Pencarian

Jumat, 27 Agustus 2021

Menemukan Jalan Kebenaran

Dunia merupakan ujung ciptaan Allah yang paling jauh dari cahaya-Nya. Dengan keadaan itu, kebenaran yang dapat dilihat seseorang di alam dunia sebenarnya bersifat nisbi, dan bahkan kadang bercampur-campur dengan kebathilan. Kebenaran yang dilihat manusia di dunia seringkali bukan merupakan kebenaran mutlak, atau bahkan bisa jadi sebenarnya tercampur kebatilan yang terlihat sebagai kebenaran. Di alam yang demikianlah setiap manusia diciptakan. Manusia diciptakan untuk menjadi masterpiece ciptaan Allah yang paling cerdas, yang harus menempuh resiko yang paling besar untuk tertimpa kesesatan karena berada di lingkungan dengan kebenaran yang paling nisbi.

Kebanyakan manusia di bumi akan menyesatkan manusia lainnya dari jalan Allah. Tidak banyak orang-orang yang mengetahui kebenaran dengan sungguh-sungguh. Kebanyakan manusia di bumi hanya mengikuti persangkaan mereka terhadap kebenaran, dan mereka hanya menduga-duga kebenaran berdasarkan persangkaan mereka. Sebagian mengikuti persangkaan dan dugaan-dugaan mereka dengan tulus untuk mencari kebenaran, sebagian mengikuti persangkaan mereka disertai dengan keinginan duniawi, sebagian membentuk waham-waham yang sangat kuat berdasarkan persangkaan dan dugaan-dugaan mereka, dan sangat banyak bentuk-bentuk lain dalam mengikuti persangkaan dan dugaan.

﴾۶۱۱﴿وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (QS Al-An’aam : 116)

Demikianlah kebenaran dalam kehidupan di bumi. Di bumi, manusia hanya mengikuti persangkaan-persangkaan dan kadangkala hanya kedustaan. Bila seseorang mengikuti seruan rasulullah SAW dengan berjalan ke langit, maka ia akan dapat memperoleh kejelasan tentang jalan yang benar kembali kepada Allah. Sebenarnya manusia mempunyai aspek langit berupa nafs-nya. Manusia secara individu diciptakan berpasangan dalam wujud jasadiah dari bumi dan wujud malakutiyah berupa nafs mereka. Bila seseorang peduli dengan kebutuhan nafs mereka untuk berjalan kembali kepada Allah, maka ia akan bergerak ke langit dan mengetahui secara bertahap jalan kebenaran yang harus ditempuh. Bila seseorang tidak peduli dengan keadaan jiwa mereka, mereka sebenarnya hanya menduga-duga dan mengikuti persangkaan tentang kebenaran.

Bila seseorang berjalan menuju langit, maka akan tumbuh dalam dirinya indera-indera bathiniahnya. Akan tumbuh dalam dirinya qalb yang menjadi pondasi kecerdasan jiwanya, bashirah yang merupakan penglihatan bagi jiwa, dan tumbuh pula pendengaran jiwa. Itu adalah indera-indera bathiniah agar seseorang dapat mengenali kebenaran yang diperuntukkan bagi dirinya. Keseluruhan indera itu harus digunakan untuk mengenali kebenaran dari Allah. Kebanyakan manusia bersikap tidak tepat ketika tumbuh indera bathiniah mereka. Bahkan sebagian manusia menginginkan tumbuhnya indera-indera itu karena motivasi yang keliru, sejak sebelum indera itu tumbuh dalam diri mereka.

Batin Sebagai Langit

Sebenarnya, orang-orang yang diberi karunia indera bathin menunjukkan dirinya telah berusaha untuk tidak berdiam di bumi saja, setidaknya ia memperhatikan anak-anak yang terlahir dari nafsnya. Tetapi hal itu tidak menjamin keselamatan baginya. Seseorang yang diberi karunia bashirah atau pendengaran dapat tersesat karena bashirah atau pendengarannya. Demikian pula orang yang diberi karunia qalb dalam berbagai tingkatannya dapat tersesat bila tidak digunakan sebagaimana kehendak Allah.

﴾۹۷۱﴿وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sungguh Kami jadikan untuk (isi neraka) Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS Al-A’raaf : 179)

Setiap orang harus bersikap tepat dalam perkara indera-indera jiwa. Indera tersebut merupakan modal yang diberikan kepada setiap orang agar mereka kembali kepada Allah dengan benar. Indera batin bukanlah media untuk menampilkan kehebatan-kehebatan dalam diri. Setiap orang harus berusaha memahami kebenaran dari Allah dengan indera-indera yang diberikan kepadanya. Seringkali seseorang terjebak bersikap kufur dengan cara menunjukkan kehebatannya berdasarkan indera bathin yang diberikan kepadanya. Kadangkala seseorang justru memperturutkan apa-apa yang sampai kepada inderanya tidak mencari kebenaran yang dihadirkan Allah baginya.

Indera-indera bathin adalah sarana untuk bertafaqquh dalam agama, tidak boleh digunakan untuk kepentingan yang lain. Alam langit diciptakan lebih luas daripada alam mulkiyah, dan kesesatan di alam langit bisa mengakibatkan kesesatan yang lebih jauh daripada kesesatan di alam mulkiyah. Orang yang tersesat di alam langit dalam banyak kasus lebih sesat daripada sesatnya orang-orang di bumi. Karena itu setiap orang hendaknya berhati-hati dengan indera yang diberikan kepada dirinya. Indera-indera bathin itu hendaknya digunakan untuk bertafaqquh terhadap agama.

Tafaqquh dalam agama adalah menselaraskan pikiran dan perbuatan dengan kehendak Allah. Dalam tataran praktis, tafaqquh dalam agama adalah menemukan kedudukan diri dalam alquran dan sunnah rasulullah SAW, dan kemudian melaksanakan tuntunan yang sesuai yang ditemukan dalam Alquran dan sunnah rasulullah SAW untuk kembali kepada Allah. Hal ini sangat penting diperhatikan. Seseorang tidak boleh mengaku perbuatannya sebagai perintah Allah tanpa mempunyai landasan dari Alquran dan sunnah rasulullah SAW, karena hal itu bisa saja sebenarnya sebuah kesesatan yang jauh dari kebenaran. Allah telah menurunkan panduan dalam kehidupan di bumi dalam bentuk Alquran dan sunnah rasulullah SAW. Kedua hal itu adalah indikator seberapa banyak seseorang bertafaqquh dalam agama.

Tafaqquh (pemahaman) seseorang terhadap Alquran dan sunnah rasulullah SAW harus dilakukan seseorang dengan hati (qalb)nya. Bila tidak tumbuh qalb seseorang, sangat mngkin sebenarnya ia hanya mengikuti persangkaan dan dugaan karena mungkin seseorang tidak berhijrah dari bumi. Salah satu tanda keadaan itu adalah bilamana Alquran dan sunnah rasulullah SAW hanya merupakan petunjuk tanpa kaitan dengan kehidupan nyata dirinya, hanya menumbuhkan pohon khabitsah. Tanda ini berlaku untuk mengukur keadaan diri, tidak boleh digunakan untuk menghakimi keadaan orang lain bila tidak sama dengan keadaan dirinya. Barangkali seseorang melihat keterkaitan yang erat suatu ayat bagi dirinya, tetapi orang lain tidak melihatnya. Akan tetapi di sisi lain, harus diperhatikan tentang keberadaan kaum khawarij yang memanfaatkan Alquran tetapi mereka melemparkan seseorang keluar dari islam sejauh-jauhnya. Kaum khawarij hanya membaca Alquran dengan persangkaan-persangkaan mereka tanpa membangun qalb mereka, sehingga mereka terlempar sejauh-jauhnya dari islam.

Sebagian manusia telah tumbuh qalb mereka karena memperhatikan jiwanya. Tetapi bila qalb itu tidak digunakan untuk bertafaqquh dengan berpedoman pada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, boleh jadi sebenarnya ia tersesat dengan kesesatan yang sangat jauh. Demikian pula bila pemahaman qalb seseorang bertentangan dengan Alquran dan sunnah rasulullah SAW, hal itu menunjukkan ia tersesat dan barangkali ia lebih sesat dari orang yang tidak berhijrah dari urusan buminya. Untuk bertafaqquh dengan benar, Qalb dan perbuatan harus diusahakan benar-benar selaras Alquran, sunnah rasulullah SAW. Alam langit jauh lebih luas daripada bumi, sehingga perjalanan di alam langit sangat menakutkan bila tidak menggunakan pedoman yang menuntun. Alquran dan sunnah rasulullah SAW lah pedoman yang akan menuntun seseorang ke tujuan yang benar.

Kesesatan Di Langit

Dahulu Iblis merupakan makhluk di alam yang tinggi. Pada saat itu, Iblis merasa bahwa dirinya adalah makhluk yang paling mengenal kebenaran. Di sisi lain, ia tidak mengenal rasulullah SAW. Ia melakukan kesalahan yang tampak hanya kecil di matanya tetapi hal itu tidak diperkenankan terjadi di alam yang tinggi. Secara prinsip, ia merasa benar bahwa ia hanya mau bersujud kepada Allah, tidak mau diperintahkan untuk bersujud kepada Adam. Kenyataannya, dalam tingkatan prinsip ia salah secara mendasar. Di alam-nya pada waktu itu, ia harus mengenal wasilahnya untuk mengikuti kebenaran, dan ia menolak mengikuti wasilah itu. Mengikuti khalifatullah adalah wasilah bagi alam malakut Iblis dan yang setara bersamanya untuk mengikuti rasulullah SAW sebagai pembawa kebenaran tertinggi.

Perintah bersujud kepada Adam bagi Iblis adalah media yang diberikan Allah agar iblis kembali ke dalam barisan/shaff untuk mengikuti kebenaran. Pengetahuan Iblis tentang kebenaran sebenarnya terpisah dari kebenaran rasulullah SAW. Kesalahan itu adalah kesesatan yang harus dibetulkan dengan peristiwa perintah bersujud kepada Adam. Shaf bagi Iblis adalah mengikuti dan mentaati khalifatullah untuk mengikuti rasulullah SAW. Iblis seharusnya mengetahui bahwa tidak ada kebenaran yang terpisah dari kebenaran yang dibawa rasulullah SAW dan makhluk yang mengikuti beliau. Khalifatullah a.s adalah makhluk yang mengikuti rasulullah SAW dengan benar dan berkedudukan sebagai wasilah Iblis kepada rasulullah SAW.

Demikian pula kebenaran yang bisa dikenal oleh seluruh makhluk lainnya. Bahwa tidak ada jaminan kebenaran bagi apa yang dikenalnya bila tidak ada landasan dari Alquran dan sunnah rasulullah SAW. Boleh jadi sebenarnya ia telah mengalami kesesatan yang sangat jauh walaupun ia merasa bahwa ia mengikuti kebenaran. Iblis telah berada di alam yang sangat tinggi dalam mengenal kebenaran dibandingkan kebanyakan manusia ataupun makhluk lainnya. Hanya sedikit manusia yang mungkin lebih tinggi dari Iblis, karena dahulu Iblis bersahabat dekat dengan para malaikat muqarrabun seperti Jibril a.s ataupun Mikail a.s. Pemahaman kebenaran yang sangat banyak itu tidak menjamin ia berada tidak tersesat.

Mengenal kebenaran melalui Alquran dan pengenalan pada rasulullah SAW dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan benar akan membuat seseorang memasuki kelompok al-jamaah. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti rasulullah SAW dengan pemahaman qalb dalam shaff-shaff yang ditentukan Allah. Orang-orang yang memiliki pemahaman terpisah dari rasulullah SAW menunjukkan dirinya belum benar-benar memasuki shaff yang benar, walaupun mungkin telah memasuki shaff yang benar. Kadangkala syaitan duduk bagi orang-orang yang berada pada shirat al-mustaqim.

﴾۶۱﴿قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ
Iblis menjawab: "Maka dengan apa-apa yang Engkau telah menghukumi aku tersesat, aku benar-benar akan duduk bagi mereka pada jalan Engkau yang lurus (QS Al-A’raaf : 16)

Iblis dalam ayat tersebut bersumpah untuk duduk bagi orang-orang yang berada pada shirat al-mustaqim. Mereka akan menyesatkan orang-orang di shirat al mustaqim mereka dengan apa-apa yang dihukumkan Allah bagi Iblis sebagai kesesatannya. Dalam satu sisi, keluarnya pemahaman Iblis dari pemahaman kebenaran al-jamaah adalah kesesatannya. Dengan kebenaran yang terpisah itu ia akan menyesatkan manusia di shirat al-mustaqim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar