Pencarian

Rabu, 20 Desember 2023

Menyimak Sebagai Landasan Keikhlasan

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Keikhlasan menjadi suatu syarat atas setiap hamba untuk menjadi hamba yang didekatkan. Keikhlasan adalah keinginan untuk mengenal Allah dengan benar agar dapat beribadah dengan amal yang sebersih-bersihnya tanpa suatu tindakan yang mencemari. Keikhlasan akan melahirkan keadaan berupa pemahaman yang benar terhadap kehendak Allah, dan pemahaman itu melahirkan akhlak yang mulia. Dengan keikhlasan, seseorang dapat melakukan amal ibadah yang bersih dari penyembahan kepada tuhan-tuhan selain Allah, baik yang disadari ataupun tidak disadari. Tidak jarang seseorang atau suatu kaum menjadikan sesuatu sebagai tuhan-tuhan selain Allah tanpa menyadarinya karena kurangnya pemahaman terhadap kehendak Allah. Orang yang berusaha untuk mencapai keikhlasan disebut sebagai orang yang mukhlis.

Di antara syarat menjadi orang yang mukhlis adalah kemauan untuk mendengarkan perkataan-perkataan yang terbaik dan mengikutinya. Mereka mempunyai keinginan untuk mendengarkan dengan sebaik-baiknya perkataan yang baik-baik dan menentukan perkataan terbaik untuk diikuti, dan kemudian mereka mengikuti. Keikhlasan tidak akan diperoleh oleh orang-orang yang tidak mempunyai kemauan untuk mendengar perkataan yang baik. Tidak sedikit manusia yang merasa terganggu dengan perkataan yang baik. Sangat banyak orang yang merasa berkeinginan untuk mendengarkan hal yang baik tetapi tidak sepenuhnya berusaha untuk menemukan perkataan yang terbaik. Yang akan menemukan keikhlasan adalah orang yang berkeinginan untuk mendengar hal yang baik-baik dan mampu menentukan perkataan yang terbaik untuk diikuti, dan kemudian mengikutinya.

﴾۸۱﴿الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولٰئِكَ هُمْ أُولُوا الْأَلْبَابِ
yang menyimak perkataan lalu mengikuti apa yang paling ihsan di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. (QS Az-Zumar : 18)

Ayat di atas menyebutkan mendengar perkataan dengan istilah "يَسْتَمِعُونَ" yang lebih tepat diterjemahkan dengan istilah “menyimak”. Menyimak menunjukkan perbuatan mendengar dengan penuh perhatian untuk memahami. Ada suatu keinginan dalam diri orang yang ingin memperoleh keikhlasan untuk memahami perkataan yang baik-baik, maka mereka akan menyimak perkataan-perkataan yang baik agar dapat memahami. Dengan demikian mereka akan memahami perkataan-perkataan yang baik.

Tujuan dari keinginan memahami itu adalah agar dapat memperoleh keihsanan, yaitu mengenal kehendak Allah atas diri mereka. Keinginan itu tidak tumbuh dari keinginan terhadap pandangan manusia terhadap mereka. Banyak dorongan dalam diri manusia manakala menempuh perjalanan mencari ilmu, dan tidak akan memperoleh kedudukan sebagai orang ikhlas orang yang keinginannya bukan untuk memperoleh keihsanan kepada Allah. Manakala ada keinginan untuk dipandang sebagai orang pandai karena ilmu, maka seseorang tidak akan memperoleh keikhlasan karena ilmu tersebut.

Hal ini tidak menunjuk pada keinginan untuk berbagi pengetahuan dengan orang lain. Berbagi pengetahuan seringkali sulit untuk dinilai apakah termasuk keikhlasan atau tidak, maka setiap orang hendaknya mengukur kadar keikhlasannya sendiri. Perkataan yang baik-baik seringkali dapat diperoleh seseorang manakala ia berbagi pengetahuan dengan orang lain, terutama bersama orang-orang yang sama mencari keikhlasan. Di antara tanda keikhlasan seseorang dalam hal itu adalah keinginannya mendengar perkataan yang baik lebih besar dari keinginan untuk memberikan perkataan dirinya. Ia berkata kepada orang lain hanya manakala orang lain membutuhkan perkataan dirinya, atau ketika ia menilai perkataan dirinya dibutuhkan oleh orang lain, baik orang lain ingin mendengar atau ia berharap suatu saat sahabatnya bisa mendengar perkataannya. Manakala seseorang terlibat perdebatan yang memaksakan bahwa pendapat masing-masing lebih baik, tidak ada keikhlasan dalam perdebatan itu.

Menghindarkan Kebodohan

Suatu jamaah umat islam hendaknya menghindarkan perdebatan sejauh mungkin dari jamaahnya. Hal ini dapat dilakukan dengan membudayakan keikhlasan membangun keinginan mendengar perkataan yang baik dalam diri setiap orang. Bila suatu jamaah tidak lagi mempunyai kemampuan untuk mendengar perkataan yang baik, sulit untuk mengharapkan kebaikan dalam jamaah tersebut. Sangat mungkin jamaah itu hanya mengikuti taghut berupa sesuatu yang dipertuhankan selain Allah, menjadi penyembah bagi tahgut mereka. Kedua hal ini, bebal dan thaghut, sangat berdekatan. Kadang-kadang manusia menjadikan orang-orang pandai di antara mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Perkataan yang dianggap baik dalam jamaah itu hanya perkataan-perkataan oleh taghut mereka, dan perkataan taghut mereka merupakan perkataan terbaik di antara mereka, tidak mencari perkataan terbaik yang dikehendaki Allah. Mereka tidak lagi mempunyai kemampuan untuk menyimak perkataan yang baik dan mengikuti perkataan yang paling ihsan di antara mereka.

Sikap demikian menimbulkan dampak yang buruk. Mereka tidak akan memperoleh kemajuan dalam perjalanan kembali kepada Allah atau justru menyimpang, dan suatu bahaya akan mendatangi mereka tanpa mereka bisa menyadari. Boleh jadi jamaah demikian merasa sebagai golongan orang-orang yang menempuh jalan pertaubatan kepada Allah, tetapi mereka tidak dapat mencapai parameter-parameternya tanpa menyadari masalahnya. Bila masalah dasar berupa sikap menyimak perkataan-perkataan yang baik dan mengikuti yang terbaik tidak diperhatikan, maka mereka tidak mengetahui sejauh apa dan ke mana arah perjalanan taubat yang mereka tempuh. Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa suatu bahaya telah menanti mereka. Bahaya itu seringkali tidak dapat diabaikan, tetapi mereka tidak bisa menyadari maka mereka dapat bersikap nyaman. Bila dikatakan Dajjal akan datang kepada mereka, mereka tidak berusaha mengetahui tuntunan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW tentang Dajjal, hanya mengikuti pendapat sendiri, sedangkan mereka tidak bersiap menghadapi bahaya itu justru mengejar pikiran mereka dan mengabaikan upaya orang yang ingin mengikuti tuntunan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.

Tatanan masyarakat akan berantakan bila manusia tidak mau menyimak perkataan yang baik. Seseorang bisa saja menjadi manusia yang dipertuhankan, dan yang lain menghamba kepadanya. Boleh jadi mereka bersikap berlebihan mengabaikan ketetapan Allah yang telah difirmankan dalam Alquran dan sabda nabi SAW. Hal demikian kadang terjadi akibat kurangnya pengetahuan tentang batas diri. Allah dan Rasulullah SAW tidak keliru kala berkehendak memberikan petunjuk hanya melalui kitab-Nya dan sunnah Rasulullah SAW dan setiap orang terikat pada ketetapan itu. Setiap orang harus berusaha memahami kitabullah Alquran dan sunnah Rasulullah SAW dan mengikuti pemahaman itu, atau setidaknya mau menyimak perkataan tentang itu, tidak sebaliknya membuat pengesahan dan pembatalan terhadap suatu pemahaman terhadap Alquran dan sunnah Rasulullah SAW dengan dirinya sendiri. Ada pengetahuan yang mungkin saja bisa diperoleh dengan cara berbeda pada setiap insan yang tidak boleh dihukumi sembarangan dengan hawa nafsu.

Mengikuti perkataan yang terbaik merupakan obat bagi kedunguan. Ini merupakan penyakit yang sangat sulit disembuhkan. Nabi Isa a.s bisa menemukan jalan untuk membangkitkan orang mati dengan ijin Allah, tetapi menyembuhkan kedunguan lebih sulit dilakukan daripada membangkitkan orang mati. Dalam sebuah riwayat dari Ali bin Musa dituturkan bahwa Nabi Isa a.s pernah bersabda: “Sungguh aku telah mengobati orang-orang yang sakit, dan aku sembuhkan mereka dengan izin Allah. Aku sembuhkan orang buta dan orang berpenyakit lepra dengan izin Allah. Aku bangunkan orang-orang mati dan aku hidupkan kembali mereka dengan izin Allah. Lalu aku coba mengobati orang ahmaq (dungu) namun aku tidak mampu menyembuhkannya!” Maka beliau pun ditanya: “Wahai ruh Allah, siapakah orang dungu itu?” Beliau menjawab: “Yaitu orang yang kagum pada pendapatnya sendiri dan dirinya sendiri; yang memandang semua kebaikan ada padanya dan tidak melihat kekurangan pada dirinya; yang memastikan semua kebenaran untuk dirinya sendiri. Merekalah orang-orang dungu yang tidak ada jalan untuk mengobatinya.” (HR Al-Auzâ`i)

Menemukan Keihsanan

Sikap menyimak perkataan-perkataan yang baik itu harus dilakukan hingga setiap orang dapat mengikuti perkataan yang paling ihsan dalam bentuk amal mereka. Amal yang terwujud dari diri seseorang hendaknya tidak terlahir dari sikap coba-coba menemukan amal yang terbaik. Amal terbaik tidak akan ditemukan dengan cara itu. Setiap orang harus berusaha menemukan perkataan yang terbaik bagi diri mereka masing-masing dari menyimak perkataan-perkataan yang baik yang dapat diperoleh, dan dari perkataan yang paling ihsan tersebut ia mengikuti dengan amalnya. Bila berbuat demikian, ia akan menemukan amal yang paling ihsan. Mengikuti perkataan yang paling ihsan tidak akan terjadi bila seseorang tidak mempunyai keinginan menyimak perkataan-perkataan yang baik, atau bila suatu perkataan yang paling ihsan diabaikan.

Perkataan yang paling ihsan merupakan hal yang sering bersifat personal bagi masing-masing orang. Setiap orang mempunyai akal yang berbeda dalam memahami kehendak Allah, karenanya perkataan yang paling ihsan bersifat personal. Hal yang paling menentukan dalam upaya seseorang mengenali perkataan yang paling ihsan adalah akal. Manakala suatu kaum memandang satu perkataan tertentu adalah perkataan yang terbaik bagi semua orang, boleh jadi akal mereka dalam memahami kehendak Allah bagi masing-masing belum berkembang. Akal yang berkembang dalam memahami kehendak Allah ditandai manakala seseorang berhasil memahami suatu bentuk amal tertentu yang menjadi jalan ibadah, dan itu dihasilkan dari perkataan paling ihsan yang diperoleh dirinya. Setiap orang harus berusaha mengetahui pangkat dan jabatan masing-masing dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai ketentuan dan batasnya, dan itu melalui menyimak perkataan yang baik dan mengikuti yang terbaik.

Akal demikian akan memahami keihsanan dalam apapun bentuknya, dan menghindari suatu waham kebenaran yang tidak perlu diikuti. Seandainya dalam suatu al-bayaan terdapat suatu sihir yang akan melumpuhkan akalnya, ia dapat menghindari sihir tersebut. Seandainya terdapat sebuah kebenaran dalam suatu sihir, ia dapat melihat kebenaran tersebut. Demikian kekuatan akal seharusnya dapat dibina oleh setiap orang. Hal itu dapat dicapai bila setiap orang menyimak perkataan-perkataan yang baik dan mengikuti yang paling ihsan dengan menggunakan akalnya. Bila hanya mengikuti perkataan orang lain tanpa berusaha mengenali kehendak Allah, seseorang tidak akan mempunyai akal yang cukup kuat.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَعَلَ يَتَكَلَّمُ بِكَلَامٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ الْبَيَانِ سِحْرًا وَإِنَّ مِنْ الشِّعْرِ حُكْمًا
dari [Ibnu Abbas] ia berkata, "Seorang Arab dusun datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata dengan suatu perkataan. Maka Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya dalam al-bayaan (kefasihan) terdapat sihir, dan dalam syair terdapat hukum." (HR Abu Dawud : 4358)

Rasulullah SAW menjelaskan bahwa sesungguhnya di dalam al-bayan terdapat sihir, dan di dalam syair terdapat suatu hukum. Sabda beliau SAW tersebut berlaku umum terkait dengan perkataan yang disampaikan seseorang dengan kefasihan, bahwa mungkin saja dalam suatu kefasihan terdapat suatu sihir. Yang dimaksud kefasihan adalah ketepatan seseorang dalam memberikan perkataan sesuai dengan masalah. Rasulullah SAW tidak membatasi hal tersebut pada kasus orang Arab di atas, karena beliau juga menyampaikan tentang adanya hukum pada suatu syair yang tidak berkaitan dengan perkataannya. Peristiwa orang arab di atas adalah contoh yang memunculkan sabda beliau SAW tentang sihir dan kefasihan.

Rasulullah SAW memperingatkan bahwa bisa saja suatu perkataan yang fasih (dalam kategori al-bayaan) disampaikan oleh seseorang bersama dengan mengirimkan suatu sihir yang mengunci akal pendengarnya. Bahkan sihir itu bisa berupa perkataan al-bayan itu sendiri. Boleh jadi ia mempunyai niat yang jahat dalam menyampaikan al-bayan, atau boleh jadi mereka ingin lebih diperhatikan dengan menerapkan sihirnya. Atau syaitan memasukkan sihir dalam al-bayan yang disampaikannya. Sifat sihir itu mengunci akal, akan tetapi secara fenomena bisa terlihat seperti membuka cara pandang yang baru terhadap suatu masalah. Dalam hal itu, akal para pendengarnya sebenarnya terkunci pada cara pandang orang yang menyampaikannya. Mereka akan membenarkan perkataan itu dan mengaguminya, tanpa melihat adanya kekurangan di dalamnya atau duduk masalah yang paling tepat yang dikehendaki Allah.

Bila seseorang menerima suatu perkataan yang fasih, hendaknya ia tidak serta merta menuruti perkataan itu tanpa memikirkannya, tetapi hendaknya ia berusaha memahami untuk memperoleh keihsanan. Bila suatu al-bayan mengandung sihir, diharapkan sihir itu tidak mengurangi atau tidak mengikat akalnya untuk dapat memahami kehendak Allah. Sebaliknya pada syair. Boleh jadi seorang penyair menggunakan hukum-hukum yang benar, maka syair itu dapat menunjukkan seseorang yang berakal pada suatu hukum. Hukum boleh digunakan untuk memperoleh pemahamannya yang membuat dirinya dapat menambah keihsanan. Suatu syair biasanya dibuat untuk mempengaruhi umat manusia agar mengikuti keinginan yang bersyair, hendaknya seseorang hanya mengambil bagian hikmahnya saja.

Orang yang ingin menjadi mukhlis akan selalu berupaya untuk menyimak dan mengikuti perkataan yang paling ihsan. Hal itu tetap dilakukan pada perkataan-perkataan yang bersifat sebagai al-bayaan, di mana setiap orang harus memperoleh perkataan yang paling ihsan bagi dirinya dan beramal dengan mengikuti perkataan itu, tidak semata-mata mengikuti perkataan orang lain. Al-bayan harus digunakan untuk menemukan perkataan paling ihsan, dengan tetap berhati-hati terhadap kemungkinan adanya sihir dalamnya. Sebaliknya seseorang boleh mengambil suatu hukum yang terdapat dalam suatu syair manakala ia memahami suatu hukum melalui syair tersebut, tidak melecehkannya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar