Pencarian

Selasa, 02 Mei 2023

Membina Ketakwaan

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Akhlak al-karimah akan diperoleh seseorang apabila ia membentuk akhlak al-quran dalam dirinya. Ia dapat mensikapi seluruh peristiwa yang terjadi di alam kauniyah sejalan dengan kitabullah Alquran. Akhlak Alquran yang paling sempurna adalah Rasulullah SAW.

Orang-orang yang dapat mengikuti Rasulullah SAW dengan baik hingga dapat memahami dan hidup selaras dengan Alquran termasuk dalam golongan orang-orang yang bertakwa. Mereka kelak akan diberi tempat tinggal di surga dengan mata air-mata air.

﴾۵۱﴿إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga-surga dan mata air-mata air (QS Adz-Dzariyat : 15)

Mata air-mata air itu merupakan wujud dari Alquran yang menjadi mata air pengetahuan ilahiyah bagi nafs para penghuni surga yang diberi tempat tinggal pada mata air tersebut. Itu merupakan suatu kedudukan yang utama di antara para ahli surga. Tidak semua penghuni surga memperoleh tempat tinggal pada mata air. Kebanyakan mereka hidup pada sungai yang merupakan aliran lebih hilir dari mata air. Orang yang tinggal pada mata air mempunyai kedudukan tersendiri di antara para penghuni surga, dan mereka memperoleh tempat tinggal tersebut karena keakraban mereka terhadap Alquran. Tanpa keakraban terhadap Alquran, tidak akan ada mata air yang diperoleh seorang hamba.

Membina Keihsanan

Ketakwaan seorang hamba akan terbentuk dari akhlak mulia. Orang yang berakhlak mulia memelihara hubungan-hubungan yang baik yang harus dipelihara. Mereka membina hubungan yang baik dengan sesama makhluk berdasarkan pengetahuan terhadap perintah Allah berupa keihsanan. Mereka sedikit tidur pada waktu malam dengan berharap dapat mengenal kehendak Allah dengan benar, banyak memohon ampunan Allah pada waktu sahur atas dosa-dosa mereka, dan selalu teringat bahwa pada harta mereka terdapat bagian harta bagi orang-orang yang meminta kepada mereka dan bagi orang-orang terhormat dalam agamanya. Dengan langkah-langkah tersebut, seseorang akan berproses menjadi golongan muhsinin.

Pada salah satu sisi, dapat dikatakan bahwa kaum muhsinin terbentuk dari orang-orang yang bila mencari harta, mereka melakukannya untuk disalurkan kepada orang yang membutuhkan dan untuk memuliakan agama bersama orang-orang terhormat dalam agamanya (al-mahrum), tidak mencari harta hanya untuk kesejahteraan diri sendiri dan keluarganya. Dengan motivasi demikian, mereka akan memperoleh pengetahuan tentang bagian harta yang diperuntukkan bagi orang-orang yang membutuhkan dan bagian bagi orang-orang yang terhormat dalam agamanya. Isteri merupakan pihak pertama yang terhormat dalam agama (mahrom) yang harus memperoleh bagian sesuai perannya dalam agama suaminya, akan tetapi bukan isteri atau orang terhormat lain yang menentukan bagian harta tersebut. Pihak yang mengusahakan harta-lah yang mengetahui bagian bagi orang-orang yang membutuhkan dan orang-orang yang terhormat.

Itu adalah tanda-tanda orang yang termasuk dalam golongan muhsinin, atau orang-orang yang berbuat baik. Ketiga tanda itu harus dipenuhi oleh setiap orang yang ingin termasuk dalam golongan muhsinin. Tanpa keinginan mengenal kehendak Allah, seseorang tidak akan berubah menjadi seorang muhsin. Demikian pula bila seseorang tidak pernah menghisab kesalahan diri dan dosa yang mungkin diperbuat hingga berhasrat memohon ampunan kepada Allah pada waktu sahur. Orang yang merasa sebagai orang yang selalu baik tanpa melakukan kesalahan seringkali tidak termasuk dalam golongan muhsinin. Salah satu tanda keihsanan seseorang adalah kesadaran akan dosa dan kesalahan yang mungkin dilakukannya dan harus dimintakan ampunan kepada Allah. Demikian pula manakala seseorang tidak pernah membina kesadaran dalam mencari harta sesuai kehendak Allah, maka ia tidak akan berubah menuju keadaan golongan muhsinin. Mencari harta tanpa keinginan memuliakan agama bersama orang yang terhormat dalam agamanya, atau tanpa keinginan memberikan hak orang miskin dari hartanya, itu bisa menjadi tanda pencarian harta yang berat pertanggung-jawabannya, dan pengusahanya tidak akan berubah menjadi orang yang ihsan.

Ciri Golongan Muttaqin

Golongan orang muttaqin yang tinggal di mata air-mata air mempunyai kelebihan dibandingkan dengan golongan muhsinin. Mereka mempunyai semua tanda-tanda golongan muhsinin, dan mereka mempunyai tanda yang lain sebagai kelebihan mereka.

﴾۰۲﴿وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِّلْمُوقِنِينَ
﴾۱۲﴿وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
Dan di bumi itu terdapat ayat-ayat (Allah) bagi orang-orang yang yakin. (21) dan (juga) pada nafs kalian. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (QS Adz-Dzariat : 20-21)

Mereka diberi kemampuan memahami ayat-ayat Allah pada semesta mereka, baik yang ada di bumi ataupun yang ada di dalam nafs mereka, dan mereka melihat rezeki dan hal-hal yang dijanjikan bagi dirinya di langit.

Ayat-ayat Allah yang terdapat pada kedua hal di atas bukanlah berupa pemahaman bebas yang dapat diperoleh seorang manusia. Kedua ayat yang dapat dipahami sebagaimana tersebut di atas merupakan perincian bagi ayat-ayat Allah dalam kitabullah Alquran. Ayat yang dilihat seorang muttaqin pada semesta bumi mereka dan pada diri mereka adalah ayat-ayat dalam kitabullah yang tercermin dalam semesta dan dalam diri mereka. Ayat kauniyah dan ayat dalam diri tersebut terlihat dalam bentuk uraian terhadap nash kitabullah. Adanya ayat kauniyah atau dalam diri yang terbaca tidak sejalan dengan nash kitabullah merupakan kesalahan insaniah yang bisa saja terjadi, maka yang benar adalah nash dalam kitabullah. Hendaknya manusia berhati-hati dalam masalah semacam ini.

Keterkaitan pengetahuan ayat Allah di bumi dan di kitabullah dengan pengenalan seseorang terhadap diri akan menjadikan ilmu tampak berwarna-warni. Walaupun setiap orang mungkin tampak berpegang pada ayat kauniyah dan ayat kitabullah yang sama, mereka akan mempunyai bashirah terhadap ayat-ayat Allah dengan cara yang berbeda-beda pada objek yang sama karena jati diri nafs mereka berbeda. Hal ini berlaku bagi kaum atau orang-orang yang berusaha untuk menemukan bashirah mereka berdasarkan jati diri masing-masing. Bila menutup diri, mereka tidak akan memperoleh bashirah yang terkait dengan ayat-ayat Allah. Mungkin mereka hanya mengikuti orang lain, bahkan kadangkala mengikuti tanpa mengetahui kebenaran atau kesalahan yang terjadi. Pengetahuan mereka akan tampak seragam mengikuti pengetahuan seseorang tertentu.

Setiap orang harus menggunakan pikirannya untuk membina pengetahuan tentang semesta bumi mereka. Itu merupakan bekal yang sangat baik dan utama untuk memahami ayat Allah menuju keadaan muttaqin. Tidak ada orang yang dapat mencapai keadaan muttaqin tanpa menggunakan pikirannya atau dengan menipu pikiran sehatnya. Akan tetapi pikiran yang benar belum tentu dapat mencapai pemahaman terhadap ayat Allah di bumi dan dalam diri sendiri. Sebagian orang dapat mencapai pemahaman ayat Allah di bumi dan dalam diri sendiri sesuai dengan ayat kitabullah, maka mereka itulah golongan muttaqin. Mereka dapat melakukan hal itu secara timbal balik, melihat ayat Allah di bumi berdasarkan kitabullah, atau sebaliknya melihat ayat kitabullah berdasarkan ayat Allah di bumi.

Demikian pula pikiran harus digunakan dalam memahami ayat kitabullah. Pada dasarnya, ayat kitabullah tidak tersentuh dengan pikiran, tetapi ada orang-orang yang dapat membacakan kitabullah hingga manusia dapat memahami dengan pikirannya. Setiap orang hendaknya menggunakan pikirannya untuk memahami penjelasan-penjelasan itu hingga dapat mengikuti kitabullah. Manakala terdapat penjelasan yang menyalahi kitabullah, hendaknya mereka tidak mengikuti kesalahan itu. Sampai kedudukan qarib sebagaimana kedudukan Azazil dahulu, masih sangat mungkin terjadi kesalahan dan kesesatan pada seorang makhluk. Bila tidak menggunakan pikiran, manusia tidak akan dapat mengikuti kitabullah dan tidak pula mengerti kesalahan yang mungkin terjadi dalam upayanya mengikuti kitabullah. Pada suatu saat, boleh jadi ia tidak mengetahui keadaan dirinya apakah dalam keadaan beriman atau kafir terhadap ayat Allah.

Mengikuti kitabullah adalah membentuk akhlak mulia. Dengan akhlak mulia, seseorang akan mengetahui makna dalam kitabullah dengan benar. Kadangkala seseorang membentuk akhlak mulia dalam suatu urusan kemudian ia mengetahui makna dalam Alquran tentang urusan tersebut. Kadangkala seseorang mengikuti kebenaran dalam Alquran maka terbentuk akhlak mulia karena sikapnya. Rasulullah SAW telah memiliki akhlak mulia yang dengan akhlak tersebut beliau SAW memahami seluruh kebenaran hingga yang tertinggi yang kemudian diwahyukan kepada beliau. Kebenaran yang beliau SAW sampaikan akan membimbing umatnya untuk membentuk akhlak mulia.

Umat dapat membentuk akhlak mulia mengikuti Rasulullah SAW sebagian demi sebagian hingga terbentuk (atau diberi)  akhlak mulia yang relatif utuh, maka ia dapat memahami Alquran. Kadang terjadi kesalahan dalam upaya mengikuti Alquran, hal itu wajar saja selama seseorang berusaha menghisab kesalahannya dan memohon ampunan Allah, tidak merasa dirinya selalu benar. Bila seseorang merasa dirinya selalu benar, syaitan akan mudah menjadikannya memandang indah dirinya bahkan dalam keburukan dan dosanya, dan ia kemudian mempunyai akhlak yang buruk.

Ayat Allah di bumi akan memberikan keyakinan bagi seseorang dalam agamanya. Keyakinan demikian bukanlah suatu keyakinan dogmatis tanpa landasan pengetahuan terhadap kauniyah. Suatu dogma tidaklah akan menjadi suatu keyakinan yang dapat menembus berbagai hijab. Hanya ilmu yang haqq yang akan mampu melampaui berbagai tingkatan alam. Orang-orang beriman akan mempunyai suatu pengetahuan yang dapat menembus berbagai hijab hingga ia dapat melihat ayat-ayat Allah yang digelar di kauniyah bumi mereka, dan pengetahuan itu memberikan manfaat hingga kelak di alam akhirat.

Ciri ketiga golongan orang-orang bertakwa adalah pengetahuan tentang ketentuan rezeki bagi mereka, dan juga tentang apa-apa yang dijanjikan bagi mereka. Mereka mengetahui ketentuan-ketentuan itu di alam yang lebih tinggi, bukan di alam bumi.

﴾۲۲﴿وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ
Dan di langit terdapat rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. (QS Adz-Dzariat : 22)

Setiap rezeki seseorang yang turun ke alam bumi merupakan rezeki yang diturunkan dari ketentuan rezeki di langit. Tetapi tidak semua ketentuan rezeki seseorang di langit diturunkan ke bumi. Boleh jadi keadaan diri mereka di alam bumi tidak sama dengan ketentuan rezeki ideal dan apa yang dijanjikan bagi mereka di langit. Ketentuan rezeki dan apa yang dijanjikan itu seringkali merupakan visi/bashirah yang seharusnya direalisasikan di alam bumi. Usaha merealisasikan visi tersebut merupakan amal shalih. Sangat banyak pengetahuan yang dapat terbuka bagi seseorang jika berupaya merealisasikan visi demikian, akan tetapi hal itu akan disertai dengan tantangan yang sangat banyak. Bila seseorang berpegang pada tujuan hasil, ia akan terpatahkan upayanya. Jika beramal di atas landasan keikhlasan, maka ia akan dapat menikmati proses-proses yang dilakukannya. Bila ia memperoleh hasil di dunia, banyak orang yang memperoleh berkah dari upayanya. Bila ia tidak berhasil, ia akan memperoleh hasilnya di alam akhirat kelak.

Proses merealisasikan visi tersebut di alam dunia hanya dapat ditempuh dengan agama. Setengah bagian agama dirinya harus dipelihara dan ditumbuhkan bersama-sama dengan baik, dan setengahnya harus dipenuhi dengan ketakwaan. Tanpa hal itu, tidak mungkin bagi seseorang mewujudkan upaya merealisasikan visi langit. Upaya yang dilakukan seseorang tidak akan mendatangkan hasil yang layak tanpa memelihara integralitas agama mereka, sebagaimana nabi Nuh a.s dan nabi Luth a.s tidak memperoleh hasil yang baik karena tidak didampingi isteri yang shalihah. Berhasil atau tidak berhasil, seseorang yang beramal sesuai visi agama akan memperoleh pahala bagi setiap usahanya, dan orang yang menghambat akan menanggung beban perbuatan mereka masing-masing.

Dengan fungsi demikian, mahrom (orang terhormat) yang paling utama bagi seseorang dalam agamanya adalah isteri atau suaminya. Setiap orang harus memperhatikan sesuatu dari pasangannya untuk memperhatikan urusan Allah. Hal demikian berlaku terutama bagi orang-orang yang mencari jalan kembali kepada Allah, dan itu berlaku pula bagi setiap orang yang menikah, baik ia dan/atau pasangannya beriman ataupun kufur. Seseorang akan terlepas dari amr Allah manakala ia mengabaikan, meremehkan dan/atau meninggalkan pasangan menikahnya, sekalipun ia memandang baik perbuatannya.

Pasangan merupakan media utama bagi seseorang untuk mengenal kehendak Allah. Kehendak Allah bagi seseorang akan tercermin melalui pasangannya. Perintah Allah, kesalahan diri, atau masalah umat yang menjadi tanggung jawab seseorang akan tercermin melalui diri pasangannya. Setiap orang hendaknya tidak memandang remeh apa yang ada pada pasangan menikahnya karena ia akan meremehkan urusan Allah. Suami dan isteri tidak harus selalu bersepakat dalam setiap urusan, tetapi harus selalu berusaha memahami satu dengan yang lain selaras/mengikuti kehendak Allah. Bersepakat dalam setiap urusan itu lebih baik. Memandang suatu urusan yang ada di pihak luar sebagai lebih baik daripada urusan bersama pasangannya merupakan godaan syaitan yang bisa merusak agama.

Dalam beberapa kasus, kadang seorang laki-laki dituntut untuk memuliakan agama dengan melaksanakan urusan Allah melalui persoalan yang tersebar pada beberapa isteri, maka hendaknya ia memperhatikan secara adil isteri-isterinya. Perempuan yang belum menjadi isteri bukanlah mahrom, tetapi boleh diperhatikan selama tidak melanggar syariat dan ia selalu menjaga agar tidak merusak hubungannya dengan isterinya. Kadang potensi kerusakan hubungan dengan isteri karena adanya urusan ta’addud timbul bukan karena tuntutan ta’addud secara langsung, tetapi melibatkan pihak di luar yang berkepentingan langsung. Hal ini hendaknya juga diperhatikan agar tidak terjadi efek kerusakan yang timbul dalam upaya mengikuti amr Allah. Pada kasus tertentu, kerelaan atau bantuan seorang isteri bagi suami untuk memperoleh isteri lain menjadi jalan untuk memuliakan agama.

Mahrom tidak terbatas pada pasangan. Para washilah yang terhubung dengan benar kepada amr jami Rasulullah SAW juga merupakan mahrom. Mereka mempunyai fungsi yang serupa dengan pasangan yaitu sarana menghubungkan alam yang tinggi menuju alam dunia. Bila washilah terputus, maka seseorang belum menjadi mahrom. Syaitan sangat berusaha merusak tersambungnya urusan dari langit ke bumi. Mahrom memperoleh hak bagian dari harta yang diupayakan oleh seseorang. Dengan kata lain hendaknya seseorang mengupayakan harta untuk memberikan bekal bagi mahromnya untuk memuliakan agama. Pada pasangan suami isteri, bagian ini di luar bagian harta untuk kebutuhan belanja. Bila seseorang mengupayakan harta untuk hal ini, maka upayanya akan mengantarkannya menjadi seorang muhsinin. Bila tidak memperoleh harta, upaya untuk mempersiapkan atau membantu jalan mahromnya untuk memuliakan agama Allah dapat mengantarkannya menjadi muhsinin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar