Pencarian

Kamis, 01 Februari 2024

Derajat Ihsan Dengan Kitabullah dan Sunnah

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Orang-orang yang mengikuti dan bersama-sama dengan Rasulullah SAW akan menyeru umat manusia untuk mendekati apa-apa yang diturunkan Allah dan mendekat kepada Rasulullah SAW. Mereka mengetahui bahwa kebaikan berasal dari Allah melalui Rasulullah SAW maka mereka menyeru umat manusia untuk mendekat kepada apa-apa yang diturunkan Allah dan mendekat kepada Rasulullah SAW.

﴾۱۶﴿وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودًا
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kalian datang (mendekat) kepada apa yang Allah telah turunkan dan (datang mendekat) kepada Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (seruan) kamu. (QS An-Nisaa’ :61)

Ayat di atas menceritakan tentang orang-orang yang menyeru umat manusia untuk mendekat kepada apa yang diturunkan Allah dan mendekat kepada Rasulullah SAW, dan tanggapan yang mereka terima dari umat manusia dari golongan orang-orang munafiq. Para penyeru itu adalah pengikut Rasulullah SAW yang mengikuti dengan benar, dan tanggapan manusia dari golongan orang-orang munafiq itu ditujukan kepada para penyeru tersebut, tidak ditujukan kepada Rasulullah SAW secara langsung. Orang-orang yang mengikuti orang-orang munafiq adalah golongan orang-orang yang menyangka diri mereka beriman kepada apa yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW, tetapi bersikap enggan untuk benar-benar mengikuti apa yang diturunkan Allah dan Rasulullah SAW karena mengikuti orang-orang munafiq.

Seruan orang-orang yang mengikuti Rasulullah SAW adalah mendekat (تَعَالَوْا) yang menunjukkan bahwa kedudukan apa yang diturunkan Allah dan kedudukan Rasulullah SAW berada di tempat yang tinggi. Kedudukan itu tidak sama dengan kedudukan sesuatu yang ada pada umat manusia pada umumnya. Orang-orang munafiq tidak melihat perbedaan kedudukan antara apa yang diserukan pengikut Rasulullah SAW dengan apa-apa yang mereka usahakan berdasarkan keinginan mereka sendiri, maka mereka menghalangi umat manusia untuk mengikuti seruan, yaitu seruan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasulullah SAW. Orang-orang munafiq itu mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW akan tetapi sikap mereka terhadap apa yang diturunkan Allah tidak menunjukkan keimanan yang sesungguhnya. Demikian pula orang-orang yang mengikuti seruan orang-orang munafiq itu tidak menunjukkan keimanan yang sesungguhnya terhadap apa yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW.

Orang yang benar-benar mengikuti Rasulullah SAW dan mengetahui ketinggian kedudukan apa yang diturunkan Allah dan kedudukan Rasulullah SAW, mereka tidaklah mengikuti pendapat diri mereka sendiri. Alquran dan sunnah Rasulullah SAW tidak mengandung suatu kesalahan sedikitpun, akan tetapi orang yang berusaha mengikuti bisa memperoleh pemahaman yang keliru. Bahkan ada orang-orang yang berkata-kata dengan firman Allah dalam kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW tetapi mereka sebenarnya tidak memahami kecuali hanya bayang-bayangnya saja, terlempar dari kebenaran sebagaimana anak panah terlempar dari busurnya. Orang yang mengetahui ketinggian kedudukan apa yang diturunkan Allah dan kedudukan Rasulullah SAW  benar-benar melihat ayat-ayat Allah secara sinergis pada kauniyah dan kitabullah Alquran. Sebagian kauniyah yang mereka lihat terhampar pada alam duniawi, dan sebagian kauniyah berada pada alam yang tinggi, seluruhnya selaras dengan ayat-ayat dalam kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW tidak berselisih.

Orang-orang yang tidak mengikuti seruan para pengikut Rasulullah SAW beramal dengan amal-amal yang baik menurut pandangan diri mereka tanpa mengikuti apa yang diturunkan Allah dan Rasulullah SAW. Seringkali amal demikian tidaklah buruk, akan tetapi menjadi buruk manakala mereka mendustakan seruan untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Sebagian tidak mempunyai keinginan untuk melihat ayat kauniyah Allah sesuai dengan ayat kitabullah, dan sebagian memandang pikiran mereka sendiri lebih baik daripada ayat Allah dan sunnah Rasulullah SAW yang disampaikan orang lain. Mereka mungkin memandang rendah orang yang menyampaikan, atau mereka takjub dengan diri sendiri atau orang-orang yang mereka ikuti tanpa menggunakan akalnya untuk berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Sebagian manusia memandang pemahaman diri mereka terhadap ayat kitabullah lebih baik, tidak mampu melihat penjelasan yang lebih baik tentang firman Allah melalui orang lain sekalipun ayat kauniyah terhampar selaras penjelasan orang lain tersebut.

Keihsanan dan Taufiq

Amal umat manusia yang tidak mau mengikuti tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW tidak jarang mendatangkan suatu mushibah bagi umat manusia. Mereka menyangka sungguh-sungguh dengan sumpah atas nama Allah bahwa mereka mengharapkan amal-amal yang mereka lakukan akan mendatangkan keihsanan dan taufiq bagi mereka, tetapi sebenarnya akan mendatangkan suatu mushibah. Apa yang mendatangkan mushibah adalah pengabaian mereka terhadap seruan untuk mendekat kepada apa yang diturunkan Allah dan kepada Rasulullah SAW.

﴾۲۶﴿فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاؤُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا
Maka bagaimanakah keadaannya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaikan (keihsanan) dan kesesuaian beramal (taufiq)". (QS An-Nisaa’ : 62)

Manakala suatu mushibah telah terlihat atau telah terjadi, mereka akan datang kepada orang-orang yang mengikuti Rasulullah SAW dengan bersumpah bahwa apa-apa yang mereka lakukan hanya bertujuan untuk memperoleh keihsanan dan taufiq. Mushibah itu muncul dari mengabaikan seruan untuk melakukan amal yang dekat dengan apa-apa yang diturunkan Allah dan dekat dengan Rasulullah SAW. Dalam beberapa hal, pengabaian yang mereka lakukan adalah amal-amal yang bertentangan dengan apa-apa yang diturunkan Allah dan sunnah Rasulullah SAW, dan sebagian amal mereka adalah amal yang mereka pandang sebagai amal-amal baik tanpa perlu diperiksa landasan amal-amal mereka terhadap kehendak Allah. Amal-amal demikian akan mendatangkan mushibah kepada mereka.

Keihsanan merupakan buah dari pengetahuan terhadap Allah. Seseorang yang ihsan adalah orang yang beribadah kepada Allah seolah-olah ia melihat-Nya, atau bila tidak melihat-Nya maka Allah melihat dirinya. Ibadah yang demikian hanya dapat dilakukan bila seseorang mengenal Allah. Tidak semua orang yang beribadah kepada Allah merupakan orang yang mengenal Allah. Manusia yang mengenal Allah adalah seseorang yang mampu membentuk bayangan cahaya Allah dalam diri mereka karena terbentuknya diri mereka sebagai misykat cahaya. Misykat ini dapat diibaratkan sebagaimana kamera yang membentuk bayangan objek foto. Jasmani manusia merupakan misykat yang tidak tembus, sedangkan nafs merupakan bola kaca yang memfokuskan bayangan, hingga terbentuk bayangan berupa pohon thayyibah yang benar dalam hati mereka. Manakala seseorang yang membina diri sebagai misykat cahaya berhasil memperoleh bayangan cahaya Allah dengan tepat dan tajam, ia bisa dikatakan mengenal Allah. Ia mengenal kehendak Allah atas penciptaan dirinya, dan ia mengenali kauniyah dirinya selaras dengan ayat dalam kitabullah. Manakala bayangan belum terbentuk atau masih buram, ia mungkin seorang hamba Allah akan tetapi belum dapat dikatakan mengenal Allah.

Terbentuknya bayangan cahaya Allah yang tepat dan tajam terkait dengan akhlak mulia, bukan dibentuk dengan logika berpikir seorang hamba. Rasulullah SAW adalah makhluk yang mempunyai akhlak paling mulia dan sempurna, dan beliau SAW adalah seorang yang ummi tidak dapat membaca. Pengetahuan sempurna yang diperoleh Rasulullah SAW bukan berasal dari kekuatan logika berpikir melalui membaca buku-buku, tetapi berasal dari kemuliaan akhlak beliau SAW. Demikian orang yang mengikuti langkah beliau SAW hendaknya membentuk akhlak mulia, maka ia akan memperoleh pengetahuan Allah dengan akhlaknya. Hal ini tidak berarti membaca buku tidak bermanfaat, hanya saja pengetahuan yang benar tentang Allah hanya akan diperoleh melalui akhlak mulia. Membaca buku dapat membantu manusia membentuk akhlak mulia bila disertai dengan sikap yang tepat, maka ia akan memperoleh bagian pengetahuan dari Rasulullah SAW karena akhak mulia.

Landasan dasar seseorang untuk membentuk akhlak mulia adalah menghayati (menghidupkan) sifat ar-rahman ar-rahim dalam diri melalui setiap perbuatan dan keadaan. Ini adalah landasan utama dalam membentuk akhlak mulia. Tanpa landasan sikap demikian, tidak akan ada akhlak mulia yang tumbuh dalam diri seseorang. Sifat-sifat lain yang sering dipandang sebagai kemuliaan oleh manusia tidak akan menjadi suatu kemuliaan tanpa sifat arrahman arrahim. Kepandaian tanpa sifat rahman rahim akan menjadi sifat yang sangat merusak. Demikian pula sifat-sifat lain seperti kekuatan, keramahan ataupun sifat-sifat yang tampak baik lainnya, semuanya akan menjadi mulia hanya manakala mempunyai landasan sifat ar-rahman ar-rahiim.

Dalam perjalanan, seseorang tidak serta merta dapat membentuk akhlak mulia tanpa memperoleh referensi yang benar. Hanya Rasulullah SAW dan nabi Ibrahim a.s yang dapat membentuk akhlak mulia, dan kedua insan mulia tersebut sangat membantu manusia untuk membentuk akhlak mulia yang harus dijadikan panutan. Dalam hal ini referensi yang paling benar adalah kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW akan menjadi pemandu terbentuknya akhlak mulia dengan mengikuti langkah kedua uswatun hasanah. Sangat banyak dorongan menyimpang yang terjadi pada setiap orang dalam membentuk akhlak mulia, apabila ia tidak berpegang pada tuntunan yang benar maka ia akan teralihkan tidak membentuk akhlak mulia. Alquran akan memandu langkah orang-orang yang ingin melangkah, dan memberikan peringatan bagi orang-orang yang ingin mendengarkan peringatan.

Ada sikap dasar dalam berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, yaitu sikap hanif. Sikap hanif adalah sikap condongnya seseorang untuk mengikuti kebenaran yang sampai atau disampaikan kepada dirinya. Manakala seseorang memahami suatu kebenaran pada sesuatu yang sampai kepada dirinya, hendaknya ia mengikuti kebenaran itu. Manakala ia berpijak pada suatu kebenaran dan mengetahui ada kebenaran yang lebih baik daripada pijakannya, hendaknya ia mengikuti kebenaran yang lebih baik tersebut, atau mengikuti penjelasan yang paling sesuai untuk dirinya. Boleh jadi ada kebenaran yang lebih baik akan tetapi kedudukannya terlalu tinggi bagi dirinya, maka ia hendaknya berpegang pada kebenaran yang sesuai bagi dirinya. Kitabullah Alquran mempunyai banyak tingkatan makna hingga mencapai sisi Allah, hingga kadangkala seseorang tidak dapat bertindak berdasarkan pengetahuan orang lain tentang Alquran, karena kedudukan dirinya tidak bersesuaian dengan pengetahuan orang lain tersebut. Ibaratnya, seorang Musa a.s tidak boleh bertindak sebagaimana Khidir a.s bertindak ketika keduanya dahulu bersama-sama. Ketinggian kebenaran yang dikandung dalam Alquran harus disikapi oleh setiap orang dengan sikap hanif.

Sikap hanif menjadi syarat bagi seseorang untuk berserah diri. Berserah diri adalah sikap untuk melaksanakan kehendak Allah yang ditentukan bagi diri masing-masing. Dalam banyak hal, keislaman dapat diajarkan oleh insan mulia. Orang-orang yang mengikuti pengajaran hendaknya merenungkan tentang kehendak Allah baginya, bertanya kepada Allah melalui dirinya sendiri, tidak hanya mengikuti perkataan panutan sepenuhnya. Boleh jadi seorang pengajar melakukan suatu perintah Allah yang bersifat khusus baginya tidak boleh dicontoh oleh pengikutnya, sebagaimana yang dilakukan nabi khidir a.s. karenanya setiap orang harus berusaha berserah diri kepada Allah. Seandainya ia mengikuti orang lain, hendaknya langkahnya itu dijadikan jalan untuk memahami kehendak Allah, tidak sekadar mengikuti orang lain. Dengan perenungan itu, akan tercapai suatu keihsanan oleh seseorang.

Keinginan membina sifat ar-rahman ar-rahim dengan berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW disertai landasan sikap hanif dan berserah diri akan menjadikan manusia dapat membentuk diri sebagai misykat cahaya sehingga bisa memperoleh keihsanan. Sangat banyak rincian langkah-langkah yang merupakan bagian dari langkah membentuk misykat cahaya, dan hal ini lebih dipahami oleh para syaikh yang bertugas membina tazkiyatun-nafs. Dengan tazkiyatun-nafs, jasmani manusia akan menjadi badan kamera yang menutupi diri terhadap cahaya acak dan hanya melewatkan cahaya Allah, sedangkan nafs mereka menjadi lensa untuk membentuk bayangan cahaya Allah. Setiap orang harus berusaha membentuk bayangan cahaya Allah dalam diri mereka untuk mengenal Allah dengan berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Apapun keadaan masing-masing, setiap orang harus berusaha berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Ketika mereka belum mampu melihat, ketika bayangan itu masih buram, ataupun kala bayangan cahaya Allah itu terbentuk dengan baik, setiap orang harus berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW dengan hanif.

Dengan pemahaman terhadap kehendak Allah, seseorang harus berusaha untuk melaksanakan kehendak-Nya dengan cara yang terbaik. Kemampuan untuk melaksanakan kehendak Allah dengan cara yang baik atau terbaik merupakan taufiq dari Allah bagi hamba-Nya. Hidayah dan taufiq untuk melaksanakan hidayah merupakan pemberian Allah kepada hamba-Nya. Sebagian manusia tidak memperoleh hidayah Allah, sebagian manusia memperoleh hidayah akan tetapi tidak diberi taufiq untuk melaksanakannya, dan sebagian manusia memperoleh hidayah dan diberi taufiq untuk melaksanakannya, maka terwujudlah pemakmuran di bumi melalui orang-orang yang diberi taufiq untuk melaksanakan hidayah yang diperoleh.

Ada orang-orang yang berusaha mencari keihsanan dan taufiq tanpa mengikuti apa-apa yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW, atau mengabaikan apa yang diturunkan Allah yang disampaikan kepada mereka. Mereka memandang diri mereka sebagai orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW, tetapi juga mengabaikannya tanpa merasa ada kesalahan. Upaya demikian akan menimbulkan mushibah bagi umat manusia, sekalipun mereka melakukannya untuk memperoleh keihsanan dan taufiq. Dalam beberapa kasus, perbuatan demikian menjadikan mereka melangkah naik derajatnya mendekat kepada Allah tanpa melalui jalan yang ditentukan, maka syaitan memperoleh jalan memasukkan tipu daya dari alam yang tinggi ke alam duniawi melalui mereka, dan hal demikian mendatangkan kerusakan yang sangat besar. Setiap orang harus berpegang pada apa-apa yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW dalam melangkah untuk memperoleh keihsanan dan taufiq.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar