Pencarian

Minggu, 18 Juni 2023

Mendzikirkan Asma Allah dengan Alquran

Tujuan akhir perjalanan kehidupan setiap manusia adalah mengikuti Rasulullah SAW hingga menjadi hamba yang didekatkan kepada Allah. Rasulullah SAW merupakan manusia yang dijadikan Allah sebagai penghulu semesta alam. Semesta alam diciptakan Allah untuk memperkenalkan Rasulullah SAW. Beliau adalah makhluk yang mampu mengenal seluruh hakikat penciptaan alam semesta yang hendak Allah perkenalkan, dan dengan keadaan itu beliau SAW dijadikan sebagai panutan bagi setiap makhluk untuk mengenal Allah. Tidak ada makhluk yang mengenal Allah dengan benar melalui jalan lain tanpa mengikuti tauladan Rasulullah SAW. Untuk menjadi hamba yang didekatkan, beliau SAW menegakkan dzikir dari bait yang diijinkan Allah untuk ditinggikan dan didzikirkan asma-Nya dalam rumah itu.

Mendzikirkan asma Allah merupakan bentuk ibadah yang dikehendaki Allah sebagai bentuk ibadah yang paling besar bagi setiap makhluk. Mendzikirkan asma Allah merupakan tugas yang ditetapkan bagi setiap manusia. Yang dimaksud dzikir adalah upaya seseorang merealisasikan pemahaman mereka tentang kehendak Allah bagi semesta mereka. Allah telah menentukan kewajiban mendzikirkan asma Allah sebelum nabi Adam a.s dan Hawa diturunkan ke bumi. Tidaklah manusia dan jin diciptakan Allah kecuali untuk beribadah, dan bentuk ibadah yang sebenarnya adalah berdzikir.

Berdzikir dengan cara demikian hanya dapat dilakukan bila seseorang memahami kitabullah Alquran hingga Alquran menceritakan kepada dirinya suatu bentuk dzikir yang harus dilakukannya. Tidak ada suatu dzikir tanpa landasan pengetahuan kitabullah Alquran. Seseorang mungkin bisa belajar berdzikir berdasarkan bacaan orang lain yang memahami kitabullah Alquran, tetapi dzikir yang sebenarnya terjadi manakala kitabullah Alquran memberikan cerita kepada dirinya tentang dzikir yang harus dilakukan dirinya.

﴾۳۱۱﴿وَكَذٰلِكَ أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا وَصَرَّفْنَا فِيهِ مِنَ الْوَعِيدِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ أَوْ يُحْدِثُ لَهُمْ ذِكْرًا
Dan demikianlah Kami menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab, dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali, di dalamnya sebahagian dari janji-janji agar mereka bertakwa atau (agar) Al Quran itu menceritakan adz-dzikra bagi mereka. (QS Thahaa : 113)

Cerita dari Alquran tentang bentuk dzikir yang harus dilakukan seseorang merupakan bentuk ketakwaan yang diberikan Allah. Bia ia melaksanakan dzikir itu, ia menjadi orang yang bertakwa dengan sebenarnya. Seseorang dapat mengetahui kadar ketakwaannya berdasarkan nilai bacaan Alquran yang ditampakkan kepada dirinya. Atau seseorang belajar bertakwa dengan mengukur kesesuaian keadaannya dengan lafadz Alquran yang dapat dipahaminya. Seseorang tidak dapat mengukur kadar ketakwaan dirinya berdasarkan emosi yang ada pada suatu saat. Manakala seseorang merasa dekat kepada Allah, belum tentu sebenarnya ia dekat kepada Allah karena boleh jadi itu hanya luapan hawa nafsu. Hal demikian bisa digunakan untuk membina diri seseorang dalam ketaatan kepada Allah dengan menyentuh hawa nafsu, dan sangat mungkin merupakan suatu kebaikan, akan tetapi bukan suatu ukuran ketakwaan yang benar. Nilai ketakwaan seseorang dapat dilihat dari adz-dzikra yang muncul dari Alquran kepada dirinya.

Tanpa landasan Alquran, pengikut Rasulullah SAW tidak dapat mengukur ketakwaan diri. Setiap pengetahuan langit yang terbuka kepada seorang hamba hendaknya memperoleh landasan dari Alquran agar dapat diukur kebenarannya. Alquran dapat menunjukkan pengetahuan yang terbuka kepada seseorang dan mengklasifikasinya sebagai inti pengetahuan, pengetahuan sekunder atau hiasan-hiasan bagi pengetahuan yang terbuka atau bahkan bunga-bunga hawa nafsu yang terkandung dalam suatu pengetahuan. Dengan mengetahui klasifikasi pengetahuan berdasarkan Alquran, seseorang dapat mengukur kadar ketakwaan dirinya.

Sebagian dari pengetahuan inti yang terbuka kepada seorang hamba dari Alquran adalah adz-dzikra yang akan menceritakan kepada mereka bentuk amal ibadah yang terbesar bagi mereka. Tidak ada adz-dzikra yang tidak secara langsung berhubungan dengan suatu nash dari Alquran. Adz-dzikra tidak berbentuk sebagai pengetahuan turunan dari Alquran, tetapi selalu sebagai pengetahuan inti tentang suatu kandungan dalam nash Alquran. Suatu ayat Alquran boleh jadi membuka suatu pengetahuan yang sangat besar tentang ayat kauniyah pada semesta dan semua itu menjadi pengetahuan inti dari suatu ayat Alquran. Walaupun demikian hendaknya seseorang yang mengalami keterbukaan tetap berhati-hati terhadap kemungkinan kesalahan informasi, tanpa mengingkari adz-dzikra yang terbuka pada mereka.

Suatu adz-dzikra yang diberikan kepada seorang hamba berkaitan dengan adz-dzikra bagi sahabatnya. Suatu jamaah dapat mengikuti langkah sahabatnya untuk memperoleh adz-dzikra bagi masing-masing. Adz-dzikra bagi seseorang berkaitan dengan ruang dan jaman mereka, dan setiap orang pada ruang dan jaman yang sama pada dasarnya akan menghadapi ayat kauniyah yang sama, walaupun mungkin berbeda-beda dalam detail masalahnya. Dengan keadaan demikian, suatu adz-dzikra yang terbuka pada salah seorang di antara kaum akan dapat menjadi sumber adz-dzikra bagi yang lain, hanya saja bentuk-bentuk pengetahuan mereka mungkin berbeda.

Suatu adz-dzikra akan mempunyai dampak yang berbeda-beda terhadap kaum yang berbeda. Sekalipun sama-sama muslim, seringkali dampak yang timbul berbeda-beda tergantung akal mereka. Suatu kaum yang menggunakan akal akan mudah untuk mengenali dan bersama-sama mengerjakan amr Allah untuk ruang dan jaman mereka manakala suatu adz-dzikra diturunkan kepada salah seorang di antara kaum tersebut. Kaum yang tidak menggunakan akal dan pikiran seringkali hanya akan ditimpa kebingungan membaca suatu adz-dzikra yang diberikan. Mereka tidak akan mudah untuk menilai bobot suatu kebenaran dan membedakannya dari kesesatan hingga suatu kesesatan disangka sebagai kebenaran dan suatu kebenaran disangka sebagai kesesatan. Kebingungan demikian merupakan najis (ar-rijs) yang ditimpakan Allah kepada kaum yang tidak menggunakan akalnya.  

Mawas Diri dengan Alquran

Bila seseorang melaksanakan dzikir mereka, mereka sebenarnya juga meninggikan asma Allah bagi semesta mereka. Semesta mereka akan melihat bahwa Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya. Mereka memahami hal demikian dengan akal mereka, tidak berdasarkan suatu doktrin yang tidak mereka pahami maknanya. Sebagian manusia menyusun perkataan tentang Allah tanpa berdasar pengetahuan karena mengikuti syaitan tanpa menyadari. Sebagian orang berusaha mengagungkan asma Allah dengan hawa nafsu mereka, maka mereka tidak berhasil mengantarkan orang-orang yang mengikuti menjadi memahami bahwa Maha Tinggi Allah Raja yang sebenar-benarnya kecuali hanya anggukan kepala tanpa memahami maknanya. Sebagian di antara orang yang mengagungkan asma Allah justru mencegah para pengikut mereka menggunakan akal dan pikiran mereka dan menjadikan mereka sebagai kaum yang bodoh tanpa akal hingga mungkin mereka menghinakan orang-orang yang memperoleh adz-dzikra.

﴾۴۱۱﴿فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِن قَبْلِ أَن يُقْضَىٰ إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan". (QS Thahaa : 114)

Salah satu keadaan yang justru bisa menjadikan suatu kaum menjadi bodoh adalah tergesa-gesanya seseorang dengan Alquran sebelum sempurna diturunkannya pemahaman mereka hingga mencapai keadaan adz-dzikra. Pada dasarnya ilmu dari Alquran bagi hamba-Nya tidak akan pernah mencapai kesempurnaan dan akan selalu bertambah hingga tidak akan pernah suatu pemahaman Alquran diturunkan secara sempurna. Akan tetapi ada suatu keadaan dimana suatu ayat Alquran dikatakan diturunkan secara sempurna, yaitu manakala Alquran memberikan cerita tentang Adz-dzikra yang menjadi amal shalih bagi seseorang bagi ruang dan jaman mereka.

Adz-dzikra akan menempatkan seseorang pada suatu kedudukan di antara al-jamaah, yaitu para pengikut Rasulullah SAW yang sebenarnya. Mereka akan dijadikan memahami kedudukan Rasulullah SAW di antara semua ciptaan, dan memahami kedudukan dirinya di antara para pengikut Rasulullah SAW. Ia mengenal kepada siapa ia harus bermakmum agar terhubung kepada Rasulullah SAW. Ia mencapai sebuah musyahadah yang sebenarnya, bahwa tiada Ilah selain Allah dan bahwa nabi Muhammad SAW adalah Rasul Allah. Kedudukan ini akan diperoleh seorang hamba Allah setelah ia mengenal penciptaan dirinya. Walaupun seseorang yang mengenal diri dikatakan mengenal rabb-nya, pengesahan musyahadah seorang hamba yang sebenarnya terhadap ilahiah bukanlah musyahadah penciptaan diri, tetapi musyahadah bahwa nabi Muhammad SAW adalah Rasul Allah. Seseorang tidak dikatakan tergesa-gesa membacakan Alquran manakala ia mengetahui dzikirnya sebagai bagian dari amr jami’ yang diturunkan kepada Rasulullah SAW.

Ketergesaan seseorang membacakan Alquran ditunjukkan dengan pengakuan diri terhadap status dalam Alquran tanpa memahami kedudukan dirinya dalam Al-jamaah. Tidak ada salahnya bagi setiap orang mengajarkan kandungan kitabullah kepada orang lain selama dilakukan berdasar kebenaran dengan niat yang baik, akan tetapi pengajaran itu akan menjadi salah manakala ia melakukan pengakuan-pengakuan status diri dalam Alquran sedangkan ia tidak mengetahui kedudukan dirinya di antara jamaah Rasulullah SAW. Kesempurnaan pemahaman Alquran mempunyai beberapa parameter yang kokoh dan menyatu yang harus terpenuhi. Bila seseorang tergesa-gesa membacakan Alquran, ia tidak akan menemukan adz-dzikra dan tidak dapat mendzikirkan dan meninggikan asma Allah bagi semesta mereka, atau justru akan menimbulkan kerusakan di antara umatnya. Mereka akan terhijab karena ketergesa-gesaannya.

Orang yang telah memperoleh adz-dzikra tidak termasuk dalam golongan orang yang tergesa-gesa dengan Alquran. Hukum tentang ketergesaan dengan Alquran tidak berlaku bagi mereka sehingga mereka boleh melakukan pengakuan terhadap kedudukan diri dalam Alquran atau tidak melakukannya agar umat lebih tajam dalam memperhatikan Alquran. Manakala mereka menegaskan kedudukan diri mereka, mereka berkeinginan agar orang lain memperhatikan Alquran, tidak memperhatikan dirinya. Penegasan mereka bukan ketergesaan dengan Alquran, karena mereka mengetahui kandungan dalam Alquran bukan hanya sampulnya saja. Penegasan pengakuan seseorang yang memperoleh Adz-dzikra tentang kedudukan mereka dalam Alquran salah satunya seringkali menunjukkan adanya kelemahan akal suatu kaum dalam memperhatikan Alquran sedangkan mereka merasa mempelajarinya. Seseorang yang dengan mudah menunjukkan kedudukan diri mereka seringkali termasuk dalam golongan yang tergesa-gesa dengan Alquran tanpa mawas diri.

Bagi kaum yang mencari adz-dzikra bagi mereka, hendaknya mereka memperhatikan benar-benar kandungan Alquran yang disampaikan kepada diri mereka. Hanya pemahaman Alquran yang dikatakan sempurna yang dapat mengantarkan menemukan adz-dzikra. Tidak semua ilmu Alquran yang disampaikan orang lain kepada mereka merupakan pemahaman yang sempurna yang dapat mengantarkan mereka menemukan adz-dzikra. Sebagian dari ilmu Alquran yang menakjubkan kadangkala hanya merupakan sampul-sampul pengetahuan yang diturunkan melalui Alquran, bukan kandungan yang sebenarnya yang dapat mengantarkannya memperoleh adz-dzikra. Sumpah-sumpah seorang pengajar tentang keadaan diri mereka tidak dapat dijadikan pegangan bahwa mereka tidak tergesa-gesa dengan Alquran, karena hal itu seringkali justru menunjukkan ketergesa-gesaan dengan Alquran. Setiap orang hendaknya memperhatikan kandungan Alquran untuk dapat melihat orang-orang yang dapat mengantarkan diri mereka menuju adz-dzikra.

Bagi orang-orang dalam Al-jamaah, tidak ada yang merasa bahwa mereka adalah orang yang paripurna. Hanya Rasulullah SAW insan yang paripurna, sedangkan yang lain menempati hanya kedudukan tertentu sebagai bagian dalam al-jamaah. Hal ini tidak berarti menghilangkan adanya hirarki imam dan makmum, hanya saja setiap diri akan berusaha sebaik-baiknya untuk memperoleh pengetahuan terbaik melalui ketakwaan. Kebersamaan dalam al-jamaah itu telah mencukupi bagi mereka, akan tetapi dalam hal ilmu mereka selalu memohon kepada Allah agar Allah menambahkan kepada mereka ilmu yang bermanfaat. Hal itu terkait dengan kebutuhan pengetahuan mereka tentang Allah dan kehendak-Nya, bukan untuk kemegahan diri mereka sendiri. Tidak ada seseorang dalam Al-jamaah merasa lebih unggul karena pengetahuannya, tetapi lebih merasa perlu memperoleh pengetahuan bersama yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar