Pencarian

Selasa, 15 Maret 2022

Keadilan dan Ketakwaan

Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk tegak menjadi saksi bagi Allah secara setimbang. Menjadi saksi Allah merupakan tujuan tertinggi penciptaan setiap manusia sebagai makhluk yang paling sempurna yang diciptakan Allah. Setiap manusia diciptakan untuk mampu menjadi saksi Allah dengan cara yang lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk lain selain manusia. Bilamana seorang manusia menempuh jalan kembali kepada Allah, ia akan menjadi makhluk yang bersaksi tentang Allah secara sempurna, namun kebanyakan manusia tidak menempuh jalan itu

Untuk menjadi saksi Allah, setiap orang beriman dituntut untuk mengetahui keadilan dan berbuat dengan adil. Keadilan merupakan timbangan segala sesuatu di sisi Allah. Orang yang berbuat adil adalah orang-orang yang memberikan timbangan sesuatu kepada yang berhak sesuai dengan, atau mendekati kesetimbangan segala sesuatu di sisi Allah.

﴾۸﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang menegakkan (qawwamun) kesaksian bagi Allah dengan setimbang. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berbuat dosa tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Maidah : 8)

Orang-orang yang berbuat adil memperoleh bekal untuk mendekati ketakwaan. Keadilan menjadi pendahulu bagi ketakwaan kepada Allah. Ketakwaan yang sesungguhnya kepada Allah mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada keadilan, karena ketakwaan bisa ditemukan setelah seseorang berbuat adil. Ketakwaan merupakan kedudukan mulia di sisi Allah, di mana seorang manusia yang bertakwa berusaha untuk memahami kehendak Allah atas diri mereka dengan benar, dan kemudian berusaha menjalankan kehendak itu. Bila demikian, boleh jadi Allah akan memberikan bayaan dan Allah memberikan ketakwaan yang sebenarnya kepada orang tersebut.

Keadilan merupakan pendahuluan ketakwaan. Orang yang berusaha mengetahui keadilan dan berbuat adil dapat berharap untuk menemukan ketakwaannya. Seringkali manusia dipengaruhi hawa nafsu berupa rasa suka atau benci terhadap orang lain, dan hal itu mempengaruhi perbuatannya bagi orang lain. Rasa tidak suka terhadap suatu kaum seringkali merusak seseorang dalam melakukan perbuatan yang adil. Hendaknya ia berusaha mengalahkan rasa benci terhadap suatu kaum dan memilih berbuat dengan adil, karena dengan berbuat adil tersebut lebih mendekatkan kepada ketakwaan.

Kerancuan seringkali terjadi pada seseorang, dimana seseorang merasa dirinya bertakwa, sedangkan Allah belum memberikan ketakwaan yang haqq kepada orang itu, dan ia tidak termasuk dalam golongan al-muttaqin. Seseorang dapat mengukur ketakwaan dirinya dengan pengetahuan keadilan di sisi Allah. Tanpa mengetahui keadilan di sisi Allah, maka sangat mungkin perasaan ketakwaan itu hanya mempunyai bobot ringan, yang belum atau tidak memasukkan dirinya dalam golongan al-muttaqin. Seseorang tidak mempunyai hak untuk mengatakan bahwa apa yang ada pada dirinya atau dilakukannya merupakan hal yang sepenuhnya menjadi kehendak Allah, terutama bagi seseorang di luar golongan al-muttaqin. Golongan Al-muttaqin yang telah mengerti keadilan di sisi Allah mungkin dapat mengatakan demikian, walaupun seringkali lebih diwarnai dengan rasa takut daripada mengatakannya.

Ketakwaan dapat diukur berdasarkan kitabullah. Setiap orang harus mengukur dirinya dan mengukur segala sesuatu untuk dirinya dengan kitabullah agar dapat membangun ketakwaan, dan membangun keadilan. Apa-apa yang sesuai dengan kitabullah sangat mungkin merupakan buah ketakwaan, dan segala sesuatu yang bertentangan dengan kitabullah tidak mungkin merupakan buah ketakwaan. Banyak hal-hal yang barangkali tidak terlihat kaitannya dengan kitabullah secara langsung namun merupakan cabang yang terlahir dari ketakwaan, dan banyak hal-hal yang tampak merupakan buah ketakwaan tetapi sebenarnya bukanlah bagian ketakwaan, bahkan menjadi racun bagi seseorang. Kaum khawarij membuat perkataan-perkataan yang indah berdasar kitabullah tapi perkataan itu merupakan racun bagi akidah dalam beribadah kepada Allah. Setiap orang harus mengukur dengan hatinya berdasarkan kitabullah.

Hendaknya setiap orang bertakwa kepada Allah. Ketakwaan ini merupakan bekal yang paling baik bagi manusia. Perbuatan-perbuatan manusia hendaknya diusahakan terlahir dari upaya ketakwaan, termasuk dalam hal melakukan keadilan. Melakukan perbuatan adil tanpa suatu tujuan ketakwaan akan membuat perbuatan itu terhenti tidak mendorong seseorang tumbuh sesuai dengan kehendak Allah. Dengan landasan ketakwaan, maka perbuatan-perbuatan seseorang akan menjadi bekal tumbuhnya jiwa sesuai dengan kehendak Allah. Dengan ketakwaan dan keadilan, seseorang akan tumbuh menjadi saksi Allah yang setimbang.



Keluarga Sebagai Basis Keadilan

Untuk mencapai keadaan tegak sebagai saksi Allah, seseorang diciptakan berpasangan sebagai laki-laki dan perempuan. Allah menjadikan pernikahan sebagai setengah bagian dari agama salah satunya karena pernikahan menjadi sarana bagi sepasang manusia untuk berproses sebagai saksi yang tegak bagi Allah. Seorang laki-laki akan menjadi saksi Allah yang tegak bilamana ia hidup bersama dengan isterinya dan berhasil membangun sakinah bersama-sama.

﴾۴۳﴿الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Kaum laki-laki adalah penegak (qawwamun) di atas kaum wanita, dengan apa-apa yang Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka wanita yang salihah ialah yang tenang lagi memelihara yang ghaib dirinya dengan apa-apa yang Allah pelihara. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS An-Nisaa’ : 34)

Salah satu hal utama yang mendukung tegaknya seorang laki-laki dalam agamanya adalah keshalihan para wanita. Keshalihan para wanita ditunjukkan dengan indikator ketenangan dalam mengikuti suami dan penjagaan terhadap hal ghaib dalam dirinya bagi suaminya. Seorang perempuan yang tidak dapat tenang bersama suaminya atau tidak menjaga hal ghaib dalam dirinya tidak termasuk dalam kategori wanita shalihah sekalipun tampak melakukan banyak ibadah nawafil. Ibadah nawafil seharusnya akan membantu seorang wanita untuk memperoleh ketenangan bersama suaminya dan menjaga hal ghaib dalam dirinya bagi suaminya, tetapi bila seorang perempuan tidak mempunyai sifat demikian, ibadah nawafil yang dilakukannya mungkin tidak memberikan manfaat yang baik.

Tegaknya seorang laki-laki bersama istrinya di hadapan Allah terkait dengan hal ghaib yang harus dipelihara untuk tumbuh memahami kehendak Allah. Hal ghaib ini terdapat dalam nafs wahidah mereka. Nafs seorang perempuan merupakan bagian dari nafs wahidah seorang laki-laki. Nafs perempuan-lah yang membawa bagian duniawi bagi pasangan yang menikah, sedangkan nafs wahidah seorang laki-laki merupakan nafs yang membawa amr Allah. Nafs wahidah laki-laki mempunyai kelebihan berupa akal yang kuat untuk mememahami kehendak Allah. Kedua nafs tersebut harus disatukan dalam suatu pernikahan yang penuh mawaddah dan sakinah. menghindari adanya keresahan ataupun pengkhianatan dan nusyuz dari salah satu atau kedua pihak.

Hal ghaib dalam diri manusia ini tergambar dalam turunan berupa wujud fisik mereka. Seorang perempuan diberi rahim yang menghadirkan sel telur bagi suaminya. Mungkin seorang perempuan tidak mengetahui kehadiran sel telur mereka, akan tetapi mereka dapat mengetahui bahwa mereka mengalami haidh yang menandai siklus kehadiran sel telur. Sel telur merupakan gambaran fisik wujud khazanah duniawi yang dikandung dalam sisi ghaib setiap perempuan. Itu merupakan gambaran bahwa setiap perempuan membawa suatu khazanah duniawi dalam diri ghaib mereka, di mana khazanah itu seharusnya diolah oleh suaminya untuk mereka tumbuh bersama-sama.

Kefahaman seorang laki-laki terhadap khazanah yang dibawa dalam sisi ghaib isterinya merupakan bibit pengenalan seseorang terhadap keadilan di sisi Allah. Keadilan seorang laki-laki bagi isterinya ditunjukkan dengan pengenalannya terhadap khazanah yang ada dalam nafs isterinya. Kadangkala sikap adil itu harus ditunjukkan dalam wujud yang terlihat tidak adil dalam pandangan manusia. Nabi Ibrahim a.s bertindak adil terhadap isterinya siti Hajar r.a dengan menempatkannya di lembah Bakkah, karena keadilan dari sisi Allah menunjukkan bahwa amanah bagi siti Hajar r.a dan Ismail harus hidup di lembah Bakkah yang sangat jauh dari tempat tinggal nabi Ibrahim a.s. Perbuatan beliau a.s merupakan keadilan walaupun terlihat tidak adil dalam pandangan kebanyakan manusia.

Itu merupakan contoh keadilan yang ditunjukkan oleh sang uswatun hasanah. Barangkali tidak semua harus melakukan bentuk keadilan sedemikian, akan tetapi harus dipahami bahwa keadilan merupakan kesetimbangan di sisi Allah yang harus diturunkan seseorang bagi semesta mereka. Dalam hal ini, pernikahan merupakan gerbang bagi pasangan manusia untuk dapat memberikan keadilan.

Para perempuan harus berusaha mengikuti suaminya dengan ketenangan dan menjaga hal ghaib daalam dirinya bagi suaminya. Siti Hajar r.a mengikuti langkah nabi Ibrahim a.s dengan tenang, dan beliau r.a menjaga diri bagi suaminya sekalipun berada di tempat yang jauh. Ketenangan dan penjagaan diri perempuan menjadi kunci keterbukaan bagi mereka untuk menurunkan keadilan kepada masyarakat. Bila seorang perempuan menyerahkan hal ghaib dalam dirinya bagi laki-laki lain, suaminya akan kehilangan khazanah yang harus terlahirkan bagi masyarakat mereka. Bila seorang perempuan tidak mengikuti suaminya dengan tenang, maka suaminya akan terhalang dari masyarakatnya, tidak dapat mengolah dan menurunkan khazanah yang dibawa perempuan itu bagi semesta mereka.

Kadang sepasang suami isteri mengalami kesulitan untuk melahirkan khazanah bagi mereka karena berbagai sebab, walaupun mereka telah berhasil mengetahui urusan Allah bagi mereka. Kesatuan nafs pada umumnya menjadi sumber masalah demikian. Kadangkala sepasang suami-isteri harus memperbaiki keadaan pernikahan mereka, atau kadangkala harus membentuk kesatuan nafs dalam hubungan pernikahan ta’addud sebagai landasan yang mendukung mereka untuk tegak dalam keadilan, tidak dapat dilakukan hanya dengan pernikahan monogami. Kadangkala syaitan merusak salah satu pihak hingga kehilangan kemampuan menyatukan nafs walaupun mereka menginginkan penyatuan itu. Banyak motif kegagalan dalam melahirkan keadilan yang bersumber dari kegagalan penyatuan nafs. Seringkali masalah satu berkelindan dengan masalah lainnya.

Dalam urusan pernikahan ta’addud, harus terpenuhi aspek keadilan. Keadilan yang menjadi parameter perlu atau tidaknya ta’addud adalah pengenalan seseorang terhadap diri mereka dan khazanah pasangannya. Bila tidak ada pengenalan terhadap diri mereka dan pasangannya, maka sebenarnya mereka belum mengenali keadilan. Seorang laki-laki yang adil akan mengenali bentuk kesatuan nafs yang harus dibangun, agar mereka memperoleh landasan untuk melahirkan keadilan. Laki-laki adil juga akan mengenali masalah terkait nafs yang terjadi pada mereka. Dengan keadaan ini, sangat mungkin sepasang suami isteri benar-benar membutuhkan pernikahan ta’addud. Isteri harus berusaha memahami dan mengikuti suaminya dan ini merupakan bentuk ketakwaan seorang isteri melalui suaminya. Manakala Allah menetapkan suatu urusan, ketaatan orang-orang yang terkait dengan kehendak Allah tersebut merupakan ketakwaan.

Tidak banyak orang yang berhasil mengenali diri dan khazanah dalam nafs isterinya, dan tentu lebih sedikit lagi orang yang berhasil menegakkan urusan mereka bagi Allah. Peran perempuan dalam menjadikan suami mereka mampu tegak menjadi saksi bagi Allah akan menjadi kunci terbukanya rahmat Allah bagi semesta mereka. Hal ini tentu tidak akan mudah, dimana syaitan akan mendatangi setiap pihak untuk menggagalkan urusan mereka. Seorang laki-laki akan dipertakuti untuk melaksanakan ta’addud manakala Allah menetapkan demikian. Demikian pula setiap perempuan akan dibuat tidak bisa menerima keadaan mereka. Urusan menegakkan keadilan ini merupakan urusan yang besar dari sisi Allah yang tidak akan dapat terlaksana bila tidak ada kemauan berkorban dari setiap pihak.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar