Pencarian

Selasa, 23 Mei 2023

Mengharap Rahmat Allah

Setiap orang beriman adalah orang-orang yang ingin mengenal kebenaran dan berbuat dengan landasan kebenaran. Untuk keinginan itu, mereka mengikuti Rasulullah SAW menjadi saksi bagi Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan memperoleh pengenalan kebenaran hakiki yang diperkenalkan Allah, kebenaran dari sisi-Nya hingga mencapai alam yang terjauh dari-Nya. Kebenaran hakiki itu adalah kebenaran di atas landasan kasih sayang dalam setiap bentuknya di semua tingkatan alam. Allah telah menetapkan bagi diri-Nya rahmat, secara khusus bagi orang-orang yang menginginkannya dengan cara yang benar, dan secara umum meliputi semua alam ciptaan-Nya. Rahmat berarti kasih sayang, yaitu sifat adanya kehendak untuk berbuat baik kepada yang dikasihi.

Manusia mempunyai kedudukan khusus dalam pengenalan terhadap rahmat Allah. Allah memberikan kepada manusia suatu tingkatan khusus dari rahmat-Nya yang berfungsi untuk pelaksanaan kedudukan diri mereka sebagai khalifatullah di muka bumi. Setiap manusia dapat mengenal rahmat-Nya hingga tingkatan yang tertinggi. Akan tetapi tingkatan itu tidak serta-merta diberikan. Manusia ditempatkan di alam yang terendah dan harus kembali kepada Allah untuk mengumpulkan pengenalan terhadap rahmat Allah, dan kemudian beramal dengan rahmat itu kepada makhluk lain agar Allah menambah kepadanya pengenalan rahmat-Nya.

Banyak ragam bentuk manusia dalam mengharapkan rahmat Allah. Sebagian manusia kembali dan menyeru kepada Allah manakala suatu bahaya menimpa mereka, sedangkan dalam keadaan lain mereka terlupa atau tidak merasa perlu melakukannya. Ini merupakan orang yang lemah dalam mengharap rahmat Allah. Sebagian orang-orang yang berharap lebih kuat kembali dan menyeru kepada Allah hingga Allah memberikan rahmat-Nya. Di antara yang memperoleh rahmat, ada orang-orang yang memperoleh sedikit bagian dari rahmat-Nya, akan tetapi justru karena karunia itu mereka kemudian menjadi syirik kepada Allah.

﴾۳۳﴿وَإِذَا مَسَّ النَّاسَ ضُرٌّ دَعَوْا رَبَّهُم مُّنِيبِينَ إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا أَذَاقَهُم مِّنْهُ رَحْمَةً إِذَا فَرِيقٌ مِّنْهُم بِرَبِّهِمْ يُشْرِكُونَ
﴾۴۳﴿لِيَكْفُرُوا بِمَا آتَيْنَاهُمْ فَتَمَتَّعُوا فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ
(33)Dan apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali bertaubat kepada-Nya, kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat daripada-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan Tuhannya, (34) agar mereka kufur terhadap rahmat yang telah Kami berikan kepada mereka. Maka bersenang-senanglah kamu sekalian, kelak kamu akan mengetahui. (QS Ar-Ruum : 33-34)

Hendaknya setiap manusia menginginkan rahmat Allah secara utuh. Keadaan demikian dapat diberikan Allah bila seseorang membangun diri sebagai seseorang yang mempunyai keinginan terhadap kebaikan dalam setiap keadaan, tidak terlena oleh keinginan syahwat dan hawa nafsu hingga mengalahkan keinginan untuk berbuat baik. Bila seseorang mendahulukan keinginan syahwat dan hawa nafsu dalam beramal, keadaan mereka akan lemah dalam mengharapkan rahmat Allah. Pada sebagian manusia, mereka kembali dan menyeru Allah hanya manakala suatu bahaya mengancam mereka. Pada sebagian manusia, manakala Allah memberikan sedikit bagian dari rahmat-Nya, maka mereka kemudian mempersekutukan Allah.

Pada kasus tertentu Allah menguji keikhlasan hamba-Nya dengan memberikan sedikit bagian dari rahmat yang khusus, tetapi pemberian bagian rahmat itu dijadikan sebab untuk memperlihatkan celah keikhlasan mereka yang belum sepenuhnya. Dengan memberikan bagian rahmat itu, Allah berkehendak memperlihatkan agar seseorang berbuat kufur dengan bagian rahmat yang diberikan itu, maka orang-orang demikian kemudian berbuat kufur. Dalam peristiwa demikian, Allah tidak menghendaki seseorang berbuat kufur, tetapi Dia berkehendak memperlihatkan sesuatu yang harus mereka benahi terkait dengan rahmat Allah, tidak menyangka bahwa diri mereka sudah benar-benar layak memperoleh rahmat tersebut karena keadaan dirinya sendiri.

Mempersekutukan Allah yang dilakukan orang-orang yang memperoleh sedikit bagian dari rahmat Allah seringkali bukan berbentuk menyeru tuhan selain Allah, akan tetapi dalam bentuk mempertuhankan hawa nafsu. Sedikit bagian rahmat yang dikaruniakan Allah kepada seseorang dapat melambungkan hawa nafsu hingga orang yang menerimanya kemudian justru mempertuhankan hawa nafsu mereka sendiri, tidak tetap berpijak dengan kokoh pada keikhlasan dengan mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Mereka melupakan penghambaan dirinya dam terlena dengan karunia. Karena keadaan demikian, mereka kemudian mempersekutukan rabb mereka.

Jalan Menuju Rahmat

Rasulullah SAW dan kitabullah Alquran merupakan mata air dan jalan rahmat Allah yang paling utama bagi semesta alam yang diturunkan mencapai alam mulkiyah manusia. Allah menurunkan keduanya sebagai rahmat bagi semesta alam. Sumber rahmat Allah tersebut kemudian dipanjangkan secara parsial oleh para ahli pada bidang masing-masing secara terintegrasi kepada sumbernya, tidak terpisah. Para ahli tersebut merupakan orang-orang yang mengenal penciptaan diri mereka dan mereka bersama-sama dengan Rasulullah SAW dalam amr jami’. Mereka bisa saja salah dalam suatu masalah, tetapi selalu beri’tikad dan berusaha menyatukan diri mereka mengikuti Rasulullah SAW dan kitabullah tanpa pernah ingin menyelisihi atau menentang. Suatu bagian rahmat Allah bagi manusia yang tidak terintegrasi dengan sumber dan jalan-jalan rahmat Allah yang benar dapat menjadi suatu sumber kekufuran.

Ada hirarki pada jalan menuju rahmat Allah. Rasulullah SAW dan kitabullah adalah jalan rahmat Allah yang tertinggi dan tidak ada kesalahan pada kedua kemuliaan tersebut. Banyak orang yang bersungguh-sungguh mengikuti beliau SAW, maka mereka memperpanjang rahmat itu bagi umat mereka. Tetapi mereka sangat mungkin berbuat salah. Untuk menemukan jalan rahmat, seseorang dapat mencari dan mengikuti arahan orang yang mengenal rahmat Allah yang dekat kepada mereka, tetapi harus dengan berpegang pada kitabullah dan tuntunan Rasulullah SAW tidak melepaskannya sedikitpun untuk dikalahkan dengan ketaatan pada yang lain.

Mereka memiliki keinginan terhadap pengetahuan kitabullah bukan karena mereka menginginkan ketinggian ilmunya, tetapi semata karena rahmat yang terkandung di dalamnya. Itu merupakan turunan dari sifat Rasulullah SAW. Tidaklah Rasulullah SAW mengharapkan Alquran diturunkan kepada diri beliau SAW karena keunggulan yang terkandung pada Alquran tersebut, tetapi karena kandungan rahmat Allah yang dapat dibagikan kepada semesta alam dari Alquran tersebut. Itu merupakan bentuk pengenalan tertinggi kepada Allah. Demikian pula para ahli yang memperpanjang rahmat Allah bagi semesta mereka bersikap seperti Rasulullah SAW, yaitu mereka tidak ingin mempertunjukkan ketinggian ilmu kitabullah yang diberikan kepadanya tetapi hanya berkeinginan menunjukkan jalan bagi manusia menuju rahmat Allah.

﴾۶۸﴿وَمَا كُنتَ تَرْجُو أَن يُلْقَىٰ إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلَّا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ ظَهِيرًا لِّلْكَافِرِينَ
Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al Quran diturunkan kepadamu, tetapi (hanyalah) karena sebagai rahmat dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir (QS al-Qashas : 86)

Integrasi terhadap kesatuan sumber dan jalan rahmat Allah menjadi hal utama yang diperhatikan oleh orang yang mengenal rahmat Allah. Mereka tidak akan menentang orang yang menunjukkan kepada mereka jalan menuju rahmat Allah, kecuali dalam hal yang jelas bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Mereka mampu merendahkan hati mereka kepada siapapun untuk mendengar hal yang menyatukan diri mereka pada rahmat Allah. Mereka tidak ingin berpisah dari kesatuan rahmat Allah, sekalipun terpisah hanya dalam bentuk berada di atas bagian dari rahmat Allah yang terpisah.

Berada di atas bagian dari rahmat Allah tidak akan membuat mereka tenteram. Mereka tidak akan berbuat tanpa menyatu dengan landasan petunjuk Allah melalui Rasulullah SAW dan kitabullah. Mereka akan berusaha menemukan landasan amal baik secara langsung maupun dalam bentuk turunannya. Bila mereka berbuat bertentangan dengan tuntunan Allah karena bagian rahmat yang diterima, mereka menyadari bahwa sangat mungkin mereka itu termasuk orang yang dikehendaki Allah untuk diperlihatkan kekufuran mereka karena rahmat Allah. Mereka mengetahui diri mereka termasuk kufur karena bagian dari rahmat Allah.

Ada persoalan bagi orang-orang yang mengenal rahmat Allah terkait memanjangkan rahmat-Nya bagi semesta alam. Mereka berkeinginan menyampaikan rahmat Allah yang dikenalinya, dan hal itu bertentangan dengan orang-orang yang berbuat kafir. Orang yang kafir akan menutup, menghalangi, mempersulit atau menjauhkan manusia dari rahmat Allah. Setiap hal yang berlawanan dengan rahmat Allah termasuk bagian dari kekufuran, dan orang yang berbuat demikian terperosok dalam golongan kafir. Sebagian orang kafir berasal dari orang jahat, dan banyak variasinya hingga sebagian orang kafir berasal dari kalangan orang yang memperoleh bagian rahmat Allah. Orang yang berusaha menunjukkan jalan menuju rahmat Allah tidak dibolehkan menolong orang-orang dalam kekufuran mereka.

Larangan membantu orang kafir pada ayat di atas lebih ditujukan kepada orang yang berusaha menunjukkan jalan bagi umatnya menuju rahmat Allah berdasar kitabullah Alquran. Orang yang berupaya menunjukkan jalan menuju rahmat Allah tanpa landasan kitabullah tidak termasuk dalam kelompok tersebut secara langsung, tetapi harus mengikuti aturan tersebut. Rahmat Allah yang dikenalinya barangkali hanya ujian Allah, atau sebenarnya bukan rahmat Allah tetapi disangka rahmat Allah. Hendaknya mereka tidak mengukur kekufuran orang lain yang berbeda dengan mereka, dan hendaknya mereka lebih mengukur kekufuran diri sendiri agar dapat menghindarinya. Pada pokoknya, suatu pemahaman tentang kebaikan hendaknya tidak berbalik menjadi suatu perbantahan sia-sia di antara manusia. Seringkali tidak ada manfaat bagi seseorang mengukur kekufuran orang lain, kecuali bagi orang-orang yang memperoleh amanah membina umat manusia agar umat manusia tidak mengikuti suatu kekufuran. Bila melakukannya, mereka mengukur pula kadar kesombongan dan kebanggaan yang mungkin tumbuh dalam dirinya. Bilamana suatu kekufuran tampak jelas, setiap orang tidak boleh membantu orang-orang kafir.

Kufur dan Syirik Tersembunyi

Kekufuran seringkali tidak disadari oleh orang-orang yang melakukannya. Bahkan hingga mencapai kesyirikan, kadang manusia tidak merasa telah menyembah sesuatu selain Allah. Mereka memandang amal-amal yang mereka lakukan adalah bentuk ibadah kepada Allah, tidak merasakan adanya kandungan kufur atau kesyirikan dalam ibadah yang mereka lakukan, sedangkan sebenarnya telah terjadi kufur dan kesyirikan dalam amal mereka. Kandungan kesyirikan itu kelak di akhirat akan mereka sadari dengan melihat bahwa bahwa tujuan ibadah mereka lenyap dari mereka, tanpa mengira sebelumnya bahwa ibadah mereka tercampuri kesyirikan.


﴾۴۷﴿مِن دُونِ اللَّهِ قَالُوا ضَلُّوا عَنَّا بَل لَّمْ نَكُن نَّدْعُو مِن قَبْلُ شَيْئًا كَذٰلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ الْكَافِرِينَ
﴾۵۷﴿ذٰلِكُم بِمَا كُنتُمْ تَفْرَحُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنتُمْ تَمْرَحُونَ
(74)(yang kamu sembah) selain Allah?" Mereka menjawab: "Mereka telah hilang lenyap dari kami. Tetapi kami dahulu tiada pernah menyembah sesuatu". Seperti demikianlah Allah menyesatkan orang-orang kafir. (75)Yang demikian itu disebabkan karena kamu berbangga di muka bumi dengan tidak benar dan karena kamu selalu bersuka-ria. (QS Al-Mu’min : 74-75)

Keadaan demikian terjadi karena seseorang atau suatu kaum melakukan ibadah mereka berdasarkan suatu kebanggaan yang tidak haq dan kesenangan. Kebanggaan terhadap sesuatu yang diikuti oleh suatu kaum seringkali merupakan bentuk perluasan dari suatu kebanggaan terhadap diri sendiri, dan kebanggaan terhadap diri merupakan bentuk mempertuhankan hawa nafsu. Ibadah-ibadah yang dilakukan berdasarkan landasan kebanggaan seringkali merupakan bentuk kesyirikan yang seringkali tidak disadari oleh para pelaku ibadah. Bentuk kebanggaan dalam ibadah yang demikian seringkali ditandai dengan kesertaan mereka dalam firqah-firqah dan masing-masing berbangga dengan yang ada pada firqah mereka. Demikian pula orang yang membangun firqah dan berbangga, mereka membangun kesyirikan tanpa mereka sadari. Kadangkala kesyirikan itu terlihat dalam wujud menjadikan panutan mereka berkedudukan lebih tinggi daripada sunnah Rasulullah SAW dan firman Allah.

Tujuan ibadah di antaranya adalah untuk memperoleh rahmat Allah. Tujuan demikian tidak akan dicapai bila seseorang atau suatu kaum membanggakan apa yang ada pada kelompok mereka, sekalipun dalam ibadahnya. Tujuan ibadah demikian hanya dapat dicapai dengan membina kasih sayang, menyayangi orang lain sama seperti menyayangi diri sendiri dan bersedih bila orang lain mengalami musibah sebagaimana kesedihan bila dirinya mengalami musibah. Demikian pula mereka menyayangi diri sendiri tidak ingin diri mereka tertimpa mushibah sedangkan yang lain selamat karena ia tidak mampu mendengar seruan yang benar oleh kebanggaan yang tumbuh dalam dirinya.

Bila ibadah dilakukan di atas landasan kasih sayang, tidak akan muncul kebanggaan pada diri maupun kelompok. Manakala melihat suatu kekurangan pada orang lain atau kelompok lain, mereka berusaha memperbaiki atau menutupinya, tidak membanggakan diri mereka sendiri di antara orang lain dan tidak mencela kekurangan itu untuk memperburuk mereka dalam pandangan orang lain. Demikian pula mereka merendahkan hati mereka agar dapat mengenali kebenaran dari orang lain. Walaupun demikian, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa mengharap rahmat Allah harus dilakukan seseorang dengan memerangi orang lain atau kelompok lain yang keliru manakala diperlukan.

Hal lain yang menunjukkan adanya kekufuran diri yang seringkali tidak disadari manusia adalah bersenang-senang. Bersenang-senang dalam ayat ini menunjuk pada keadaan seseorang yang menjadikan pencapaian duniawi sebagai parameter utama kepuasan dalam amal-amal mereka. Keadaan demikian dalam prakteknya hampir selalu disertai dengan turunnya kepedulian terhadap orang lain. Sangat rendah atau tidak ada kasih sayang di antara kaum yang menjadikan pencapaian duniawi sebagai parameter utama dalam melaksanakan amal-amal. Hal itu menunjukkan adanya suatu kekufuran yang tersembunyi dari pandangan, dan hal itu akan mereka sadari paling lambat kelak ketika tiba di akhirat.

Setiap manusia diciptakan di dunia dan dijadikan pemakmurnya. Pemakmuran dunia tidak dapat dicapai hanya dengan memakmurkan dunia saja, tetapi juga menyangkut hal-hal bathiniah yang ada, terutama terkait dengan manusia. Pencapaian duniawi saja secara semu dapat dilakukan dengan kerja keras atau bahkan dengan melakukan kedzaliman, tetapi hal itu bertentangan dengan prinsip keimanan. Pemakmuran dunia yang sesungguhnya hanya dapat dilakukan dengan memakmurkan jiwa dan raga yang ada di bumi, dan hal itu harus dilakukan di atas keimanan. Produktifitas seseorang pada puncaknya dihasilkan dari mengalirkan rezeki dan segala sesuatu yang dijanjikan baginya di langit. Seringkali produktifitas seseorang tidak berbanding linear dengan kesibukan yang dilakukannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar