Pencarian

Senin, 14 Maret 2022

Membina Diri Sebagai Qawwam

Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk menjadi saksi Allah yang tegak hingga terbentuk kaum yang memperoleh manfaat dari musyahadahnya tentang Allah. Orang beriman hendaknya membina diri hingga menjadi saksi Allah, dan dengan kesaksiannya itu hendaknya ia memberikan manfaat kepada masyarakat. Dengan manfaat yang diberikan kepada masyarakatnya berdasar kesaksiannya tentang Allah, akan tegaklah suatu kaum karena musyahadah dirinya. Dengan demikian, maka ia menjadi seorang qawwam (orang yang menegakkan).

Orang-orang yang menjadi saksi Allah merupakan ar-rijaal, yaitu orang-orang yang berjalan kepada Allah. Tidak semua manusia berjenis kelamin laki-laki (dzakarun) termasuk dalam golongan ar-rijaal (laki-laki) sebagaimana yang dimaksudkan alquran. Ar-rijaal adalah laki-laki yang mempunyai tekad kembali kepada Allah dengan keyakinannya, sehingga ia memahami kehendak-kehendak Allah dan mempunyai kesaksian tentang ilahiyah-Nya. Orang yang berkutat sepenuhnya dengan kepentingan-kepentingan duniawi tidak akan memperoleh kesaksian tentang uluhiyah-Nya. Keadaan sebagai ar-rijal akan diperoleh manakala seseorang memperoleh keterbukaan (al-fath) tentang penciptaan dirinya. Golongan ar-rijaal inilah yang diperintahkan untuk menegakkan kaum dalam kesaksian kepada Allah.


﴾۴۳﴿الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Kaum laki-laki adalah penegak (qawwamun) di atas kaum wanita, dengan apa-apa yang Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan dengan apa yang telah dinafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka wanita yang salihah ialah yang tenang lagi memelihara yang ghaib dirinya dengan apa-apa yang Allah pelihara. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS An-Nisaa’ : 34)
Tegaknya suatu kaum di atas kesaksian kepada Allah dapat terjadi melalui dua hal, yaitu berdasarkan fadhilah Allah yang diberikan kepada seorang laki-laki, dan atau karena peran ekonomi yang dapat disumbangkan oleh seorang laki-laki bagi kaumnya. Seorang ulama boleh jadi tidak mempunyai banyak harta yang dapat diberikan kepada kaumnya, akan tetapi ia memiliki fadhilah Allah berupa ilmu yang dapat diberikan kepada umatnya. Seorang pengusaha dapat memberikan peran yang penting bagi masyarakat dengan kemampuan membangkitkan ekonomi masyarakat. Kedua hal tersebut dapat dibina seseorang melalui pernikahan mereka. Seorang laki-laki bisa memperoleh jalan mencari fadhilah Allah dengan memperhatikan isterinya, dan memperoleh kemampuan memberikan nafkah berdasarkan kesuburan isteri baginya.
Seorang ar-rijaal hanya akan mampu tegak dalam musyahadah kepada Allah bagi umatnya (sebagai qawwam) manakala berpasangan dengan wanita yang tepat, yaitu wanita yang shalihah. Yang dimaksud wanita shalihah adalah wanita yang merasa tenang mengikuti suaminya dan menjaga hal ghaib yang ada pada dirinya. Hal ghaib dalam diri seorang perempuan itu merupakan sumber fadhilah Allah bagi mereka, dan kesuburan seorang isteri merupakan sumber nafkah bagi mereka. Bila sepasang suami isteri berhasil membangun pernikahan dengan baik, rumah tangga mereka merupakan sumber kekuatan bagi mereka untuk menegakkan suatu kaum di atas musyahadah kepada Allah.

Membangun Keshalihan Wanita

Ketenangan seorang perempuan dalam mengikuti suami akan terwujud manakala ia memahami suaminya. Bilamana suaminya memperoleh fadhilah Allah, seharusnya isteri mengetahui keadaan itu atau mengujinya karena akan menambahkan ketenangannya dalam mengikuti suaminya. Demikian pula dalam hal harta suami, hendaknya ia menerima nafkah dengan rasa syukur tidak menuntut lebih dari kemampuan suaminya memberikan nafkah. Dengan rezeki yang diperoleh suaminya baik berupa fadhilah Allah ataupun kemampuan memberi nafkah, seorang isteri harus dapat mengikuti suaminya dengan rasa tenang, tidak merongrong dengan penyangkalan dan perbantahan terhadap fadhilah Allah yang diterima suaminya ataupun merongrong dengan nafkah yang kurang.
Syaitan akan berusaha merusak perempuan untuk mengikuti suaminya, hingga seorang isteri akan terpisah dari suaminya. Pada prinsipnya, seorang isteri harus berusaha memahami suaminya dengan hati yang bersih berdasarkan hubungan dan interaksi mereka berdua, tidak mengikuti pihak ketiga yang akan merusak rumah tangga. Hal ini tidak menuntut seorang isteri untuk menutup mata terhadap kekurangan dan kelemahan suaminya, tetapi hal itu tidak boleh menjadikan ketaatannya kepada suami memburuk. Bilamana bisa, ia harus memberikan kebaikan untuk menutup kekurangan suaminya dengan cara yang baik. Menghakimi suami berdasarkan penilaian orang lain merupakan sumber bencana bagi rumah tangga. Syaitan akan memasuki rumah tangga mereka dengan menyertai orang lain untuk menghakimi suaminya.
Membangun keshalihan pada perempuan harus dimulai sebelum pernikahan. Seorang perempuan harus siap untuk mengikuti suaminya dengan tenang dan harus mampu menjaga hal ghaib dalam dirinya bagi suaminya. Kecenderungan untuk menganggap remeh calon suaminya tidak boleh ada atau muncul pada seorang perempuan, karena itu akan mengganggu proses membentuk ketenangan dalam mengikuti suaminya. Demikian pula kegamangan untuk memilih laki-laki lain selain calon suaminya tidak boleh ada, karena itu akan menjadi pintu godaan untuk tidak menjaga hal ghaib yang ada dalam dirinya. Keshalihan itu harus dibangun sejak sebelum pernikahan.
Pertanyaan yang bersifat meremehkan calon suami tidak boleh muncul ataupun disampaikan. Demikian pula pertanyaan tentang kemuliaan martabat calon suaminya ataupun pertanyaan tentang kemampuannya memberi nafkah. Pertanyaan tentang kemampuan memberikan nafkah barangkali masih relevan disampaikan terkait kedewasaan muda-mudi, akan tetapi harus disampaikan dengan cara yang baik tanpa menghakimi. Pertanyaan tentang martabat calon suami dan kemampuan memberi nafkah tidak dapat disampaikan pada calon mempelai dewasa mendahului pernikahan. Hal itu justru akan merusak citra perempuan dalam pandangan calon suaminya, karena alih-alih berkeinginan menjawab, calon suami akan meragukan kemampuan perempuan itu untuk menjadi wanita shalihah bagi dirinya.
Kedua hal tersebut, martabat dan nafkah, sebenarnya merupakan inti proses sepanjang pernikahan sepasang mukminin. Kemampuan memberi nafkah laki-laki beriman seringkali lebih tergantung pada kesuburan seorang isteri daripada upaya suami sendiri. Dengan kemampuan ala kadarnya, seorang mukmin bisa memperoleh keberhasilan duniawi bilamana isterinya subur. Atau sebaliknya, pendidikan tinggi mungkin tidak mengantarkan seorang mukmin untuk memperoleh tempat sesuai pendidikannya. Terkait martabat, fadhilah Allah yang diperoleh seorang laki-laki beriman akan meninggikan martabat mereka di masyarakat bila istrinya shalihah. Bila wanita tidak shalihah, fadhilah Allah itu akan terpendam dalam diri seorang laki-laki. Seorang laki-laki shalih akan mengetahui khazanah yang dikandung isterinya, dan perempuan shalihah akan subur melahirkan hasil duniawi terhadap upaya suaminya dalam mengolah khazanah dirinya.
Dalam hal ta’addud atau pernikahan kedua dan seterusnya, keadaan pernikahan sebelumnya tidak dapat menjadi pegangan baku menilai seseorang. Boleh jadi seseorang mengalami kegagalan dalam suatu pernikahan tetapi bisa berhasil membangun pernikahan dengan yang lain. Kualitas keshalihan kadangkala tidak tampak pada diri seseorang pada suatu pernikahan, dan baru akan tampak pada pernikahan yang lain. Kadangkala masalah seseorang pada suatu pernikahan disebabkan oleh pasangannya, atau bahkan sebenarnya masalah itu disebabkan oleh pihak lain ataupun fitnah syaitan, tetapi tidak terlihat oleh orang lain. Seorang calon suami atau calon isteri dalam pernikahan demikian harus benar-benar berusaha menilai pasangannya berdasarkan pengetahuan yang diperoleh secara langsung, tidak melakukan prejudice serampangan.
Laki-laki harus berusaha mempertimbangkan keadaan calon isterinya dengan baik. Seandainya ia bisa melihat khazanah yang dikandung calon isterinya, hal itu bukan hal satu-satunya yang akan mendukung keberhasilannya dalam menegakkan musyahadah terhadap Allah bagi umatnya. Manakala seorang perempuan terlihat memandang remeh dirinya, atau terlihat kegamangan untuk memilih laki-laki lain, hal itu bisa menjadi masalah besar yang tidak mendukungnya dalam menegakkan musyahadahnya bagi umatnya. Laki-laki harus mempertimbangkan apakah ia dapat memimpin istrinya menegakkan musyahadah mereka kepada Allah bagi umatnya dengan keadaan calon isterinya, tidak hanya berpegang pada pengetahuan khazanah yang dikandung oleh calon isterinya saja.
Kadangkala seseorang memperoleh petunjuk tentang calon suami atau isterinya. Petunjuk itu sangat mungkin bernilai benar bila kedua pihak memperoleh petunjuk. Manakala hanya satu pihak yang memperoleh, boleh jadi petunjuk itu hanya obsesi. Bila petunjuk itu benar, hendaknya pasangan itu berusaha mengikutinya. Pernikahan berdasarkan petunjuk mempunyai bobot kethayyiban yang paling tinggi dibandingkan dengan cara yang lain, hingga kadang-kadang seseorang menemukan jodoh yang diciptakan dari nafs wahidah yang sama. Keingkaran terhadap petunjuk jodoh ini seringkali termasuk dalam perbuatan kufur terhadap nikmat Allah.
Seringkali petunjuk yang benar terlihat tidak sesuai dengan keinginan hawa nafsu, maka keinginan hawa nafsu itu harus dikesampingkan. Bilamana petunjuk itu tidak sesuai dengan parameter keshalihan di antara keduanya, hendaknya mereka mengamati barangkali ada perubahan di antara mereka, atau ada kekeliruan penilaian dari dirinya. Tidak boleh seseorang berharap adanya penggantian atau perubahan petunjuk jodoh. Hal ini tidak berarti menutup kemungkinan adanya perubahan petunjuk jodoh bagi seseorang, karena perubahan jodoh dapat terjadi manakala terjadi perbedaan keshalihan sedemikian hingga merusak perjodohan, misalnya manakala salah seorang murtad dari agamanya.

Pentingnya Menjadi Qawwam

Setiap ar-rijal harus berusaha untuk menjadi seorang qawwam bersama isterinya. Demikian pula setiap perempuan harus berusaha menjadi shalihah bagi suaminya dan membantu menjadikannya seorang qawwam. Manakala suaminya seorang ar-rijal yang mengenal Allah, hendaknya seorang isteri berusaha menjadikan suaminya sebagai seorang qawwam bagi umatnya. Dirinya harus melapangkan hati bagi pemahaman yang diterima suaminya, dan kemudian mengikuti petunjuk yang dipahami suaminya. Perbantahan atau penyangkalan terhadap suami ar-rijal mempunyai bobot kerusakan lebih besar daripada bersuami laki-laki biasa.
Banyak kerusakan yang terjadi manakala seorang ar-rijal tidak berhasil menjadi qawwam di antara umatnya. Secara tersirat Rasulullah SAW menerangkan paket kerusakan yang akan terjadi bilamana ada kegagalan membangun qawwam  dalam sebuah hadits tentang tanda-tanda as-sa’ah.
Rasulullah SAW bersabda :
:مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا وَتَكْثُرَ النِّسَاءُ وَيَقِلَّ الرِّجَالُ حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً الْقَيِّمُ الْوَاحِدُ
Di antara tanda-tanda as-sa’ah adalah berkurangnya ilmu dan dzahirnya kebodohan, tampak zina dan wanita menjadi banyak, sedangkan lelaki menjadi sedikit, hingga terjadi bagi lima puluh wanita hanya memperoleh satu laki-laki yang menegakkan. (Mutafaqun ‘alaihi).
Fenomena berkurangnya ilmu, mendzahirnya kebodohan, menampaknya zina, sedikitnya ar-rijal dan banyaknya perempuan merupakan fenomena-fenomena yang terkait dengan kegagalan seorang ar-rijal menjadi qawwam di antara umatnya.
Sedikitnya ilmu dapat terjadi karena kegagalan seorang ar-rijal menjadi qawwam. Mungkin terjadi kegagalan dalam mengolah khazanah yang dibawa oleh isterinya karena kegagalan dalam penyatuan nafs mereka, yang menyebabkan ilmu menjadi sedikit. Bilamana seorang ar-rijal berhasil mengetahui khazanah itu, mungkin terjadi kegagalan menyampaikan khazanah itu kepada umatnya karena isteri yang gemar membantah suaminya. Kadangkala syaitan merusak seorang isteri dengan cara yang keji. Dalam kasus demikian, kesuburan isterinya mengalami kerusakan. Mungkin saja kerusakan itu hanya terjadi pada kesuburannya tanpa merusak integritas atau keshalihan seorang perempuan, tetapi tetap menyebabkan kegagalan seorang ar-rijal menjadi qawwam. Akan sedikit orang yang mengetahui dan meyakini ilmu yang terbuka pada ar-rijal tersebut bilamana kesuburan seorang isteri rusak. Dengan sedikitnya orang dari umatnya atau sedikitnya keyakinan dari umatnya terhadap ilmu dari seorang ar-rijal, maka ilmu itu akan menjadi sedikit dan mudah tenggelam sulit ditemukan oleh umatnya.
Mendzahirnya kebodohan juga terkait dengan keadaan di atas. Manakala masyarakat sulit menemukan ilmu, atau tidak mempunyai keyakinan terhadap suatu ilmu, mereka akan mudah ditipu dengan kebodohan-kebodohan yang tampak seperti ilmu. Orang-orang bodoh dengan leluasa menggantikan kedudukan orang-orang yang mempunyai ilmu. Masyarakat akan mudah tergiring untuk mengikuti kebodohan-kebodohan yang dipandang sebagai ilmu. Ini merupakan sumber kerusakan yang besar. Hal minimal yang terjadi dengan tampaknya kebodohan adalah tidak adanya kemajuan dalam berjalan kembali kepada Allah. Yang lebih buruk, mungkin akan terjadi kemunduran dalam beragama atau justru umat tersesat.
Merebaknya zina terjadi berkaitan dengan hilangnya semangat penjagaan diri bagi pasangannya menikah. Manakala masyarakat kehilangan ilmu, mereka akan terjatuh memandang kehidupan mereka hanyalah kehidupan jasmaniah tanpa aspek ghaib yang membuat kehidupan menjadi bernilai. Dengan cara pandang keji, manusia akan mudah terjatuh pada hal-hal yang keji sebagaimana merebaknya zina. Cara pandang masyarakat akan menjadikan mereka seperti perempuan-perempuan yang menuntut kemakmuran duniawi, dan semakin sedikit orang yang menempuh jalan kembali kepada Allah.
Seorang rijal harus berusaha menjadi seorang qawwam bersama keluarganya. Demikian pula seorang isteri harus berusaha menjadikan ar-rijal suaminya berhasil menjadi seorang qawwam, yaitu dengan tenang mengikuti langkah yang ditempuh suaminya manakala suaminya memperoleh pengetahuan untuk melangkah menuju keadaan sebagai seorang qawwam. Perbantahan dan penyangkalan seorang isteri akan menjadi hambatan bagi terbentuknya seorang qawwam di antara masyarakat, dan hal itu akan menimbulkan kerusakan yang besar di antara masyarakat.
Menjadi seorang qawwam merupakan langkah lebih lanjut seseorang menuju Allah setelah pengenalan terhadap penciptaan dirinya. Langkah menuju Allah tidak boleh terhenti pada pengenalan penciptaan diri karena dapat menyeret seseorang kembali kepada kekufuran. Bila dikorelasikan dalam millah nabi Ibrahim a.s, pengenalan diri adalah hijrah menuju tanah haram di lembah bakkah, dan menjadi seorang qawwam adalah membangun bayt dan memakmurkannya. Perjalanan menuju Allah akan sempurna manakala Allah memberikan hadiah mi’raj sebagaimana rasulullah SAW mi’raj ke ufuk yang tertinggi. Hal itu akan terjadi manakala seseorang memakmurkan bayt dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar