Pencarian

Selasa, 23 Januari 2024

Pemakmuran Bumi dan Keadilan

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Menempuh jalan taubat tidak dapat dilakukan tanpa disertai dengan kepedulian terhadap makhluk lain. Setiap orang yang bertaubat dituntut untuk melakukan pemakmuran terhadap bumi mereka. Pemakmuran bumi merupakan syarat dalam taubat seseorang kepada Allah, dan salah satu indikator dari kemurnian ibadah seorang hamba kepada Allah. Orang yang berusaha memakmurkan bumi akan mengetahui kebutuhan dirinya untuk kembali kepada Allah dengan segala masalah yang mereka temukan dalam upaya mereka.

﴾۱۶﴿ وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلٰهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُّجِيبٌ
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)". (QS Huud : 61)

Pemakmuran yang sebenarnya akan diperoleh bila seseorang menyambungkan alam bawah (yang relatif rendah) kepada kebenaran dari sisi Allah hingga muncul kesejahteraan. Hal itu akan dicapai dengan taubat. Adanya upaya yang terhubung pada kebenaran pada usaha pemakmuran akan menentukan adanya kemajuan langkah pemakmuran. Setiap kebenaran sekalipun nampak bernilai kecil akan mendatangkan pemakmuran. Banyak orang yang berusaha melakukan pemakmuran dengan pikiran mereka sendiri pada akhirnya menemukan bahwa pemakmuran yang mereka lakukan hanya semu. Tidak sedikit yang menemukan bahwa mereka hanya berputar-putar dari satu keadaan ke keadaan yang lain tanpa kemakmuran yang sebenarnya.

Manusia menjadi kunci terwujudnya keadilan dan kemakmuran di bumi. Dalam perbincangan di antara masyarakat, kata makmur seringkali disandingkan dengan keadilan, dan diucapkan dengan bunyi adil makmur. Perbuatan adil bisa dilakukan seseorang dengan dasar pengetahuan kebenaran dari sisi Allah, dan makmur adalah wujud kesejahteraan yang muncul dari alam duniawi karena pengenalan kebenaran. Kemakmuran lebih melekat pada aspek perempuan sebagai pasangan bagi adil. Dalam upaya mewujudkan kemakmuran pada suatu wilayah, aspek perempuan yang ada pada wilayah harus diperhatikan dengan seksama. Demikian pula untuk mewujudkan keadilan aspek laki-laki pada wilayah tersebut harus diperhatikan. Seorang laki-laki akan menjadi kunci terwujudnya keadilan manakala mereka memperoleh pengetahuan kebenaran dari sisi Allah, dan para perempuan menjadi kunci terwujudnya pemakmuran di bumi bila mereka bisa menjadi perempuan shalihah yang tenang dan menjaga diri bagi suaminya, baik dalam hal yang dzahir ataupun yang ghaib.

Tingkat kemakmuran dapat dinilai dari tumbuhnya produktifitas pada masyarakat. Masyarakat yang produktif merupakan masyarakat yang makmur, dan hal ini utamanya dipengaruhi tingkat terdidiknya para perempuan sesuai dengan tuntunan Allah. Pada masyarakat yang adil, para laki-laki akan mudah melihat kebenaran sekalipun tersamar. Sebaliknya, banyaknya kaum laki-laki di masyarakat yang terjebak pada gimmik menunjukkan keadilan yang rendah. Nasionalisme bagi sebagian orang yang kurang wawasan hanya merupakan label yang digunakan untuk memecahbelah masyarakat dalam golongan-golongan untuk bahan berseteru, bukan sebuah tata nilai yang seharusnya dihayati untuk meningkatkan diri dalam memberikan nilai diri yang sebaik-baiknya bagi masyarakat luas. Bila para laki-laki dibina dengan sebaik-baiknya, mereka seharusnya memahami nilai nasionalisme dalam sudut pandang yang luas. Rendahnya keadilan juga ditunjukkan dengan kesemuan kemakmuran. Terwujudnya infrastruktur modern yang tidak melibatkan sumber daya dalam negeri tidak bisa dipandang sebagai suatu parameter kemajuan bangsa.

Kemakmuran Mendahului Keadilan

Kunci pemakmuran bumi terdapat pada terbinanya laki-laki dan perempuan dalam mengenal penciptaan diri mereka. Para laki-laki hendaknya berusaha mengenal kehendak Allah melalui terbentuknya diri mereka sebagai misykat cahaya, dan para perempuan mengenal kehendak Allah mengikuti suami mereka. Para laki-laki yang mengenal Allah tidak akan benar-benar terhubung pada alam duniawi mereka tanpa isteri yang mempunyai ghirah yang sama dengan suaminya. Hubungan seorang laki-laki yang shalih dengan duniawi mereka pada dasarnya renggang dan ia merasa ringan untuk meninggalkannya. Seorang isteri shalihah harus mengisi kerenggangan itu agar amr Allah yang dikenal suaminya terhubung ke dunia. Pemakmuran bumi yang sebenarnya akan lebih bergantung pada terbinanya para wanita dibandingkan dengan laki-laki, sedangkan keadilan lebih tergantung pada terbinanya laki-laki.

Pembinaan keadilan dan kemakmuran harus dilaksanakan bersama, akan tetapi secara proses kebanyakan manusia lebih terikat kepada dunia. Dengan keadaan demikian maka pembinaan untuk mencapai kemakmuran lebih mudah dilakukan terlebih dahulu mendahului peningkatan keadilan. Pembinaan perempuan yang baik akan menjadi media pertumbuhan utama bagi pohon thayyibah laki-laki. Bila baik media pertumbuhannya, akan baik pula pertumbuhan pohon thayyibahnya, dan begitu juga sebaliknya. Suatu masyarakat akan sulit meningkatkan pengetahuan tentang kehendak Allah tanpa tertatanya kemakmuran di antara mereka. Membangun keadilan di antara masyarakat akan berjalan mengikuti kemakmuran yang terbangun. Semakin meningkat kemakmuran di masyarakat, semakin tinggi tingkat keadilan yang dapat dikenali dan diwujudkan. Dalam gambaran produk, kualitas produk suatu bangsa akan bisa meningkat seiring dengan kemakmuran yang tercapai. Bila kemakmuran terhambat, tingkat keadilan di antara masyarakat akan rendah dan sulit untuk ditingkatkan. Pembicaraan di antara masyarakat yang akan terjadi akan bernilai rendah, tidak membicarakan sesuatu yang bernilai mulia baik di kalangan laki-laki maupun perempuan. Barangkali suatu pembaruan akan terjadi manakala masyarakat berada pada nadir kemerosotan keadilan, tetapi akan terjadi hanya pada suatu kalangan kecil atau laki-laki tertentu saja. Untuk mewujudkan keadilan yang lebih luas, kemakmuran harus dibina terlebih dahulu dan peningkatan level keadilan akan mengikuti kemakmuran.

Hal ini harus dilakukan dengan memperhatikan aspek perempuan bangsa. Aspek perempuan bagian besarnya terdapat pada kaum perempuan. Pembinaan kaum perempuan menjadi pilar utama pemakmuran suatu bangsa, dan merupakan pilar utama tegaknya suatu bangsa. Para laki-laki sangat membutuhkan peran para isteri mereka untuk dapat mewujudkan ide-ide yang tumbuh dalam diri mereka.

Ada satu kesamaan pada pembinaan laki-laki dan perempuan, yaitu hendaknya masing-masing menemukan jalan kembali kepada Allah dalam kehidupan mereka di bumi berupa shirat al-mustaqim. Setiap orang pada prinsipnya harus mengenal nafs wahidah diri masing-masing agar menemukan jalan lurus untuk kembali kepada Allah, karena nafs wahidah itu yang mengenal jalan masing-masing. Akan tetapi terdapat perbedaan pada sarana untuk menemukan. Sarana bagi seorang perempuan untuk mengenal nafs wahidah adalah suaminya, dan sarana bagi setiap laki-laki adalah pengenalan terhadap kehendak Allah. Nafs wahidah setiap perempuan terdapat pada suaminya, dan nafs wahidah setiap laki-aki akan dikenali manakala mengenal kehendak Allah melalui terbentuknya misykat cahaya.

Melekatnya pengenalan diri perempuan pada nafs wahidah suaminya sebenarnya merupakan hal yang sama dengan pengenalan laki-laki terhadap kehendak Allah, hanya bersifat turunan. Pengenalan diri seorang laki-laki sebenarnya juga melekat terhadap yang lain, yaitu melekat pada amr jami’ Rasulullah SAW. Seorang laki-laki tidak dapat mengenal kehendak Allah dengan benar tanpa mengenal amr jami’ Rasulullah SAW untuk ruang dan jamannya. Bila seseorang merasa telah mengenal diri tanpa mengenal amr Rasulullah, boleh jadi pengenalan dirinya hanya secara mengambang tanpa memperoleh landasan yang kokoh, atau mungkin pula sebenarnya ia hanya tertipu telah mengenal nafs wahidah dirinya, atau kasus lainnya. Pengenalan diri seseorang yang benar dan kokoh terjadi bila seseorang mengenal Rasulullah SAW dan urusan beliau untuk ruang dan jamannya. Setara dengan melekatnya pengenalan diri laki-laki terhadap Rasulullah SAW, demikian pula pengenalan diri seorang perempuan terikat pada suaminya atau melalui pengenalan terhadap suaminya, sekalipun misalnya berbentuk seperti Asiyah binti Muzahim yang bersuamikan Fir’aun.

Dalam prosesnya, jauh lebih mudah dan aman bagi seseorang untuk mencari jalan mengenal diri melalui pengenalan terhadap Rasulullah dan amr jami’ beliau untuk ruang dan jamannya, daripada mencari pengenalan diri melalui jalan yang lain. Umat akan memperoleh syafaat dengan jalan itu, sehingga lebih mudah memperolehnya daripada mengusahakan cara sendiri. Dalam pandangan sebagian orang, mustahil seseorang bisa mengenal diri dengan selamat tanpa mengandalkan syafaat beliau SAW. Alquran dan Syafaat beliau SAW merupakan bukti bebergantungan seseorang kepada Allah secara nyata. Kadangkala seseorang merasa telah mengandalkan Allah tetapi tanpa suatu dasar konkrit hanya hawa nafsu, maka hal itu tidak benar-benar menunjukkan kebergantungan kepada Allah.

Pembinaan Perempuan untuk Pemakmuran

Tujuan utama pembinaan perempuan adalah agar mereka mengenal urusan Allah melalui suami mereka. Pembinaan harus dilakukan tidak hanya ketika menikah. Setiap mukminat harus mulai belajar mengenal hakikat kehidupan diri mereka melalui keberpasangan sebelum mereka menikah. Prinsipnya, setiap perempuan diciptakan dari nafs wahidah seorang laki-laki tertentu, bukan diciptakan secara acak dari nafs wahidah sembarang. Urusan Allah bagi mereka yang sesungguhnya melekat pada nafs wahidah suaminya. Manakala seorang perempuan bisa menemukan suami yang diciptakan dari nafs wahidah yang sama, mereka akan mudah menemukan urusan penciptaan diri mereka karena keberpasangan yang hakiki. Bila tidak menemukan suami yang demikian, urusan dirinya akan melekat bersama suami yang menikah dengan dirinya, akan tetapi barangkali urusan-urusan yang akan ditemukan tidak sejelas manakala bersuami yang dari nafs wahidah yang sama. Apapun jenis keberpasangannya, setiap perempuan harus berusaha memperoleh pengetahuan kehendak Allah melalui suami yang menikah dengan mereka, tidak berusaha melalui jalan sendiri dengan meninggalkan suaminya.

Pada masa sebelum menikah, sebagian perempuan bisa memperoleh petunjuk tentang jodoh bagi dirinya. Petunjuk itu harus disadari merupakan suatu petunjuk yang besar karena sungguh-sungguh terkait dengan setengah bagian agama. Petunjuk itu mengarahkan seseorang pada jati dirinya yang sebenarnya, tidak boleh dianggap ringan sebagai urusan remeh. Pengenalan terhadap nafs wahidah hanya berjarak satu langkah dari musyahadah terhadap Rasulullah SAW, dan dua langkah dari musyahadah terhadap Allah. Urusan lain merupakan cabang atau anak-anak dari pengenalan terhadap nafs wahidah, bukan hal yang lebih penting darinya. Langkah awal pengenalan nafs wahidah diri terletak pada jodoh yang tepat, dan petunjuk jodoh yang tepat merupakan petunjuk yang sangat besar nilainya untuk mengenal nafs wahidah.

Seringkali seorang perempuan tidak dapat menerima objek petunjuk dan menginginkan objek petunjuk yang lain. Hal demikian merupakan sikap kufur terhadap nikmat Allah yang akan menjadikan kehidupan dirinya menjadi sulit, setidaknya ia akan kesulitan untuk menemukan jati dirinya. Tidak jarang kesulitan itu juga berupa kesulitan pada setiap langkah kehidupan. Penolakan terhadap petunjuk demikian seringkali menjadi dosa yang tidak dapat dihapuskan kecuali dengan kesulitan kehidupan. Itu lebih baik daripada dosa yang tidak ditebus dalam kehidupan dunia. Dalam kasus tertentu, menolak perjodohan bisa bernilai sebuah kemurtadan (berbalik) dari agama, karena pernikahan merupakan setengah bagian dari agama, dan arah kembali setiap orang dalam bertaubat adalah nafs wahidah asal-usul dirinya dan baytnya. Manakala menolak, ia telah mengubah arah taubatnya hingga bisa menjadi murtad. Bilamana ada kemungkinan, langkah kembali untuk mengikuti petunjuk harus ditempuh selama tidak mendatangkan dosa yang lebih nyata.

Manakala telah menikah, setiap isteri harus berusaha melihat kehendak Allah melalui suaminya dan apa-apa yang terwujud melalui kebersamaan mereka. Tidak selayaknya seorang isteri menganggap sesuatu di luar mereka menjadi urusan yang lebih diutamakan, karena urusan bersama suami itulah yang akan memunculkan kehendak Allah atas dirinya dan mereka. Perhatian seorang isteri terhadap urusan bersama suaminya itulah yang akan melahirkan ke alam duniawi apa yang tumbuh dalam diri suami, baik berupa pemahaman kehendak Allah, hasrat terhadap kedudukan atau harta benda duniawi ataupun berupa anak-anak biologis yang dilahirkan. Pohon tayyibah seorang suami akan tumbuh subur bila isteri memperhatikan apa yang tumbuh pada dirinya, dan sebaliknya sulit untuk menumbuhkan pohon thayyibah tanpa media ladang yang bisa menerimanya. manakala tidak diterima, pohon thayyibah pada suaminya itu bila terbentuk hanya akan terlihat bagai bayang-bayang kebaikan yang tidak mempunyai akar, karena tidak terhubung ke bumi. Bila seorang isteri lebih memperhatikan sesuatu di luar diri mereka, perhatiannya itu bisa membuat kesuburan dirinya terhadap suaminya berkurang atau dalam kasus tertentu menjadi kering sama sekali. Hendaknya setiap isteri memperhatikan kebersamaan dengan suaminya dan melahirkan apa yang tumbuh dalam diri suaminya, dan mengasuhnya untuk mencapai kebaikan.

Banyak hal yang dapat merusak kesuburan seorang perempuan terhadap suaminya. Setiap perempuan harus menjaga dirinya baik pada sisi lahiriah ataupun bathiniah bagi suami, dan berusaha mengikuti langkah suaminya dengan mencari kehendak Allah padanya dengan tenang. Tenang dalam mengikuti suami akan menjadi pertahanan yang kuat terhadap potensi hal yang merusak yang mungkin datang. Bila seorang isteri tidak dapat tenang dalam mengikuti suaminya, potensi merusak itu dapat menimbulkan kerusakan yang besar pada dirinya. Bila tenang, ia tahan terhadap perusakan. Dalam beberapa kasus, ada kerusakan yang tidak dapat ditahan oleh perempuan mukminat karena diijinkan Allah. Kekejian merupakan hal yang diharamkan Allah atas orang-orang beriman, baik kekejian yang bersifat dzahir ataupun kekejian yang hanya berupa bathin.

Pembinaan yang baik terhadap para perempuan akan mewujudkan pemakmuran di bumi, dan keadilan akan tumbuh mengikuti kemakmuran. Pembinaan perempuan tidak boleh dilakukan secara salah karena akan menimbulkan kesengsaraan bagi umat manusia Konsep-konsep yang baik dalam urusan lain tidak sebanding dengan pembinaan setengah bagian agama, tidak akan bisa menutupi keburukan yang diakibatkan kesalahan pembinaan pernikahan. Kaum laki-laki di suatu masyarakat akan memperoleh kemampuan lebih baik untuk memperoleh pengetahuan tentang kehendak Allah melalui kemakmuran yang tumbuh melalui pembinaan para perempuan. Bila tidak terwujud pemakmuran bumi dengan cara demikian, kaum laki-laki di kalangan orang-orang beriman akan berada pada pemikiran pada tingkatan yang rendah dan bisa saja kalah dengan tingkatan pemikiran orang umum. Keadilan akan tumbuh mengikuti kemampuan kaum laki-laki beriman dalam memahami pengetahuan tentang kehendak Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar