Pencarian

Kamis, 15 Februari 2024

Membina Keshidiqan

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Di antara tanda melangkahnya seseorang mengikuti langkah Rasulullah SAW adalah terbinanya sifat kejujuran (shidiq) di dalam dirinya. Sifat shidiq merupakan salah satu tanda tumbuhnya akhlak mulia di dalam diri seseorang, dan ketiadaan sifat tersebut menunjukkan keburukan akhlak. Setiap orang yang berkeinginan untuk mengikuti langkah Rasulullah SAW harus berusaha membina sifat jujur (shidiq). Pembinaan sifat demikian akan mengantarkan seseorang untuk mencapai al-jamaah, orang yang bersama dengan Rasulullah SAW sebagai golongan yang memperoleh nikmat Allah bersama orang-orang shalih, para syahid, orang-orang shiddiq dan para nabi.

﴾۹۶﴿وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولٰئِكَ رَفِيقًا
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS An-Nisaa’ : 69)

Shidiq seringkali diartikan sebagai kejujuran, yaitu kesesuaian sesuatu dari diri seseorang dengan realitas yang benar. Keshidiqan sebenarnya mempunyai tingkatan yang sangat banyak, dari suatu realitas yang netral hingga suatu realitas yang mengandung nilai-nilai yang sangat tinggi. Seseorang yang bercerita tentang suatu kejadian dengan sebenarnya merupakan bentuk kejujuran, baik ada nilai yang diperjuangkan dari ceritanya ataupun hanya sekadar bercerita benar. Ada orang-orang yang menegakkan kejujuran dengan penuh susah payah karena adanya nilai-nilai yang harus diperjuangkan untuk kebaikan bersama di antara masyarakat, sedangkan ia harus menanggung kemungkinan merugikan dirinya sendiri. Hal demikian merupakan suatu keshidiqan, sifat yang harus terbina di dalam diri seseorang. Pada tingkatan tertinggi, ada orang-orang yang dapat menyaksikan kebenaran di alam yang sangat tinggi dan ia membenarkan berita kebenaran yang disampaikan kepada dirinya.

Shiddiqin pada ayat di atas adalah orang-orang yang benar-benar bersifat shidiq, menunjukkan kedudukan tertentu yang sangat mulia di sisi Rasulullah SAW. Shiddiqin menunjuk pada kedudukan tertentu dan kemuliaan akhlak tertentu, tidak hanya menunjukkan hanya adanya sifat shidiq pada diri seseorang. Kedudukan shiddiqin lebih tinggi daripada kedudukan para syuhada dan shalihin. Mereka mempunyai kemampuan untuk membenarkan semua keihsanan yang disampaikan, dan mengetahui keburukan yang disembunyikan dalam bungkus yang baik.

Keshidiqan terwujud karena akhlak yang mulia. Seseorang hanya dapat menyampaikan dan memperjuangkan kebenaran bila terbina akhlak mulia pada dirinya. Dengan akhlak mulia, akan tumbuh pengenalan seseorang terhadap kebenaran. Pengenalan kebenaran demikian ditunjukkan dengan kemampuan memilih berita dari sisi nilai dan manfaatnya. Banyaknya data dan informasi yang diperoleh bersifat membantu artikulasi kebenaran yang dapat diungkapkan. Tambahan dan berita bagi seorang shidiq tidak menentukan tingkat keshidiqannya karena suatu keshidiqan sebenarnya tumbuh seiring dengan tumbuhnya akhlak mulia.

Secara umum, menumbuhkan keshidiqan dalam diri dilakukan dengan melakukan perbuatan-perbuatan shidiq hingga ia memperoleh keshidiqan dalam urusan tersebut. Dalam beberapa segi, pengenalan terhadap kebenaran itu mungkin tumbuh di atas akhlak mulia tanpa stimulasi dari luar, akan tetapi hanya secara terbatas. Secara samar-samar seseorang berakhlak mulia mungkin mempunyai persepsi tertentu terhadap suatu masalah tanpa dapat menjelaskannya. Manakala ia mengetahui kabar dari suatu peristiwa yang terjadi, ia mendapatkan dalam hatinya penjelasan tentang peristiwa itu. Pengenalan kebenaran semacam itu bisa tumbuh secara mandiri dalam diri seseorang yang membina akhlak mulia. Seorang Abu Bakar r.a membenarkan mi’raj Rasulullah SAW karena pada dasarnya telah tumbuh pengenalan kebenaran dalam perkara itu dalam diri beliau r.a, sehingga beliau membenarkan Rasulullah SAW. Karena keadaan itu Abu Bakar r.a diberi gelar ash-shiddiq.

Ayat-ayat Allah akan meningkatkan kekuatan akal seorang hamba hingga ia dapat lebih mudah dalam memahami kebenaran. Akal merupakan salah satu tanda kemuliaan akhlak, sebagai tanda yang pokok dan paling utama. Keshidiqan seseorang akan tumbuh bersama dengan kekuatan akalnya manakala disertai dengan upaya untuk melaksanakan pemahaman yang diperolehnya. Ada orang-orang yang dapat mengenal kebenaran dengan akalnya akan tetapi tidak memperoleh jalan untuk mengupayakan dengan baik, maka tingkat keshidiqannya tidak sama dengan orang yang mampu mengupayakan pelaksanaan kebenaran yang dipahaminya. Bila seseorang tidak mempunyai keinginan beramal dengan benar sesuai dengan pemahamannya, maka pemahamannya itu tidak mempunyai manfaat bagi dirinya. Kadangkala seseorang memahami kemudian memanfaatkan pemahamannya untuk memperoleh keuntungan duniawi dari pemahamannya, bukan memberikan manfaat yang terbaiknya, maka mereka termasuk dalam golongan orang-orang munafiq.

Sangat banyak tingkatan keshidiqan yang harus dibangun seorang hamba Allah. Keshidiqan yang tertinggi adalah mengenal kebenaran dari sisi Allah. Kebenaran itu mempunyai nilai yang sangat tinggi bagi seluruh umat manusia, akan tetapi hanya orang-orang dari golongan tertentu yang dapat mengenalnya. Sangat banyak turunan kebenaran yang terwujud dari kebenaran di sisi Allah dan lebih banyak orang yang mengenalnya. Misalnya sekadar berkata benar merupakan keshidiqan di antara manusia yang merupakan ujung turunan keshidiqan, sedangkan kebenaran tertinggi diperkenalkan Rasulullah SAW dari sisi Allah kepada umatnya. Kebenaran dari sisi Allah itu merupakan kebenaran yang paling tinggi dan harus menjadi pokok bagi kebenaran turunannya.

Kadangkala suatu kebenaran turunan tidak lagi menjadi kebenaran bila tidak bersambung terhadap kebenaran Rasulullah SAW. Bila nilai yang diperjuangkan keliru, maka turunan kebenaran itu tidak lagi menjadi kebenaran. Contohnya kaum khawarij berjuang menegakkan sunnah, akan tetapi tidak sejalan dengan sunnah yang dimaksud Rasulullah SAW. Contoh lainnya, berkata benar atau jujur tidak lagi bernilai benar bila kemudian mencerai-beraikan seseorang dengan isterinya. Sebaliknya suatu perkataan salah atau bohong bisa bernilai kebenaran manakala digunakan untuk mendamaikan seseorang dengan saudaranya, atau mendamaikan seseorang dengan isterinya. Setiap kebenaran turunan yang dilakukan hendaknya bersambung pada kebenaran yang tertinggi, maka ia akan mempunyai nilai keshidiqan.

Tidak semua orang dapat menyambungkan amalnya dengan kebenaran yang tertinggi secara langsung. Keterbatasan demikian ini hendaknya tidak mencegah seseorang untuk beramal. Setiap orang hendaknya berusaha beramal dengan pengetahuan yang terbaik diri mereka, dan selalu berusaha mencari jalan washilahnya pada orang yang tersambung pada Rasulullah SAW, atau melalui wasilah yang terdekat bagi dirinya. Dengan cara demikian, mereka mengikuti suatu keshidiqan untuk membina keshidiqan diri. Upaya demikian akan mengarahkannya untuk menjadi bagian dari al-jamaah. Hal pokok yang harus dipegang dalam mencari washilah adalah bahwa orang yang menjadi washilah tidak menyimpang dari Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Manakala menemukan penyimpangan pada washilahnya, setiap orang harus kembali mengikuti Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, dan bila diperlukan ia bisa meninggalkan washilahnya tersebut.

Seseorang tidak akan dapat menumbuhkan keshidiqan bila mendustakan ayat-ayat Allah. Demikian pula akhlak mulia tidak dapat tumbuh bila mendustakan ayat-ayat Allah. Pendustaan terhadap ayat-ayat Allah dilakukan oleh orang-orang yang kafir, atau oleh orang-orang yang akalnya bengkok. Orang-orang yang beriman secara benar tidak akan pernah mendustakan ayat-ayat Allah, karena hal demikian merupakan suatu sikap kufur yang akan mendatangkan kecelakaan kepada dirinya. Sekalipun misalnya seseorang membina keshidiqan baru dengan cara mengikuti, hendaknya mereka tidak sekali-kali mendustakan ayat-ayat Allah mengikuti orang lain karena akan menyimpangkan langkah mereka.

Kedustaan (Kadzib)

Dengan pengenalan kebenaran, seseorang memperoleh pegangan tidak terombang-ambing oleh berbagai kebohongan yang terjadi, sehingga tidak terseret oleh berbagai tipuan yang dilakukan oleh makhluk. Sangat banyak kebohongan yang dapat dilakukan oleh para makhluk terhadap makhluk lainnya, dan hal itu semakin mudah dilakukan bila makhluk yang menjadi objek tidak mengenal kebenaran. Seseorang bisa memperoleh keuntungan duniawi dari orang lain dengan jalan membuat kebohongan, atau menguasai umat manusia dengan melakukan kebohongan-kebohongan terhadap umat manusia.

﴾۵۰۱﴿إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَأُولٰئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ
Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta. (QS An-Nahl : 105)

Sangat banyak tingkatan kebohongan dapat dilakukan manusia, baik kebohongan yang bersifat candaan ataupun kebohongan yang digunakan manusia untuk memperoleh keuntungan dari orang lainnya. Kebohongan pada tingkatan tertinggi adalah kebohongan yang dibuat oleh syaitan berupa perkataan bohong tentang Allah. Syaitan membuat suatu rumusan perkataan tentang Allah yang dibuat untuk diberikan kepada banyak kalangan manusia, baik bagi orang-orang yang musyrik, orang-orang kafir, ataupun orang-orang beriman. Perkataan syaitan tentang Allah bagi orang beriman bukanlah perkataan yang menjadikan manusia memandang buruk kepada Allah, tetapi perkataan yang menjadikan manusia kehilangan jalan untuk mengenal Allah. Perkataan itu tampak benar, atau tidak akan ditemukan kesalahannya, akan tetapi manusia tidak akan menemukan jalan untuk mengenal Allah bila mengikuti perkataan itu. Itu adalah perkataan bohong tentang Allah yang diberikan kepada orang beriman.

Banyak kebohongan dilakukan oleh manusia untuk memperoleh keuntungan dengan kebohongannya. Ada orang-orang yang berbohong untuk sekadar menutup rasa malu dirinya, atau untuk menyelamatkan diri dari penganiayaan, dan sangat banyak jenis kebohongan lain yang melatarbelakangi perbuatan seseorang. Ada orang-orang membuat laporan dengan cara tertentu untuk menampilkan prestasi dirinya dan menutupi kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukannya, bukan untuk melakukan analisa keadaan dengan benar, maka ia akan memperoleh keuntungan dengan laporannya itu. Dengan cara tertentu, hal demikian bisa menjadi contoh kebohongan yang tergolong disebutkan ayat di atas. Jenis-jenis kebohongan yang biasa diperbuat oleh orang-orang yang melakukan kebohongan tidak terbatas hal-hal demikian.

Orang-orang yang menyusun prinsip-prinsip kebenaran  hanya mengikuti hawa nafsu dan mengajak manusia mengikutinya merupakan jenis kebohongan yang paling berat bobot kebohongannya. Orang-orang yang melakukan hal demikian biasanya berkeinginan untuk dipandang sebagai pemuka atau tokoh yang harus diikuti oleh masyarakat. Mereka membuat-buat perkataan tanpa berpegang pada ayat-ayat Allah dan kemudian menghias-hias perkataan mereka dan menyiarkan perkataan mereka kepada masyarakat hingga berbantah-bantah untuk mencapai kemenangan. Perbantahan yang mereka lakukan seringkali dilakukan hingga menentang firman-firman Allah dalam kitabullah, dan mengatakan bahwa kandungan firman Allah yang mungkin disampaikan orang lain itu hanya kata-kata yang dibuat-buat. Itu merupakan kebohongan yang berat bobotnya.

Hampir selalu syaitan merasa sangat senang bila bisa membantu orang demikian untuk berbantah. Seandainya tidak dapat membelokkan pikiran lawan bicaranya, orang yang mendengar perbantahan mereka akan dibuat merasa takjub dengan kemampuan berbicara orang yang dibantu syaitan. Tidak jarang orang-orang pendusta merupakan bagian dari orang-orang yang menyembah syaitan, maka kebohongan mereka memperoleh kekuatan sihir yang menutup pandangan manusia dari kejahatan yang mereka lakukan.

Orang-orang beriman harus menyusun langkah kehidupan berdasarkan ayat-ayat Allah yang mampu dipahaminya, dan tidak menyusun prinsip kehidupan tanpa suatu keshidiqan, atau mencari kehidupan di atas kebohongan. Prinsip kehidupan yang salah tidak jarang menjadikan seseorang sebagai orang yang mendustakan kebenaran. Bagi orang beriman, batas kebohongan bagi mereka adalah (keinginan) menceritakan semua yang didengarnya, bukan hanya benar atau salah cerita yang dibuat. Bila seseorang menyusun suatu kedustaan, sebenarnya ia terjatuh pada kekufuran terhadap ayat Allah, baik ia menyadari atau tidak menyadarinya. Bila ia tidak menyadari, ia hendaknya bisa menyadarinya manakala orang lain memperingatkan tentang ayat-ayat yang ditentangnya agar ia selamat. Bila ia menentang orang yang memperingatkan dirinya dan menuduh balik bahwa lawannya mengada-ada, maka dirinya adalah pendusta. Masalah kedustaan di antara mereka hendaknya diukur berdasarkan ayat-ayat kitabullah, tidak mengikuti standar lain yang diinginkan hawa nafsu.

Orang-orang yang mengenal keshidiqan akan lebih tahan dan lebih mengenali kebohongan-kebohongan yang disampaikan kepada mereka, atau juga sihir-sihir yang mungkin menyertai dan menempel pada kebohongan-kebohongan itu. Orang-orang yang tidak membina sikap hanif, tidak mempunyai kecondongan untuk mengikuti yang benar, pragmatis dan tidak mempunyai tujuan kehidupan yang baik akan mudah tertipu dengan kebohongan yang dibuat-buat.

Menyampaikan suatu keshidiqan merupakan amal shalih yang dapat membantu kehidupan masyarakat untuk mencapai kemakmuran di bumi. Sebagian orang dapat mengenali bahwa alam dunia ini sebenarnya merupakan kerajaan Iblis, dan hanya sebagian manusia yang terbebas dari kebohongan yang mereka perbuat terhadap dunia. Dunia ini masih dikuasakan kepada Iblis kecuali terhadap orang-orang mukhlasin hingga hari agama ditegakkan, yaitu pada masa khalifatullah Al-Mahdi diutus. Dalam perebutan kekuasaan, mungkin saja ada pihak-pihak yang memperoleh fasilitas dari syaitan menggunakan kekuatan sihir untuk memperoleh kekuasaan karena syaitan berkepentingan pula terhadap berkuasanya sekelompok manusia atas yang lain. Orang yang terbebas dari kekuasaan Iblis akan mengenali bentuk-bentuk kebohongan syaitan, dan mengenali prinsip keshidiqan yang dilanggar. Kadangkala mereka diberi kemampuan untuk mengatasi kebohongan itu dengan cara menyampaikan kebenaran kepada orang lain. Hal demikian menjadi amal shalih bagi dirinya yang akan mengentaskan manusia yang mengikutinya untuk memakmurkan bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar