Pencarian

Sabtu, 05 Maret 2022

Kesesatan dalam Perjalanan Taubat

Allah memberikan petunjuk kepada manusia untuk berjalan pada shirat al-mustaqim. Shirat al-mustaqim merupakan jalan yang paling dekat yang disediakan bagi manusia untuk kembali kepada Allah dengan benar, tidak mengalami celaka hingga kelak memperoleh tempat tinggal di dalam surga yang kudus. Perjalanan setiap manusia kembali kepada Allah merupakan jalan panjang yang sangat berat untuk ditempuh kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan Allah untuk menempuhnya.

Kebanyakan manusia tidaklah menempuh jalan kembali kepada Allah tetapi lebih suka mengarahkan pandangan mereka kepada makhluk. Sebagian manusia berkeinginan untuk kembali kepada Allah. Bagi orang-orang yang dimudahkan, mereka kembali kepada Allah dengan selamat dengan menemukan shirat al-mustaqim dan berjalan di atasnya. Namun sebagian di antara orang-orang yang kembali, mereka menemukan kesesatan dalam perjalanan mereka. Kesesatan menimpa sebagian orang-orang yang kembali kepada Allah, sedangkan kemurkaan menimpa orang-orang yang tidak menggunakan akalnya untuk kembali kepada Allah.

Kesesatan seringkali tidak tampak sebagai suatu kejahatan sebelum Allah menampakkannya. Kesesatan seringkali tersembunyi dalam diri seseorang tanpa terlihat oleh orang lain, atau bahkan dirinya sendiri. Kesesatan seringkali hanya berwujud pengetahuan yang keliru, dan hanya akan terlahir manakala Allah berkehendak menampakkan kesalahan pengetahuan itu baik untuk dirinya ataupun untuk umat manusia. Tokoh kesesatan paling utama dalam sejarah ditunjukkan oleh Iblis. Dahulu, Iblis merupakan makhluk yang dekat dengan Allah namun mengalami kesesatan dalam pengetahuannya. Iblis tidak menumbuhkan dirinya sesuai dengan kehendak Allah tetapi mengikuti keinginannya sendiri, karena itu Iblis mengalami kesesatan. Allah kemudian menampakkan kesesatan Iblis melalui perintah bersujud kepada Adam.

Sebagaimana kesesatan dialami oleh Iblis, manusia dapat mengalami kesesatan dalam perjalanannya kembali kepada Allah. Kesesatan itu seringkali tidak tampak bagi dirinya atau orang lain, tersembunyi dalam dirinya tanpa disadari hingga kelak mereka berada di sisi rabb mereka. Barangkali seorang manusia yang tersesat tidak akan membantah Allah secara langsung sebagaimana dahulu Iblis membantah perintah Allah, akan tetapi kesesatan itu akan mewujud setidaknya kelak di sisi Allah, di mana manusia sesat akan berbantah-bantahan tentang kebenaran di hadapan Allah di hari kiamat. Sebenarnya seringkali kesesatan itu ditampakkan Allah sebelum akhir hidupnya agar seseorang memperbaiki, dalam wujud perbuatan membantah kebenaran, tetapi mungkin seseorang melihatnya atau tidak melihatnya. Bila tidak melihatnya, mereka akan berbantah-bantahan terus hingga kelak ketika berada di sisi rabb mereka.

﴾۱۳﴿ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عِندَ رَبِّكُمْ تَخْتَصِمُونَ
Kemudian sesungguhnya kamu pada hari kiamat akan berbantah-bantah di hadapan Tuhanmu. (QS Az-Zumar : 31)

Kesesatan dapat terjadi pada setiap makhluk walaupun ia menjadi makhluk yang dekat dengan Allah. Setiap orang harus bertakwa dengan berpegang teguh pada firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Seseorang yang dekat dengan Allah belum tentu tidak mengalami kesesatan. Segala sesuatu terkait perjalanan kembali kepada Allah harus diukur dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, karena kedua hal itulah yang menjadi jaminan keselamatan perjalanan manusia, tidak dengan yang lain. Seorang yang dekat dengan Allah dapat menunjukkan jalan kembali kepada Allah kepada orang lain, tetapi tidak ada jaminan bahwa yang ditunjukkannya adalah benar. Manakala jalan kembali itu bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, maka jalan itu merupakan kesesatan.

 

Tanda Kesesatan

Gejala yang menandai kesesatan seseorang yang kembali kepada Allah adalah sifat membantah kebenaran. Orang yang tersesat akan membantah dengan hawa nafsunya sendiri walaupun seorang shiddiq mengatakan suatu kebenaran dari sisi Allah. Sifat ini akan terbawa hingga seseorang berada di sisi Allah sebagaimana syaitan dahulu merupakan makhluk yang dekat tetapi sesat. Manakala seseorang yang tersesat sampai pada tempat yang dekat dengan rabb, mereka akan tetap membantah kebenaran di sisi Allah, dan hanya mengikuti kebenaran yang dibangunnya sendiri. Seringkali hal ini menyeret orang lain untuk mengikuti kesesatannya. Kedekatan dengan rabb akan membuka pengetahuan yang sangat banyak, namun kebenaran dan pengetahuan orang sesat bercampur dengan kesalahan dari hawa nafsunya dan dari tipuan syaitan.

Perbantahan oleh orang yang sesat seringkali dilakukan hingga menyangkut kandungan kitabullah. Ketika kebenaran (ash-shidq) suatu ayat dalam kitabullah dibacakan dengan benar, orang yang sesat dapat membantah dengan mengatakan kebenaran itu dari syaitan, dan ia lebih mempercayai kebenaran hawa nafsunya sendiri dengan bersumpah bahwa ia berserah diri kepada Allah dalam kebenaran. Boleh jadi Allah-lah yang menyesatkannya sehingga ia dan orang lain tidak mengetahui kesesatannya. Boleh jadi orang tersebut tertipu oleh syaitan dengan lebih mempercayai dirinya sendiri daripada firman-Nya dalam kitabullah.

﴾۲۳﴿ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَذَبَ عَلَى اللَّهِ وَكَذَّبَ بِالصِّدْقِ إِذْ جَاءَهُ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِّلْكَافِرِينَ
Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? (QS Az-Zumar : 32)

Bahkan manakala ayat Allah dibacakan, seseorang yang sesat dapat mengatakannya sebagai bacaan yang berasal dari syaitan tanpa mempunyai dasar perkataan yang benar. Hal itu adalah kedustaan yang dibuat-buat terhadap Allah. Dalam tingkatan lebih halus, mereka menjadikan ra’yu mereka sebagai hakim yang lebih tinggi daripada kitabullah. Ada keterkaitan kesalahan dalam aqidah kepada Allah dengan pendustaan yang dilakukannya terhadap kebenaran firman Allah. Kadangkala seseorang kesulitan membedakan tuntutan ketaatan kepada kepada Allah dengan tuntutan ketaatan pada diri sendiri. Mereka tidak meletakkan pengenalan kedudukan dirinya dalam kerangka ketaqwaan kepada Allah, tetapi lebih menjadikan kedudukan diri itu sebagai status di antara masyarakat. Kesalahan ini bisa sangat berbahaya bilamana seseorang kemudian mengikuti tipuan syaitan, sedangkan syaitan selalu mencari kelengahan manusia.

Orang yag berada pada shirat al-mustaqim tidak akan berbantah-bantah tentang kebenaran karena adanya keinginan mengikuti kebenaran. Orang yang berada pada shirat al-mustaqim akan melihat kitab dirinya, bahwa kitab itu sebagai bagian dari Alquran. Ia akan mudah melihat kebenaran bahkan manakala dilihatnya dari orang lain. Sedangkan orang sesat mengikuti hawa nafsu. Hawa nafsu-lah yang akan membuat seseorang melihat dirinya sendiri selalu benar tanpa mempunyai sandaran, atau bersandar tetapi dengan cara yang salah. Hawa nafsu ini seringkali membuat seseorang berbantah-bantahan dengan orang lain karena hanya dapat melihat kebenaran relatif menurut dirinya tidak melihat kebenaran yang ditunjukkan Allah pada selain dirinya.

Sikap membantah kebenaran semacam ini tidak tumbuh tanpa disertai tumbuhnya sifat dari syaitan berupa kesombongan. Ketika seseorang lebih menekankan pengenalan diri sebagai status daripada sarana ketakwaan, sangat mungkin kesombongan akan tumbuh. Menolak kebenaran dan meremehkan orang lain merupakan ciri yang mutlak adanya kesombongan. Kesombongan tidak dapat dilihat dari tampilan kemegahan atau kesederhanaan seseorang, atau bentuk tampilan-tampilan yang lain, tetapi sepenuhnya dapat dilihat dari sikapnya menolak kebenaran dan sikap merendahkan orang lain. Orang yang menolak kebenaran dan merendahkan orang lain adalah orang yang sombong, walaupun tampak sikap sederhana atau sikap yang baik dalam kehidupannya. Itu adalah sifat syaitan yang mengawali tumbuhnya sifat buruk lainnya.

dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ حَسَناً وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قاَلَ: إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan seberat biji debu. Ada seorang yang bertanya, “Sesungguhnya seseorang suka (memakai) baju yang indah, dan alas kaki yang bagus, (apakah ini termasuk sombong?). Rasulullâh bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. (HR. Muslim (no. 91))

 

Ash-Shidq Sebagai Tanda Kebenaran

Orang yang berbantah tentang kebenaran (ash-shidq) berada pada keadaan yang buruk dalam tingkatan lebih lanjut daripada tingkatan menolak kebenaran (al-haqq). Iblis merupakan makhluk yag mengetahui banyak realitas kebenaran (al-haqq) tetapi tidak membangun keshidiqan. Ash-shidq merupakan kebenaran yang menjadikan seseorang memiliki sifat-sifat kebaikan sebagaimana yang dikehendaki Allah. Bila seseorang mempunyai sedikit ash-shidq dalam hatinya, ia akan mengenali ash-shidq lainnya yang datang berdasar keshidiqan yang ada. Syaitan akan berusaha mencampur keshidiqan yang dibangun seseorang dengan kebathilan. Bila seseorang keliru dalam membangun ash-shidq dalam dirinya, itu akan mengundang kesalahan yang lain hingga akhlaknya akan tumbuh menjadi buruk dalam pandangan Allah sebagaimana Iblis berakhlak buruk dalam pandangan Allah karena kesalahan dalam membangun ash-shidq. Bila seseorang tidak dapat merasakan ash-shidq, orang itu akan melenceng jauh dari kebaikan.

﴾۳۳﴿وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُولٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkan dengannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Az-Zumar : 33)

Alhaqq dapat mengarahkan seseorang kepada ash-shidq. Seseorang yang mendustakan al-haqq tidak akan bisa membangun keshidiqan, tetapi belum tentu seseorang yang mempunyai pengetahuan alhaqq dapat membangun keshidiqan. Orang yang berhasil membangun keshidiqan akan dapat mengenali keshidiqan yang universal, sedangkan syaitan akan mencampur kesesatan dengan keshidiqan. Seseorang yang tidak membangun keshidiqan yang benar dalam dirinya tidak akan mengenali keshidiqan yang ada di dalam Alquran. Seseorang tidak akan berhasil membina umatnya bila lebih meyakini ilmu yang ada pada dirinya daripada apa yang diajarkan Allah dalam Alquran.

Sebagai contoh, seorang pengusaha yang memperturutkan keinginannya menipu tidak akan menjadi pengusaha yang berhasil karena ia tidak mengetahui dan tidak berjalan selaras dengan hakikat dalam berusaha. Kadangkala syaitan mengajarkan tips dan trik kepada penyembahnya agar sukses dalam kehidupan duniawi dengan sedikit hakikat, tetapi syaitan mencegahnya untuk membangun keshidiqan. Kadangkala iblis melihat seseorang mulai memahami suatu hakikat, kemudian Iblis memelintir ash-shidq yang seharusnya dipahami orang itu. Kerusakan yang ditimbulkan Iblis dalam perkara ini tidak dapat dianggap kecil. Seseorang yang harus membina umat tidak akan berhasil melakukannya tetapi justru terbalik menimbulkan kerusakan yang akan terjadi.

Musyahadah terhadap risalah nabi Muhammad SAW dapat dikenali oleh orang yang berhasil membangun keshidiqan. Hal ini menjadi segel kebenaran yang ditempuh oleh setiap makhluk terutama manusia. Tidak ada kebenaran yang bertentangan atau merusak sunnah Rasulullah SAW, kecuali hanya kebenaran relatif bagi dirinya sendiri tanpa sandaran yang benar. Beberapa orang selamat dari perbantahan tentang kebenaran ketika di sisi Allah dan diijinkan melanjutkan perjalanan ke surga setelah dilakukan hisab dan timbangan, tetapi mereka harus disingkirkan ke neraka ketika mereka berada di telaga Al-kautsar. Ini adalah wujud kegagalan dalam membangun keshidiqan terhadap risalah nabi Muhammad SAW. Segel tertinggi benarnya perjalanan seseorang dalam menuju Allah adalah musyahadah terhadap risalah nabi Muhammad SAW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar