Pencarian

Minggu, 17 Desember 2023

Membina Akhlak Mulia

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Akhlak merupakan bentuk nafs seseorang yang melandasi terlahirnya amal perbuatan. Akhlak yang buruk akan menjadikan seseorang mudah melahirkan keburukan-keburukan di alam jasmani, dan akhlak mulia akan menjadikan seseorang mudah melahirkan kebaikan-kebaikan bagi alam sekitarnya. Suatu bentuk amal yang terlahir oleh seseorang tidak selalu menunjukkan akhlak dirinya. Ada amal-amal yang terlahir berdasarkan pada upaya pencitraan diri terhadap lingkungan. Hanya amal-amal yang terlahir secara murni yang bisa menunjukkan keadaan akhlak seseorang. Kadangkala seseorang dengan akhlak baik terjebak berbuat buruk, dan kadangkala bisa muncul secercah kebaikan dalam diri seseorang yang menjadi penuntun untuk berubah menjadi akhlak yang baik.

Kemuliaan akhlak ditunjukkan oleh kekuatan akal, yaitu kepekaan dan akurasi dalam memahami kehendak Allah. Hal ini akan diikuti dengan adab yang baik karena pemahaman terhadap kehendak Allah dan seringkali juga disertai kekuatan indera-indera bathiniah, tetapi yang menjadi parameter utama adalah pemahamannya. Seseorang yang berakhlak mulia akan dapat menunjukkan kehendak Allah secara jelas tanpa sesuatu yang menyimpang, dan seringkali disertai dengan hubungan berbagai masalah yang terjadi menurut kehendak Allah. Ukuran kepekaan dan akurasi pemahaman dengan akhlak mulia adalah keselarasan pemahaman dengan tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Tidak jarang ditemukan seseorang dengan kekuatan akal yang terlihat kuat dalam mempersepsi ayat kauniyah tetapi tidak akurat atau bahkan menyimpang, maka hal itu tidak sepenuhnya menunjukkan akhlak yang mulia. Akhlaknya barangkali telah sangat berkembang, tetapi tidak sepenuhnya menuju kemuliaan karena barangkali ada cela di dalamnya. Perkembangan akhlak demikian hendaknya diperbaiki. Iblis merupakan makhluk yang besar dari sisi akhlak, tetapi tidak mulia. Kemuliaan akhlak adalah membentuk akhlak sesuai kehendak Allah, dan di antara tandanya adalah mengetahui batas-batas akhlak yang ditentukan Allah.

Akhlak Mencakup Dzahir dan Bathin

Akhlak mulia terbentuk dari pemahaman seseorang atas kehendak Allah dan upaya untuk mengamalkan pemahaman itu hingga terbentuk di alam jasmani. Kedua hal itu harus terbentuk dalam diri seseorang manakala ia berkeinginan membentuk akhlak mulia. Akhlak bukan hanya berupa pemahaman saja, tetapi berupa bentuk diri (being). Seseorang yang memahami saja tanpa suatu tindak lanjut tidak menunjukkan terbentuknya akhlak. Manusia merupakan makhluk bumi yang diberi potensi kekuatan untuk memahami kehendak Allah. Ada hubungan yang sangat kuat yang harus dibangun dalam diri manusia yang menyatukan antara alam langit dan bumi mereka. Bentuk akhlak mulia digambarkan dalam Alquran sebagai pohon yang baik sebagai mitsal bagi pemahaman seseorang terhadap kalimat thayyibah.

﴾۴۲﴿أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh (menghunjam bumi) dan cabangnya (menjulang) ke langit, (QS Ibrahim :24)

pohon yang baik mempunyai dua bagian, masing-masing mewakili alam bumi dan alam langit. Pokok pohon itu menjulang ke langit mencari cahaya Allah sedangkan akarnya teguh ke dalam bumi. Keduanya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisah yang tegak dalam mewujudkan kehendak Allah bagi mereka, menjadi mitsal bagi akhlak mulia yang harus dibentuk dalam setiap diri seseorang. Keadaan itu harus terpenuhi seluruhnya tidak tertinggal salah satu, yaitu akarnya menghunjam ke bumi dan pokoknya menjulang ke langit. Akhlak mulia harus terbentuk dalam diri setiap orang secara menyeluruh di alam langit dan alam bumi secara menyatu tanpa terpisah, dan keduanya memberikan manfaat sesuai dengan fungsi masing-masing.

Manakala suatu akhlak tidak terbentuk secara menyeluruh, akhlak yang akan terbentuk tidak menjadi suatu akhlak mulia. Hal demikian dapat digambarkan layaknya suatu pohon yang tercerabut dari bumi yang tidak dapat tegak sedikitpun. Manakala suatu akhlak yang terbentuk tidak mempunyai kaitan dengan kehidupan di bumi, hal itu tidak menunjukkan akhlak yang mulia. Suatu akhlak mulia harus terbentuk hingga mencapai pemahaman dan perbuatan di alam bumi.

﴾۶۲﴿وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ الْأَرْضِ مَا لَهَا مِن قَرَارٍ
Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang tercerabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. (QS Ibrahim : 26)

Pada tingkatan tertentu terbentuknya suatu akhlak mulia akan disertai dengan pengenalan diri seseorang tentang penciptaan dirinya, mengenal amal-amal yang harus dilakukan di bumi sebagai amanah Allah. Sebelum tingkatan itu tercapai, seseorang yang berusaha membentuk akhlak mulia harus berusaha meraba manfaat dirinya bagi kehidupan di bumi sesuai dengan kehendak Allah. Kehendak Allah hendaknya dijadikan jalan ibadahnya. Pengetahuan tentang kehendak Allah harus menjadi pokok dari tumbuhnya akhlak dalam diri. Jelas ataupun remang-remang pengetahuan seseorang terhadap kehendak Allah, hendaknya pengetahuan itu dijadikan pokok dalam beribadah. Kehendak-Nya itu termasuk kehendak yang terkait dengan kehidupannya di bumi, bukan hanya terkait hubungan kepada Allah. Kehendak-Nya yang terkait dengan kehidupan di bumi itu akan menumbuhkan akar dirinya hingga dapat menghunjam ke bumi. Tanpa kehendak itu, akhlak seseorang yang akan tumbuh serupa dengan pohon yang tercerabut dari bumi tidak dapat tegak.

Kehendak Allah dapat dibaca melalui ayat-ayat Allah baik ayat dalam kitabullah ataupun ayat kauniyah yang terjadi. Sebagian dari manusia telah mengetahui kehendak Allah bagi mereka, maka orang-orang demikian dapat diikuti hingga dirinya dapat membaca kehendak Allah, dengan berpegang erat pada tuntunan kitabullah dan memahami ayat kauniyah secara hanif tidak bersikap fanatik. Yang paling utama, ada sebuah fasilitas dalam diri manusia berupa nafs yang harus dibentuk agar dapat memahami ayat-ayat Allah, berfungsi untuk membentuk bayangan ayat-ayat Allah dalam dirinya. Setiap orang harus melakukan tazkiyatun-nafs hingga nafs itu bisa membentuk bayangan kehendak Allah yang terhampar pada ayat-ayat pada kitabullah dan ayat kauniyah secara sinergis, serupa dengan misykat cahaya yang dapat membentuk bayangan cahaya pohon thayyibah di dalamnya.

Terwujudnya akar di bumi dalam diri seseorang kadangkala tidak terlihat oleh orang lain. Banyak manusia tidak dapat memahami kebenaran yang disampaikan oleh para nabi. Nabi Nuh a.s dan nabi Luth a.s bahkan didustakan oleh hampir seluruh umatnya. Hal ini tidak menunjukkan bahwa para nabi tidak mempunyai akar manfaat di alam bumi. Para nabi mengenal manfaat mereka bagi alam bumi tetapi seringkali mengalami kendala dalam menyampaikan kepada umat mereka. Ada perantara-perantara (interface) yang seharusnya juga dibina oleh setiap orang hingga mereka dapat memberikan manfaat dalam dirinya kepada orang lain. Dalam hal ini, millah nabi Ibrahim a.s merupakan uswah yang harus ditempuh setiap orang, yaitu membentuk bayt yang diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah.

Perjalanan setiap manusia di bumi harus diarahkan untuk mencapai terbentuknya bayt demikian. Allah telah menetapkan dalam diri setiap manusia suatu keinginan untuk menikah sebagai suatu kekuatan yang akan mendorong manusia untuk memahami tujuan kehidupan mereka di bumi. Keinginan demikian tidak boleh hilang dari diri setiap orang, atau tidak boleh dirusak dengan keinginan dalam bentuk menyimpang. Sebagian orang barangkali mengalami kesulitan besar karena sikap orang lain terhadap perjodohan dirinya, maka hendaknya kesulitan itu tidak memadamkan keinginannya membentuk rumah tangga sebagai bayt, atau mengubah orientasi keinginan menikah. Sangat mungkin Allah akan memberikan petunjuk ke dalam hati dalam urusan ini bila seseorang bersikap berserah diri tidak memperturutkan keinginan sendiri, karena keinginan itu merupakan kebutuhan yang paling dekat dengan petunjuk jalan yang lurus.

Menentukan tujuan hidup untuk membentuk bayt ini akan sangat memudahkan proses terbentuknya pohon thayyibah, jauh lebih mudah daripada hanya dengan membaca ayat-ayat Allah sendirian tanpa tujuan membentuk bayt. Demikian pula terbentuknya akhlak mulia hingga tingkatan jasmani akan terlihat lebih nyata dan kuat bila seseorang membentuk bayt. Kadangkala seseorang dapat membentuk pemahaman terhadap ayat Allah secara relatif benar dan komprehensif tetapi tidak menunjukkan jejak yang cukup baik hingga pada tingkatan jasmani. Hal ini bisa terjadi diantaranya karena tidak terbentuk interface sosial yang baik pada dirinya, yang seharusnya terbentuk melalui pernikahannya. Membentuk bayt mempunyai kedudukan sama pentingnya dengan membentuk diri sebagai misykat cahaya, dan mempunyai manfaat untuk lebih memperluas dan memperkokoh kedudukan seorang hamba dalam ibadahnya.

Menghindari Akhlak Semu

Akar manfaat seseorang di bumi harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, tidak mencari jalan mudah tanpa mengikuti ketentuan Allah. Ada bentuk-bentuk akhlak yang terwujud secara semu dan akan hilang di akhirat kelak, sedangkan akhlak itu kadang tampak mulia. Misalnya penggunaan ilmu Harut dan Marut akan menyebabkan seseorang memperoleh akhlak semu demikian. Barangsiapa menggunakan ilmu itu, maka ia tidak akan memperoleh akhlaknya ketika di dunia untuk kehidupan di akhirat kelak. Dalam gambaran lebih nyata, akhlak karena ilmu tersebut serupa dengan jubah (kiswah) bagi perempuan dalam kehidupan dunia, akan tetapi di akhirat ia akan telanjang. Jubah (kiswah) itu bisa berupa pengetahuan atau ghirah atau bentuk kehormatan lain untuk agama tetapi tidak mempunyai landasan dari tuntunan kitabullah. Pelaksanaan amal berdasar pengetahuah dan/atau ghirah itu seringkali justru bertentangan dengan tuntunan kitabullah.

Alquran menjadikan kasus suami isteri sebagai contoh bagi mudharat yang ditimbulkan oleh ilmu Harut dan Marut karena hal demikian terkait puncak langkah pembentukan akhlak di dunia berupa membentuk bayt. Sebenarnya ilmu itu tidak terbatas pengaruhnya pada hubungan antara laki-laki dan perempuan saja. Ayat yang sama tentang Harut dan Marut juga membahas tentang kesemuan akhlak yang terbentuk karena ilmu itu, yaitu bahwa suatu akhlak tertentu yang diinginkan seseorang tidak akan dia peroleh di akhirat bila ia menggunakan ilmu Harut dan Marut. Akhlak demikian (secara tersirat) hanya akan dia peroleh untuk kehidupan di dunia saja. Untuk memperoleh akhlak yang tidak semu, orang yang menggunakan ilmu itu harus membina akhlaknya dengan ketaatan kepada Allah melalui sarana yang diturunkan Allah secara haq, tidak mengandalkan akhlak yang ada pada dirinya.

Akhlak semu dalam perkara ilmu ini seringkali terjadi bukan karena kepalsuan atau kepura-puraan seseorang, tetapi lebih karena ketergesa-gesaan dalam membina akhlak. Masalah dari penggunaan ilmu demikian adalah terluputnya ketaatan kepada Allah melalui hal-hal yang diturunkan secara haq, sedangkan suasana kedekatan dirinya kepada Allah telah tampak subur. Kesuburan akhlak tampak dalam dirinya, sedangkan akhlak itu semu hanya untuk kehidupan dunia yang akan hilang di akhirat. Di akhirat, ia hanya akan menemukan akhlak dirinya yang benar-benar terbentuk dari ketaatan dan ibadahnya yang sesuai dengan kehendak Allah, sedangkan akhlak semunya akan lenyap. Kecintaan kepada Allah, kerinduan dan akhlak-akhlak semu lainnya akibat ilmu itu akan lenyap. Bahkan seseorang yang tampak mempunyai akhlak baik di dunia dapat kehilangan indera dasar mereka berupa penglihatan, pendengaran dan hati mereka karena tidak memperhatikan ayat-ayat Allah dan lebih mengikuti akhlak semu yang muncul karena ilmu itu.

Hilangnya akhlak demikian di akhirat dapat digambarkan dalam kasus hilangnya rasa cinta instan antara satu orang terhadap pihak lain yang timbul karena sihir syaitan manakala sihir itu terurai. Rasa cinta demikian hanyalah pakaian semu yang sebenarnya tidak cocok dengan pribadinya. Cinta dan kasih sayang yang sebenarnya antara seseorang dengan pasangannya harus dibangun melalui pernikahan di atas komitmen untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah, maka cinta demikian akan menjadi abadi hingga di akhirat. Nuansa cinta sejati demikian dapat dibuat tiruan semunya dengan ilmu Harut dan Marut, dan muncul rasa cinta dan kasih sayang yang bisa permanen di dunia tetapi akan hilang di akhirat, dan yang tersisa hanya cinta yang dibentuk di atas pelaksanaan kehendak Allah yang haq.

Para perempuan di dunia bisa memperoleh jubah kehormatan (kiswah) agamanya secara instan dalam kehidupan dunia dengan ilmu demikian, tetapi akan terlepas jubah itu kelak di akhirat karena itu hanya pakaian semu yang diperoleh tanpa melalui suatu jihad di atas ketaatan yang haq kepada Allah bersama suaminya. Para laki-laki juga bisa mengalami hal yang sama demikian, dalam wujud pakaian akhlak, ketakwaan dan atribut lainnya yang semu. Sekalipun bila ketakwaan seorang laki-laki demikian tidak ditampakkan pada pandangan manusia, ketakwaan semu itu tetap akan hilang kelak di akhirat. Suatu bentuk akhlak seseorang kadangkala bisa menjadi hijab bagi yang lain, karenanya sebagian orang menyembunyikan akhlaknya dan mendahulukan menyampaikan firman Allah daripada menampakkan kedudukan dirinya di hadapan Allah kepada manusia. Karena adanya kemungkinan tersembunyi itu Rasulullah menyampaikan perkara jubah kiswah semu lebih khusus bagi perempuan karena perempuan merupakan pihak yang lebih berperan dalam menampakkan wujud duniawi dari keadaan bathin mereka. Untuk para laki-laki, ayat 102 surat AlBaqarah dijelaskan secara lebih esensial yang serupa dengan jubah perempuan dalam hadits.

Ilmu demikian akan benar-benar merepotkan bagi orang-orang yang berkeinginan kembali kepada Allah, karena keadaan akhlak dirinya yang akan tersisa di akhirat akan tertutupi oleh akhlak ilmu Harut dan Marut setiap saat. Akhlak dirinya kepada Allah yang sebenarnya tidak terlihat oleh dirinya sendiri apalagi oleh orang lain. Manakala ia sulit mengajak pada ketakwaan, ia tidak memahami masalah karena tidak mengalami masalah yang sama dengan orang lain. Masalah utama yang muncul, orang yang menggunakan ilmu tersebut akan mudah terperosok melanggar ketentuan Allah yang diturunkan secara haq karena merasa telah mengetahui ketentuan Allah, sedangkan sebagian akal dan pengetahuannya semu. Tidak jarang keterperosokan itu akan menimbulkan kesulitan yang besar bagi orang lain, atau membuat orang lain ikut terperosok mengikuti langkah-langkahnya. Syaitan melihat celah ini pada manusia, sangat menunggu dan sangat ingin memanfaatkan. Setiap orang harus bertakwa kepada Allah melalui sarana yang diturunkan Allah secara haq dengan akalnya, tidak hanya mengikuti perkataan-perkataan manusia atau dirinya sendiri saja.

Berusaha Memahami Kehendak Allah

Akhlaq harus dibina dengan seksama dengan jalan memahami ayat-ayat Allah sebagai penuntun bagi seseorang untuk meniti jalan memahami kehendak-Nya. Ayat-ayat Allah dihamparkan pada tiga bentuk berupa ayat dalam kitabullah, ayat kauniyah dan ayat dalam dada orang-orang beriman. Ketiga ayat itu harus dipahami secara sinergis. Kehendak Allah selalu selaras dengan ayat-ayat yang digelar, baik ketika Dia menyampaikan kehendak-Nya kepada seseorang atau ketika menjadikan seseorang memahami kehendak-Nya. Setiap orang harus berusaha memahami kehendak-Nya dan beramal sesuai dengan pemahamannya itu dengan sebaik-baiknya, baik ketika samar-samar ataupun jelas. Kebanyakan manusia harus berusaha dalam samar-samar dan hanya sedikit orang yang memahami kehendak-Nya dengan jelas.

Yang paling penting bagi setiap orang adalah berusaha memahami kehendak-Nya dengan benar dengan bergantung kepada Allah dan berpegang pada sarana yang diturunkan dengan haq, sedangkan jelas atau samar-samarnya itu seringkali terkait dengan kebijakan Allah dalam cara memberikan. Suatu pemahaman yang jelas tetapi keliru sangat berbahaya bagi manusia. Amal harus dilaksanakan mengikuti pemahaman. Tanpa amal, tidak akan terbentuk akhlak mulia dalam diri seseorang. Amal batin termasuk dalam bentuk amal yang dapat menumbuhkan akhlak mulia, misalnya amal mengubah sikap mengikuti pemahaman. Tidak sedikit orang yang bisa mengenali kebenaran tetapi tidak mampu mengubah sikapnya untuk mengikuti kebenaran. Tanpa pemahaman, suatu amal tidak akan mempunyai nilai bagi dirinya dan tidak menjadikannya tumbuh berakhlak mulia.

Setiap orang harus berusaha memperoleh pemahaman terhadap kehendak Allah. Pemahaman itu dapat dibina dari menggunakan akal untuk memahami ketiga bentuk ayat Allah. Pemahaman itu akan menjadi benih akhlak mulia walau sesamar-samar apapun, dapat dijadikan bekal untuk beramal agar ia dapat membentuk akhlak mulia. Pemahaman itu harus selalu bertambah, tidak boleh dibiarkan terus dalam lemah dan samar-samar tanpa menambah pemahaman terhadap ayat Allah. Jalan utama bagi seseorang untuk memahami ayat-ayat Allah secara terintegrasi dengan benar adalah tazkiyatun-nafs untuk membentuk misykat cahaya yang dapat membentuk bayangan kalimah thayibah dalam misykat itu.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar