Pencarian

Senin, 08 Januari 2024

Wanita Sebagai Pintu Pemakmuran Dunia

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Ibadah yang sebenarnya dari setiap manusia akan mendatangkan kemakmuran di bumi, dan pemakmuran bumi merupakan jalan ibadah manusia. Pemakmuran bumi akan terjadi bila umat manusia membentuk bayt untuk mendzikirkan asma Alah Setiap orang baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dengan jasmani dan nafs untuk memahami kehendak Allah, tetapi terdapat sedikit perbedaan peran antara suami dan isteri dalam membentuk misykat cahaya. Seorang suami mempunyai peran besar dalam urusan membentuk mitsal cahaya berupa pohon thayyibah dengan misykat cahaya dirinya, sedangkan seorang isteri mempunyai peran besar dalam menerima mitsal cahaya berupa pohon thayyibah dan menumbuhkannya di bumi. Isteri sebagai reseptor bayangan cahaya Allah juga berfungsi untuk menghubungkan bayangan itu ke alam duniawi. Para isteri adalah ladang tempat tumbuhnya pohon thayibah di bumi mereka, yaitu pohon thayibah yang dibentuk oleh misykat cahaya suaminya.


﴾۳۲۲﴿نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُم مُّلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Isteri-isterimu adalah ladang (tempat kamu bercocok tanam) bagimu, maka datangilah ladangmu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan dahulukanlah untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman (QS Al-Bqarah : 223)

Fungsi perempuan sebagai ladang terjadi pada setiap tingkatan entitas di dalam diri. Setiap pasangan menikah yang bisa bersinergi dengan baik akan memperoleh manfaat dari sinergi mereka. Manakala terjadi sinergi antara seorang suami dengan isterinya pada tingkatan jasadiah, akan terlahir anak-anak biologis dari mereka. Bila sinergi terjadi di tingkat hawa nafsu, maka hawa nafsu itu akan memperoleh penguatan yang banyak, baik hawa nafsu itu buruk atau tampak baik. Manakala terjadi sinergi di tingkat nafs wahidah, nafs mereka akan menjadi insan yang sempurna. Penyatuan berupa sinergi yang terbentuk antara seorang laki-laki dan perempuan dalam suatu pernikahan akan menumbuhkan tambahan yang banyak bagi kehidupan mereka bersama, baik di tingkat nafs, jasmani ataupun hawa nafsu.

Hal utama yang seharusnya ditumbuhkan orang-orang beriman pada ladang mereka adalah pohon thayibah dari kalimah thayyibah yang mereka pahami. Kalimah thayyibah yang terwujud melalui misykat cahaya orang beriman hendaknya dapat terhubung dan terwujud ke alam duniawi melalui ladang mereka. Setiap isteri harus berusaha untuk dapat memahami pohon thayibah dalam diri suaminya dan berupaya untuk bersama-sama mewujudkannya di alam duniawi mereka. Bila isteri tidak mempunyai keinginan untuk memahami pohon thayibah dalam diri suaminya, pohon thayyibah itu tidak akan terwujud di alam dunia.

Prinsip sebagai ladang demikian berlaku pada setiap terwujudnya keadaan sinergis di antara suami dan isteri, tidak terbatas pada terbentuknya pohon thayyibah. Dalam suatu sinergi yang baik dengan isterinya, seorang laki-laki yang tidak terlalu dipandang di antara manusia dapat menjadi laki-laki yang sangat kuat dalam mengendalikan dunia mereka. Konstitusi suatu negara dapat diubah dengan mudah untuk kepentingan sendiri karena perempuan yang bisa memberikan sinergi yang baik terhadap suaminya. Semua aparatur yang harus dikendalikan suami dapat dikendalikan dengan baik karena terbentuknya sinergi yang baik antara suami dengan isterinya. Sinergi yang baik bersama isteri akan menjadikan seorang laki-laki terhubung dengan baik ke alam duniawi mereka, dalam perkara-perkara yang mereka perhatikan bersama tidak terbatas pada urusan kalimah thayibah. Kadangkala bayang-bayang manfaat sinergi demikian terlihat pula pada laki-laki dan perempuan yang dapat menikah.

Kerusakan dalam pembinaan akhlak perempuan bersifat sangat merusak tatanan dunia. Dalam kasus ekstrim, datangnya seorang nabi justru akan mengundang adzab bagi kaumnya karena isteri yang celaka. Tidak terwujudnya atau tersendatnya upaya mewujudkan pohon thayibah di alam duniawi merupakan kerusakan perempuan. Hal demikian biasanya disertai dengan terbalik-baliknya persepsi masyarakat terhadap kebenaran, sehingga kerusakannya sebenarnya lebih besar dari sekadar tidak terwujudnya pohon thayyibah. Setiap mukmin dan mukminat hendaknya berusaha mewujudkan bayt sesuai dengan tuntunan uswatun hasanah. Memenuhi mitsaqan ghalidza, membentuk akhlak mulia dan menghindari kekejian harus dijadikan asas dalam membentuk bayt. Manakala seseorang memandang lebih baik pada asas yang bertentangan dengan tauladan uswatun hasanah, hal itu merupakan kesesatan.

Pohon Thayyibah dan Pemakmuran

Allah memberikan perintah agar setiap laki-laki mendahulukan dirinya terlebih dahulu, mendahului terbentuknya sinergi bersama isterinya sebagai ladang. Hal ini terkait dengan diutamakannya terbentuknya pohon thayibah dalam diri laki-laki, dan  ladang itu ikut diperhatikan agar pohon thayyibah itu dapat terwujud di alam duniawi. Bila ladang lebih diutamakan terbentuknya, arah pemakmuran bumi akan berjalan tanpa arah. Bila sepasang manusia tidak memperhatikan perintah Allah, dunia akan terwarnai dengan kekuatan hawa nafsu. Bila seorang isteri lebih diutamakan dari suaminya dalam pemakmuran bumi, pemakmuran yang terjadi akan menjadi bengkok karena sifat bengkoknya akal perempuan. Misalnya pemakmuran di tingkat negara yang seharusnya memakmurkan seluruh penduduk negeri akan menjadi pemakmuran untuk keluarga sendiri karena sifat bengkoknya akal perempuan. Setiap orang harus mendahulukan urusan Allah yang diturunkan melalui laki-laki, kemudian diwujudkan melalui ladang dalam pernikahan maka pemakmuran dunia akan dapat tercapai dengan baik.

dari Abu Hurairah r.a dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِيْ جَارَهُ، وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْئٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا.
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya, dan berikanlah kebaikan kepada wanita, sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesuatu yang paling bengkok pada tulang rusuk adalah yang paling tingginya. Jika engkau meluruskannya, maka engkau mematahkannya dan jika engkau biarkan, maka akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berbuat baiklah kepada wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 5185 Muslim no. 60)

Hadits tersebut sangat terkait dengan pemakmuran bumi. Setiap laki-laki harus berbuat baik kepada isteri mereka dengan memberikan kebaikan walaupun terlihat kebengkokan pada isteri mereka, karena setiap perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Sesuatu yang paling bengkok pada tulang rusuk adalah paling atasnya. Sifat kebengkokan perempuan itu merupakan fitrah yang tidak dapat dipersamakan dengan laki-laki, karena itu usaha meluruskan perempuan merupakan hal yang sulit dan bila dipaksakan akan dapat mematahkannya. Para suami hendaknya tidak terlalu memaksakan meluruskan isterinya. Hal terpenting yang dilakukan oleh para laki-laki adalah memberikan kebaikan kepada para isteri mereka, tidak memaksa meluruskannya.

Fitrah perempuan adalah bengkok, tetapi ada kebengkokan yang bersifat fitrah dan ada kebengkokan yang bersifat kerusakan. Kecenderungan para perempuan untuk mementingkan diri dan keluarganya merupakan contoh kebengkokan perempuan yang bersifat fitrah. Bila ia mempunyai kekuasaan kemudian memanfaatkan kekuasaan itu untuk keluarganya, itu merupakan kebengkokan yang bersifat fitrah, dan kesalahan terletak pada sistem yang memberikan kekuasaan padanya tanpa suatu kontrol. Seorang penguasa yang berbuat seperti perempuan karena mengikuti isterinya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagai laki-laki. Bila seorang perempuan mementingkan orang lain daripada keluarganya atau suaminya, maka itu merupakan kebengkokan yang merupakan kerusakan. Hendaknya setiap suami mengenali kebengkokan pada isterinya dan menghindarkan bengkok yang bersifat rusak, sedangkan ia memberikan keleluasaan secukupnya bagi isterinya tanpa memaksakan untuk lurus dan tetap menjaga agar tidak mengalami kebengkokan yang berupa kerusakan.

Urusan pemakmuran paling utama yang dibawakan oleh isteri bagi suaminya terletak pada hal yang paling bengkok isterinya. Setiap orang beriman dituntut untuk memberikan kebaikan kepada isteri-isteri mereka walaupun isteri mereka terlihat bengkok dalam pandangannya, selama kebengkokan itu merupakan kebengkokan yang fitrah. Kemampuan melihat batas demikian akan menjadikan seorang laki-laki memahami karakter dunia yang harus dimakmurkan sesuai dengan kehendak Allah. Ada kebengkokan dan keterbatasan yang harus diakomodasi, tetapi harus tetap disertakan untuk mewujudkan kehendak Allah. Dalam urusan perempuan, setiap isteri harus disertakan oleh suami untuk memahami dan mewujudkan kehendak Allah berupa pohon thayyibah yang dibentuk suaminya, dalam batas kemampuan isterinya.

Pembinaan para perempuan harus dilakukan agar terjadi pemakmuran di bumi. Kapasitas pemakmuran bumi akan meningkat manakala para wanita terdidik untuk mewujudkan kehendak Allah melalui bayt bersama suaminya. Kemampuan perempuan untuk memahami suaminya akan menentukan tingkat pemakmuran duniawi yang dapat diusahakan, baik diusahakan bersama-sama ataupun oleh suaminya saja atau oleh dirinya sendiri saja. Sekalipun suami mengusahakan sendiri, kemampuan isteri untuk memahami suaminya akan menentukan hasil usaha suaminya dalam memakmurkan bumi. Tidak ada salahnya bagi isteri untuk ikut mengusahakan terwujudnya pemakmuran bumi bersama mengikuti suaminya, atau mengusahakan sendiri bila suaminya tidak mempunyai kesempatan mewujudkan pemakmuran itu. Kemampuan memahami suami akan menjadi penentu kesuburan seorang isteri terhadap suaminya.

Isteri yang subur akan menumbuhkan pohon thayibah yang subur. Manakala seseorang menemukan pasangan yang diciptakan dari nafs wahidah yang sama, kemungkinan untuk dapat menumbuhkan kesuburan pohon thayyibah sangat besar. Di antara tanda keberpasangan yang tepat antara seorang laki-laki dan perempuan dalam menemukan jodoh adalah kemudahan pengenalan urusan Allah atas diri mereka melalui kebersamaan. Seorang laki-laki akan mudah meraba dan kemudian mengenali urusan yang dibawa perempuan jodohnya, dan begitu pula sebaliknya. Rasa cinta di tingkat hawa nafsu tidak menjadi tanda keberpasangan, terutama hawa nafsu yang kurang terdidik. Rasa cinta pada masa perkenalan merupakan bekal yang baik, tetapi sebenarnya cinta harus diwujudkan dalam pernikahan bukan pada masa pencarian jodoh..

Nafs wahidah yang sama bukan faktor kesuburan satu-satunya. Terdapat banyak hal yang dapat mempengaruhi kesuburan di antara pasangan menikah. Akhlak masing-masing pihak juga akan mempengaruhi kesuburan di antara pasangan. Seorang isteri yang tidak bisa bersyukur terhadap suami akan sulit memperoleh kesuburan. Semakin besar rasa syukur seorang perempuan akan semakin subur. Suatu keluhan, kemarahan dan sikap-sikap bathin seorang isteri terhadap suami akan mempengaruhi kesuburan. Kemuliaan akhlak seorang isteri ditentukan dari sifat qanit (tenang) dalam mengikuti suaminya. Bila seorang perempuan tidak dapat menerima suaminya, akan sulit bagi suaminya untuk memakmurkan buminya. Setiap isteri harus dibina untuk dapat mengikuti suami dengan menyertakan hatinya. Kesertaan hatinya bersama suaminya menentukan kekuatan akalnya, dan akan menentukan besarnya pemakmuran yang dapat diberikan kepada alam duniawi mereka.

Sifat keji memberikan pengaruh paling besar terhadap sifat kesuburan di antara pasangan. Bila tertanam suatu kekejian pada salah satu pihak, terutama pihak perempuan, sifat kesuburan itu akan hilang dari antara mereka. Setiap pihak harus menjauhkan diri dari sifat keji (fahsya’) agar kehidupan mereka thayyib, baik kekejian yang dzahir maupun kekejian di dalam bathin. Suatu kekejian di dalam bathin walaupun tidak pernah didzahirkan akan mempengaruhi kesuburan. Kekejian dalam bathin bisa merupakan kekejian besar walaupun seseorang menahan untuk tidak melahirkannya, karena syaitan kadangkala berhasil memasukkan kekejian itu dengan metode tertentu. Bila kekejian demikian terjadi, kerusakan yang ditimbulkannya akan besar. Demikian pula kekejian yang didzahirkan akan menyebabkan kerusakan kesuburan.

Kebengkokan Fitrah

Kebengkokan seorang perempuan tidak selalu menunjukkan buruknya akhlak. Dalam beberapa kasus, kebengkokan seorang isteri lebih merupakan cermin kebengkokan umat mereka daripada kebengkokan diri mereka sendiri. Kebengkokan itu menjadi amanat yang harus diperbaiki pasangan tersebut dari umat mereka. Sangat banyak faktor dapat mempengaruhi kebengkokan perempuan. Ada faktor-faktor luar yang dapat mempengaruhi bentuk kebengkokan seorang perempuan, hingga ada suatu pengaruh paksa tanpa dapat dihindari. Syaitan akan menghantam setiap pihak yang menikah untuk mencari jalan Allah, dan kadang Allah mengijinkan suatu peristiwa terjadi untuk menjadi pengajaran bagi umat manusia.

Termasuk dalam hal yang dijinkan ini adalah peristiwa kebengkokan paksa yang dapat terjadi pada seorang perempuan. Hal itu tidak serta merta membuat perempuan itu menjadi buruk. Di antara perempuan yang paling tinggi kedudukannya, terdapat perempuan yang akhlaknya bengkok. Ada isteri seseorang yang paling bengkok tetapi ia merupakan perempuan yang kedudukannya paling tinggi di antara perempuan jamannya, karena urusan yang dibawanya menjadi inti agama dan musuh besar syaitan, yaitu bila mereka mengikuti petunjuk Allah tidak mengikuti langkah syaitan. Bila mereka mengikuti syaitan, bengkoknya seorang istri tidak menjadi penanda tingginya kedudukannya.

Bengkoknya akhlak perempuan merupakan fitrah, tetapi kebengkokan itu tidak boleh dibangga-banggakan. Sebaik-baik bengkoknya perempuan adalah mengikuti shadr suaminya. Setiap perempuan hendaknya tidak berusaha mencari kelurusan dirinya langsung kepada Allah tanpa melihat media yang disediakan baginya berupa suaminya. Hal ini merupakan sifat turunan bahwa lurusnya akhlak setiap laki-laki adalah mengikuti akhlak Rasulullah SAW. Tidak mungkin bagi seorang laki-laki mencapai akhlak mulia terhadap Allah tanpa memahami urusan Rasulullah SAW dan/atau orang-orang yang mengikuti beliau SAW. Dalam hal ini setiap laki-laki bisa dikatakan lurus karena bisa langsung mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, sedangkan pada perempuan selalu ada kebengkokan padanya. Bahkan seorang perempuan seringkali harus membina diri berdasar suami yang bengkok atau kosong dari kebenaran. Hendaknya setiap mukminat bisa memperoleh kebengkokan yang terbaik yaitu mengikuti shadr suaminya. Seandainya bersuami fir’au, seorang isteri hendaknya bisa membina diri layaknya Asiyah binti Muzahim r.a.

Setiap perempuan hendaknya tidak membengkok-bengkokkan diri atau mencari kelurusan lebih dari dada suaminya. Akhlak diri seorang perempuan harus dibentuk secara fitrah sesuai dengan suaminya. Semua pemahaman suaminya hendaknya dapat dipahami isteri berdasarkan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, dan ia memberikan perimbangan dan perlindungan yang cukup bagi suaminya hingga tidak salah melangkah atau celaka, dan menjadikan suaminya sebagai tumpuan perhatiannya dalam mencari jalan kembali kepada Allah. Seorang isteri hendaknya mencukupkan diri pada memahami suaminya sesuai dengan kehendak Allah, tidak mengharapkan yang di luar itu. Sebaliknya, hendaknya ia tidak membengkokkan dirinya kurang dari yang dibutuhkan oleh suaminya. Bila seorang perempuan mencari pemahaman dengan berdasar laki-laki lain yang dipandang lebih lurus, ia tidak akan menemukan fitrah dirinya. Mengikuti suami berdasarkan kitabullah dan sunnah rasulullah SAW itu adalah kebengkokan yang merupakan fitrah diri perempuan.

Kecukupan seorang perempuan dalam membentuk fitrah diri sesuai dengan dada suaminya akan menentukan besarnya pemakmuran yang bisa diberikan kepada semesta mereka. Bila perempuan terlalu bengkok, ia akan menjadi sempit bagi suaminya. Hal ini dapat mengganggu dinamika interaksi antara suami dan isteri. Kadangkala sepasang suami isteri harus ridla untuk mengarungi rumah tangga yang tidak sesuai harapan, sedangkan keduanya telah menetapi fitrah masing-masing. Hal ini terkait dengan bentuk kebengkokan yang terjadi. Barangkali seorang suami hanya dapat memberikan rejeki yang sedikit kepada isterinya walaupun kemampuannya besar, sedangkan isteri tidak dapat memahami apa yang menjadi keinginan suaminya di jalan Allah, maka keduanya harus menjalani kehidupan yang tidak sesuai harapan masing-masing.

Hendaknya para perempuan tidak bermudah-mudah merendahkan perempuan yang bengkok di antara mereka, karena boleh jadi yang direndahkan termasuk perempuan yang paling tinggi di antara mereka. Demikian pula seorang suami hendaknya dapat bersabar berjalan beriring dengan isterinya yang paling bengkok selama isterinya menempati fitrahnya, tidak menuntut yang berlebih dari isterinya. Dalam kasus demikian, suami hendaknya memberikan kebaikan yang cukup kepada isterinya dan menjaga agar tidak menjadi lebih bengkok, dan dapat menerima keadaan yang diberikan dengan lapang hati.

Dalam kasus ta’addud, seorang laki-laki tidak boleh mensia-siakan isteri yang hidup bersamanya secara bengkok dan dalam kesempitan, serta hendaknya tidak memandang lebih kepada isteri yang memberikan kelapangan. Ia harus mengetahui bahwa sangat mungkin isterinya yang rela hidup dalam kesempitan itu adalah isteri yang kedudukannya paling tinggi. Demikian pula isteri yang lain tidak boleh menganggap diri lebih tinggi karena kelapangan suaminya bersama dirinya, karena boleh jadi kedudukan isteri yang rela hidup dalam kesempitan itu lebih tinggi kedudukannya daripada dirinya. Hal ini tidak berarti ia harus merasa rendah terhadap isteri yang lain, hanya saja ia tidak boleh merendahkan yang lain. Manakala ia bersama isteri yang tinggi urusannya, urusan dirinya sebenarnya juga tinggi. Barangkali suaminya melihat pula urusan keumatan yang tinggi melalui kebengkokan dirinya, tanpa ia mengetahuinya. Ia hendaknya merasa setara dan berusaha menemukan kesenangan bersama suaminya sama seperti isterinya yang lain, tetapi tidak boleh dengan merendahkan. Demikian pula seorang suami harus bersikap adil terhadap semua isterinya, tidak boleh bersikap memandang rendah salah satu atau beberapa isterinya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar