Pencarian

Selasa, 16 Januari 2024

Berbagai Masalah dalam Membina Keikhlasan

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Kedekatan kepada Allah akan diperoleh seseorang bila melakukan Ibadah secara ikhlas kepada Allah. Keikhlasan suatu amal ibadah tidak hanya terkait dengan niat di dalam hati, akan tetapi juga terkait dengan terhubungnya amal itu terhadap kehendak Allah. Suatu amal yang membantu musuh Allah walaupun seseorang tidak meniatkannya dalam beramal atau justru berniat sebaliknya, tidak dapat dikatakan sebagai amal berdasar keikhlasan. Setiap orang harus membangun keikhlasan dengan suatu pemahaman terhadap kehendak Allah berdasar kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Ibadah yang ikhlas semata-mata kepada Allah akan diperoleh seseorang yang peduli terhadap tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

﴾۳﴿أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
Bukankah hanya bagi Allah-lah agama yang murni? Dan orang-orang yang mengambil wali-wali selain Allah (berkata): "Kami tidaklah menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (QS Az-Zumar : 3)

Allah bertanya kepada para hamba-Nya, bukankah hanya bagi Allah-lah agama yang murni? Pertanyaan itu terkait dengan ayat sebelumnya, bahwa Allah telah menurunkan kitabullah dengan alhaq, agar manusia dapat beribadah kepada-Nya dengan ibadah yang murni semata-mata bagi Allah. Seseorang tidak akan bisa memperoleh kedekatan kepada Allah tanpa suatu keikhlasan berlandaskan pemahaman terhadap tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, karena pemahaman terhadap tuntunan Allah dan sunnah Rasulullah SAW merupakan dasar dari keikhlasan. Allah bertanya demikian agar para hamba-Nya memperhatikan tuntunan kitabullah sehingga dapat beribadah kepada Allah dengan ibadah yang murni semata-mata kepada Allah tidak tercampur dengan kesalahan dan sisipan. Kesalahan dan sisipan akan menjadikan ibadah tidak murni bagi Allah, dapat terjadi baik karena hawa nafsu dan syahwat hamba-Nya ataupun tipuan syaitan yang mungkin dihembuskan ke shadr manusia, baik diri hamba itu ataupun melalui orang lain. 

Syubhat dalam Keikhlasan 

Ada banyak sarana bagi hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan kitabullah merupakan jalan yang paling disukai Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Selain itu, terdapat hamba-hamba Allah yang bisa dijadikan jalan untuk mendekat kepada Allah dengan cara mengikutinya. Para rasul dan para wali Allah bisa mengajarkan kepada manusia jalan-jalan yang mendekatkan diri kepada Allah. Bila seseorang mengikuti langkah-langkah orang-orang yang mengikuti Rasulullah SAW kembali kepada Allah, maka mereka akan menemukan pula jalan mereka untuk mendekat kepada Allah.

Akan tetapi hendaknya setiap orang beriman tidak melupakan tujuan utama dari amal-amal yang dilakukannya, yaitu untuk beribadah secara ikhlas semata-mata kepada Allah. Keikhlasan itu tidak berkurang dan tidak berubah manakala seseorang mentaati atau mengikuti para awliya Allah yang ada di antara mereka selama tetap berpegang teguh pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Ketaatan kepada makhluk tidak akan mengurangi nilai keikhlasan beribadah semata-mata untuk Allah selama amalnya berada dalam kerangka memperoleh keikhlasan. Hanya saja ada batas-batas yang harus diketahui oleh setiap orang beriman dalam mengikuti langkah makhluk-Nya. Ada sikap-sikap melanggar batas yang merusak nilai keikhlasan ibadah seseorang kepada Allah ketika mengikuti orang lain.

Ada orang-orang yang terjerumus menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan selain Allah sebagaimana sebagian pengikut nabi Isa a.s menjadikan beliau a.s sebagai tuhan selain Allah. Mereka bertuhan kepada Allah, tetapi sekaligus menjadikan manusia sebagai tuhan selain Allah. Menjadikan manusia sebagai tuhan selain Allah tidak terbatas pada kasus nabi Isa a.s. Orang yang mengikuti para ulama dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah termasuk dalam kelompok orang yang menjadikan manusia sebagai tuhan selain Allah. Mereka melanggar hak rububiyah Allah.

Dalam kasus lain, ada orang-orang yang menjadikan manusia sebagai wali-wali selain Allah. Ini sangat dekat dengan orang yang menjadikan manusia sebagai tuhan selain Allah, atau menganggap Allah mempunyai anak. Mereka menjadikan manusia sebagai wali-wali yang menjadi representasi Allah dan kehilangan kemampuan membedakan kedudukan Allah dengan kedudukan wali-Nya. Segala sesuatu yang tampak dari wali mereka dipandang sebagai representasi dari Allah. Demikian pula manakala beramal untuk wali-wali mereka dipandang sebagai telah beramal yang sepenuhnya ikhlas semata-mata untuk Allah, tanpa merasa perlu mencari pengetahuan tentang kehendak Allah bagi diri mereka sendiri dalam amal itu sehingga tidak memperhatikan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Dengan keadaan demikian, mereka beribadah kepada para wali mereka sedangkan itu dipandang sebagai ibadah kepada Allah.

Keadaan demikian terjadi pada orang-orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, bukan keadaan orang-orang yang musyrik. Mereka beribadah kepada Allah tanpa kewaspadaan terhadap bercampurnya ibadah mereka dengan ibadah kepada selain Allah. Mereka justru memandang ibadah mereka kepada wali-wali mereka bertujuan untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan kedekatan yang sedekat-dekatnya. Para wali itu dipandang sebagai sarana ibadah yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan kedekatan yang sedekat-dekatnya.

Sikap demikian merupakan sikap yang kacau. Setiap orang hendaknya berusaha memahami kehendak Allah melalui sarana yang diturunkan kepada mereka dengan batas yang jelas sesuai tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Allah tidak ada sesuatu yang menjadi mitsal bagi-Nya, dan segala sesuatu diciptakan dalam kedudukan tertentu sebagai makhluk yang mengungkap kebenaran dari-Nya secara terbatas. Hendaknya setiap orang dapat melihat batas kebenaran yang dimanifestasikan setiap sarana yang diturunkan sampai kepada mereka, tidak memandang setiap sarana itu sebagai representasi Allah sepenuhnya. Nabi Muhammad SAW adalah rasulullah, maka hendaknya beliau dipandang sebagai rasul Allah tidak lebih dari itu dan tidak kurang. Kebenaran yang sepenuhnya ada pada beliau bukan disebabkan karena beliau representasi sepenuhnya dari Allah, tetapi karena beliau SAW diberi anugerah untuk mengenal semua kebenaran yang diajarkan Allah. Wali Allah yang lain juga mengenal kebenaran dari Allah dalam lingkup yang lebih terbatas, maka hendaknya mereka memandang wali Allah dengan selayaknya, tidak lebih dan tidak kurang.

Sikap yang tepat terhadap hubungan Rasulullah SAW dan para wali dapat diibaratkan layaknya suatu event dan dokumentasi peristiwanya. Dokumentasi itu bisa berupa macam-macam, baik video, gambar ataupun fotocopy dari gambar dan yang lainnya. Setiap video, potongan video, screenshot video, gambar foto dan dokumentasi lain pada event tersebut merupakan salinan yang bisa bercerita atas peristiwa yang terjadi pada event, akan tetapi tidak menggambarkan semua peristiwa yang terjadi dan mungkin ada distorsi pada dokumen tersebut. Untuk tujuan tertentu, hanya suatu dokumentasi khusus yang dapat digunakan untuk menentukan kebenarannya. Misalnya finishnya para pembalap hanya dapat ditentukan dari foto pada garis finish panitia, tidak bisa ditentukan dari sembarang dokumentasi. Pengetahuan para nabi dan wali Allah merupakan salinan dari pengetahuan Rasulullah SAW secara terbatas.

Hubungan yang seharusnya terbangun di antara seorang wali dengan pengikutnya dapat digambarkan layaknya hubungan antara suami dan isteri. Seorang suami mengetahui bahwa ia membawa khazanah kebenaran Allah bagi isterinya, tetapi ia tidak ingin dan tidak mau dianggap sebagai Allah yang tidak mempunyai kekurangan. Ia berkeinginan untuk diterima isterinya sepenuhnya dengan kekurangannya, untuk menjadi baik bersama, tidak hanya diterima kelebihannya. Seorang isteri harus bersikap bahwa suaminya menjadi jalan untuk mendekat kepada Allah, tanpa menutup mata terhadap keterbatasan suaminya layaknya aurat yang harus ia tutup. Kekurangan dan keterbatasan suaminya tidak boleh menjadikan dirinya bersikap merendahkan karena hal itu suatu sikap kufur. Bila muncul sikap kufur, maka hubungan yang baik akan sulit dibina dengan semestinya. Seorang wali tidak akan memegang tali perwaliannya terhadap orang yang mengingkarinya, dan seorang laki-laki akan enggan mengikat tali pernikahan dengan perempuan yang tidak mau atau tidak bisa menghormatinya. Dalam hal ini enggan seringkali bukan karena tidak suka atau benci tetapi lebih terkait penghormatan terhadap urusan Allah yang ada di antara mereka.

Kitabullah adalah firman Allah yang dijadikan sebagai panduan yang sempurna bagi orang yang ingin dekat kepada Allah. Rasulullah SAW adalah makhluk yang mengenal dengan benar seluruh kandungan di dalam Alquran. Dengan mengikuti kedua panduan tersebut, seseorang akan bisa mencapai kedekatan kepada Allah karena kedua panduan tersebut merupakan hal yang sampai dan telah sampai di sisi Allah. Hal ini tidak dapat disamai oleh makhluk yang lain. Tidak ada makhluk yang mencapai kedekatan kepada Allah sama atau lebih dekat daripada Rasulullah SAW. Setiap hubungan yang diinginkan seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah hendaknya dipahami dalam kerangka dan batas-batas tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak berlebihan hingga terjadi penghambaan terhadap para wali selain Allah. Penghambaan demikian tidak akan mendekatkan orang-orang beriman kepada Allah, tetapi justru akan mengotori keikhlasan ibadah kepada Allah.

Perselisihan Antara Pentaubat

Tercampurnya keikhlasan ibadah kepada Allah dengan penyembahan pada wali-wali selain Allah akan menyebabkan perselisihan di antara orang-orang beriman. Orang-orang yang berusaha ikhlas akan terganggu dengan sikap penyembahan kepada selain Allah. Yang dimaksud orang ikhlas dalam perkara ini adalah orang-orang yang berusaha untuk memahami kehendak Allah sebagai landasan mereka beramal, bukan ikhlasnya orang-orang yang menyangka niat mereka telah bersih semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah. Perselisihan ini terjadi di antara orang-orang yang ingin mendekatkan diri mereka kepada Allah hingga sedekat-dekatnya, akan tetapi satu pihak berusaha sungguh-sungguh untuk memahami kehendak Allah sebagai landasan amal mereka, dan pihak lain hanya berdasarkan niat saja atau persangkaan bahwa jalan mereka telah lurus, atau persangkaan bahwa mereka adalah orang-orang yang memperoleh petunjuk tanpa memeriksa petunjuk mereka dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.

Perselisihan demikian ini seringkali tidak menemukan jalan keluar bagi keduanya. Setiap pihak mempunyai pengetahuan berdasarkan jalan masing-masing dan keduanya menyangka pengetahuan mereka adalah pengetahuan yang benar. Orang yang berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW tidak akan mau berkompromi dengan jalan pihak yang lain dalam berpegang pada kitabullah. Orang yang mengira diri mereka adalah pihak yang mendapat petunjuk memandang orang-orang yang mengikuti kitabullah adalah orang-orang yang berpegang kepada kitabullah hanya dengan logika tanpa mengetahui kehendak Allah dengan hatinya. Perselisihan demikian akan sulit menemukan titik temu. Dengan keadaan ini, Allah-lah yang akan memutuskan perkara yang diperselisihkan di antara mereka.

Ketetapan Allah demikian menakutkan bagi orang-orang yang mengharapkan petunjuk. Orang yang mengira telah memperoleh petunjuk mungkin tidak merasa takut. Sekalipun orang-orang yang berharap petunjuk mengira pula bahwa mereka telah mendapatkan petunjuk dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tetap saja suatu perselisihan beradu petunjuk akan menjadikan mereka merasa takut. Rasa takut itu akan menjadikan orang-orang yang berharap petunjuk akan berharap lebih banyak petunjuk, dan ia berhati-hati dalam berselisih. Orang yang mengira telah mendapatkan petunjuk akan mengira bahwa mereka akan memenangkan perselisihan itu, sedangkan tidak demikian keadaan yang akan terjadi.

Kemenangan atau kekalahan dalam berselisih seringkali tidak menunjukkan kebenaran atau kesesatan seseorang. Orang-orang yang tidak mempunyai rasa takut akan mudah memenangkan perselisihan akan tetapi kemenangan itu tidak menunjukkan kebenaran pada pihak mereka. Semakin tidak ada rasa takut, semakin mudah memenangkan perselisihan, termasuk dalam hal ini keberanian menggunakan dasar-dasar dari tuntunan Allah untuk memenangkan perselisihan. Orang yang benar akan mengikuti tuntunan Allah dengan sebaik-baiknya, tidak mempergunakan untuk berselisih. Yang mereka lahirkan dari perselisihan itu merupakan penjelasan yang sebaik-baiknya tentang pemahaman mereka dalam mengikuti kitabullah. Mereka itulah yang lebih mungkin mengikuti kebenaran.

Implikasi demikian akan terlihat pada keadaan setelahnya. Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang mendustakan kebenaran dan bersikap kufur. Orang-orang yang mendustakan kebenaran dan kufur tidak akan memperoleh petunjuk karena perselisihan mereka, dan pengetahuan mereka tidak bertambah setelah berselisih. Manakala mereka menuduh orang lain salah, mereka mungkin saja tidak mengetahui kesalahan orang lain tersebut. Sekalipun orang lain itu meminta ditunjukkan kesalahannya dengan sungguh-sungguh, mereka merasa tidak perlu menunjukkan kesalahannya karena lebih penting menunjukkan bahwa diri mereka itulah orang yang benar. Tidak terpikir bagi mereka untuk menyuruh umat manusia pada pengetahuan dan mencegah dari kemunkaran. Di sisi lain, orang-orang yang berharap petunjuk mungkin akan memperoleh petunjuk tentang perselisihan mereka. Mereka boleh jadi akan melihat keadaan diri mereka secara lebih baik, dan melihat pula keadaan perselisihan mereka termasuk keadaan orang yang berselisih dengan mereka. Dengan petunjuk itu, mereka tetap akan berusaha melakukan amar ma’ruf nahy munkar.

Ayat ini hendaknya menjadi pedoman bagi tiap-tiap muslimin ketika berselisih, yaitu hendaknya mereka selalu berharap memperoleh petunjuk Allah yang menjelaskan keadaan perselisihan mereka. Manakala Allah tidak memberikan petunjuk tentang keadaan mereka, boleh jadi meraka adalah orang yang mendustakan kebenaran dan bersikap kufur terhadap sahabatnya. Setiap orang beriman hendaknya berhati-hati dengan sikap demikian. Tidak penting bagi seseorang untuk memenangkan perselisihan, kecuali ada orang-orang yang bisa memperoleh hidayah dengan perkataan yang hendak disampaikan. Perkataan itu hanya layak disampaikan dalam perselisihan setelah jelas bahwa perkataan itu mengikuti petunjuk berupa kebenaran, bukan petunjuk untuk memenangkan perselisihan terhadap orang lain yang juga beriman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar