Pencarian

Selasa, 17 Oktober 2023

Ilmu dalam Perjalanan Taubat

Allah telah mengutus Rasulullah SAW ke alam dunia untuk menjadi tauladan bagi seluruh umat manusia dalam beribadah kepada Allah. Hendaknya seluruh umat manusia mengikuti jejak langkah beliau SAW dengan membentuk akhlak al-karimah dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan mengikuti Rasulullah SAW, seseorang akan menemukan jalan untuk kembali kepada Allah menjadi hamba yang didekatkan.

Menyatukan langkah hanya dapat dilakukan seseorang bila ia mempunyai kerangka ilmu. Setiap orang harus membina kerangka ilmu dalam diri mereka agar dapat melakukan tafaquh terhadap tuntunan Allah. Tanpa ilmu, seseorang tidak akan mempunyai referensi untuk menyatukan langkah terhadap langkah Rasulullah. Ilmu walaupun sedikit tetap merupakan bayang-bayang cahaya Allah, dan dari yang sedikit itu setiap orang harus mencari jalan memperoleh yang lebih baik. Bila seseorang membuang cahaya yang sedikit, ia akan terjatuh pada kegelapan.

﴾۶۳﴿وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al-Isra : 36)

Ayat di atas bukan berarti melarang seseorang untuk mengikuti, tetapi melarang manusia untuk tidak mempunyai ilmu. Terhadap Rasulullah SAW, larangan itu tidak muncul karena Rasulullah SAW memberikan tauladan dalam setiap aspek kehidupan. Selama seseorang mempunyai keimanan bahwa nabi Muhammad SAW adalah Rasulullah, maka hendaknya ia mengikuti Rasulullah SAW. Seandainya seseorang hanya mengetahui kebaikan adab Rasulullah SAW terhadap orang lain, ia boleh mengikuti kebaikan adab yang diketahuinya. Apabila seseorang mempunyai pengetahuan tentang Allah dan kedudukan Rasulullah SAW di sisi Allah, maka hendaknya ia mengikuti Rasulullah SAW dengan pengetahuannya. Setiap orang hendaknya mengikuti Rasulullah SAW dengan pengetahuan terbaiknya. Tidak mengikuti Rasulullah SAW untuk suatu pengetahuan lain hanyalah sebuah kebodohan, bukan suatu pengetahuan yang benar.

Terhadap selain Rasulullah SAW, larangan itu harus benar-benar diperhatikan. Setiap orang bisa menjumpai keadaan yang bermacam-macam. Ada syaitan yang dapat menipu manusia baik yang bodoh maupun yang pandai, ada orang-orang jahat yang berkeinginan menyesatkan. Ada orang-orang alim tetapi ilmu mereka tidak meliputi segenap aspek. Bila seseorang tidak memperhatikan jalannya dalam mengikuti orang lain, maka ia dapat terperosok dalam kesalahan yang berbahaya.

Selain keadaan di atas, ada orang-orang yang dapat benar-benar memberi petunjuk kepada manusia untuk menuju kebenaran, tetapi hendaknya umat lebih memperhatikan kaitan seruan mereka terhadap firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak mengikuti secara bebas apa yang mereka sampaikan tanpa mencari pijakannya dari kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Firman Allah dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW lebih memberikan pijakan yang kokoh bagi orang-orang yang berusaha memahami kebenaran daripada perkataan seluruh manusia.

Bertuhan Selain Allah

Dalam sebuah hadits diceritakan tentang suatu bahaya yang dapat menimpa orang-orang yang tidak berpegang pada ilmu dalam kehidupan mereka, sebagaimana hadits berikut :

Dari Adiy bin Hatim at-Tha’i berkata :
أتيتُ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ وفي عنقي صليبٌ من ذَهبٍ. فقالَ يا عديُّ اطرح عنْكَ هذا الوثَنَ وسمعتُهُ يقرأُ في سورةِ براءةٌ اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ قالَ أما إنَّهم لم يَكونوا يعبدونَهم ولَكنَّهم كانوا إذا أحلُّوا لَهم شيئًا استحلُّوهُ وإذا حرَّموا عليْهم شيئًا حرَّموه.
Aku (Adi bin Hatim ath-Tha’i) datang kepada Nabi SAW sedangkan di leherku terdapat salib dari emas. Maka Nabi menasehatiku, ‘Wahai Adi jatuhkan berhala ini dari lehermu’. Dan aku mendengar Nabi Saw membaca ayat dari surat Bara’ah (ayat 31): Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahibnya sebagai tuhan selain Allah. (‘Adiy berkata) : sebenarnya mereka tidak menyembahnya, (Rasulullah SAW bersabda): tapi ketika mereka (ulama dan rahib) itu menghalalkan sesuatu maka mereka (umat) ikuti, dan ketika mereka (ulama dan rahib) itu mengharamkan sesuatu mereka (umat) ikuti. (HR At-Tirmidzi no. 3095 dalam Kitab Shahih At-Tirmidzi)

Adiy bin Hatim merupakan seorang sahabat yang masuk islam dari sebelumnya mengikuti agama kristiani. Kristiani yang tersebar di jazirah Arab lebih diwarnai kristen tauhid semacam kristen arian. Mereka adalah pengikut kristiani yang tidak mengakui trinitas ketuhanan sebagaimana kristiani yang lain, dan tersebar ke jazirah arabia karena nubuwah tentang nabi akhir jaman yang akan turun di wilayah Arabia. Demikian ‘Adiy bin Hatim merupakan penganut kristen yang bertauhid, walaupun dalam kacamata modern tampak sebagai kristen yang tercampur dengan agama shabiiyah. Sekalipun bertauhid, bukan jaminan bahwa penganut agama itu berjalan dengan lurus. Kristen di Arabia tidak terlepas dari praktek menjadikan orang-orang alim dan para rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.

Rasulullah SAW menerangkan keadaan mereka termasuk kepada ‘Adiy bin Hatim, dan Adiy bin Hatim menyanggah penjelasan Rasulullah SAW tersebut. Dalam pandangan ‘Adiy bin Hatim, orang-orang kristen semacam dirinya tidaklah menjadikan orang-orang alim dan rahib mereka, juga nabi Isa a.s sebagai tuhan-tuhan yang mereka sembah. Rasulullah SAW mengetahui pendapat ‘Adiy dan menjelaskan lebih lanjut bahwa cara mereka menjadikan para alim dan rahib sebagai tuhan tidaklah dengan cara menyembah mereka, akan tetapi dengan mengikuti mereka secara berlebih tanpa pengetahuan, sedemikian manakala para alim dan rahib mereka menghalalkan apa yang diharamkan, maka mereka mengikutinya menghalalkan apa yang diharamkan. Demikian pula manakala para alim dan rahib mengharamkan apa yang dihalalkan, maka mereka mengikuti mengharamkan apa yang dihalalkan. Hal demikian itu adalah bentuk penyembahan terhadap para alim dan rahib di antara mereka.

Dengan pernjelasan Rasulullah SAW demikian, Adiy bin Hatim mengetahui keutamaan yang besar dalam jalan ibadah kaum muslimin, yaitu beribadah dengan dasar akal yang memahami kehendak Allah. Sekalipun sama-sama bertauhid, umat yang mengikuti Rasulullah SAW mempunyai derajat yang berbeda dengan kristiani yang sebelumnya diikutinya karena adanya penekanan terhadap penggunaan akal dalam beribadah. Menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal merupakan gejala pokok yang menunjukkan jatuhnya umat beragama pada penyembahan kepada selain Allah, dalam hal ini penyembahan terhadap para ulama dan rahib. Gejala tersebut hanya terjadi pada umat yang akalnya lemah, atau tumbuh secara menyimpang dari kehendak Allah, hingga bahkan hal-hal pokok yang diharamkan dan dihalalkan dapat saling tertukar dalam pandangan umat. Gejala itu tidak akan terjadi pada umat yang menggunakan akalnya dengan benar.

Rasulullah SAW barangkali tidak menyebut mereka sebagai orang-orang musyrik karena tidak ada keinginan untuk menyembah selain Allah. Akan tetapi mereka bukanlah kaum yang dapat tumbuh dengan baik karena akal yang terberangus dalam penyembahan kepada selain Allah. Dalam beberapa kategori, mereka dapat dikatakan sebagai kafir karena mendustakan ayat-ayat Allah. Beberapa ayat Allah yang tidak dipilih oleh para alim dan rahib di antara mereka menjadi tidak berfungsi karena digantikan dengan sabda-sabda para alim dan rahib di antara mereka sedangkan sabda itu bertentangan dengan firman Allah.

Memperbaiki Keadaan

Mendukung para ulama dan rahib dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah merupakan tanda yang nyata bahwa umat telah menjadikan para ulama dan rahib sebagai tuhan selain Allah. Tanda demikian tidak berdiri sendiri, tetapi sebenarnya disertai dengan keburukan yang banyak yang mendahuluinya. Memperbaiki ubudiyah kepada Allah di antara umat yang demikian harus disertai dengan memperbaiki keburukan-keburukan yang terbina sebelumnya, tidak hanya dengan langkah kembali mengharamkan yang haram dan menghalalkan yang halal. Ada hal fundamental pada umat yang tidak dapat mendukung perbaikan, yaitu sikap umat dalam menggunakan akal. Setiap orang harus mempunyai kemampuan menggunakan akal dengan benar.

Di antara buruknya keadaan mereka adalah keadaan semacam orang yang tidak mempunyai akal untuk memahami kehendak Allah. Mereka hanya mengenal kebenaran dari apa yang dikatakan sebagai kebenaran, dan mengenal keburukan dari apa yang dikatakan sebagai keburukan. Ketika suatu keburukan dikatakan sebagai kebaikan, mereka menyangka itu sebagai kebaikan. Ketika suatu kebaikan dikatakan sebagai keburukan, mereka menyangka itu sebagai keburukan. Mereka tidak dapat menemukan jalan yang disediakan Allah bagi masing-masing untuk melangkah mendekat kepada Allah melalui kebenaran. Ketika Allah memberikan petunjuk, mereka tidak mengenal kandungan petunjuk tersebut. Bahkan manakala kitabullah berbicara secara fasih tentang keadaan mereka, mereka boleh jadi akan mendustakan firman Allah atas diri mereka tersebut. Itu gejala yang timbul bahwa mereka menjadikan para alim dan rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.

Seringkali tampak adanya sikap fanatik pada kaum demikian. Barangkali ada orang-orang yang mengeluhkan ketetapan yang diturunkan Allah dan justru mendapatkan dukungan umat. Masyarakat tidak mengembalikan keadaan mereka menuju jalan Allah tapi justru menjauhkannya dalam bentuk dukungan. Misalnya manakala seorang isteri mengeluhkan suaminya yang dipandang terlalu berkeinginan melaksanakan amal shalih, isteri tersebut memperoleh dukungan umat dan umat mencegah suaminya melakukan amal shalih dan menghakimi suaminya sebagai orang tidak adil, tanpa berusaha memahami terlebih dahulu apa yang diperjuangkan suaminya. Atau boleh jadi ada di antara mereka orang mengeluhkan kepada manusia tentang suatu petunjuk Allah, maka umat kemudian merusak jalan-jalan asbabnya untuk mencegah terwujudnya petunjuk itu tanpa berpegang pada landasan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Fanatisme demikian ini merupakan bentuk kekufuran yang sangat merusak umat manusia. Seharusnya setiap orang diarahkan untuk kembali mencari kehendak Allah dalam kehidupan mereka, dan itulah bentuk keislaman yang sesungguhnya. Dalam hal semacam ini, sebenarnya masyarakat mengabaikan atau tidak ingin mengetahui kehendak Allah, tetapi lebih cenderung hanya mengikuti persangkaan atau perkataan orang-orang alim dan rahib di antara mereka.

Secara sosial, keburukan yang mungkin muncul antara lain prasangka buruk terhadap orang-orang yang berusaha beramal shalih, suatu prasangka tertentu yang termasuk dalam kategori perkataan yang paling dusta. Sebagian prasangka di antara umat demikian (terutama terhadap orang-orang yang menemukan bentuk amal shalih) merupakan bagian dari perkataan yang paling dusta hingga dapat menghilangkan kekuatan untuk terlahirnya amal shalih. Prasangka itu kemudian menyebar sebagai perkataan yang kokoh di antara masyarakat. Manakala seseorang di antara mereka menemukan perintah Allah bagi diri mereka, mungkin muncul tuduhan-tuduhan buruk yang mengakibatkan kekuatan untuk beramal mengempis. Barangkali perkataan itu tidak berpengaruh besar dalam motivasi personal, tetapi akan mempengaruhi kekuatan beramal yang membutuhkan dukungan sosial. Hal ini akan berpengaruh terhadap umat. Amal shalih yang seharusnya menjadi inspirasi bagi yang lain hanya akan dianggap keburukan, dan umat akan lebih senang beramal dengan persangkaan mereka sendiri daripada mengenal amal shalih yang menjadi kehendak Allah. Persangkaan buruk demikian harus diredakan atau diganti dengan tumbuhnya sikap supportif terhadap orang yang berusaha menunaikan amal shalih mereka.

Karena keadaan demikian, apa yang menjadi kehendak Allah bagi umat manusia menjadi terbengkalai tidak dijadikan sebagai amal shalih. Mereka tidak menghambakan diri kepada Allah walaupun menginginkannya, tetapi menghambakan diri kepada para ulama dan rahib di antara mereka. Urusan para ulama dan rahib menjadi lebih utama daripada apa-apa yang dikehendaki Allah untuk ruang dan jaman mereka. Mereka menyangka bahwa mereka menghambakan diri kepada Allah sedangkan mereka mengabaikan kehendak Allah atas mereka. Sebenarnya Allah dan Rasulullah SAW memandang bahwa mereka telah mengabdi kepada para ulama dan rahib di antara mereka, sedangkan mereka menyangka mengabdi kepada Allah.

Jalan utama agar umat yang demikian bisa kembali ke jalan Allah adalah membina umat agar menggunakan akal dengan benar. Perlu dilakukan pelatihan dan bimbingan terhadap kekuatan jiwa dalam mengamati ayat-ayat Allah baik kauniyah maupun dalam kitabullah, dan hubungan di antara keduanya. Tidak semua orang yang kuat pikirannya mempunyai akal yang kuat. Kekuatan akal seseorang diukur dari pemahaman seseorang terhadap hubungan ayat dalam kitabullah dan kauniyah secara sinergis. Kekuatan akal tidak diukur berdasarkan kemampuan lisan menceritakan ulang apa yang diceritakan kepada mereka. Dalam ibarat misykat, kekuatan akal itu diukur dari kualitas bayangan pohon thayibah yang terbentuk dalam bola kaca mereka. Kekuatan akal itu yang akan memurnikan penghambaan sesseorang kepada Allah, membersihkan penghambaan kepada selain Allah termasuk kepada para ulama dan rahib di antara mereka.

Keikhlasan tidak akan terbentuk pada diri seseorang dengan usaha mereka sendiri, tetapi akan terbentuk karena terbinanya akal. Para ulama khawarij membina keikhlasan manusia dengan pengajaran memerangi bid’ah dan mereka merasa diri paling suci. Kalaupun mereka suci, kesucian itu tidak akan membina akal mereka untuk memahami ayat Allah. Cara itu tidaklah membina keikhlasan kecuali hanya khayalan saja. Sebagian orang menempuh jalan tazkiyatun-nafs, maka tazkiyatun-nafs itu membantu tumbuhnya akal, dan tumbuhnya akal menumbuhkan keikhlasan. Tazkiyatun-nafs tidaklah dilakukan untuk mencapai kesucian diri, tetapi untuk menumbuhkan keikhlasan, dan hal itu akan terjadi melalui tumbuhnya kekuatan akal dalam memahami ayat-ayat Allah, berupa pemahaman terhadap ayat kauniyah bersama dengan ayat kitabullah. Nafs mereka menjadi peka dan membutuhkan ayat-ayat Allah. Manakala seseorang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, atau mengikutinya, kekuatan akal yang ada sebenarnya hampir runtuh. Langit hampir runtuh dan bumi hampir-hampir terbelah manakala seseorang mengatakan bahwa Allah mengambil anak, apalagi bila mereka menjadikan sesuatu sebagai tuhan selain Allah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar