Pencarian

Senin, 02 Agustus 2021

Cinta dalam Iman

Allah melarang setiap mukmin untuk menjadikan orang-orang yang lebih memilih kekufuran daripada iman sebagai wali bagi mereka, sekalipun mereka adalah bapak-bapak mereka ataupun saudara-saudara mereka. Bila seorang mukmin menjadikan orang-orang yang lebih menyukai kekufuran daripada keimanan sebagai wali, maka mereka akan termasuk dalam kelompok orang-orang yang dzalim.

﴾۳۲﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُولٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih menyukai kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS At-Taubah : 25)

Kekufuran dan iman dalam hal ini bukan hanya perbedaan keyakinan di antara orang kafir atau muslim, tetapi juga menunjukkan pada landasan seseorang dalam bertindak. Orang-orang kafir sudah jelas, mereka tidak memilih antara keimanan dibandingkan kekufuran. Hanya orang-orang muslim yang dapat dinilai apakah ia memilih keimanan dibandingkan kekufuran, atau sebaliknya. Bagi setiap muslim ada standar keimanan dan kekufuran yang berlaku baginya, sedangkan orang kafir tidak dikenai standar demikian. Orang yang berbuat buruk demi kepentingannya sendiri adalah kekufuran, dan yang berbuat untuk kebaikan adalah bagian dari iman. Kekufuran akan menyebabkan seorang muslim berjalan menuju kedzaliman.

Setiap muslim harus mengasah diri untuk memilih keimanan di atas kekufuran diri, bahwa kekufuran itu adalah kegelapan dan keimanan itu akan mengantarkan manusia menuju cahaya Allah. Kadangkala iman atau kufur bersifat relatif bagi seseorang. Seseorang dengan akal yang kuat karena terlatih mengasah diri akan dapat menemukan sifat kufur dirinya dalam perbuatan-perbuatan kecil dan ringan, sedangkan orang yang tidak berakal akan menemukan sifat kufur dirinya hanya dalam hal-hal yang fundamental. Kufur dan iman bukanlah daerah abu-abu yang boleh digunakan untuk menuduh orang lain atau menimbulkan perselisihan satu dengan yang lain. Orang yang menggunakan labelisasi iman dan kafir untuk melakukan hal demikian sebenarnya melakukan perbuatan kafir. Kekufuran dan keimanan adalah landasan seseorang bertindak, apakah keikhlasan atau hanya untuk kepentingan sendiri.

Dalam hal memilih wali, bilamana bapak-bapak mereka atau saudara mereka bertabiat lebih memilih langkah buruk untuk kepentingan egoistik, hendaknya seorang muslim tidak menjadikan mereka sebagai wali karena akan menuntun dirinya menuju kedzaliman. Hendaknya seseorang yang menjadi wali mempunyai akal yang lebih kuat daripada anak walinya. Demikian pula seseorang hendaknya mengangkat wali dari orang yang akalnya lebih kuat.

Cinta dan Jihad

Membangun bentuk hubungan yang keliru dengan orang-orang dalam tingkatan di atasnya akan menyebabkan seseorang terjebak dalam kedzaliman. Dalam bentuk hubungan kecintaan di antara manusia dan hal-hal lain, kesalahan seseorang dalam membangun hubungan akan menjadikan dirinya mengarah pada kefasikan.

Setiap orang beriman harus membina jiwanya untuk mencintai Allah dan Rasulullah SAW sebagai pusat dari kecintaan kepada segala sesuatu. Hal ini hanya dapat terjadi dengan membina jiwanya dengan akhlak al-karimah. Tanpa mempunyai akhlak al-karimah, seseorang tidak mempunyai landasan cinta kepada Allah dan Rasulullah SAW. Besarnya cinta seseorang kepada Allah dan Rasulullah SAW ditentukan kemuliaan akhlak seseorang, dan kemuliaan akhlak seseorang akan terlihat dari kecintaan kepada Allah. Kemuliaan akhlak adalah kemampuan seseorang memahami kehendak Allah dan berbuat sesuai dengan hal itu. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua hal yang menyenangkan seseorang adalah kemuliaan akhlak, dan tidak semua kemuliaan akhlak menyenangkan bagi hawa nafsu.

Dengan jiwa yang mencintai Allah dan Rasulullah SAW itu, maka seseorang dapat berjihad di jalan Allah dengan benar.

﴾۴۲﴿قُلْ إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS At-Taubah : 24)

Jihad di jalan Allah akan dapat dilakukan dengan benar bila seseorang telah membangun kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW di atas akhlak al-karimah. Tanpa upaya membentuk akhlak al-karimah, jihad di jalan Allah dapat melenceng sejauh-jauhnya dari jalan Allah. Orang-orang khawarij merupakan orang-orang yang keliru dalam memaknai jihad di jalan Allah. Mereka mengangkat senjata kepada para muslimin sendiri atau membunuh orang-orang tanpa alasan yang dibenarkan dengan dalih berjihad. Demikian jihad tidak akan dapat dilakukan dengan benar tanpa membangun akhlak al-karimah.

Bila jihad yang benar di jalan Allah telah tampak bagi seseorang, tidak sah baginya mencintai segala sesuatu melebihi kecintaan kepada Allah, Rasulullah SAW dan jihad di jalan Allah. Hal ini tidak mensyaratkan akhlak al-karimah terbentuk dalam diri seseorang. Bila seseorang melihat orang lain mempunyai akhlak al karimah melakukan jihad di jalan Allah, ia boleh mengikuti jihad itu dan mencintai jihad itu. Hanya saja, seseorang akan lebih mudah mengenali akhlak al karimah bila dirinya mempunyai hasrat membentuk diri dalam akhlak al-karimah, atau dirinya mempunyai akhlak al-karimah. Setidaknya seseorang harus mempunyai keinginan untuk menjadi baik ketika mengikuti jihad, tidak mengikuti jihad berdasarkan kebencian terhadap orang lain atau sesuatu yang tidak bersesuaian dengan dirinya.

Cinta dan Fasik

Hubungan kecintaan seseorang terhadap apa-apa yang ada di sekitarnya dapat menjadikan seseorang terjebak dalam kefasikan. Tanpa membangun kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW, kecintaan seseorang akan tumbuh tidak terarah. Semua kecintaan itu harus ditumbuhkan atas dasar kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW serta jihad di jalan-Nya, dan diarahkan untuk hal itu. Bila kecintaan terhadap semesta mereka mengalahkan kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya, keimanan seseorang tidaklah sempurna, dan kecintaan itu akan mengarah pada kefasikan.

Dalam kehidupan dan kegiatan yang dilakukan seseorang, akan tumbuh rasa cinta terhadap sesuatu. Orang-orang yang dekat akan menimbulkan rasa cinta dalam diri seseorang. Bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri dan kaum keluarga akan membangkitkan rasa cinta. Demikian pula harta kekayaan, rumah tempat tinggal, perniagaan yang dilakukan dapat menumbuhkan rasa cinta seseorang kepada benda-benda dan pekerjaan yang dilakukan. Kecintaan terhadap hal-hal demikian merupakan sesuatu yang sewajarnya terjadi. Akan tetapi semua kecintaan itu boleh jadi mengarah pada sesuatu yang keliru berupa kefasikan. Bagi seorang mukmin, harus dibangun pondasi kecintaan berupa kecintaan kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.

﴾۴۱﴿زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS Ali Imran : 14)

dengan pondasi kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW, maka kecintaan kepada segala yang ada di sekitarnya akan menjadi bekal perjalanan kembali kepada Allah. Tanpa pondasi kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW, segala kecintaan itu akan justru mengikat seseorang kepada kehidupan duniawi.

Dalam tingkatan praktis, seringkali kecintaan kepada hal-hal yang diinginkan manusia harus ditinggalkan sementara. Ini bukanlah keadaan akhir yang dikehendaki Allah atas manusia, tetapi sekadar untuk mengingatkan manusia terhadap segala kesenangan yang ada di sisi Allah. Bila seseorang lemah dalam mengingat tempat kembali yang baik di sisi Allah, maka ia hendaknya berusaha melupakan kesenangan-kesenangan duniawi yang diinginkannya untuk membangun kesenangan terhadap segala sesuatu dari sisi Allah. Dengan akal yang semakin menguat, suatu saat seseorang akan mengetahui bahwa segala sesuatu yang bersifat duniawi itu juga merupakan pemberian dari sisi Allah. Seringkali Allah mengingatkan hal demikian dengan jelas, dengan mencabut banyak hal duniawi dari seseorang.

Dalam perkembangan jiwa seseorang, akan tumbuh kecintaan terhadap sesuatu mengikuti kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Hal ini akan terjadi bila seseorang telah berhasil menumbuhkan kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW dengan pertumbuhan akhlak mulia. Yang akan tumbuh terlebih dahulu barangkali kecintaan kepada manusia-manusia yang dekat dengan dirinya, yaitu isteri-isteri, anak-anak, bapak-bapak dan kaum keluarganya. Hal yang diusahakan seseorang juga akan menimbulkan kesenangan dalam dirinya. Bila kecintaan seseorang terhadap segala sesuatu tumbuh dengan mengikuti kecintaannya terhadap Allah dan Rasulullah SAW, maka orang itu akan merasakan manisnya iman.

dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Nabi Muhammad SAW bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ» [أخرجه البخاري و مسلم]
Tiga perkara, barangsiapa yang mempunyainya maka ia akan merasakan lezatnya iman; dirinya menjadikan Allah dan Rasul –Nya lebih ia cintai dari segala sesuatu. Dia mencintai seseorang yang kecintaannya tidak didasari kecuali karena Allah. Dan dirinya benci kembali pada kekufuran seperti halnya dia benci dilempar kedalam api neraka”. [HR Bukhari no: 16. Muslim no: 43].

Kelezatan iman ini ditandai dengan tiga karakteristik sekaligus, bukan tumbuh hanya salah satu saja. Pertumbuhannya akan terjadi secara berurut dari kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW, mencintai orang lain karena kecintaan kepada Allah dan membenci kembali kepada kekufuran sebagaimana kebenciannya dilempar ke neraka. Tanpa kecintaan kepada Allah dan Rasulullah SAW, dua karakteristik yang lain tidak akan tumbuh.

Kecintaan yang tumbuh tanpa kecintaan kepada Allah dapat mengarahkan seseorang pada kefasikan. Bapak-bapak dan kaum kerabat yang lebih mencintai kekufuran tidak boleh dijadikan wali bagi dirinya karena tidak akan tumbuh kecintaan kepada Allah dengan cara tersebut. Perempuan yang menyukai sifat-sifat kufur tidak boleh menjadi isteri kecintaan karena jiwa tidak akan tumbuh mencintai Allah dengan kecintaan terhadap bagian diri yang kufur. Isteri yang kufur akan menjadi media ujian/fitnah bagi para laki-laki shalih yang menjadi suami mereka, dan suami harus membina isterinya itu ke jalan Allah.

Kadangkala tumbuh dalam diri seorang laki-laki terhadap isterinya berupa kecintaan melebihi kecintaan kepada Allah, Rasulullah SAW dan jihad di jalan-Nya. Demikian pula kecintaan kepada harta, perniagaan dan rumah tinggal melebihi pondasi kecintaan yang seharusnya. Hal itu bisa menjadi indikasi kefasikan yang tumbuh dalam diri seseorang. Bila seseorang terlena dengan kecintaan yang menggiringnya pada kefasikan, maka Allah pasti akan mendatangkan perintah keputusan atas dirinya. Orang beriman yang terlena dalam hal itu sebenarnya menunggu keputusan Allah atas dirinya.

Setiap orang beriman harus berusaha memperhatikan jihad yang harus dilakukannya sebagai indikasi kecintaan dirinya kepada Allah dan Rasulullah SAW. Di sisi lain, jihad itu bisa menjadi parameter yang menunjukkan seberapa banyak kefasikan ada dalam dirinya. Tanpa mengenali jihad yang harus dilakukan, seseorang tidak mempunyai indikator untuk mengukur kefasikan diri, dan juga untuk mengukur kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah SAW.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar