Pencarian

Selasa, 07 September 2021

Nikmat Allah dan Sikap Malu

 Rasa malu adalah akhlak yang menjadi ciri bagi Akhlak agama Islam. Hanya dengan rasa malu maka seseorang dapat mengikuti Rasulullah SAW menyempurnakan akhlaknya, karena rasa malu merupakan akhlak dalam agama Islam. Yang dimaksud sebagai rasa malu yang sebenarnya adalah menjaga kepala dan pikiran sesuai dengan kehendak Allah, menjaga perut dan hal-hal yang terbit karena perutnya, mengingat mati dan memperhatikan hal-hal yang menguji dirinya (al-balaa), dan menginginkan akhirat dengan meninggalkan perhiasan-perhiasan dunia. Keseluruhan hal itulah rasa malu yang menjadi akhlak agama Islam.

Tidak semua orang dapat membayangkan tentang rasa malu yang dimaksud oleh Rasulullah SAW. Misalnya kaitan antara mengingat maut dengan rasa malu barangkali sulit untuk tergambarkan oleh kebanyakan manusia. Alquran memberikan gambaran tentang rasa malu sebagaimana tercantum dalam ayat berikut :

﴾۵۲﴿فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu". (QS Al-Qashash : 25)

Ayat tersebut menceritakan pertemuan Musa pada waktu muda dengan jodohnya, atau sebaliknya pertemuan seorang perempuan dengan jodohnya yaitu Musa. Perempuan itu mengenali Musa sebagai seseorang yang kuat dan dapat dipercaya. Hal itu dilihat perempuan itu ketika Musa memberikan minum kepada ternak-ternak mereka. Sedangkan Musa mengetahui dari cerita perempuan itu sendiri bahwa mereka memerlukan air minum bagi diri mereka dan ternak-ternak mereka, dan mereka adalah puteri seorang syaikh besar.

Setelah memberikan minuman bagi mereka, Musa menuju kepada suatu naungan dan merasakan suatu kebutuhan yang besar terhadap suatu kebaikan yang diturunkan Allah bagi dirinya. Beliau berdoa : “Yaa Rabbii, sesungguhnya aku sangat fakir terhadap kebaikan yang engkau turunkan kepadaku”. Ada suatu kebaikan yang sangat dibutuhkan oleh Musa bagi dirinya, dan beliau memohon kebaikan itu kepada Allah.

Maka datanglah salah seorang perempuan yang ditolongnya kepada beliau. Ini adalah jawaban bagi permohonan Musa. Kalimat ini menunjuk pada implikasi kebaikan yang dimohon Musa kepada Allah. Perempuan itu datang dengan malu-malu kepada Musa, menyampaikan bahwa bapaknya berkeinginan untuk memberikan balasan sebagai imbalan atas minuman yang diberikan Musa kepada mereka. Kebaikan yang dimohon Musa diijabah Allah dan diturunkan melalui syaikh besar yang ditolong puterinya oleh Musa. Syaikh besar itu mengetahui bahwa ada kebaikan yang harus diberikan kepada Musa melalui dirinya, karena Musa memohon kebaikan itu kepada Allah, yaitu kebaikan berupa menikahkannya dengan salah satu puterinya.

Kebaikan yang dimohon Musa itu terwujud sebagai pernikahan dengan puteri yang diperuntukkan baginya. Bentuk-bentuk fisik kebaikan yang dilimpahkan Allah bagi seseorang kadangkala berbeda bentuknya dengan yang dibayangkan seseorang yang meminta. Dalam peristiwa Musa, beliau meminta kebaikan dari Allah tanpa sedikitpun keterangan yang menunjukkan bahwa Musa membayangkan seorang perempuan. Dan Allah kemudian mempertemukannya dengan jodohnya. Demikian pula bagi umat manusia lainnya, seringkali wujud kebaikan yang diminta tidak sebagaimana yang dibayangkan atau diinginkan, dan tentu kebaikan itu tidak boleh disikapi dengan kufur.

Pernikahan dalam makna idealnya merupakan wujud fisik pelimpahan nikmat Allah bagi seseorang. Nikmat terbesar bagi seseorang adalah terbentuknya bayt untuk disebut dan ditinggikan asma Allah di dalamnya. Pernikahan merupakan wujud fisik turunan dari pengenalan raga seorang manusia dengan jiwanya. Seorang laki-laki menjadi turunan yang lebih mendekati sifat jiwa, dan perempuan menjadi turunan yang bersifat raga. Dalam perjodohan yang tepat, seorang laki-laki memperoleh pembawa alam dunia yang tepat bagi dirinya, dan seorang perempuan memperoleh pemimpin yang tepat untuk berjalan menuju Allah. Pernikahan dengan jodoh yang tepat adalah nikmat Allah yang diwujudkan di alam fisik. Dalam perjodohan, pengingkaran terhadap jodoh yang ditunjukkan Allah seringkali menyebabkan seseorang tergolong menjadi kufur nikmat.

Mensikapi Nikmat Allah

Dalam kaitan dengan nikmat Allah inilah digambarkan sikap malu yang sebenarnya sebagaimana perempuan harus datang kepada laki-laki dengan perasaan malu. Hal ini menggambarkan tuntunan bagi raga manusia dalam mensikapi nikmat Allah. Ada saatnya seseorang melihat keping-keping nikmat Allah yang diperuntukkan bagi dirinya, baik dalam wujud jodohnya berupa lawan jenis yang diperuntukkan bagi dirinya, ataupun nikmat Allah dalam wujud kilasan-kilasan tentang jati diri jiwanya, amal-amal shalihnya ataupun ketetapan-ketetapan Allah bagi dirinya. Semua hal itu harus disikapi dengan sikap malu. Keseluruhan ketetapan itu adalah pemberitahuan Allah tentang nikmat bagi dirinya, dan dirinya harus mendekat kepada nikmat itu dengan malu sebagaimana seorang perempuan yang harus mendekati jodohnya sebelum pernikahan mereka dengan malu.

Bagi orang beriman, Allah menjanjikan akan memberikan nikmat-Nya bila seseorang telah layak memperolehnya. Seseorang harus berusaha mendatangi apa yang dijanjikan Allah bagi dirinya dengan sikap malu. Sikap malu itu hendaknya muncul karena keinginan memantaskan diri untuk menerima nikmat Allah. Seseorang tidak boleh merasa telah sepantasnya untuk menerima nikmat Allah itu, karena itu justru merupakan sikap tidak pantas di hadapan Allah. Bisa saja Allah tidak memberikan nikmat itu bilamana tidak ada keinginan orang itu memantaskan diri. Allah lah yang menentukan pantas atau tidak pantasnya seseorang menerima nikmat, bukan orang itu yang berhak menuntut Allah untuk memberikan nikmat-Nya karena keadaan dirinya.

Dengan kerangka nikmat Allah inilah rasa malu harus dibangun sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW. Kepala dan pikiran yang ada di dalamnya harus dibina untuk mengerti nikmat Allah dan mengerti ketentuan yang digariskan hal-hal tersebut, perut dan apa yang terbit darinya harus diajar untuk memiliki bentuk yang layak menerima nikmat Allah. Perjalanan jiwa untuk kembali kepada Allah harus disikapi dengan malu, dengan mempertimbangkan tujuan dan serta bala-bencana yang mungkin menimpanya dalam perjalanan itu, serta tujuan akhirat harus dibobot dengan lebih baik daripada kehidupan dunia.

Kesesatan dan Sikap Malu

Setiap orang harus berusaha mendekati nikmat yang dijanjikan Allah kepadanya. Usaha itu harus dilakukan dengan sikap malu, yaitu keinginan berusaha mencari bentuk yang layak sesuai dengan kehendak Allah. Itu adalah ibrah yang diceritakan pada kisah Musa dan calon isterinya. Perjodohan seseorang dengan lawan jenisnya adalah gerbang nikmat Allah yang hampir tidak boleh ditinggalkan seseorang yang berharap nikmat Allah. Akan tetapi nikmat Allah sangatlah luas tidak terbatas pada perjodohan itu saja. Semua nikmat itu harus didekati dengan sikap malu.

Tanpa sikap malu, seseorang akan mudah ditipu oleh syaitan. Syaitan akan menjadikan indah pandangan seseorang terhadap amal-amal yang dilakukannya, dan orang itu akan mengira bahwa amalnya adalah amal yang penuh keihsanan.

﴾۸﴿أَفَمَن زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik amalnya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (QS Faathir : 8)

Tanpa sikap malu, Allah akan menyesatkan orang-orang demikian setelah ditipu syaitan dengan keindahan amal-amalnya. Amat sulit bagi seseorang untuk mengenali kesesatan yang ditimpakan Allah kepada dirinya, karena Allah-lah yang menyesatkannya. Allah-lah yang mengetahui siapa yang akan disesatkan dan siapa yang akan diberi petunjuk setelahnya. Segala urusan tentang peristiwa demikian berada di tangan Allah.

Cerita ini terkait kaum tertentu yang menjadikan sedih orang-orang yang mengetahuinya. Hendaknya orang-orang yang bersedih dengan hal demikian tidak terjerumus ke dalam sikap membinasakan karena keadaan mereka. Hal ini tidak berarti mencegah seseorang untuk berbuat baik, tetapi hendaknya mereka berpegang pada tuntunan Allah tanpa terjebak dalam sikap yang membinasakan mereka. Allah-lah yang Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Segala perbuatan mereka tidak dalam tanggungan orang lain atau orang-orang yang mengetahui perbuatan mereka.

Setiap orang harus berusaha mendekati nikmat Allah dengan rasa malu, tidak meninggalkannya. Meninggalkan nikmat yang digariskan Allah merupakan sikap kufur, yaitu kufur terhadap nikmat Allah. Allah kadang-kadang mengijinkan seseorang yang masih banyak melakukan kesalahan untuk mengetahui nikmat Allah bagi dirinya. Kadang-kadang seseorang melakukan salah atau bahkan banyak salah ketika berusaha mendekat kepada nikmat Allah. Hal itu bukanlah parameter kegagalan dalam mendekati nikmat Allah. Allah akan mengampuni segala kesalahan dan keburukan bagi orang yang menginginkan ampunan. Kegagalan dalam memohon nikmat Allah adalah keliru dalam mengenali atau mensikapi nikmat Allah, dan itu biasanya terjadi karena tidak tumbuh rasa malu dalam diri seorang hamba.

Perempuan, Tafaqquh dan Sikap Malu

Nikmat terbesar bagi seseorang di dunia adalah terbentuknya bayt yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya. Gambaran sikap malu dalam alquran disematkan terhadap perempuan yang menemukan pasangannya. Penemuan jodoh itu dijadikan sebagai gambaran paling dekat bagi seseorang tentang nikmat terbesar berupa bayt.

Seorang perempuan harus berusaha mendekat kepada jodoh yang ditunjukkan Allah kepada dirinya dengan sikap malu. Sebenarnya hal itu juga berlaku bagi laki-laki karena jodohnya itu adalah gerbang nikmat Allah yang terbesar bagi dirinya, akan tetapi ada perbedaan peran dalam masalah itu. Seorang perempuan harus menjadi pengikut suaminya, sedangkan laki-laki mencari pengetahuan Allah bagi mereka. Seorang laki-laki harus bersikap malu ketika mencari pengetahuan Allah, tidak bersikap jagoan terhadap Allah ataupun kepada pasangannya.

Rasa malu pada perempuan tidak boleh menghalangi langkah para wanita untuk bertafaqquh dalam agama. Seringkali rasa malu itu menghalangi seorang wanita untuk bertafaqquh karena timbul perasaan tidak nyaman untuk berbuat, kadangkala perasaan malu itu berubah menjadi merasa buruk dan direndahkan. Dengan hal-hal itu rasa malu itu menghalangi perempuan untuk menentukan amal terbaik yang harus dilakukan untuk bertafaqquh fi-ddiin. Para perempuan harus berjuang mengelola perasaan ini untuk bertafaqquh dalam agama.

Ummul Mukminin ‘Âisyah r.a berkata tentang sifat para wanita Anshâr,
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.
Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk bertafaqquh dalam Agama.” (al-Bukhâri dalam Shahîhnya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ’ fil ‘Ilmi)

Pernikahan dan petunjuk yang benar tentang jodoh adalah gerbang bertafaqquh yang paling dekat dengan nikmat terbesar bagi seseorang, maka hendaknya setiap orang mengusahakan dengan sungguh-sungguh untuk berbuat dan bersikap sesuai dengan pengetahuan dari Allah yang diturunkan kepada mereka. Terkait rasa malu, usaha ini seringkali merupakan hal yang terasa berat bagi perempuan karena besarnya rasa malu pada perempuan. Tetapi harus disadari bahwa hal ini menjadi jalan bagi mereka untuk memperoleh nikmat Allah. Bila suaminya atau jodohnya orang yang benar dalam mengikuti petunjuk Allah, ia akan berusaha bersikap tidak berlainan dengan sikap Allah dalam batas pengetahuan yang dimilikinya. Dengan kata lain laki-laki itu akan bersikap sebagaimana Allah bersikap, dalam batas pengetahuannya.

Seringkali syaitan memisahkan seseorang dengan jodohnya melalui keterbatasan pengetahuan, dan itu dijadikan fitnah yang besar bagi mereka dan umat manusia pada umumnya melalui urusan yang harus mereka kerjakan. Peran perempuan sangat penting dalam mencegah terjadinya fitnah, dengan usaha dan perjuangan yang harus dilakukan dalam mengelola perasaan malu mereka dalam bertafaqquh fi-ddiin. Dengan usaha para perempuan demikian, mereka akan menjadi penolong bagi umat manusia hingga tergolong sebagai perempuan Anshar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar