Pencarian

Rabu, 18 Agustus 2021

Mengikuti Tauladan Uswatun Hasanah

Rasulullah SAW dan Ibrahim a.s adalah dua sosok manusia mulia yang dijadikan Allah sebagai uswatun hasanah bagi seluruh manusia. Sebagai uswatun hasanah, kedua insan tersebut memberikan tauladan yang sempurna bagi manusia untuk kembali kepada Allah. Rasulullah SAW menjadi tauladan perjalanan manusia kembali kepada Allah secara keseluruhan, yaitu sebagaimana beliau SAW dimi’rajkan ke hadapan rabb-nya di ufuk yang tertinggi. Sedangkan Ibrahim a.s menjadi tauladan perjalanan manusia dalam kehidupan di bumi.

Puncak millah Ibrahim a.s merupakan sasaran tertinggi yang dapat dicapai manusia dalam langkah taubat manusia di kehidupan dunia. Sampai kepada puncak millah Ibrahim a.s lah upaya yang dapat diusahakan manusia untuk kembali kepada-Nya. Lebih dari puncak millah Ibrahim a.s merupakan hak Allah untuk memberi atau tidak memberi kesempatan seorang hamba untuk berjalan lebih dekat kepada-Nya. Kadangkala seorang hamba yang mengharap Allah diperkenankan untuk mengenal kehidupan di luar kehidupan dunianya, sebelum kiamat tiba atau sebelum kematiannya. Kadangkala Allah memberikan pahala seorang hamba hingga diperkenankan bertemu dengan-Nya sebagaimana rasulullah SAW.

Pertemuan dengan-Nya dicontohkan oleh rasulullah SAW bagi orang-orang yang mengharapkan Allah, tidak bagi orang-orang yang hanya menginginkan imbalan-imbalan kenikmatan. Barangkali orang semacam ini termasuk yang jarang ada. Tidak banyak orang yang mempunyai harapan terhadap Allah, bahkan mungkin tidak banyak orang yang memiliki sekadar imajinasi tentang apa yang dimaksud mengharapkan Allah. Kebanyakan manusia memiliki harapan tentang balasan-balasan kehidupan akhirat, memperoleh rasa takut terhadap hukum-hukum Allah, tetapi belum tumbuh harapan terhadap Allah. Ketika harapan itu mulai tumbuh, seseorang akan merasa takut dan tidak layak untuk itu tetapi harapan itu semakin bertumbuh. Tanpa ada rasa takut itu, seseorang sebenarnya tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan kalimat ‘mengharapkan Allah’.

﴾۱۲﴿لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzaab : 21)

Millah Ibrahim a.s adalah prasyarat dalam mengikuti seruan rasulullah SAW kepada Allah. Millah itu adalah tahapan-tahapan yang harus dibangun seseorang untuk ibadahnya yang murni kepada Allah. Seseorang tidak dapat dikatakan sempurna mengikuti seruan rasulullah SAW tanpa mengikuti millah Ibrahim a.s. Mungkin seseorang tidak sempurna menempuh perjalanan kepada Allah dalam keikhlasan, atau mungkin seseorang sebenarnya tersesat dari jalan yang lurus. Setiap orang harus menghisab dirinya dalam millah Ibrahim untuk mengetahui kadar perjalanannya memenuhi seruan rasulullah SAW kepada Allah dengan keikhlasan.

Benar-benar harus disadari bahwa syaitan sangat berkeinginan menyesatkan manusia dalam perjalanan kepada Allah. Para syaitan mengamplifikasi adanya ketidak-ikhlasan yang ada dalam hati seseorang. Intensitas penyesatan syaitan terhadap manusia yang kembali kepada Allah berbeda dengan orang kebanyakan. Orang yang tidak kembali kepada Allah dalam banyak hal hanya dibiarkan syaitan untuk mengikuti hawa nafsu mereka atau syahwat mereka sendiri, tanpa banyak diberikan tipuan-tipuan. Sedangkan orang yang kembali kepada Allah mengikuti millah Ibrahim a.s akan diberi tipuan-tipuan yang menyesatkan. Kadangkala syaitan memberikan kecerdasan kepada seseorang dalam bidang tertentu, akan tetapi kecerdasan itu kemudian menyesatkannya, sebagaimana dahulu syaitan dahulu memberikan petunjuk kepada Adam tentang pohon khuldinya. Tanduk syaitan akan terbit manakala matahari terbit bagi seseorang, tidak terbit sebelumnya.

Baitullah Sebagai Tujuan Millah Ibrahim

Puncak sasaran millah Ibrahim a.s adalah terbentuknya baitullah. Kakbah di tanah suci makkah merupakan monumen fisik representasi puncak millah Ibrahim a.s yang diabadikan bagi manusia sebagai baitullah. Nama itu tidak menunjukkan bahwa Allah berdiam dalam bangunan itu, tetapi lebih merujuk pada puncak millah Ibrahim berupa membangun bait untuk keikhlasan ibadahnya kepada Allah. Allah menurunkan barakah-barakah di sekitar monumen-monumen yang ditinggalkan beliau a.s bagi umat manusia, dan ittiba’ terhadap millah itu dijadikan syiar agama yang harus ditegakkan oleh umat manusia. Barakah dan syiar itu akan menjadi media transformasi manusia untuk mengikuti langkah beliau a.s kembali kepada Allah, memenuhi seruan rasulullah SAW kepada Allah dengan jiwa dan raganya sepenuhnya.

Sasaran utama millah nabi Ibrahim a.s adalah tegaknya bait. Bait tersebut harus ditegakkan seseorang sebagai sarana untuk meninggikan asma Allah dan untuk berdzikir kepada-Nya. Bait tersebut hanya dapat terbentuk atas ijin Allah, dan bait itu hanya dapat ditegakkan seseorang dalam kehidupannya di dunia, tidak akan terbentuk setelahnya. Tidak ada seseorang dapat mengaku telah mendirikan bait, karena hanya Allah yang menentukan bait-bait yang diijinkan-Nya untuk ditinggikan dan disebutkan asma-Nya dalam bait itu. Manusia hanya dapat berusaha membangun bait untuk meninggikan asma-Nya.

﴾۶۳﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
Di dalam rumah-rumah yang telah Allah ijinkan untuk ditinggikan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang (QS An-Nuur : 36)

Untuk membina bait demikian, seseorang harus mengikuti millah Ibrahim a.s. Seseorang harus berhijrah menemukan tanah suci berupa pengenalan diri, melakukan penyembelihan agar jiwanya dimurnikan dari jejak-jejak syaitan melalui pijakan hawa nafsu dan syahhwat dalam dirinya, membina keshiddiqan dalam wujud akal dan pikiran-pikiran yang selaras dengan kehendak Allah hingga dapat mengenali kebenaran-kebenaran dari sisi Allah, dan pada puncaknya membangun bait untuk meninggikan dan menyebut asma-Nya di dalamnya. Keseluruhan itu merupakan millah yang dicontohkan nabi Ibrahim a.s.

Keluarga Sebagai Bait

Bait itu adalah rumah tangga. Hanya dengan rumah tangga yang baik seseorang dapat meninggikan asma Allah. Tidak ada seseorang dapat meninggikan asma Allah tanpa rumah tangga yang baik. Hal inilah yang dicontohkan oleh nabi Ibrahim a.s bersama ahlul bait beliau. Uswatun hasanah terdapat dalam diri nabi Ibrahim a.s dan keluarganya, tidak hanya dalam diri beliau a.s. Kisah ini menggaris bawahi sasaran puncak millah Ibrahim a.s berupa terbentuknya bait dalam wujud rumah tangga.

﴾۴﴿قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia (QS Al-Mumtahanah : 4)

Proses-proses dalam millah nabi Ibrahim a.s dilaksanakan bersama keluarganya. Keluarga adalah perpanjangan entitas diri seseorang dalam fungsi sebagai makhluk sosial, entitas diri yang sekaligus terpisah dari diri. Keluarga merupakan gerbang seseorang terhadap masyarakat, sebagai gerbang fungsi sosial dirinya di antara masyarakat. Hal ini terkait dengan fungsi penciptaan manusia dari nafs wahidah untuk beribadah kepada Allah, dan bahwa ibadah harus mewujud dalam fungsi sosial berupa pemakmuran bumi. Pengenalan tentang penciptaan diri menjadi kunci pemakmuran bumi, dan pengenalan diri itu akan lebih sempurna dengan pengenalan tentang pasangan dirinya sebagai bagian dari dirinya. Dengan hal itu, maka ibadah seseorang akan mempunyai bobot nilai yang baik.

Dalam pembentukannya, keseluruhan komponen millah Ibrahim a.s itu berproses saling mendukung dan memperkuat antara satu dengan yang lain. Pernikahan, penyembelihan, pembinaan jiwa dengan shidq, semua akan mentransformasi jiwa seseorang secara sinergis. Akan tetapi ada fase-fase penguatan atau pengesahan status yang terjadi dalam urutan. Ada fase Allah membuka pengenalan seseorang terhadap dirinya sendiri, ada fase penyembelihan yang harus dilakukan seseorang setelah pengenalan diri, ada fase tashdiq (pembenaran) yang akan menjadikan seseorang mengenal kebenaran dari Allah sebagai seorang shiddiq, dan ada fase tegaknya bait untuk meninggikan dan disebut asma-Nya di dalamnya. Keseluruhan proses itu harus dilaksanakan dengan sujud ketaatan kepada Allah, yang itu akan menentukan datangnya ijin Allah atas bait yang dibentuk sebagai bait untuk meninggikan dan disebut asma Allah di dalamnya.

Proses transformasi akan lebih mudah dan lebih baik bila seseorang menempuh pernikahan. Pernikahan menjadi setengah bagian dari agama seseorang. Hal itu terkait dengan sasaran final millah Ibrahim a.s dalam wujud membentuk bait. Pernikahan menjadi bayangan dasar bait yang harus dibentuk seseorang untuk mengikuti langkah beliau sebagai uswatun hasanah. Melalui pernikahan, seseorang berada dalam bayangan millah Ibrahim a.s sehingga dapat berproses menuju kesempurnaan kehidupan sesuai kehendak Allah, memperoleh kejelasan tentang segala sesuatu yang menjadi takdir dirinya, hingga dapat mengenal hakikat penciptaan dirinya di tingkatan nafs wahidah. Ini merupakan puncak pengenalan seseorang tentang diri sendiri. Awal pengenalan diri seseorang adalah pengenalan tentang amal-amal yang ditentukan bagi dirinya, sedangkan puncaknya adalah pengenalan tentang nafs wahidah. Ini akan terjadi bila seseorang berhasil membina baitnya, mengenal pasangannya.

Setelah Allah memberi ijin terhadap baitnya, seseorang harus terus beramal melayani para manusia agar memperoleh jalan untuk kembali kepada Allah dengan cara yang ditentukan Allah baginya, sebagaimana nabi Ibrahim a.s diperintahkan untuk melayani orang-orang yang berkunjung ke baitullah. Dengan melakukan itu, seseorang mungkin diijinkan untuk mengikuti rasulullah SAW mengenal jalan kembali kepada Allah melampaui kehidupan dunianya. Rasulullah SAW melakukan mi’raj hingga ufuk yang tertinggi di alam semesta, demikian pengikutnya mungkin diijinkan Allah untuk mi’raj hingga ufuk yang ditentukan baginya.

Dewasa ini, kadangkala dijumpai umat islam saling berbantah-bantah karena perbedaan pendapat di antara mereka. Masing-masing merasa bahwa pendapat mereka adalah kebenaran yang mengikuti rasulullah SAW, karena ada hadits ataupun ayat yang seolah-olah mendukung pendapat mereka dalam perdebatan. Sebenarnya kebenaran dengan sudut pandang demikian bukanlah kebenaran yang diajarkan rasulullah SAW, dan hal itu akan memecah-belah manusia. Ayat dan sunnah tidak dijadikan tuntunan bagi akal, akan tetapi sebenarnya menjadi hidangan bagi hawa nafsu. Alquran dan sunnah rasulullah SAW hendaknya menjadi sarana transformasi seseorang untuk mengetahui kehendak Allah atas dirinya. Proses transformasi itu harus ditempuh sebagaimana millah nabi Ibrahim a.s.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar