Pencarian

Rabu, 06 Desember 2023

Keterbukaan Urusan (Al-Fath)

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Di antara tanda seseorang mukmin menemukan jalan kembali kepada Allah adalah Allah menurunkan sakinah kepada mereka dan melazimkan bagi mereka kalimah taqwa. Peristiwa itu merupakan bagian dari proses menuju keterbukaan (al-fath) yang harus ditempuh oleh setiap orang beriman. Sebenarnya sakinah itu diturunkan kepada Rasulullah SAW, sedangkan orang-orang beriman memperoleh bagian dari Rasulullah SAW, yaitu orang-orang beriman yang telah bersama-sama dengan Rasulullah SAW dalam amr jami’. Bagi orang-orang beriman yang bersama-sama dengan Rasulullah SAW dan memperoleh sakinah, Allah akan melazimkan bagi mereka suatu kalimah taqwa yang merupakan jalan ketakwaan bagi setiap diri mereka. Orang beriman demikian akan mengenali ketakwaan berupa jalan kehidupan yang ditentukan bagi mereka.

﴾۶۲﴿إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَىٰ وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka suatu tekad (yaitu) keinginan jahiliyah lalu Allah menurunkan sakinah kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang mukmin dan Allah melazimkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Fath : 26)

Proses mencapai keterbukaan (al-fath) bagi setiap orang beriman merupakan proses yang tidak sederhana. Manakala seorang beriman mengalami keterbukaan terhadap amal shalih mereka, ia akan menghadapi suatu tantangan yang besar. Keterbukaan ini dapat diibaratkan sebagai tibanya seseorang di tanah haram yang dijanjikan bagi masing-masing. Manakala ia tiba, ia dapat melihat ketetapan-ketetapan Allah bagi dirinya yang harus dilaksanakan dalam kehidupannya di dunia. Akan tetapi bukan hanya ketetapan itu yang ada di hadapan mereka. Ada kaum yang akan mencegah mereka untuk masuk ke tanah suci dan melaksanakan ketetapan-ketetapan Allah bagi mereka.

Proses keterbukaan (al-fath) ini dalam Alquran digambarkan dalam peristiwa perjanjian Hudaybiah hingga penaklukan kota Makkah oleh Rasulullah SAW, dimana orang-orang beriman dicegah oleh orang-orang kafir makkah untuk melaksanakan haji ke masjid al-haram. Hudaibiyah merupakan tempat terjadinya baiat di bawah pohon terhadap Rasulullah SAW oleh mukminin, yang dikenal sebagai baiat ar-ridhwan, yang terjadi sebelum keberangkatan haji pada masa perjanjian Hudaybiah. Rasulullah SAW bersama kaum mukminin kemudian berangkat dari madinah ke tanah suci makkah dengan perlengkapan haji tanpa suatu kelengkapan berperang, karena tujuannya hanya untuk melaksanakan haji saja. Walaupun dengan kelengkapan demikian penduduk Makkah tidak mengijinkan mereka untuk masuk ke tanah makkah, dan Rasulullah SAW bersama orang beriman ditahan di Hudaybiah dan harus kembali ke Madinah dalam sebuah perjanjian. Haji pada waktu itu diselesaikan kaum mukminin di Hudaybiah.

Keadaan Orang Kafir

Nuansa bathin antara kedua pihak pada masa itu sangatlah intensif, baik di kaum mukminin maupun penduduk makkah. Ini merupakan fenomena yang menjadi gejala pada awal masa menuju keterbukaan (alfath). Di pihak orang-orang kafir pada masa itu, tumbuh suatu tekad berupa tekad jahiliyah. Barangkali tekad mereka adalah mengembalikan orang-orang beriman kembali ke jalan dan agama orang-orang tua mereka dahulu, atau mempertahankan tempat ibadah kepada Allah yang telah ada pada mereka sejak jaman dahulu. Barangkali mereka memandang orang beriman sebagai kaum yang tidak benar ibadahnya. Demikian juga barangkali kelengkapan-kelengkapan ibadah yang ada pada orang yang beriman, (misalnya) sembelihan mereka, terlihat dalam keadaan buruk dalam pandangan mereka, yang seharusnya dijadikan baik seperti keinginan mereka.

Dengan keadaan masing-masing orang-orang kafir, mereka menumbuhkan dalam hati mereka suatu tekad terhadap orang-orang beriman. Sebenarnya tekad mereka itu adalah tekad berlandaskan kebodohan, tumbuh pada hawa nafsu tanpa suatu landasan pemahaman terhadap kehendak Allah. Tekad orang-orang kafir makkah itu terlahir dalam wujud menghalangi orang-orang beriman untuk menunaikan ibadah haji ke masjid al-haram dan menghentikan sembelihan yang dibawa untuk sampai ke tempat penyembelihannya. Dengan demikian, orang-orang beriman tidak bisa masuk untuk bersujud ke masjid al-haram, dan sembelihan mereka tidak dapat mencapai tempat penyembelihannya.

﴾۵۲﴿هُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْهَدْيَ مَعْكُوفًا أَن يَبْلُغَ مَحِلَّهُ وَلَوْلَا رِجَالٌ مُّؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُّؤْمِنَاتٌ لَّمْ تَعْلَمُوهُمْ أَن تَطَؤُوهُمْ فَتُصِيبَكُم مِّنْهُم مَّعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِّيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَن يَشَاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Mereka itulah orang-orang yang kafir, dan mereka menghalangi kamu dari (masuk) Masjidil Haram dan menahan sembelihan untuk sampai ke tempat (penyembelihan)nya. Dan kalau tidaklah karena adanya laki-laki yang beriman dan perempuan-perempuan yang beriman yang tiada kamu ketahui bahwa kamu akan membunuh mereka maka (itu) menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu). Agar Allah memasukkan orang yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang yag kafir di antara mereka dengan azab yang pedih. (QS Al-Fath : 25)

Orang-orang makkah yang menghalangi orang beriman memasuki masjid al-haram itulah yang merupakan orang-orang kafir. Allah menegaskan bahwa orang-orang yang berbuat menghalangi orang lain masuk ke masjid alharam dan memberhentikan sembelihan untuk tiba di tempatnya merupakan orang-orang yang kufur. Penegasan firman Allah ini harus dipahami dengan perspektif yang tepat, bahwa itu bisa saja terulang pada masa mutaakhir. Setiap muslim dalam urusan ini tidak boleh terjebak dalam perspektif hawa nafsu tanpa memahami firman ini, agar dapat mengukur diri sendiri dan langkah yang perlu dilakukan. Ketika ada orang beriman memasuki fase tiba di tanah haram, mungkin saja ada orang-orang yang berkeinginan mencegah mereka untuk masuk ke tanah haramnya, dan mencegah sembelihan-sembelihan mereka untuk tiba di tempat penyembelihannya. Perbuatan menghalangi orang-orang beriman untuk masuk ke tanah haram dan menghentikan binatang sembelihan mereka untuk tiba di tempat penyembelihannya merupakan perbuatan yang terwujud dari kekufuran, dan sebaliknya mendorong seseorang termasuk dalam golongan kafir di hadapan Allah.

Kufur dalam Alquran seringkali tidak merujuk pada status seseorang secara akidah, tetapi menunjuk pada sikap yang keliru. Seorang muslim yang tidak mengikuti petunjuk Allah dikatakan sebagai kufur, yaitu kufur secara khusus terhadap nikmat Allah. Demikian pula bila seseorang mengikuti langkah syaitan, maka langkahnya itu adalah kekufuran. Mengikuti hawa nafsu merupakan kebodohan, dan kadangkala terjatuh pula dalam kekufuran. Hal itu bisa menjadi contoh bahwa kufur tidak selalu menunjuk penolakan terhadap kebenaran, tetapi juga menunjuk pada adanya sikap yang salah pada diri seseorang, walaupun mungkin saja ia tidak boleh dikatakan oleh orang lain sebagai golongan orang kafir. Termasuk dalam hal ini, menghalangi orang-orang untuk menuju tanah haram yang dijanjikan bagi mereka merupakan kekufuran di hadapan Allah. Macam-macam kekufuran diri akan terlihat semakin jelas bila seseorang berkeinginan untuk bertaubat menjadi hamba yang didekatkan kepada Allah. Dan harus diperhatikan, seringkali kekufuran yang mencegah seseorang dari masjid al-haram adalah kekufuran dalam dirinya sendiri.

Keadaan Orang Beriman

Keadaan pada orang-orang beriman juga mengalami perubahan besar pada masa keterbukaan. Suatu sakinah diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW, kaum mukminin yang bersama dengan beliau SAW memperolehnya sebagai bagian dari sakinah itu, dan suatu kalimah takwa dilazimkan Allah terhadap orang-orang beriman yang memperoleh sakinah. Orang-orang beriman itu kemudian mengetahui jalan ketakwaan mereka untuk kembali kepada Allah karena pelaziman tersebut. Dalam peristiwa Hudaybiah, mereka yang memperoleh kalimah takwa memahami manakala Allah menahan tangan mereka untuk tidak menyerang orang-orang makkah, dan memahami pula bahwa Allah menahan tangan orang-orang makkah untuk tidak menyerang orang beriman. Mereka memahami bahwa ada orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan di antara orang-orang makkah yang beriman tanpa diketahui, bilamana kaum mukminin menyerang maka penyerangan itu akan mendatangkan kesusahan bagi kaum beriman.

Kalimah takwa tidak terbatas pada contoh-contoh kasus demikian. Pada intinya kalimah itu menjadikan orang beriman memahami kehendak Allah dalam urusan yang mereka lakukan bersama Rasulullah SAW. Kalimah takwa bisa diperoleh orang beriman karena sikap tawadhu’. Tawadhu’ merupakan sikap meletakkan keyakinan bahwa kebenaran berada di sisi Allah dan ia berusaha menemukan kebenaran itu dengan jalan yang benar, tidak hanya mengikuti hawa nafsu ataupun hanya mengikuti perkataan orang lain. Hawa nafsu dan perkataan orang lain hanya merupakan jalannya. Tidak jarang orang yang tawadhu’ menyesali kesalahan-kesalahannya, dan kemudian mengikuti kebenaran yang lebih baik. Mereka tidak hanya mempertahankan kebenaran yang diperolehnya, tetapi selalu berusaha memperoleh kebenaran yang lebih baik.

Di antara manusia, ada orang-orang yang tidak peduli dengan kebenaran. Kebanyakan manusia meyakini bahwa kebenaran ada di sisi Allah akan tetapi tidak berusaha menemukannya, baik dalam bentuk hanya mengikuti pendapat hawa nafsu sendiri ataupun hanya mengikuti perkataan kelompoknya tanpa berusaha memahami firman Allah. Hanya sedikit orang-orang yang benar-benar meletakkan keyakinan bahwa kebenaran berada di sisi Allah dan ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menemukan kebenaran itu. Mereka hanya berasal dari kalangan orang-orang beriman.

Mencari Kalimah Taqwa

Di antara orang yang berusaha tawadhu’, ada orang yang keadaan mereka diangkat Allah hingga mereka mengetahui kebenaran dibalik hijab fenomena duniawi. Dengan peninggian keadaan itu mereka memahami kehendak Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang memperoleh kalimah taqwa. Mereka melihat kebenaran firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW pada kauniyah yang tergelar di hadapan mereka. Sebaliknya mereka melihat fenomena kauniyah sesuai dengan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak terombang-ambing dalam berbagai sudut pandang nisbi yang disampaikan orang lain. Keterbukaan itu seringkali mencapai hal yang sangat tinggi, hingga dapat dikatakan dengan ungkapan “mengenal Allah”, akan tetapi tetap ada batasan berupa batasan luasan pengetahuan dan detail masalah terkait batasan jati dirinya. Hal demikian harus disadari, bahwa setiap orang berada pada suatu kedudukan tertentu di antara jamaah, dan ia harus memperhatikan orang lain terkait dengan kedudukannya dalam jamaah.

Hal yang harus diperhatikan tentang keadaan itu adalah tuntunan kitabullah. Tidak ada orang yang diangkat pada kedudukan tawadhu’ memperoleh pemahaman bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Bila bertentangan, maka itu bukan tawadhu’. Manakala Allah mengangkat seseorang pada keterbukaan pemahaman terhadap kalimah taqwa, keterbukaan itu sangat mungkin menjadi suatu kejutan bagi dirinya. Ia tidak boleh mendustakan kebenaran itu ataupun menganggapnya remeh, tetapi harus juga berhati-hati terhadap kesalahan yang mungkin ada di dalamnya. Syaitan bisa melemparkan suatu kedustaan pada keterbukaan itu. Semua keterbukaan itu hendaknya diukur melalui firman Allah dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Semua keterbukaan yang mempunyai dasar dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW adalah kalimah taqwa bagi dirinya dan menjadi amanahnya, sedangkan kedustaan yang ada di dalam keterbukaan dirinya harus ditinggalkan. Apa-apa yang tidak jelas landasannya dalam keterbukaan itu tidak perlu digenggam erat kebenarannya, boleh jadi benar atau salah. Ia boleh bertindak berdasarkan keterbukaan itu secara terukur tetapi tidak bisa dijadikan landasan untuk bertindak atas nama Allah terhadap orang lain.

Di sisi lain ada orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai orang yang tawadhu tanpa alasan yang benar. Sebagian di antara orang beriman tergesa-gesa menganggap diri mereka sebagai pewaris kebenaran tanpa berusaha memahami kebenaran secara lebih utuh melalui jalan yang benar, maka mereka kemudian terjatuh pada kesombongan. Mereka menganggap kebenaran di sisi Allah telah sempurna diturunkan kepada mereka, dan menjadikan dirinya orang yang harus diikuti orang lain. Sikap demikian merupakan hal yang tidak lurus. Amanah Allah harus dipandang sebagai tanggung jawab bagi yang menerima agar disampaikan kepada orang lain agar setiap orang mengenal Allah, bukan untuk menundukkan orang lain mengikuti dirinya. Allah menciptakan manusia agar manusia mengenal diri-Nya, karena itu hendaknya suatu amanah dijadikan sebagai sarana untuk mengenal-Nya.

Kewajiban mengikuti adalah mengikuti kebenaran, yaitu kebenaran yang menumbuhkan akal seseorang untuk memahami kehendak Allah. Hal demikian hampir selalu terikat dengan ketaatan dalam mengikuti seseorang. Akan tetapi setiap pengikut harus selalu berpegang pada kitabullah dan sunnah Rasulullah dengan akalnya, tidak melepaskan ketaatannya berjalan tanpa berpegang pada kitabullah. Tidak jarang ada orang meminta ketaatan dari orang lain sedangkan pemahamannya sebenarnya berselisih atau bahkan bertentangan dengan kitabullah, atau ada orang menjadikan dirinya sebagai yang harus diikuti tanpa memperhatikan kebenaran. Ia tidak menganggap penting kebenaran yang datang tetapi memandang lebih penting yang ada pada dirinya sendiri. Manakala ada suatu kebenaran yang lebih baik, kebenaran itu justru dijadikan ancaman tidak diserap. Ketaatan tidak boleh dilakukan dengan cara demikian. Seandainya pengikut adalah orang bodoh, seruan itu harus dilakukan dengan menumbuhkan akal dalam memahami kehendak Allah. Bila pengikut orang yang berakal, hendaknya akal mereka semakin diperkuat dengan ketaatan yang dilakukan, tidak dijadikan kaum yang melepaskan akal agar mau mengikuti.

Tawadhu’ dalam diri seseorang seringkali tidak dapat diukur berdasarkan sikap yang dimunculkan. Banyak orang yang mengenal kebenaran tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk bersikap tepat dengan kebenaran itu terhadap orang lain. Selain itu, seseorang yang tawadhu’ dapat bersikap meninggi terhadap orang lain untuk menyelamatkan orang yang ceroboh dalam memandang kebenaran, atau untuk menyelamatkan umatnya. Demikian pula ada orang menampakkan sikap rendah hati tetapi menyebabkan orang lain celaka mengikuti langkahnya. Ukuran tawadhu’ seseorang yang paling utama adalah keselarasan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Seseorang yang tawadhu’ adalah orang yang berusaha menemukan kebenaran dari sisi Allah melalui sesuatu yang diturunkan Allah secara benar. Dalam hal ini ukuran mutlaknya adalah kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tanpa menafikan bahwa Allah menurunkan pula kebenaran pada berbagai tingkat lain sebagai penjelasan bagi manusia.

Bila suatu pemahaman pada diri seseorang bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, ia tidak dapat dikatakan sebagai orang yang tawadhu’. Di sisi lain, selalu ada selisih pemahaman seseorang terhadap kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW. Berselisih pemahaman harus diperbaiki, baik selisih yang menyimpang atau selisih berupa kekurangan pemahaman. Bila tidak ada kemauan memperbaiki, selisih itu bisa menjadi pertentangan yang menjadikan seseorang celaka. Seseorang bisa menyimpang jauh karena selisih yang menyimpang, atau bisa menjadi pemberontak karena merasa telah mempunyai pengetahuan sempurna sehingga ia tidak memperhatikan arahan yang lebih baik dalam melaksanakan kehendak Allah. Atau ia menjadi pemimpin yang dzalim karena tidak memperhatikan permasalahan umat dengan baik. Hal-hal demikian harus diperhatikan melalui ayat-ayat Allah baik dalam kitabullah maupun ayat kauniyah, hingga selisih terhadap kebenaran selalu diperbaiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar