Pencarian

Jumat, 04 Desember 2015

Realisasi Iman

Dalam sebuah hadits disebutkan :

“Iman adalah berikrar  dengan hati, diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan.” (HR. Ibnu Majah dan Ath-Thabrani dari Ali ra.)

Realisasi iman mencakup tiga hal. Tanpa ketiga hal itu, seseorang belumlah sempurna keimanannya, yaitu:
1. Ikrar dengan hati.
2. Pengucapan dengan lisan.
3. Pengamalan dengan anggota badan

Ikrar Dengan Hati

Ikrar dalam Millah Ibrahim A.S

Ikrar dengan hati adalah menetapkan arah dan tujuan kehidupan diri seseorang sesuai dengan pengetahuan kebenaran yang dimiliki. Dengan potensi pengetahuan yang tidak akan mencapai batas, maka  sikap hanif kepada Sang Pencipta mutlak diperlukan. Tidak ada kebenaran mutlak yang dimiliki makhluk, dan kewajiban makhluk adalah berhijrah dari suatu kebenaran kepada kebenaran yang lebih tinggi, sebagaimana  yang dilakukan oleh Ibrahim kecil hingga Allah memperkenalkan diri-Nya kepada Ibrahim A.S.

Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku bagi yang telah menciptakan lelangit-langit dan bumi secara hanif, dan aku bukanlah termasuk golongan orang musyrik.”(QS 6:79).

Ibrahim  telah berlaku hanif dan tidaklah termasuk golongan musyrikin semenjak kecil. Tindakan beliau bersembah kepada bintang, bulan dan matahari bukanlah sebuah kemusyrikan, karena beliau mencari apa yang sebenar-benarnya patut menjadi tuhan. Beliau bertindak secara hanif. Dari ayat tersebut di atas, kita bisa melihat bahwa seseorang dapat berlepas diri dari kemusyrikan bila bertindak hanif, mengikuti kebenaran yang tertinggi.

Tindakan menyembah bintang, bulan, dan matahari tersebut tentulah tindakan kemusyrikan bila kita kerjakan, yang hidup di jaman setelah rasulullah diutus, atau bahkan bila kita seorang Israel yang hidup di jaman setelah nabi Ibrahim diutus. Kebenaran minimal yang harus dilakukan pada jaman itu adalah mengikuti langkah nabi Ibrahim a.s, mengabdi kepada Allah SWT. Segenap tindakan pengabdian kepada tuhan-tuhan yang bisa didefinisikan atau diciptakan oleh makhluk tidak dibenarkan.

Tuhan yang diciptakan oleh makhluk seperti patung-patung yang dibuat oleh azar bapak Ibrahim adalah kemusyrikan. Dalam perjalanan kehanifan selanjutnya, Ibrahim mendapatkan banyak pengetahuan, ayat-ayat Allah yang tersebar di semesta alam berupa bintang, bulan dan matahari. Ayat-ayat Allah tersebut adalah kebenaran yang dipahami oleh Ibrahim, namun setinggi apapun kebenaran yang mampu diperolehnya, Ibrahim benar-benar menyadari bahwa tidaklah dia mengetahui apa yang benar-benar layak untuk menerima pengabdian dirinya. Dengan segenap pengetahuannya itu, Ibrahim menghadapkan seluruh iktikadnya bagi Sang Pencipta lelangit dan bumi secara hanif, dan menyatakan keinginannya bahwa tidaklah dirinya termasuk orang yang musyrik.

Untuk masalah ikrar keimanan, kita dapat mengambil pelajaran dari kisah nabi Ibrahim  a.s hal-hal sebagai berikut :
1. Tidak mengabdikan diri pada sesuatu yang bisa dibuat oleh makhluk, atau sesuatu yang bisa didefinisikan oleh makhluk.
2. Bersikap hanif, mencari dan mengikuti kebenaran yang  lebih tinggi yang mampu kita peroleh.
3. Menghadapkan wajah kepada yang menciptakan petala langit dan bumi.

Ikrar dalam Addiin Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad SAW adalah khatamul anbiya’, segel bagi para nabi.  Beliau membawa kesempurnaan agama, dan tidak ada lagi ajaran agama setelah beliau. Tugas beliau diutus adalah menyempurnakan kemuliaan akhlak, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:

 ”Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”. (HR: Bukhari dalam shahih Bukhari kitab adab, Baihaqi dalam kitab syu’bil Iman dan Hakim).

Allah SWT berkata dalam QS al-Qalam ayat 4,

 “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad), benar-benar berbudi pekerti yang luhur“.

Kata dasar akhlak terbentuk dari huruf kha lam dan qaf dengan tambahan alif didepan. Kata dasar  Kha lam dan qaf menunjukkan penciptaan, sedangkan alif menunjukkan penjagaan ilahi. Alif yang berfungsi sebagai tambahan di bagian depan dapat kita temukan pada penulisan Basmalah, yang menunjukkan tegaknya bismillah dalam penjagaan Allah.
Ibnul Atsir berkata dalam An-Nihayah 2/70: “Al-Khuluq dan Al-Khulq berarti dien, tabiat dan sifat. Maksudnya adalah manusia dalam aspek bathin, yaitu jiwa dan bentuknya”

Manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan kedua tangan Allah, sebagaimana disebutkan dalam surat al-ahqaaf : 75.

 “Dia  berfirman : wahai iblis, apakah yang menghalangi kamu bersujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tanganku? Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu termasuk orang-orang yang lebih tinggi?”. 

Jasad manusia hanyalah terbuat dari tanah yang dihinakan oleh iblis, namun iblis tidak mengetahui bahwa ada tangan Dia yang lain yang melengkapi penciptaan manusia.

Dalam alquran surat attiin ayat 4-5 disebutkan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, namun kemudian diturunkan ke tempat serendah-rendahnya. sebuah hadits, diceritakan bahwa manusia diciptakan dengan citra arrahman. Tentulah apa yang dimaksudkan dalam alquran tersebut bukan bentuk jasad manusia, karena bentuk jasad manusia relatif tetap,  tidak berubah menjadi bentuk makhluk yang terendah. Jasad manusia hanyalah bayangan dari citra arrahman, yang berfungsi sebagai wadah bagi jiwa sang citra arrahman. Jiwa manusia lah yang menjadi citra arrahman, dan dapat berubah menjadi bentuk ciptaan yang paling rendah.

Ketika jiwa manusia berubah dari bentuk ciptaan yang rendah menjadi bentuk yang sebaik-baiknya, Dia akan menyempurnakan jiwa manusia tersebut menjadi sesuai dengan citra arrahman dan akan meniupkan kepadanya ruh-Nya.   Itulah yang dimaksudkan dalam alquran surat al-ahqaaf : 72.

maka apabila Aku telah mempersamakannya (sesuai citra arrahman) dan Aku tiupkan kepadanya ruh-Ku, maka hendaklah kalian tersungkur bersujud kepadanya” (QS 38:72)

Tiupan ruh dalam konteks ayat di atas bukanlah ruh yang memberikan kehidupan bagi jasad manusia. Ruh yang dimaksudkan adalah ruh qudus sebagaimana ruh yang datang kepada Maryam a.s setelah beliau mencapai bentuk jiwa yang sebaik-baiknya.

Kesesuaian jiwa manusia dengan citra Arrahman serta peniupan ruh-Nya kepada manusia itulah kesempurnaan kemuliaan akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah. Manusia seperti itulah bentuk ciptaan Allah yang paling sempurna, sehingga para malaikat muqarrabun harus bersujud kepada manusia.

Dalam menyatakan Ikrar keimanan mengikuti Rasulullah SAW, kita harus mengikrarkan untuk mencapai apa yang beliau ajarkan, yaitu kesempurnaan kemuliaan akhlak. Tentu hal itu hanya bisa dilakukan bila bersamaan dengan ikrar iman mengikuti nabi Ibrahim a.s.

Mengucapkan dengan lisan

Pengertian Lisan

Dalam alquran, yang dimaksudkan dengan lisan bukanlah sekedar kata yang terucap dari bibir. Kata yang terucap dari bibir dikatakan sebagai “afwah” (mulut). Kita dapat melihat perbedaan afwah dan alsinat dalam alquran surat Annuur :15

Ingatlah di waktu kamu menerima berita bohong itu dg lisan-lisan kalian dan kalian mengatakan dengan mulut kalian apa yang tidak kalian ketahui, dan kalian menganggap hal itu ringan, padahal hal itu di sisi Allah adalah besar (QS 24:15)

Perkataan yang dikatakan sebagai “Afwah” (mulut), adalah suara yang keluar tanpa harus mengandung iktikad (QS 3:167) atau pengetahuan (24:15).

Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. (QS 3:167).

Sedangkan yang dikatakan sebagai “alsinat” (lisan-lisan) adalah artikulasi seseorang atas pengetahuan yang dimiliki (QS 3:78, 4:46).

Sesungguhnya di antara mereka ada golongan yang memutar-mutar lisannya dengan al-kitab supaya kamu menyangka bahwa yang dibacanya itu bagian dari al-kitab, padahal ia bukan dari al kitab  dan mereka mengatakan : ‘itu dari sisi Allah’ padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui (QS 3:78).

Lisan dan Pengetahuan

Mengucapkan dengan lisan dalam konteks keimanan berimplikasi bahwa seseorang yang beriman wajib mengumpulkan pengetahuan kebenaran dan menyusun pengetahuan tersebut hingga layak menjadi saksi yang benar sesuai syahadatain.

Alquran memberikan pedoman yang jelas agar manusia berhati-hati dalam mengumpulkan pengetahuan kebenaran, agar tidak menyusun pengetahuan  salah yang akan menyesatkan dirinya. Beberapa di antara pedoman itu :
1. Terdapat golongan yang memutar-mutar pengetahuan dengan kitabullah (QS 3:78).
2. Terdapat golongan yang mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Banyak potongan-potongan pengetahuan kebenaran, benar dalam kata-kata, namun tidak disusun dalam susunan pengetahuan yang benar. (QS 4:46).
3. Terdapat pengetahuan yang tidak sesuai dengan hati (QS 48:11).
4. Terdapat perkataan yang mengklaim kebaikan bagi golongan yang mengatakannya, padahal itu hanyalah kedustaan (QS 16:62)
5. terdapat perkataan tentang halal dan haram, padahal itu hanyalah kebohongan terhadap Allah (QS 16:116).

Amal dengan Jasad.

Dalam keimanan, ikrar dan lisan harus diwujudkan dalam perbuatan jasad. Perbuatan jasad yang terwujud sebagai realisasi ikrar dan lisan yang benar disebut sebagai amal shalih. Shalih berarti kesesuaian, yaitu kesesuaian ikrar dalam hati, pengetahuan yang benar dan realisasi perbuatannya.

Keimanan yang tinggi menuntut amal shalih yang tinggi. Dengan ikrar dan pengetahuan yang dimiliki, nabi Ibrahim a,s meninggalkan istri dan putra yang masih bayi  di padang pasir lembah bakkah yang tidak berair. Atau beliau a.s  dan putranya ismail juga melakukan penyembelihan, tentu  dengan ikrar dan pengetahuan yang mencukupi. Dengan perbuatan yang tampak seperti “gila” itu, beliau-beliau yang suci memberikan millah bagi seluruh manusia untuk menempuh jalan tuhan.

Tentu pekerjaan-pekerjaan itu tidak perlu, dan haram, dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai ikrar dan  pengetahuan mencukupi. Setiap orang mempunyai pekerjaan, perbuatan dan amal shalih yang telah ditentukan sejak sebelum dilahirkan, namun tersembunyi di dalam diri setiap manusia. Tugas setiap manusia adalah membuka khazanah diri agar mengetahui amal shalih diri yang sebenarnya, dengan pengetahuan yang benar dan keberserahdirian kepada sang Pencipta.

“Dan bagi setiap insan telah kami tetapkan amal perbuatannya di lehernya, dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebagai sebuah kitab yang dijumpainya terbuka” (QS 17:13)

Ayat tersebut bercerita bahwa :
- amal bagi seseorang telah ditentukan
- pada hari kiamat akan dikeluarkan bagi seseorang kitab perbuatan dirinya.

Amal shalih yang setinggi-tingginya adalah amal seseorang yang bersesuaian dengan amal yang telah ditentukan bagi dirinya oleh tuhannya. Nabi Ibrahim a.s, Ismail dan Hajar a.s  telah mencontohkan bagaimana sebuah amal shalih itu dilakukan.

Tidak setiap manusia mengetahui amal perbuatan yang telah ditentukan penciptanya bagi dirinya. Berlaku hanif, yaitu mengikuti kebenaran yang diketahuinya, akan menuntun seseorang untuk mencapai pengetahuan tentang amal shalih dirinya yang telah ditentukan. Tidak diijinkan bagi seseorang untuk mengikuti perbuatan  yang tidak diketahuinya.

“Dan janganlah kamu mengikuti  apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungan jawaban.” (QS. Al Isra: 36) 

Rasulullah telah memberitakan bahwa akan datang jaman dimana tidak tersisa alquran kecuali tulisannya, masjid ramai tapi tidak ada petunjuk di dalamnya, dan para ulama  mereka adalah seburuk-buruk makhluk di kolong langit.  Dengan hadits ini, setiap diri manusia dituntut untuk beramal sesuai pengetahuan, tidak ada alasan bahwa dirinya sekadar mengikuti ulama fulan, ustadz fulan dan lain-lain. Setiap diri bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar