab para rasul.

Seringkali terjadi seseorang menyampaikan objek adz-dzikra kepada umat manusia, akan tetapi kemudian manusia diputuskan dari jalan berpikir untuk menemukan visi kehidupan mereka. Umat manusia dibuat mengikutinya dengan bertaklid. Perbuatan semacam ini mencederai sasaran kedua yaitu agar manusia berpikir. Manusia kemudian tidak membangun akal dan dapat menjadikan agama mereka mundur. Seorang ahli dzikri harus berusaha menghindarkan terjadinya hal demikian. Sekalipun misalnya pergerakan di tingkatan jasadiah yang mengikuti terlihat banyak, kemajuan yang akan terwujud tidak akan besar karena akal orang-orang yang mengikuti sebenarnya tidak tumbuh dengan baik. Segala amal yang dilakukan umatnya hanya dilakukan berdasarkan perkataan seseorang yang mengajari, tidak muncul dari kitabullah yang dipahami akal yang ada pada umat tersebut. Seringkali keadaan pengikut yang demikian sebenarnya tidak bisa memahami kebenaran atau bahkan menolak kebenaran karena hanya mengikuti perkataan orang lain. Ahli dzikri harus memperhatikan fenomena demikian pada umatnya sebagai cermin kualitas tablighnya.

Seorang ahli dzikri harus berusaha menjadi sumber pengetahuan yang mengalirkan adz-dzikra dari sisi Allah agar terwujud kemakmuran di bumi. Harus diperhatikan oleh seorang ahli dzikri bahwa syaitan sangat berkepentingan untuk merusak sesuatu dari sisi Allah, karena hal itu akan merusak sangat banyak manusia dan kerusakan yang sangat besar. Ia harus memperhatikan dan tidak melampaui batas-batas dirinya. Bila ia seorang ulama, maka ia harus mengetahui batas dirinya sebagai ulama, tidak menampilkan diri sebagai seorang raja bila kodrat dirinya tidak menyentuh masalah kerajaan. Demikian dalam jati diri yang lain, setiap orang harus mengetahui batas-batas jati dirinya. Semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin besar kerusakan yang ditimbulkan bila melampaui batas-batas dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar