Pencarian

Senin, 01 Januari 2024

Pembinaan Tauhid dan Bayt

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Nabi Ibrahim a.s merupakan tauladan yang menjelaskan lebih terinci dan nyata arah langkah yang perlu dilakukan oleh setiap manusia di bumi dalam mengikuti langkah Rasulullah SAW menjadi hamba yang didekatkan. Kedudukan nabi Ibrahim a.s merupakan segel yang mengesahkan keselamatan seseorang yang menempuh jalan taubat. Seseorang yang telah mengikuti nabi Ibrahim a.s akan dikatakan telah mengikuti Rasulullah SAW. Sebaliknya bila seseorang mengikuti langkah nabi yang lain tetapi mengingkari atau melenceng dari millah nabi Ibrahim a.s, maka orang tersebut akan celaka. Millah yang dijadikan tauladan utama millah nabi Ibrahim a.s adalah membina bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah.

﴾۶۳﴿فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
di dalam bayt-bayt yang telah diijinkan Allah untuk ditinggikan dan didzikirkan nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang (QS An-Nuur : 36)

Bayt demikian berbentuk keluarga yang menempuh langkah bersama dalam meninggikan dan mewujudkan asma Allah yang dikenalnya. Nabi Ibrahim a.s bersama siti Hajar r.a dan nabi Ismail a.s yang berupaya meninggikan dan mewujudkan kehendak Allah bagi seluruh makhluk merupakan bayt al-haram. Bayt tersebut kemudian dibuatkan monumennya dalam bentuk baytullah al-haram yang .dijadikan sebagai kiblat bagi seluruh orang beriman. Setiap orang beriman hendaknya mengarahkan kehidupan mereka masing-masing untuk membentuk bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah.

Tauhid dan Misykat Cahaya

Untuk membina bayt demikian, setiap individu harus membina diri untuk membentuk mitsal cahaya Allah dalam diri mereka. Pembinaan demikian harus dilakukan dengan jalan membentuk diri sebagai misykat cahaya. Misykat cahaya dapat dibayangkan secara lebih mudah layaknya kamera yang membentuk bayangan tiruan dari objeknya. Objek bagi misykat cahaya adalah cahaya Allah yang dipantulkan melalui alam kauniyah, dan dari pantulan cahaya tersebut misykat cahaya membentuk bayangannya.

﴾۵۳﴿ اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah adalah cahaya langit-langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus (misykat), yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang yang bercahaya yang dinyalakan dengan pohon yang penuh berkah, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS An-Nuur : 35)

Proses membentuk misykat dilakukan dengan tazkiyatun-nafs. Setiap manusia diciptakan sebagai makhkluk yang memiliki jasmani dan nafs. Nafs merupakan aspek bola kaca (zujajah) yang membentuk bayangan dari objek. Jasmani manusia merupakan badan misykat yang harus dibentuk hanya mempunyai lubang tertentu yang mengarah ke ayat-ayat Allah berupa kitabullah maupun kauniyah yang dikehendaki Allah baginya. Untuk terbentuknya bayangan, bola kaca (zujajah) harus diatur dengan sebaik-baiknya terhadap cahaya objek yang datang. Bila badan misykat mempunyai banyak lubang cahaya, maka tidak akan terbentuk bayangan yang baik karena distorsi cahaya-cahaya. Lubang cahaya itu harus mengarah pada ayat-ayat Allah tidak mengarah secara acak agar dapat terbentuk mitsal cahaya Allah.

Pemahaman terhadap cahaya Allah yang terbentuk melalui proses tazkiyatun-nafs berwujud pohon thayyibah yang tumbuh di dalam qalb. Pohon thayyibah tersebut terbentuk karena proyeksi ayat-ayat Allah melalui badan misykat dan bola kaca yang telah terbentuk untuk memahami ayat Allah. Bila badan misykat dan bola kaca tidak terbentuk dan tidak diatur dengan tepat, tidak terbentuk pohon thayibah dalam diri manusia. Ayat Alquran merupakan ayat yang sangat jelas menjelaskan ayat-ayat di alam kauniyah bagi orang-orang yang memahami, tetapi dalam bentuk kode-kode sehingga tidak semua orang dapat memahami kode tersebut. Ayat-ayat tersebut harus dipahami dengan proses tazkiyatun-nafs. Sekalipun ayat kitabullah dapat dipahami dzahirnya, orang yang tidak disucikan tidak akan mampu menyentuh kandungan yang dimaksudkan ayat kitabullah dengan tepat kecuali hanya bunyi dzahirnya.

Pemahaman terhadap kehendak Allah merupakan pintu untuk mencapai tauhid. Tauhid adalah penyatuan manusia terhadap kehendak Allah, di mana seorang hamba memahami kehendak Allah terhadap dirinya dan melaksanakan kehendak itu dengan sebaik-baiknya. Pemahaman itu adalah pemahaman tentang tujuan penciptaan diri berupa musyahadah terhadap perjanjian dirinya dengan rabb sebelum diturunkan di bumi. Ia mengenali untuk apa dirinya diciptakan, dan ia mengenali bahwa kauniyah yang digelar pada semesta dirinya menuntut untuk melaksanakan amal untuk apa dirinya diciptakan. Bila ia tidak melaksanakan amal yang ditentukan bagi dirinya, akan sangat banyak kerusakan terjadi dan ia akan dituntut tentang pengetahuan yang tidak diamalkannya.

Banyak pemahaman yang tidak tepat tentang tauhid. Sebagian orang mengatakan bahwa tauhid adalah bersembah kepada Allah dan menjauhkan diri dari syirik bid’ah dan khurafat. Hal ini seringkali merupakan pernyataan tanpa pengetahuan yang menghasilkan sikap merasa paling benar dalam beribadah dan menyerang orang lain dengan tuduhan syirik bid’ah dan khurafat. Mereka menciptakan suatu gambaran tentang Allah dengan hawa nafsu tanpa memahami ayat-ayat kauniyah yang terjadi berdasarkan ayat kitabullah, dan dengan gambaran dalam hawa nafsunya itu ia merasa telah menjadi hamba Allah yang sebenarnya. Hal itu merupakan pemahaman yang tidak tepat. Tauhid dalam definisi demikian seringkali tidak mempunyai landasan pengetahuan yang kokoh. Tauhid itu bernilai tidak tepat karena perkataan itu seringkali bernilai kosong, walaupun bukan perkataan yang salah. Iblis bertauhid dengan cara demikian, maka ia menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Fenomena itu menunjukkan kosongnya tauhid Iblis yang tidak selayaknya untuk diikuti manusia. Seorang hamba Allah yang sebenarnya adalah seorang yang memahami perintah Allah yang harus dilaksanakan, dan pemahaman terhadap kehendak Allah itu diperoleh manusia dalam bentuk pohon thayibah.

Di sisi lain, sebagian manusia memandang diri mereka bisa manunggal dengan Allah. Hal itu merupakan suatu kesesatan. Makhluk adalah suatu ciptaan yang tidak akan pernah manunggal dengan zat Allah. Makhluk mempunyai banyak kelemahan, dan Allah tidak mempunyai kekurangan. Hal ini tidak berarti menafikan bahwa Allah memberikan nafakh ruh kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya, tetapi harus difahami bahwa nafakh ruh itu merupakan tali yang diturunkan Allah bagi hamba-Nya, bukan dihadirkannya wujud Allah sendiri. Manakala Allah berkenan meniupkan ruh-Nya, setiap hamba tidak boleh kehilangan kemampuan melihat batas dirinya bahwa dirinya adalah makhluk yang mempunyai banyak kelemahan, dan ruh yang ditiupkan bukanlah Ilah yang menyatu dalam dirinya. Keadaan demikian bisa tercapai bila setiap hamba membina diri dengan tauhid yang tepat, mengambil bagian diri hingga batas menumbuhkan pohon thayyibah tanpa mengambil bagian pada penyalaan api. Secara tersirat “walaupun tidak disentuh api” menunjukkan batas bagian Allah dan bagian hamba. Seorang hamba memperoleh bagian menumbuhkan pohon thayyibah hingga menghasilkan minyaknya, dan penyalaan api merupakan kehendak Allah.

Pada ayat di atas, tiupan ruh ditunjukkan dengan penyalaan api terhadap pohon yang penuh berkah yang tumbuh dalam qalb seorang hamba. Manakala seseorang kehilangan kemampuan melihat batas dirinya dalam penyalaan api tersebut, ia telah mengalami kemabukan dalam tauhid, tidak mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Mabuknya seseorang dalam tauhid tidak selalu ditunjukkan dengan tampaknya sikap mabuk. Manakala seseorang kehilangan kemampuan melihat kelemahan diri sebagai makhluk dalam melaksanakan amal sebagai pelayan atau hamba Allah, atau memandang hak-hak khusus Allah menjadi hak dirinya, hal itu menunjukkan ia mengalami mabuk. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah dihadirkan ke surga bersama Jibril a.s. Ketika dihadirkan ke surga, dihidangkan susu dan khamr kepada Rasulullah SAW dan beliau memilih susu, karena itu Jibril a.s bergembira karena Rasulullah SAW telah memilih dengan benar. Seandainya Rasulullah SAW memilih khamr, maka banyak umat beliau yang akan mengalami kesesatan. Kemabukan dalam tauhid bukanlah sunnah dari Rasulullah SAW.

Jalan Tauhid yang benar harus diikuti oleh setiap mukmin. Pembinaan tauhid dilakukan di atas landasan akhlak, bukan perkataan-perkataan atau teori-teori yang disusun berdasarkan hawa nafsu. Membina akhlak mengikuti sifat ar-rahman dan ar-rahim menjadi pijakan seluruh langkah dalam bertauhid tanpa dapat ditinggalkan. Tanpa membina sifat ar-rahman dan ar-rahim, seseorang sebenarnya tidak pernah melangkahkan kaki di atas tauhid. Ketika seseorang meninggalkan sifat ini, ia meninggalkan langkah menuju tauhid. Besarnya keinginan seseorang untuk membina sifat ini menunjukkan besarnya keinginan untuk bertauhid. Manakala terjatuh pada kebencian yang tidak benar, setiap orang harus berusaha untuk kembali pada sifat ar-rahman dan ar-rahim, maka ia kembali kepada tauhid.

Tauhid yang kosong dari pemahaman akan sangat mudah dijebak untuk mengikuti syaitan. Membid’ahkan atau menganggap orang lain melakukan syirik tidak menjadikan seseorang melangkah menuju tauhid, karena seseorang akan terlupa untuk membina sifat ar-rahman dan ar-rahim dengan perbuatannya tersebut tertutup dengan memandang diri sebagai orang suci. Seringkali anggapan bid’ah dan syirik pada orang lain itu tidak benar, karena setiap pihak mempunyai landasan bagi perbuatan masing-masing. Misalnya menuduh peziarah kubur sebagai penyembah kubur lebih merupakan kebodohan dalam melihat masalah. Para peziarah itu lebih mengetahui niat dalam diri mereka dan mengetahui adab-adab yang harus dipenuhi terhadap ahli kubur. Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka. Tuduhan sebagai penyembah kubur hanya menunjukkan ketidakmampuan memahami realita dan tidak mau berusaha memahami ayat Allah. Menghilangkan syirik dan bid’ah hanya dapat dilakukan dengan menunjukkan jalan tauhid membina pohon thayyibah, dilakukan dengan landasan akhlak ar-rahman dan ar-rahim tidak dengan mempertengkarkan pendapat hawa nafsu masing-masing. Tidak boleh terbangun pandangan buruk terhadap Allah pada orang-orang yang diseru pada tauhid, dan bila terbangun pandangan demikian, seruan itu merupakan seruan hawa nafsu bukan seruan di atas akhlak ar-rahman dan ar-rahiim.

Contoh lainnya, mengharamkan kesertaan dalam politik demokrasi menunjukkan kebodohan terhadap ayat kauniyah Allah yang akan menjadikan umat bodoh. Tuntunan dari Alquran harus dijadikan panduan untuk mewujudkan tatanan yang paling baik, tetapi hal itu hanya dapat diwujudkan dengan memahami kauniyah yang digelar. Berpegang hanya pada bunyi firman Allah tanpa suatu pemahaman terhadap kauniyah menunjukkan kosongnya pemahaman terhadap firman Allah. Seandainya mengikuti firman Allah saja, niscaya mereka akan keliru dalam mengikuti tuntunan itu karena tidak adanya pemahaman terhadap ayat Allah. Mereka mungkin saja hanya makhluk bodoh yang diperalat oleh orang lain dengan ayat-ayat Allah untuk tujuan orang yang memperalatnya. Setiap orang beriman harus berusaha memperoleh pemahaman yang menghubungkan suatu firman Allah terhadap ayat kauniyah, dan kemudian memberikan sumbangsih sesuai dengan pemahaman yang terbangun. Hal itu tidak dapat dilakukan dengan logika hawa nafsu, harus dibangun dengan membina diri sebagai misykat cahaya Allah.

Pohon Thayyibah dan Penyiaran di Bumi

Proses membina misykat cahaya diri merupakan komponen utama terbentuknya bayt untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah, hingga sering dikatakan oleh manusia bahwa membentuk bayt adalah membina misykat cahaya. Hal ini sebenarnya kurang tepat walaupun tidak salah. Bayt merupakan perluasan diri manusia sebagai misykat cahaya, dan misykat cahaya merupakan komponen utamanya. Keberhasilan dalam membentuk misykat diri belum menunjukkan keberhasilan dalam membentuk bayt. Bayt melibatkan kesatuan dengan pihak lain yaitu pasangan menikahnya, dan setiap pihak harus memperhatikan dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya peran dirinya dan menempatkan pihak lain sesuai dengan kedudukannya. Seorang isteri harus menempatkan suaminya sebagai imam bagi dirinya, dan suami menempatkan isteri sebagai pendamping, bagian dari dirinya.

Setiap orang baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dengan jasmani dan nafs untuk memahami kehendak Allah, tetapi terdapat sedikit perbedaan peran antara suami dan isteri dalam membentuk misykat cahaya. Seorang suami mempunyai peran besar dalam urusan membentuk mitsal cahaya berupa pohon thayyibah dengan misykat cahaya dirinya, sedangkan seorang isteri mempunyai peran besar dalam menerima mitsal cahaya berupa pohon thayyibah dan menumbuhkannya di bumi. Isteri sebagai reseptor bayangan cahaya Allah juga berfungsi untuk menghubungkan bayangan itu ke alam duniawi. Para isteri adalah ladang tempat tumbuhnya pohon thayibah di bumi mereka, yaitu pohon thayibah yang dibentuk oleh misykat cahaya suaminya.

﴾۳۲۲﴿نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّىٰ شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُم مُّلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Isteri-isterimu adalah ladang (tempat kamu bercocok tanam) bagimu, maka datangilah ladangmu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan dahulukanlah untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman (QS Al-Bqarah : 223)

Masing-masing pihak pada dasarnya dapat melaksanakan semua peran sebagai manusia, akan tetapi kemampuannya akan sangat terbatas selain pada peran utama dirinya. Seorang suami dapat menyiarkan sendiri pemahaman pohon thayibah dirinya kepada alam buminya, akan tetapi kemampuan itu akan sangat terbatas bila tidak disertai dengan isterinya. Demikian pula seorang isteri dapat memperoleh pemahaman terhadap cahaya Allah, tetapi pemahaman itu akan sangat terbatas. Ibaratnya, seseorang mungkin bisa berenang dengan anggota badannya, tetapi akan sulit untuk menyeberangi laut antar pulau dengan berenang. Penyatuan dua peran itu dalam sebuah pernikahan dan amal shalih bersama akan mewujudkan rumah tangga yang diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah di dalamnya.

Tanpa seorang isteri, pohon thayyibah seorang laki-laki tidak akan dapat tumbuh dengan subur di permukaan bumi. Bisa saja seorang laki-laki mencapai ketuntasan dalam membina misykat diri dalam bentuk pohon yang kerdil tanpa bayangan di alam bumi mereka, tetapi buah yang dihasilkan dari pohon thayibah itu buah yang benar. Atau sebaliknya seorang isteri mampu memunculkan kemakmuran di alam bumi mereka bersama suaminya tanpa benar-benar terlihat melaksanakan amr Allah di bumi, tetapi hal itu telah menunjukkan keberhasilan dalam menuntaskan pembinaan misykat dirinya sebagai perempuan.

Kebersamaan dalam amal shalih bersama itu akan menjadikan pemahaman mereka tumbuh berkembang, tidak sekadar penambahan satu peran terhadap peran yang lain. Penyatuan dua peran itu menjadikan sepasang manusia tidak hanya tumbuh, tetapi juga berkembang layaknya sepasang manusia dapat melahirkan anak-anak yang banyak. Pemahaman suami terhadap ayat Allah akan tumbuh subur dengan kebersamaan dengan isterinya, dan seorang isteri akan mampu memperoleh pemahaman yang sangat banyak dengan kebersamaan dengan suamiya. Kebersamaan yang menumbuhkembangkan demikian dapat terjadi bila masing-masing bisa mengambil dan memberi dengan pasangannya, tidak dapat diperoleh bila setiap orang hanya mengurusi diri masing-masing. Kadangkala satu pihak bisa mengambil dan memberi manfaat terhadap pihak lainnya sedangkan pihak lainnya tidak memberikan dan tidak mau menerima, maka yang memperoleh keuntungan adalah pihak yang mau mengambil dan memberi. Keadaan demikian tidak menunjukkan keberhasilan dalam membina bayt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar