Pencarian

Selasa, 31 Oktober 2023

Prinsip Dasar Pengharaman : Mensekutukan Allah

 Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Untuk menemukan jalan yang lurus, Allah telah memberikan khabar tentang pokok-pokok pengharaman, yaitu : kekejian baik yang dzahir maupun yang bathin, dosa, pelanggaran terhadap kemanusiaan tanpa alasan yang benar, melakukan syirik kepada Allah tanpa suatu hujjah, dan membuat perkataan tentang Allah tanpa mempunyai pengetahuan. Kelima hal itu merupakan pokok-pokok pengharaman yang akan memberi kabar pada seseorang adanya penyimpangan dari jalan Allah.

﴾۳۳﴿قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku hanyalah mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang dzahir ataupun yang bathin, dan perbuatan dosa, dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan perkataan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui". (QS Al-A’raaf : 33)

Hendaknya setiap manusia mempertimbangkan setiap langkah mereka berdasarkan pokok pengharaman tersebut agar tidak menyimpang dari jalan kembali kepada Allah. Manakala mereka menemukan salah satu hal dari pokok pengharaman itu dalam langkah mereka, hendaknya mereka segera mencari langkah yang lebih baik karena itu mungkin adalah jalan yang menyimpang. Bila tidak memperhatikan peringatan pokok berupa yang haram, maka seseorang akan berada di jalan kesesatan. Sangat banyak orang yang memiliki keimanan kepada Allah tetapi tersesat karena tidak memperhatikan peringatan Allah melalui ketentuan halal dan haram.

Mempersekutukan Allah

Mempersekutukan Allah merupakan perbuatan yang sangat buruk dan menjadikan seseorang tidak diampuni Allah. Mempersekutukan Allah secara nyata dapat dilihat pada orang-orang yang memperturutkan keinginan duniawi dan keinginan hawa nafsu mereka hingga mereka melakukan perbuatan menjadi pelayan bagi para syaitan agar memperoleh keuntungan yang dijanjikan syaitan kepada mereka. Syaitan menjadikan mereka sebagai pelaksana program syaitan dengan melakukan perbuatan merusak umat manusia dengan imbalan-imbalan duniawi secara semu. Seringkali imbalan-imbalan yang diberikan kepada mereka tidak dapat memberikan manfaat sedikitpun, hanya sekadar memperoleh sesuatu yang semu bagi diri mereka sendiri.

Selain orang-orang yang melakukan syirik secara nyata, banyak orang-orang yang melakukan syirik secara tersamar. Mempertuhankan hasrat duniawi dan hasrat hawa nafsu merupakan contoh kesyirikan yang tersamar. Allah mengharamkan seseorang melakukan syirik dengan firman : “mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu”. Hal ini menunjukkan adanya suatu kesyirikan yang mungkin tersamar. Allah menurunkan suatu jalan sebagai jalan ibadah manusia yang mungkin bisa dipandang sangat berdekatan dengan kesyirikan manakala seseorang tidak menimbang keadaan dirinya dengan benar. Bila seseorang tidak memperhatikan perintah Allah dengan seksama dan lebih memperhatikan ketentuan yang lain, ia boleh jadi akan terjatuh pada suatu kesyirikan karena melakukan perbuatan tertentu. Kesyirikan demikian itu merupakan kesyirikan yang diharamkan bagi orang yang menempuh jalan taubat. Kesyirikan yang nyata jauh lebih berat sama sekali tidak akan memperoleh ampunan.

Di sisi lain, banyak pula amal-amal seseorang yang bisa dianggap orang lain sebagai pelaku syirik akan tetapi sebenarnya tidak melakukan syirik. Hal ini dapat dilihat secara tersirat dalam ayat di atas, yaitu kalimat : “mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan shultan untuk itu”. Dalam kasus tertentu, Allah memperkenalkan diri kepada hamba-Nya dalam bentuk tajalli-Nya sebagaimana Musa a.s bertemu pohon api di thursina, maka ketaatan kepada bentuk tajalli-Nya tidak dapat dikatakan syirik kepada Allah, walaupun bentuk tajalli-Nya tidaklah menggambarkan diri-Nya secara menyeluruh. Tajalli demikian hanya akan diperkenalkan kepada orang-orang yang telah diberi shultan (kemampuan) untuk mengenal Allah. Sangat banyak macam bentuk kemampuan yang diberikan Allah kepada seseorang untuk mengenal Allah dan melakukan sesuatu kekhususan tanpa melanggar syariat, lebih sebagai penjelas syariat. Syaitan dapat menyaru layaknya tajalli-Nya kepada orang-orang yang belum diberi kemampuan (shultan), maka orang itu bisa jadi akan bertindak melanggar syariat agama karena samaran syaitan itu.

Bentuk-bentuk hubungan kepada Allah tidak hanya berupa hubungan secara langsung kepada-Nya. Banyak perbuatan dalam bentuk dzahir yang harus terlahir sebagai konsekuensi membina hubungan kepada Allah. Bersikap taat sepenuhnya kepada Rasulullah SAW merupakan bentuk ketaatan kepada Allah yang harus diwujudkan, dan hal itu tidak berarti syirik. Seseorang yang bersujud kepada Allah dengan menghadap pada baitul-haram sebagai kiblat tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan syirik, karena Allah telah menurunkan hujjah untuk perbuatan itu. Perbuatan dzahir yang sama bisa mempunyai bobot yang berbeda karena suatu dorongan keinginan yang berbeda. Bila seseorang bersujud kepada ka’bah tanpa landasan keinginan bersujud kepada Allah, maka ia dapat berbuat syirik. Bentuk hubungan turunan kepada Allah demikian tidak merupakan syirik, dan justru harus ditemukan dan dilaksanakan oleh setiap orang beriman. Banyak variasi bentuk keinginan yang mungkin menjadi latar belakang manusia bersujud, dan hal itu menentukan hujjah yang diturunkan Allah kepada seseorang.

Syirik di Antara Jalan Allah

Di antara kesyirikan yang tersamar di antara jalan yang diturunkan Allah adalah menjadikan para alim dan rahib-rahib sebagai tuhan selain Allah. Hal demikian terjadi manakala suatu umat mengikuti para alim dan para rahib mereka dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Hal demikian termasuk dalam kesyirikan yang tersamar, terjadi karena suatu umat kurang memperhatikan kehendak Allah atas diri mereka, tetapi lebih memperhatikan perkataan-perkataan para alim dan para rahib mereka. Suatu umat tidak serta-merta mengikuti para rahib dan para alim mereka dalam perkara demikian kecuali telah terjadi sebelumnya kelalaian dalam memperhatikan kehendak Allah.

﴾۱۳﴿اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلٰهًا وَاحِدًا لَّا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS At-Taubah : 31)

Para alim (الاحبار ) menunjuk pada orang-orang cendekia yang bertugas melakukan penyebaran dan penerapan nilai-nilai agama kepada masyarakat, dan para rahib (الرُهْبَانَ) lebih menunjuk pada orang-orang alim yang menterjemahkan atau menyampaikan kehendak Allah bagi manusia. Para rahib dapat dibayangkan sebagai perpanjangan dari peran para nabi, seperti nabi Isa dijadikan tuhan oleh sebagian manusia. Para alim dapat dibayangkan seperti para raja dan pengikutnya, seperti Sri Krisna yang dijadikan tuhan oleh sebagian pengikutnya. Pembagian demikian merupakan warna manusia dalam melaksanakan urusan Allah. Munculnya dualitas pembawa urusan itu bisa dirunut kepada hakikat Rasulullah SAW dan Khalifatullah Almahdi a.s. Hanya saja di kalangan umat, kedudukan masing-masing antara rahib dan ahbar tidak ditentukan seperti kedudukan antara Rasulullah dan khalifatullah, tetapi ditentukan oleh ketakwaan masing-masing. Khalifatullah adalah umat bagi Rasulullah, dan hubungan demikian tidak selalu terjadi di kalangan umat. Para rahib harus memperingatkan para ahbar yang menyimpang, dan para ahbar dapat menghukum para rahib yang salah.

Pada dasarnya para pengikut para alim dan rahib adalah orang-orang yang ingin mentaati Allah melalui ketaatan kepada panutan mereka. Hal itu benar merupakan tuntunan setiap agama, yaitu tuntunan untuk mentaati para pemegang urusan Allah. Hal itu benar-benar menjadi jalan untuk kembali kepada Allah. Akan tetapi sebagian manusia melupakan tujuan pokok dalam melakukan ketaatan hingga menyimpang dengan menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Manusia yang menjadikan tuhan-tuhan selain Allah adalah orang yang tidak memperhatikan tuntunan Allah dengan baik. Sebagian manusia silau dengan keajaiban yang diperlihatkan oleh para alim atau rahib mereka. Pada kasus lainnya, tanpa suatu keajaiban-pun manusia bisa mangangkat tuhan-tuhan selain Allah. Umat manusia bisa saja meninggalkan kitabullah dan sunnah Rasulullah dan lebih memperhatikan panutan mereka, hingga manakala rahib atau alim mereka menghalalkan sesuatu yang haram mereka menghalalkannya, dan manakala mengharamkan sesuatu yang halal, mereka mengharamkannya. Hal demikian ini menunjukkan bahwa seseorang telah menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan selain Allah.

Hal ini juga merupakan bentuk kesyirikan tersamar yang mungkin terjadi pada kaum muslimin. Terlepas dari segenap keinginan berupaya untuk beramal, setiap muslimin harus memperhatikan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW lebih daripada yang lain dengan menggunakan akal masing-masing. Akal seseorang yang benar adalah akal yang akan menyatukan diri dalam jalan bersembah kepada Yang Maha Esa bersama akal sahabatnya walaupun berbeda urusannya. Bila mengabaikan prinsip demikian, sama saja umat nasrani pun sebenarnya berupaya keras untuk beramal shalih sesuai kehendak Allah, tetapi mereka secara nyata mengangkat tuhan-tuhan selain Allah. Kaum muslimin tidak boleh mengulang kesalahan dengan memperhatikan benar-benar tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW hingga tidak terjatuh mengangkat manusia sebagai tuhan-tuhan selain Allah.

Hal ini tidak harus ditunjukkan dengan sikap membangkang hingga muncul pertengkaran, tetapi setiap orang harus teguh dalam berpegang kepada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Manakala mampu memerintahkan dengan al-ma’ruf hendaknya ia melakukannya. Bila ia tidak mampu mencegah kemunkaran, ia tidak boleh mengikuti kemunkaran itu, setidaknya bila dipaksa untuk mengikuti menghalalkan yang diharamkan dan sebaliknya ia dapat menyampaikan sikapnya menolak. Bila tidak menolak ketika dipaksa mengikuti, maka Allah Maha Mengetahui keadaan diri mereka, tetapi hal itu merupakan lemahnya keimanan.

Seringkali umat islam tidak menyadari syirik yang mungkin terjadi atas mereka karena lemah dalam berpegang pada tuntunan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW hingga terjatuh ikut menghalalkan apa yang diharamkan dan mengharamkan apa yang dihalalkan. Sebagian orang membenarkan tindakan demikian tanpa ikut melakukan perbuatan yang sama. Sebagian orang membenarkan tindakan demikian dan ikut berbuat untuk diri mereka sendiri, dan sebagian hingga memaksakan kepada orang lain. Hal ini merupakan fenomena fanatisme yang umum timbul di antara orang-orang yamg menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Orang yang dapat menolak paksaan bersikap demikian tidak termasuk dalam kelompok menghalalkan yang haram dan sebaliknya, dan tidak termasuk orang yang menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Bila tidak menolak, belum tentu mereka termasuk sebagai orang yang membenarkan perbuatan tersebut.

Pemaksaan sikap demikian dapat meletupkan perselisihan di antara masyarakat, setidaknya di antara orang yang memaksa dan orang yang dipaksa. Sekalipun dua orang melihat suatu amal shalih yang sama bagi mereka, langkah memaksakan pandangan itu akan menimbulkan masalah yang akan menghambat amal shalih. Kadangkala suatu amal shalih harus dikerjakan bersama, maka amal shalih itu kemudian tidak dapat dikerjakan karena landasan yang berbeda. Ada batas yang harus dihormati oleh seseorang terhadap orang lain terkait sikap kepada Allah, tetapi tidak boleh melupakan nasihat. Ada kebenaran yang harus dipahami oleh masing-masing pihak dari orang lain manakala terjadi perbedaan sikap kepada Allah. Hendaknya perbedaan sikap itu menjadi media untuk lebih meningkatkan sikap ihsan kepada Allah. Dalam upaya meningkatkan keihsanan, manusia perlu menyampaikan perkataan yang tegak (qaulan sadiidan). Perkataan yang tegak akan menjadikan manusia memahami kehendak Allah, sehingga dapat menemukan shirat al-mustaqim.

Syirik Tersamar Menutup Petunjuk Allah

Sesungguhnya Allah benar-benar memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman untuk mencapai jalan yang lurus. Hal ini akan diketahui oleh orang-orang yang memperoleh ilmu tentang kehendak Allah. Mereka akan menyaksikan bahwa hal-hal yang mereka temukan dalam kehidupan yang dahulu tampak kecil merupakan petunjuk Allah menuju jalan yang lurus, yaitu bila seseorang benar-benar ingin mengetahui kehendak Allah.

﴾۴۵﴿وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwasanya (Al Quran) itu adalah alhaq dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan Sungguh Allah benar-benar memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus (QS Al-Hajj : 54)

Sebelum memperoleh ilmu, hal itu mungkin tampak seperti perkara kecil yang terhubung hanya secara mengambang dengan keinginannya mengenal Allah. Walaupun mungkin kecil, ia dapat melihat bahwa itu sebuah petunjuk arah kehidupannya yang tidak dapat diabaikan. Sebenarnya hal itu merupakan petunjuk yang sangat bermanfaat karena mengarah pada shirat al-mustaqim. Setelah menginjak usia 40 tahun atau setelahnya, dan setelah masa penggembalaan 10 atau 12 tahun, petunjuk-petunjuk kecil itu akan menyatu menunjukkan suatu jalan ibadah bagi seseorang yang menginginkannya berupa shirat al-mustaqim.

Keinginan untuk mengenal kehendak Allah menjadi landasan bagi seseorang untuk memahami makna petunjuk-petunjuk kehidupannya. Bila keinginan itu jernih, semakin jelas pula makna petunjuk itu baginya. Bila bercampur dengan kesyirikan walaupun tersamar, maka seseorang tidak akan mengetahui adanya petunjuk-petunjuk Allah yang terhampar bagi dirinya. Boleh jadi ia berangan-angan dengan suatu bentuk petunjuk yang diinginkan hawa nafsunya sedangkan ia terlupa untuk memahami ayat-ayat Allah yang terhampar baginya, atau boleh jadi ia terhijab dari ayat Allah karena adanya sesuatu yang dipertuhankan. Maka ia tidak menemukan shirat almustaqim hingga akhir kehidupannya. Bila demikian, ia tidak boleh menyangkal bahwa Allah tidak benar-benar memberi petunjuk bagi orang beriman menuju shirat almustaqim.

Allah benar-benar memberikan petunjuk kepada orang beriman menuju shirat almustaqim. Bila tidak menemukan shirat al-mustaqim, sebenarnya diri orang-orang beriman yang tidak memahami petunjuk Allah karena tidak berusaha memahami ayat-ayat Allah dengan akal yang diberikan kepadanya. Dalam hal ini, adanya suatu kesyirikan yang tersamar benar-benar akan menutup seseorang untuk melihat petunjuk Allah. Hendaknya setiap orang beriman berusaha menjauhkan diri dari kesyirikan yang tersamar, baik berupa hawa nafsu dan syahwat ataupun orang-orang lain yang dijadikan tuhan-tuhan selain Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar