Pencarian

Minggu, 05 Juni 2022

Membina Kesatuan Nafs Wahidah

 Manusia diciptakan sebagai khalifatullah di bumi. Tidak semua manusia kemudian menjadikan dirinya sebagai makhluk yang pantas menjadi wakil Allah, dan jauh lebih banyak orang yang menjadi sebagaimana pandangan para malaikat ketika diperintahkan bersujud kepada Adam. Sangat sedikit manusia yang menjadi mitsal bagi cahaya Allah. Hanya sedikit laki-laki yang tidak terlalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari berdzikir kepada Allah, dan lebih sedikit lagi mereka yang berhasil membangun bayt yang diijinkan Allah untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah di dalamnya.

Laki-laki harus menjadi penegak kaumnya dengan memberikan sumbangsih berupa fadhilah Allah yang diberikan kepada dirinya dan/atau memberikan infak kepada kaumnya. Hal itu hanya dapat dilakukan seorang laki-laki yang shalih bilamana ia hidup bersama isteri yang shalihah. Hanya bersama isteri yang shalihah seorang laki-laki yang shalih dapat menegakkan kaumnya dengan hal yang menjadi kelebihan dirinya dan/atau dengan infak hartanya. Tanpa isteri yang shalihah, seseorang tidak akan dapat memberikan fadhilah dirinya dan/atau infak berupa harta bagi kaumnya.

﴾۴۳﴿الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Kaum laki-laki itu adalah penegak kaum di atas para wanita dengan apa-apa yang telah dilebihkan Allah sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan dengan apa-apa yang telah mereka nafkahkan dari harta mereka. Maka wanita yang salehah ialah yang tenang mengikuti lagi memelihara yang ghaib dengan apa-apa yang Allah jaga. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS An-Nisaa’ :34)

Ayat tersebut menjelaskan tentang fungsi rumah tangga dalam memberikan sumbangsih bagi kaum mereka. Seorang laki-laki harus menjadi shalih agar mengenal fadhilah Allah dan memperoleh infaq hingga mampu memberikan apa yang harus diberikan kepada kaumnya. Perempuah harus menjadi perempuan shalihah yaitu bersikap tenang dalam mengikuti suaminya dan menjaga hal ghaib dalam dirinya bagi suaminya. Dengan kedua keshalihan itu, maka suatu kaum akan memperoleh sumbangsih terbaik yang terlahir dari suatu rumah tangga di antara mereka.

Tidak semua laki-laki shalih memperoleh isteri shalihah, dan tidak semua perempuan shalihah memperoleh suami yang shalih. Sebagian perempuan tidak bersyukur atas suami mereka hingga mereka tidak dapat merasa tenang hidup bersama dan mengikuti suaminya. Sebagian perempuan berkhianat kepada suaminya baik secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, atau hanya sekadar menyimpan kecenderungan menyukai laki-laki lain dalam hatinya. Hal-hal demikian merupakan sikap nusyuz seorang perempuan yang menghambat mereka untuk menjadi wanita shalihah.

Bila seorang perempuan berbuat nusyuz, hendaknya suaminya mendidiknya agar ia kembali kepada jalan yang benar. Nusyuz seorang isteri akan menjadikannya mudah tergelincir pada jalan keji (al-fakhsya) yang membengkokkan jalannya kembali kepada Allah. Bila seorang isteri berbuat nusyuz yang dzahir maka seorang suami harus menasihati, atau memisahkan tidur isterinya, atau memukul agar isterinya kembali kepada dirinya sebagai jalan yang benar untuk kembali kepada Allah. Bila seorang isteri tidak mempunyai niat dan keinginan mewujudkan rasa kesukaannya pada laki-laki lain, hendaknya seorang laki-laki dapat menerima isterinya dengan baik tanpa mencari jalan untuk menyusahkan isterinya. Isteri yang keadaannya demikian sebenarnya mengalami kesulitan yang besar, dan dengan jalan demikian seorang isteri dapat berharap untuk bisa kembali kepada suaminya dengan seutuhnya.

Fadhilah Allah dan kemampuan infaq adalah atribut yang diberikan terutama kepada laki-laki, sedangkan kesuburan rumah tangga yang terwujud melalui sikap tenang dan menjaga hal ghaib dirinya merupakan atribut yang terwujud melalui perempuan. Kedua hal itu merupakan faktor utama yang mempengaruhi fungsi rumah tangga bagi kaumnya, dan keduanya harus ada bersama-sama. Atribut yang terbentuk dalam diri seorang laki-laki tidak akan mewujud tanpa ada isteri shalihah, dan isteri shalihah saja tidak akan menyentuh fadhilah Allah.

Akan tetapi fungsi rumah tangga bagi suatu kaum tidak sepenuhnya bergantung 2 atribut tersebut. Ada hal-hal lain yang mempengaruhi fungsi suatu rumah tangga bahkan kadang disebabkan oleh orang lain tanpa keterlibatan pasangan yang menikah tersebut sama sekali. Kadangkala suatu masalah menyebabkan gangguan fungsi rumah tangga bahkan untuk fungsi dasar internal rumah tangga sekalipun, hingga kadang pasangan tertentu mengalami kesulitan penghidupan. Misalnya seorang mukminat yang menjaga diri dapat terkena qadzaf yang dilakukan orang lain yang merusak fungsi rumah tangga. Qadzaf terhadap mukminat yang menjaga diri merupakan dosa besar yang dosanya setara dengan dosa pembunuhan dan dosa-dosa besar lain.

Kadangkala suatu nusyuz dilakukan oleh pihak laki-laki. Hal ini akan mempengaruhi pula manfaat yang dapat diperoleh suatu kaum dari rumah tangga di dalamnya. Nusyuz yang dilakukan oleh seorang laki-laki sedikit berbeda dengan nusyuz seorang perempuan. Setiap perempuan yang mempunyai kesukaan pada laki-laki lain merupakan kebengkokan yang termasuk dalam nusyuz, sedangkan bengkoknya laki-laki adalah manakala rasa suka itu tidak selaras dengan suatu syariat atau mempengaruhi sikapnya kepada salah satu atau seluruh isteri yang lain. Itu merupakan nusyuz yang dilakukan oleh seorang laki-laki.

﴾۸۲۱﴿وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan ishlah yang sebenar-benarnya, dan ishlah itu lebih baik, sedangkan nafs-nafs akan menjadi kekurangan. Dan jika kamu berbuat ihsan dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS An-Nisaa’ : 128)

Perbuatan nusyuz oleh seorang suami lebih sulit untuk diketahui. Seorang laki-laki harus mempunyai akal yang kuat untuk dapat merasakan batas-batas yang menyebabkan kebengkokan dirinya dalam hubungan bersama isteri-isterinya atau perempuan lain. Hal ini berbeda dengan batas yang jelas bagi seorang perempuan yang dituntut untuk menjaga dirinya bagi seorang suami saja, tidak bagi yang lain. Tingkat kesulitan ini akan menjadi bobot yang besar bagi akal laki-laki yang ingin berjalan secara lurus di shirat al mustaqim. Tetapi hal ini mungkin akan tampak bagai sebuah kemudahan bagi laki-laki yang memperturutkan keinginannya sendiri. Lebih mudah bagi akal seorang laki-laki untuk menempuh shirat al-mustaqim bersama satu isteri, tetapi kadangkala Allah tidak berkehendak demikian. Allah seringkali menghendaki seorang laki-laki tertentu mempunyai akal yang kuat dengan beban isteri yang banyak untuk memberikan manfaat yang sesuai bagi masyarakat.

Istilah al-ba’lu pada ayat di atas menunjuk pada suami dalam kedudukan sebagai pemberi kesejahteraan sebagaimana seseorang yang memelihara tanaman memberikan pengairan pada ladang dan tanamannya. Seorang perempuan dapat merasakan nusyuznya seorang suami manakala suami tidak memberikan rasa sejahtera secara adil kepada dirinya. Perasaan demikian itu tidak selalu benar karena dipengaruhi hawa nafsu, tetapi sangat mungkin seorang isteri mengetahui nusyuz suaminya. Hal ini dapat membantu suami untuk mengetahui batas keadaannya. Setiap perempuan harus selalu mengendalikan hawa nafsunya tidak hanya menuntut kesejahteraan saja. Kesejahteraan harus diukur berdasarkan nilai lahir dan bathin, dan harus diukur dengan timbangan yang benar tidak tertutupi oleh hawa nafsu.

Nafs laki-laki harus dididik hingga memahami ayat kauniyah, ayat qauliyah dan ayat di dalam dadanya. Nafs setiap perempuan harus dididik hingga ia dapat memahami keadaan suaminya sesuai kehendak Allah. Hal ini merupakan turunan keshalihan laki-laki yang keshalihannya adalah memahami kehendak Allah pada semesta mereka. Kepahaman seorang isteri akan ditandai dengan pengenalan terhadap nafs wahidah yang menjadi jati diri suaminya. Kefahaman itu bisa terjadi sedemikian hingga seorang perempuan mengerti kesatuan nafs mereka manakala mereka harus membentuk pernikahan ta’addud. Seorang isteri bisa saling mengerti dan saling bekerja sama dengan isteri yang lain untuk urusan satu nafs wahidah mereka bersama, satu nafs wahidah yang menjadi asal-usul cetak biru penciptaan mereka. Di kasus lain ta’addud kadangkala terjadi untuk membentuk akal para isteri agar bisa memahami kesatuan nafs mereka, mendahului pemahaman terhadap kesatuan nafs mereka. Hal demikian harus diperhatikan dalam pembinaan para perempuan.

Para perempuan tidak boleh mengikuti hawa nafsu mereka tanpa mengendalikannya. Memahami kesatuan nafs wahidah harus diutamakan mengalahkan keinginan hawa nafsu. Di lain pihak, suami hendaknya tidak memaksakan sesuatu tanpa mau mengerti pertumbuhan nafs dalam membina isterinya. Ketika seorang laki-laki mengenal nafs wahidahnya, kadangkala ia menemukan kesatuan nafs wahidahnya dalam bentuk ta’addud. Seorang istri harus berusaha memahami hal itu mengikuti pemahaman suaminya. Hal itu merupakan bentuk mengutamakan nafs wahidah daripada hawa nafsu. Bila seorang isteri bersikeras menolak hal itu dan meminta perpisahan, hal itu bertentangan dengan arah perjalanan manusia untuk menemukan jalan kembali kepada Allah.

dari Tsauban radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda :
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
Siapa saja wanita yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa ada alasan yang benar, maka haram atasnya aroma Surga” [Abu Dawud (no. 2226), at-Tirmidzi (no. 1187), Ibnu Majah (no. 2055), ad-Darimi (II/162), Ibnul Jarud (no. 748), Ibnu Hibban (no. 1320), ath-Thabari dalam Tafsiir-nya (no. 4843-4844), al-Hakim (II/200), al-Baihaqi (VII/316), ]

Memahami kesatuan nafs wahidah diri merupakan anak tangga pertama bagi seseorang untuk melangkah dalam shirat al mustaqim. Allah berada di atas shirat al-mustaqim dimana seseorang dapat berharap untuk mengenal wajah-Nya. Menolak kesatuan nafs wahidah yang ditetapkan Allah mengikuti hawa nafsu merupakan perbuatan berbalik jalan. Seorang perempuan yang memilih menuntut cerai kepada suaminya tanpa alasan yang benar akan diharamkan baginya aroma surga. Hal itu menunjukkan sikap memperturutkan hawa nafsu. Bila perempuan itu menolak kesatuan nafs wahidah mereka dan justru memilih meminta perceraian, hal itu menunjukkan berbaliknya jalan perempuan itu.

Kesatuan nafs antara seorang laki-laki dan para perempuan pasangannya akan dikenali oleh masing-masing pihak, baik secara terpisah maupun mengenali bersama-sama. Seorang laki-laki akan mengenali jati diri isterinya, dan mungkin pula ia juga memperoleh berita atau mengenali perempuan lain yang juga menjadi jodohnya. Idealnya, seorang isteri akan ikut mengenali jati diri suaminya, dan mungkin memperoleh berita pula tentang jodoh suaminya yang lain. Perempuan lain yang berjodoh itu juga akan memperoleh berita tentang laki-laki yang merupakan jodohnya. berita ini mungkin benar bilamana perempuan itu belum bersuami. Dengan jalan demikian, mereka akan bisa mengenali kesatuan nafs mereka dan melangkah bersama untuk menempuh shirat almustaqim kembali kepada Allah dipimpin oleh suaminya.

Kesatuan nafs wahidah merupakan modal yang sangat penting bagi seseorang untuk membangun bayt hingga dapat menjadi mitsal bagi cahaya Allah. Seringkali Allah tidak membiarkan suatu nafs wahidah tumbuh sempurna hanya pada sebagian dari kesatuan nafs wahidah. Manakala kesatuan nafs itu berupa ta’addud, kesempurnaan agama orang itu seringkali tidak akan terjadi dengan beristri satu. Seorang laki-laki mungkin akan merasakan terjadinya ketidak-seimbangan pertumbuhan agama dalam nafsnya, atau keanehan tentang keadaannya, hingga tidak dapat melangkah di shirat al-mustaqim, dan seorang isteri merasa banyak hal duniawi terlepas dari mereka dan juga harta yang seharusnya mereka peroleh. Allah seringkali menunjukkan hingga sangat jelas kelemahan yang tidak akan tertutupi, kecuali mereka membangun bayt melalui kesatuan nafs wahidah berupa ta’addud. Hal ini harus dipahami oleh masing-masing pihak. Allah menghendaki tumbuhnya nafs seseorang pada seluruh bagian dirinya, hingga setiap orang mempunyai rasa kasih sayang kepada pihak lain dengan lebih sempurna. Penyempurnaan penciptaan yang dikaruniakan Allah sangatlah bernilai bagi setiap makhluk. Allah kadang menghendaki demikian, hingga terjadi seorang isteri bisa menyayangi madunya sebagai bagian dari dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar