Pencarian

Selasa, 24 Oktober 2023

Prinsip Dasar Keharaman

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Rasulullah SAW menyeru manusia untuk kembali kepada Allah melalui jalan yang lurus (shirat al-mustaqim). Itu adalah jalan terdekat yang tersedia bagi setiap manusia untuk sampai kepada Allah Setiap orang dapat menemukan jalan itu dalam kehidupan dunia, akan tetapi hanya sedikit yang menemukannya. Sebagian orang menempuh perjalanan yang berliku-liku hingga akhirnya dapat kembali kepada Allah dengan selamat, sebagian menempuh jalan yang menyimpang hingga terjerumus ke dalam neraka, dan sebagian orang hanya berkutat dalam kehidupan jasmaniah mereka tanpa terpikir hakikat kehidupan mereka.

Untuk mengarahkan manusia ke jalan yang lurus, Allah memberikan ketentuan halal dan haram bagi manusia. Manusia hidup di alam yang terjauh dari sumber cahaya, sangat banyak kepalsuan yang dapat menyimpangkan manusia manakala mereka berkeinginan untuk menempuh jalan kembali kepada Allah. Segala sesuatu yang diharamkan Allah menunjukkan adanya penyimpangan terhadap jalan Allah yang akan menjadikan seseorang celaka. Keadaan di sisi Allah sangat jauh dari keadaan yang menjadi pokok-pokok yang diharamkan. Manakala seseorang melanggar pokok-pokok pengharaman, maka ia telah menyentuh jalan yang menyimpang.

Allah telah memberikan khabar tentang pokok-pokok pengharaman, yaitu : kekejian baik yang dzahir maupun yang bathin, perbuatan dosa, pelanggaran terhadap hak manusia tanpa alasan yang benar, melakukan syirik kepada Allah tanpa suatu hujjah, dan membuat perkataan tentang Allah tanpa mempunyai pengetahuan. Kelima hal itu merupakan pokok-pokok pengharaman yang akan memberi kabar pada seseorang adanya penyimpangan dari jalan Allah. Hendaknya setiap manusia mempertimbangkan setiap langkah mereka berdasarkan pokok pengharaman tersebut agar tidak menyimpang dari jalan kembali kepada Allah. Manakala mereka menemukan salah satu hal dari pokok pengharaman itu dalam langkah mereka, hendaknya mereka segera mencari jalan yang lebih baik karena itu adalah jalan yang menyimpang.

﴾۳۳﴿قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku hanyalah mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang dzahir ataupun yang bathin, dan perbuatan dosa, dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan shulthan untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan perkataan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui". (QS Al-A’raaf : 33)

bila tidak memperhatikan peringatan pokok yang haram, maka seseorang akan berada di jalan kesesatan. Sangat banyak orang yang memiliki keimanan kepada Allah tetapi tersesat karena tidak memperhatikan peringatan Allah melalui ketentuan halal dan haram. Sebagian di antara orang yang beriman kepada Allah menjadi orang-orang-orang yang menjadikan manusia sebagai tuhan-tuhan selain Allah, yaitu para ulama dan rahib di antara mereka.

Dari Adiy bin Hatim at-Tha’i berkata :
أتيتُ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ وفي عنقي صليبٌ من ذَهبٍ. فقالَ يا عديُّ اطرح عنْكَ هذا الوثَنَ وسمعتُهُ يقرأُ في سورةِ براءةٌ اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ قالَ أما إنَّهم لم يَكونوا يعبدونَهم ولَكنَّهم كانوا إذا أحلُّوا لَهم شيئًا استحلُّوهُ وإذا حرَّموا عليْهم شيئًا حرَّموه.
Aku (‘Adiy bin Hatim ath-Tha’i) datang kepada Nabi SAW sedangkan di leherku terdapat salib dari emas. Maka Nabi menasehatiku, ‘Wahai ‘Adiy jatuhkan berhala ini dari lehermu’. Dan aku mendengar Nabi Saw membaca ayat dari surat Bara’ah (ayat 31): Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahibnya sebagai tuhan selain Allah. (‘Adiy berkata) : sebenarnya mereka tidak menyembahnya, (Rasulullah SAW bersabda): tapi ketika mereka (ulama dan rahib) itu menghalalkan sesuatu maka mereka (umat) ikuti, dan ketika mereka (ulama dan rahib) itu mengharamkan sesuatu mereka (umat) ikuti. (HR At-Tirmidzi no. 3095 dalam Kitab Shahih At-Tirmidzi)

Setiap orang harus berusaha memahami kehendak Allah dengan pemahaman yang benar. Manakala mereka tidak memperhatikan ketentuan halal dan haram, pemahaman yang terbina dalam diri mereka akan cenderung menyimpang hingga mengalami kesesatan yang sangat jauh menjadi penyembah tuhan-tuhan selain Allah, sedangkan mereka menyangka hanya menyembah Allah. Tentu sangkaan mereka keliru, karena bahkan akal mereka sebenarnya tidak dapat membedakan antara halal dan haram yang ditentukan Allah, maka perlu dipertanyakan apakah pemahaman mereka tentang kehendak Allah bernilai benar, sehingga penyembahan mereka bernilai benar. Demikian pula mereka akan tidak mengetahui bahwa mereka telah menjadikan manusia sebagai tuhan selain Allah.

Manakala seseorang berada di antara umat yang demikian, hendaknya mereka tidak mengikuti pemahaman dan tindakan mereka. Bila ia mempunyai pengetahuan yang lebih baik, ia harus melakukan amar ma’ruf nahy munkar dengan sebaik-baiknya, tanpa menimbulkan pertengkaran di antara umat. Ia tidak perlu mengharapkan hasil yang segera karena sangatlah sulit memberikan pengetahuan al-ma’ruf kepada orang yang merasa mempunyai pengetahuan. Penyimpangan yang terjadi di antara umat akan menjadi urusan yang berat terutama antara Allah dengan orang yang dijadikan tuhan selain Allah. Bahkan nabi Isa a.s pun akan menghadapi perkara itu di hadapan Allah, walaupun beliau tidak mempunyai salah sedikitpun. Perkara itu juga akan menjadi urusan Allah dengan orang-orang yang menjadikan tuhan-tuhan selain Allah, tidak bagi orang lain. Tanggung jawab seseorang hanyalah menyampaikan amar ma’ruf nahy munkar.

Adapun bila seseorang dipaksa untuk mengikuti pemahaman atau langkah menjadikan tuhan-tuhan selain Allah, maka ia harus menghindari atau menolak paksaan itu. Hal ini terutama pada urusan menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Dalam banyak hal, urusan yang dikerjakan orang yang berusaha mengikuti petunjuk Allah bukan perbuatan yang salah, hanya saja tidak memperhatikan kehendak Allah dengan benar. Hanya sebagian perbuatan yang salah, tetapi seringkali dampaknya sangat berat. Setelah menolak pemaksaan paham dan tindakan, hendaknya ia lebih memperhatikan dengan seksama tuntunan kitabullah untuk memperhatikan kehendak Allah daripada membuta mengikuti pemahaman dan perbuatan orang lain.

Kekejian ( الْفَوَاحِشَ )

Kekejian adalah penyimpangan yang terjadi dari jalan yang ditentukan. Allah berada di tempat yang Maha Tinggi, dan Dia menurunkan jalan-jalan itu hingga kehidupan manusia di dunia. Setiap orang dapat kembali kepada Allah dengan menempuh jalan Allah yang diturunkan-Nya. Bila ia menempuh jalan yang keliru, maka ia akan menyimpang dari jalan Allah. Seorang perempuan yang menempuh jalan kembali melalui selain suaminya dan meninggalkan suaminya akan terjatuh pada perbuatan keji karena itu bukan jalan yang ditentukan Allah baginya. Pada dasarnya demikian pula bagi setiap laki-laki yang meninggalkan isterinya. Pada tingkatan yang lebih tinggi, setiap laki-laki harus mengikuti akalnya tidak boleh meninggalkannya untuk mengikuti orang lain, karena akalnya itulah jalan yang diturunkan Allah bagi dirinya. Ia boleh meninggalkan pemahaman yang lama mengikuti orang lain bila akalnya telah memahami kebenaran yang lebih baik.

Perbuatan keji mencakup keadaan dzahir maupun bathin. Kekejian tidak hanya berupa perbuatan keji yang terwujud secara dzahir. Suatu kekejian yang tersimpan dalam bathin tanpa didzahirkan termasuk dalam hal yang diharamkan karena mempunyai pengaruh besar yang membuat seseorang menyimpang jalannya. Seorang isteri yang menyimpan rasa cinta kepada laki-laki selain suaminya, atau seorang laki-laki yang menyimpan rasa cinta kepada isteri orang lain merupakan perbuatan keji yang diharamkan sekalipun tidak diwujudkan. Mewujudkan rasa cinta itu menjadi perbuatan yang lebih berat keharamannya, dan benar-benar melanggar pokok yang diharamkan.

Setiap orang harus menghindari kekejian hingga akar yang ada dalam hatinya. Bila seseorang tidak membersihkan hatinya dari suatu kekejian, ia akan tersimpangkan langkahnya ketika berjalan menuju Allah. Sangat sulit bagi seseorang untuk berbuat dengan benar manakala tertanam suatu kekejian di dalam hatinya. Setiap orang harus dibersihkan dari kekejian walaupun kekejian itu boleh jadi bukan penyakit yang ditumbuhkannya sendiri. Seseorang dapat terkena qadzaf berupa guna-guna atau ilmu pengasihan yang membuat kekejian bathin itu tertancap dalam hati, maka ia akan kesulitan untuk dapat berbuat dengan benar sekalipun ia menginginkan berbuat benar. Tidak jarang persepsi orang yang ada kekejian dalam bathinnya terbalik-balik dari realitasnya. Apa yang benar dinilai salah dan apa yang salah dinilai benar, dan lain-lain. Kekejian itu harus dilepaskan terlebih dahulu dari hatinya agar ia dapat berbuat benar.

Kekejian tersebar pada setiap tingkatan. Dikhabarkan bahwa suatu cahaya datang kepada syaikh Abdul Qadir Jailani dalam suatu ibadahnya, dan cahaya itu mengatakan bahwa dirinya adalah Allah. Syaikh merasa gembira dengan kedatangan cahaya itu karena dalam pandangannya menjadi tanda tibanya ridla Allah kepada dirinya. Dalam perjalanan taubat, ada sebuah fase di mana Allah memperkenalkan diri-Nya sesuai kemampuan hamba-Nya berupa tajalli Allah, sebagaimana nabi Musa a.s bertemu pohon api suci di thur Sina. Yang diperkenalkan Allah tentang diri-Nya hanyalah yang mampu dikenal sang hamba tersebut. Kegembiraan syaikh Abdul Qadir Jailani saat itu sirna manakala cahaya tersebut kemudian menghalalkan bagi syaikh apa-apa yang dahulu diharamkan, dan syaikh kemudian mengetahui bahwa cahaya itu hanyalah Iblis yang menyaru. Itu adalah potensi penyimpangan yang bisa terjadi di tingkatan yang tinggi.

Sangat banyak kemungkinan penyimpangan di tingkat yang lebih samar. Dalam hal ini samar menunjukkan bobot yang ringan, tidak menunjuk pada jenis dzahir atau bathin. Misalnya (tidak terbatas pada) manakala seorang isteri mengeluhkan suaminya yang dipandang terlalu berkeinginan melaksanakan amal shalih, isteri tersebut memperoleh dukungan umat dan umat mencegah suaminya melakukan amal shalih dan menghakimi suaminya sebagai orang tidak adil, tanpa berusaha memahami terlebih dahulu apa yang diperjuangkan suaminya. Atau boleh jadi ada orang mengeluhkan kepada manusia tentang suatu petunjuk Allah, maka umat kemudian merusak jalan-jalan untuk mencegah terwujudnya petunjuk itu tanpa berpegang pada landasan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Hal demikian dapat menjadi contoh penyimpangan yang samar.

Para mukminat pada dasarnya berbakti kepada Allah melalui bakti kepada suaminya, tidak mencari jalan yang lain. Bila suaminya orang yang kafir, hendaknya ia dapat memberikan imbangan terhadap suaminya sebagaimana Asiyah r.a binti Muzahim terhadap Fir’aun. Bila suaminya beriman, amal shalih suaminya adalah sumber amal shalih bagi dirinya. Bila seorang suami berusaha beramal shalih dan isteri mengadukan suaminya kepada orang lain, tindakan itu menyalahi jalan yang ditentukan Allah. Orang yang melakukan hal demikian dan orang yang menyambut pengaduannya pada dasarnya hanyalah orang-orang yang mengalami kebingungan dalam menempuh jalan Allah, dan ini adalah tanda kekejian yang samar. Bukan mustahil ada kekejian yang nyata menjadi latar belakang kebingungan demikian. Bila pengaduan seorang isteri kepada orang lain adalah kedzaliman suaminya, maka hal demikian harus ditindaklanjuti dengan meminta pertanggungjawaban suaminya, tidak hanya dihukumi berdasarkan pengaduan sepihak.

Demikian pula bila seseorang mengeluhkan suatu petunjuk Allah kepada manusia, itu adalah gejala kekejian yang samar. Allah menurunkan petunjuk agar manusia dapat memperoleh jalan dan arah untuk kembali kepada Allah. Tidak ada alasan bagi manusia untuk mengeluhkan petunjuk Allah. Bila ia bergembira dengan suatu petunjuk, petunjuk itu sangat mungkin berasal dari hawa nafsunya atau bahkan syaitan. Secara umum, syaitan tidak menyesatkan manusia dari apa yang tidak disukai manusia. Bila ia merasa berat mengikuti petunjuk yang datang, itu sangat mungkin adalah petunjuk Allah. Ia tidak boleh mengeluhkan kepada makhluk lain tentang petunjuk yang datang.

Tidak jarang makhluk lain akan memberikan reaksi yang salah terhadap keluhan seseorang, hingga merusak petunjuk Allah atau membuka jalan bagi syaitan. Syaitan dapat memunculkan petunjuk baginya untuk menggantikan petunjuk Allah. Manusia dapat merusak jalan-jalan untuk mengikuti petunjuk sehingga seseorang menimbulkan kesulitan yang besar untuk mengikuti petunjuk. Dengan kesulitan mengikuti petunjuk, seseorang akan terhambat atau terhenti dalam perjalanan kembali kepada Allah, atau tersimpangkan langkahnya hingga tersesat. Mengeluhkan petunjuk Allah merupakan tanda adanya kekejian yang tersamar. Manakala seseorang mengeluhkan petunjuk Allah, ia harus menyadari bahwa sangat mungkin dirinya menghadap pada suatu qiblat yang salah, dan ia mungkin akan berjalan menyimpang.

Sangat banyak contoh bentuk-bentuk kekejian yang tersamar. Hal ini akan jelas bagi orang-orang yang benar-benar ingin kembali kepada Allah dengan benar melalui jalan-jalan yang diturunkan-Nya. Ini adalah jalan orang yang ikhlash, tidak ada keinginan lain dalam upayanya kembali kepada Allah. Kadangkala seseorang melihat dirinya ikhlas, tetapi ada hembusan kesombongan yang dinikmati ketika kembali kepada Allah, maka ia akan bisa celaka karena menikmatinya di dunia. Barangkali ia tidak melihat itu sebagai kesombongan tetapi nikmat Allah yang dikaruniakan. Bagi orang yang ikhlas, ia akan tetap menginginkan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW sekalipun dihembus dengan berbagai kenikmatan yang besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar