Pencarian

Kamis, 09 Juni 2022

Berdzikir di Kehidupan Dunia

Agar dapat menjadi mitsal bagi cahaya Allah, setiap laki-laki harus berusaha membina diri sebagai orang-orang yang berdzikir kepada Allah, mendirikan shalat dan memberikan zakat. Upaya membina diri demikian itu akan mendapat banyak godaan yang melalaikan seseorang hingga terlupa dari tujuannya. Di antara godaan yang melalaikan laki-laki adalah perdagangan dan jual beli. Bila seseorang menginginkan dirinya menjadi mitsal bagi cahaya Allah, hendaknya perdagangan dan jual beli tidak melalaikan mereka dari berdzikir kepada Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat.

﴾۷۳﴿رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari berdzikir kepada Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (QS An-Nuur : 37)

Tijarah (perniagaan) menunjukkan upaya seseorang untuk memperoleh keuntungan melalui pergaulan bersama orang-orang lain dengan berdagang atau mengerjakan suatu bidang. Jual beli menunjukkan pertukaran barang atau harta yang dilakukan dengan cara tertentu dengan suatu akad di antara pihak yang menukarkan. Tijarah dan jual beli secara umum mendatangkan keuntungan bagi setiap pihak dimana satu orang memperoleh apa yang dibutuhkan atau diinginkan dengan jasa atau upaya pihak lain. Satu orang dapat mengupayakan dengan lebih baik yang menjadi keahliannya tanpa direpotkan mengupayakan apa yang dibutuhkan, sedangkan ia cukup membeli apa yang dibutuhkan.

Kehidupan di dunia akan selalu menuntut manusia melakukan perniagaan dan jual-beli untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin banyak orang melakukan perniagaan, secara umum semakin banyak jual beli yang dapat dilakukan sehingga ia dapat memperoleh manfaat yang banyak dari orang lain. Akan tetapi tidak setiap keahlian atau pengetahuan memperoleh penghargaan yang sepantasnya dari orang lain. Orang yang mengetahui cara mengupayakan perniagaan yang dihargai tinggi oleh orang lain akan relatif lebih mudah memperoleh keuntungan bagi dirinya, sedangkan sebagian orang lebih memilih memberikan manfaat dirinya bagi orang lain tanpa menjadikan keuntungan dan penghargaan orang lain yang akan diterima dirinya sebagai pertimbangan utama.

Sebagian manusia menghadapkan wajah sepenuhnya kepada Allah untuk melakukan amal-amal shalih yang menjadi amanahnya, sedangkan amal-amal itu mungkin tidak mempunyai penghargaan yang selayaknya dalam pandangan manusia. Dalam hal ini, seseorang yang mengharapkan untuk menjadi mitsal bagi cahaya Allah tidak boleh berpaling memilih amal-amal yang lebih mendatangkan penghargaan manusia  dibandingkan dengan amal yang paling baik memberikan manfaat bagi umat. Ia harus menghadapkan wajahnya untuk mengerjakan amal-amal yang memberikan manfaat paling baik kepada umat manusia, tidak memilih pekerjaan yang hanya lebih menguntungkan dirinya sendiri. Hal itu akan mengantarkannya untuk mengetahui amal-amal shalih yang ditetapkan Allah baginya. Tanpa hal itu, sangat sulit bagi seseorang untuk mengetahui amal-amal shalihnya.

Melupakan Keuntungan Duniawi

Allah akan menguji manusia dalam penghambaannya kepada Allah. Ada orang-orang yang menjadi faqir karena terikat pada jalan Allah (sabilillah). Hal ini tidak menunjukkan bahwa setiap orang yang mencari amal shalihnya akan menjadi fakir, atau setiap orang yang tidak fakir merupakan orang yang tidak mencari amal shalih, tidak demikian. Allah menjadikan orang-orang yang beramal shalih menurut kehendak-Nya. Sebagian orang menemukan amal shalih yang menjadikan kehidupannya di dunia mudah, dan sebagian yang lain menemukan amal shalih yang menjadikannya fakir karena tatacara kehidupan manusia umumnya.

﴾۳۷۲﴿لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat oleh jalan Allah (sabilillah); mereka tidak dapat berusaha di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah : 273)

Ayat tersebut terletak dalam rangkaian panjang ayat tentang mengelola harta, yaitu untuk shadaqah dan infaq. Pendahuluan ayat itu adalah tentang infak dan penutup ayatnya juga tentang infak. Infak di jalan Allah adalah hal terbaik yang dapat dilakukan seseorang terhadap hartanya. Infak dilakukan untuk membiayai perjuangan di jalan Allah. Infak sedikit berbeda dengan shadaqah yang dapat diberikan kepada siapa saja yang layak untuk menerimanya. Infak hendaknya diberikan dari bagian harta yang terbaik, sedangkan shadaqah dapat dilakukan dari bagian harta manapun. Di antara kriteria yang berhak menerima infak dari orang-orang beriman adalah orang-orang fakir yang terikat di jalan Allah. Mereka seharusnya diberi infak dari harta yang baik, bukan harta pemberian dalam kriteria shadaqah atau zakat.

Ayat tersebut lebih diperuntukkan bagi orang-orang yang berharap dapat mengelola harta dengan jalan infak. Allah memperkenalkan salah satu kriteria orang yang berhak menerima infak, sedangkan manusia mungkin tidak mengetahuinya. Bagi pemilik harta, menemukan orang yang demikian dan memberinya infak akan mengantarkannya untuk bersentuhan dengan sabilillah. Jalan untuk mengenal sabilillah akan lebih dekat bagi orang yang memberikan infak demikian. Bagi pengelola infak, memberikan infak untuk yang demikian akan mendatangkan manfaat yang besar atau terbesar bagi umat manusia. Orang yang fakir dalam cara demikian itu merupakan orang yang berhak atas infak dari bagian yang baik dari harta manusia.

Ayat tersebut secara tidak langsung bercerita tentang keberadaan orang-orang fakir yang terikat di jalan Allah (sabilillah). Mereka tidak meminta-minta kepada manusia karena kekurangan mereka, kecuali karena kebutuhan yang sangat diperlukan. Ketika mereka meminta, mereka tidak pernah mendesak untuk diberikan kebutuhannya. Ketika mereka diberi mereka akan berterima kasih karena pemberian itu, dan bila mereka tidak diberi mereka tidak akan meninggalkan jejak buruk bagi orang yang menolaknya. Barangkali tidak terlalu penting baginya pemberian seseorang atas permintaan itu, sedangkan yang lebih diharapkannya adalah kesertaan orang yang dimintai infaqnya untuk berjalan mendekati atau menempuh sabilillah.

Sabil mempunyai arti jalan, yaitu jalan terkait terwujudnya sesuatu. Kadang sabil diartikan sebagai sebab. Sabilillah merupakan jalan untuk mewujudkan kehendak Allah bagi manusia di bumi. Allah menyimpan suatu kehendak dalam penciptaan setiap manusia agar mereka menjadi pemakmur bumi. Hal ini tidak selalu bersifat mesianistik, namun ada keterkaitan antara seseorang dengan yang lain, dan seluruhnya terhubung dengan amr Rasulullah SAW dan Alquran. Tidak ada jalan Allah (sabilillah) yang tidak terkait dengan Alquran dan amr Rasulullah SAW. Di jaman sekarang, bentuk sabil itu mungkin terlihat berbeda-beda antara satu dengan yang lain, tetapi sebenarnya menyatu. Ini berbeda dengan jaman Rasulullah SAW dimana seluruh Amr Allah dapat dilihat nyata menyatu pada beliau SAW.

Terikat pada jalan Allah (sabilillah) menunjuk pada komitmen yang kuat untuk tidak meninggalkan perjuangan di jalan Allah. Ada kefahaman yang kuat dalam diri orang-orang demikian tentang jalan kehidupan masyarakat sesuai petunjuk Allah sehingga mereka memperjuangkan dengan sungguh-sungguh tidak ingin meninggalkan jalan itu. Mereka mengetahui bahaya yang menimpa umat manakala mereka meninggalkan kedudukan mereka. Derajat mereka lebih baik daripada ibnu sabil yang bersifat mengikuti orang lain di sabilillah. Kefahaman yang kuat terjadi manakala seseorang mengerti penciptaan dirinya, maka kemudian ia mengerti keadaan masyarakatnya. Sekalipun masyarakat tidak memandang apa yang diperjuangkan, dan barangkali menyuruhnya untuk hidup layaknya yang lain, mereka tidak akan meninggalkan jalan itu kecuali ada yang menunjukkan secara memadai bahwa sabilillah yang dipahaminya salah.

Tanda kefahaman demikian adalah terjadinya kesatuan kefahaman dalam hati mereka terhadap Alquran dan kauniyah semesta mereka bersama-sama. Kadangkala seseorang mencoba menggali Alquran dengan pikirannya sendiri, atau seseorang memahami kauniyah semesta tanpa terkait dengan Alquran, dan kadang seseorang mempunyai keterbukaan hati terhadap segala sesuatu. Upaya tersebut mungkin tidak salah selama tidak berniat yang tidak baik. Akan tetapi syaitan sangat mungkin menyelipkan sisipan yang berbahaya. Menemukan sabil ditandai dengan kefahaman yang selaras dalam tiga hal, yaitu keselarasan ayat secara bersama-sama yaitu ayat di dalam diri, ayat kauniyah pada semesta dan ayat yang ada dalam Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.

Mereka tidak dapat berusaha di bumi karena komitmen mereka terhadap jalan Allah yang difahaminya. Barangkali mereka tidak mempunyai sumber penghidupan duniawi, maka boleh jadi mereka mengambil usaha yang paling sedikit meninggalkan kedudukannya di sabilillah sekadar untuk mencukupi kehidupannya. Seandainya dibukakan baginya pilihan kesempatan berniaga untuk keuntungan yang lebih baik dengan meninggalkan sabilillah, mereka memilih tidak menjalaninya karena tanggung jawabnya terhadap sabilillahnya. Mereka tidak dapat mengusahakan kehidupan duniawi yang paling menguntungkan bagi mereka karena sabilillah.

Bagi orang-orang yang tidak mengetahui, mereka akan tampak seperti orang-orang yang kaya. Mereka tampak mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk berusaha dalam niaga dan mendatangkan keuntungan bagi diri mereka di dunia. Mereka tampak berkecukupan dan mereka menjaga harkat diri mereka dengan baik. Seandainya tampak kefakirannya, maka kefakiran itu diketahui bukan dari diri mereka sendiri. Mereka menjadi fakir karena mereka mengetahui jalan Allah (sabilillaah) yang menjadi jalan perjuangan dirinya. Barangkali di jaman Rasulullah SAW dan jaman terang kejayaan islam, orang-orang demikian diketahui pemimpin mereka, atau mereka hanya ada sedikit. Di jaman kegelapan, barangkali orang-orang demikian berjumlah lebih banyak dan akan terlihat bagai orang yang aneh di antara masyarakat umum.

Secara tidak langsung, ayat tersebut menjelaskan keadaan yang mungkin terjadi bagi orang-orang yang ingin membina diri untuk menjadi mitsal bagi cahaya Allah. Bagi mereka, pertimbangan keuntungan duniawi tidak boleh mengalahkan keselamatan umat, apalagi mengalahkan apa yang menjadi kehendak Allah. Mungkin seseorang harus melupakan keinginan terhadap keuntungan duniawi sepenuhnya, dan seterusnya dalam menapaki jalan Allah, tidak berharap bahwa suatu saat kehidupan duniawi mereka akan cerah. Hal ini dapat terbantu bila seseorang berdzikir kepada Allah dengan benar hingga timbul cinta kepada Allah. Sebenarnya kondisi dalam hal itu adalah sebaliknya, yaitu menganggap ringan dunia akan membantu seseorang berdzikir kepada Allah dengan benar. Kedua hal itu akan terwujud secara sinergis dalam diri seseorang.

Allah menetapkan bahwa seorang fakir di jalan Allah menjadi salah seorang yang bisa menerima infak dari bagian yang baik harta seseorang. Hal ini tidak boleh menjadi alasan untuk menarik infak secara paksa dari umat. Bila seseorang mengetahui sabilillah bagi dirinya, ia harus terikat pada sabilillah itu tidak mencari keuntungan dunia dengan bebas meninggalkan sabilillah, dan tidak meminta kepada orang lain dengan paksaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar