Pencarian

Senin, 06 Juni 2022

Menyatukan Yang Terserak

Dalam perjalanan untuk mengenal Allah, manusia diperintahkan untuk membina bait bagi dirinya, yaitu bait yang diijinkan Allah untuk berdzikir dan meninggikan asma Allah di dalamnya. Bait merupakan sasaran yang harus dicapai dalam mengikuti millah Ibrahim a.s.

Nabi Ibrahim a.s memberikan tauladan bagi manusia langkah membangun bayt bersama keluarganya. Bayt merupakan wujud manifestasi kecintaan seseorang kepada Allah dengan membina diri dalam hubungan sosial sebagai bayangan dari sikap ubudiyah yang ada dalam hati. Kecintaan kepada Allah dalam sikap ubudiyah hati harus dimanifestasikan dalam kecintaan kepada makhluk lain melalui terbentuknya bayt bersama keluarganya, sehingga kecintaan itu tidak hanya tersimpan dalam hati. Dengan manifestasi rasa cinta kepada Allah dalam hubungan sosial, maka seseorang akan dapat memahami dengan benar kehendak-kehendak Allah, tidak hanya berupa sikap dalam hati saja yang kadang-kadang sebenarnya hanya merupakan bayang-bayang dan ilusi mencintai Allah. Iblis merasa merindukan Allah tetapi tidak mau memahami kehendak-Nya.

Menyelisihi millah Ibrahim a.s merupakan bid’ah dalam tingkatan kedua setelah bid’ah menyelisihi Alquran dan sunnah yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Orang yang menjadikan sesuatu selain Alquran dan sunnah Rasulullah SAW sebagai sumber utama agamanya, menjadikannya setara dengan atau lebih utama dari Alquran dan sunnah, maka orang tersebut telah melakukan bid’ah. Demikian pula orang yang membina bayt yang menyelisihi millah Ibrahim a.s berarti telah melakukan bid’ah. Boleh jadi orang-orang yang melakukan bid’ah dapat berjalan hingga ke surga, tetapi sejauh-jauhnya ketika tiba di haudh, mereka akan dihalau menuju neraka.

Manusia jaman ini banyak yang menjadikan gaduh masalah bid’ah, tetapi dapat diibaratkan bagaikan anak-anak sekolah yang mempermasalahkan kesalahan tesis seorang dosen. Mereka tidak mengetahui tujuan millah Ibrahim a.s, dan/atau sunnah Rasulullah SAW menuju al-haudh, dan tidak mengetahui implementasi amaliah yang terkait dengan millah dan sunnah tersebut, kemudian mempermasalahkan banyak hal sebagai masalah bid’ah. Hal ini tidaklah berdasar. Masalah bid’ah terjadi manakala seseorang tiba pada sebuah tahapan tertentu yang berselisih dengan tujuan millah Ibrahim a.s yaitu membentuk bayt, atau menjadi orang yang mengetahui jalan ke surga tetapi berselisih dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Sebagai pembanding, Iblis mengetahui jalan ke surga tetapi tidak mengerti kehendak Allah. Keadaan seseorang yang melakukan bid’ah berada pada tahap perjalanan sunnah yang lebih lanjut daripada kebanyakan manusia yang meributkan masalah bid’ah. Sayangnya ahli bid’ah tidak teliti menempuh perjalanan mereka.

Bayt merupakan kumpulan penyatuan nafs wahidah bersama dengan bagian-bagian dirinya. Manakala seseorang mengenal nafs wahidah dirinya, ia akan mengetahui nafs-nafs yang menjadi bagian dirinya berupa pasangan-pasangannya dan jalinan al-arham yang menjadi kedudukan dirinya di antara al-jamaah lainnya. Bila ia berusaha menyatukan bagian-bagian dirinya, ia dapat mengharapkan terbentuknya bayt yang diijinkan Allah untuk berdzikir dan meninggikan asma-Nya.

Nusyuz ; Masalah Dalam Penyatuan

Salah satu hal yang menghambat terbentuknya bayt adalah masalah nusyuz. Nusyuz dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Bagi perempuan, nusyuz mempunyai batasan yang jelas yaitu manakala seorang perempuan tidak dapat sejalan dengan keshalihan suaminya. Bagi laki-laki, persoalan nusyuz perlu dilihat dengan akal yang lebih kuat. Terjadinya nusyuz pada laki-laki akan menyesatkan seseorang pada masalah bid’ah.


﴾۸۲۱﴿وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan ishlah yang sebenar-benarnya, dan ishlah itu lebih baik (bagi mereka) sedangkan nafs-nafs mereka akan menjadi kekurangan. Dan jika kamu berbuat ihsan dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS An-Nisaa’ : 128)

Seorang isteri dapat merasakan munculnya nusyuz atau keberpalingan pada diri suaminya, terutama isteri yang bersih hatinya. Nusyuznya seorang laki-laki tidak sepenuhnya ditandai dengan perhatian atau ketertarikannya pada perempuan lain. Tidak setiap laki-laki yang memperhatikan perempuan lain berarti melakukan nusyuz. Hal ini harus diperhatikan oleh perempuan. Nusyuznya seorang laki-laki ditandai dengan kurangnya atau berkurangnya perhatian terhadap urusan Allah dalam urusan bersama istrinya. Seorang suami berkewajiban untuk mensejahterakan isteri dengan melaksanakan urusan-urusan Allah yang berkaitan dengan kebersamaan mereka. Manakala seorang suami tidak memperhatikan hal tersebut, boleh jadi ia terjatuh pada sebuah nusyuz.

Nusyuz dan sikap tidak acuh seorang suami disebabkan oleh masalah kurangnya kesesuaian langkah kehidupan di antara suami dan isteri. Persoalan tersebut dapat dikurangi atau diatasi dengan membuat ishlah dalam langkah bersama menempuh kehidupan. Ishlah merupakan langkah yang dilakukan antara satu pihak dengan pihak yang lain untuk mencapai kebersamaan dan kebersesuaian. Ishlah dapat terjadi bila satu pihak dengan pihak yang lain dapat saling memahami keadaan mereka. Suami harus berusaha memahami isterinya, dan isteri harus berusaha memahami suaminya, kemudian mereka menempuh langkah bersama.

Ishlah hendaknya dilakukan hingga tercapai ishlah yang sebenar-benarnya, yaitu keshalihan di hadapan Allah. Tujuan yang harus dicapai bersama adalah keshalihan bersama, dimana seorang suami dapat memahami kehendak Allah dan beramal shalih berdasarkan pemahamannya, dan seorang isteri memahami dan mendampingi suaminya untuk melangkah di jalan Allah.

Langkah ishlah akan dibayangi persoalan berupa perasaan kekurangan pada nafs-nafs pasangan tersebut. Hendaknya hal ini disadari dan tidak dijadikan penghalang ishlah. Pasangan yang mengalami keadaan atau gejala nusyuz dan tidak acuh akan terjatuh pada banyak masalah kekurangan sehingga satu dengan yang lain kesulitan untuk saling memberi. Satu pihak akan memandang pihak lainnya memiliki (banyak) kekurangan bagi dirinya. Hal demikian harus disikapi dengan benar, tidak menghalangi ishlah.

Terwujudnya ishlah antara suami dan isteri bernilai lebih baik daripada mempermasalahkan atau menyelesaikan kekurangan yang dirasakan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Kekurangan yang terjadi ataupun kekurangan yang dirasakan oleh pihak lain tidak boleh dijadikan penghalang untuk ishlah. Namun di sisi lain, harus diperoleh kesepahaman antara satu pihak dengan pihak lain agar terjadi ishlah. Kedua hal ini harus dikompromikan bersama. Satu pihak dengan pihak lain harus membangun pemahaman bersama, dan setiap pihak mengurangi atau tidak menuntut pihak lain untuk memberikan apa yang diinginkan.

Mengangkat hakam

Kadangkala nusyuz di antara suami dan isteri mencapai keadaan sedemikian sehingga terlihat tanda-tanda akan terjadi perpisahan. Seandainya hal itu terjadi, maka hendaknya mereka mengangkat hakam-hakam dari keluarga mereka untuk menggali kemungkinan ishlah kembali atau memang harus terjadi perpisahan tanpa ada jalan ishlah.

﴾۵۳﴿وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan jika kamu khawatirkan ada perpisahan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS An-Nisaa’ : 35)

Harus diperhatikan oleh setiap pihak bahwa hakam yang mereka pilih bertugas untuk menggali kemungkinan ishlah. Hakam harus memegang prinsip bahwa ishlah adalah lebih baik walaupun banyak kekurangan terjadi di antara nafs-nafs mereka yang berpolemik. Hakam tidak boleh mengikuti hawa nafsu menjadi bala kurawa yang merasa senang ikut bertengkar memihak kelompoknya melawan pihak lain. Hakam harus berusaha mengetahui masalah yang terjadi di antara keduanya dengan benar berdasarkan cara pandang masalah dari kedua pihak yang berpolemik. Bila telah berusaha dan tidak menemukan jalan untuk melakukan ishlah, hal itu tidak menjadi beban kesalahan bagi hakam.

Menjadi hakam adalah tugas yang tidak mudah. Ia mungkin akan mengetahui masalah yang seringkali tidak terduga yang terjadi di antara pasangan. Seringkali syaitan merayap di antara pasangan suami isteri melalui berbagai cara yang tidak terpikirkan oleh kebanyakan manusia. Seorang suami atau isteri yang baik seringkali menyimpan masalah rumah tangga mereka tanpa mengabarkan kepada orang lain. Prasangka buruk dalam rumah tangga yang baik akan dapat terbongkar sebagai makar syaitan yang kadangkala bukan hanya masalah biasa rumah tangga saja, tetapi bahkan mungkin merupakan masalah umat manusia seluruhnya. Hal ini berbeda dengan prasangka buruk dalam pergaulan biasa, dimana walaupun mungkin merupakan makar syaitan tetapi hanya akan terlihat sebagian ujung ekornya saja tanpa bisa membongkar masalah yang sebenarnya.

Seseorang yang diangkat salah satu pihak sebagai hakam tidak boleh bermudah-mudah mengambil keputusan tanpa berusaha mengetahui cara pandang masalah dari sudut pandang pihak lainnya. Hakam demikian itu akan mudah terjatuh menjadi perpanjangan tangan syaitan untuk membuat makar bagi umat manusia dengan memutuskan mitsaqan ghalidzan. Seringkali persoalan rumah tangga seseorang merupakan amanah yang menjadi sumbangsih orang tersebut bagi masyarakat manakala mereka dapat mengenali makar syaitan dalam rumah tangganya. Seorang hakam yang menggampangkan cara pandang masalah tidak layak menjadi hakam.

Keputusan yang diambil oleh kedua hakam itu akan mempengaruhi hal yang akan diturunkan Allah kepada pasangan suami isteri. Bila keduanya berkesimpulan untuk selayaknya melakukan ishlah bagi kedua pihak, maka Allah akan menurunkan taufik kepada suami dan isteri untuk ishlah. Bila salah seorang atau kedua hakam mengikuti hawa nafsu untuk bertengkar, tidak disebutkan konsekuensi turunnya taufik bagi suami isteri tersebut. Bila ada keinginan salah satu pihak untuk mempertahankan pernikahan, ia harus berjuang sendiri melawan syaitan-syaitan yang berusaha memisahkan pernikahan mereka. Bahkan bila kedua pihak ingin melakukan ishlah tetapi mereka mengangkat hakam yang senang bertengkar dengan pihak lainnya, maka syaitan akan hilir mudik di antara mereka menghembuskan permusuhan. Hendaknya seseorang yang diminta menjadi hakam oleh salah satu pihak benar-benar berusaha mempertimbangkan masalah dengan benar. Tanpa hal itu, ia harus menyadari bahwa ia mungkin tidak layak menjadi hakam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar