Pencarian

Selasa, 17 Januari 2023

Amar Ma’ruf dan Tujuan Kehidupan

Allah menghendaki orang-orang beriman untuk membentuk diri mereka sebagai bagian dari umatan wahidah, akan tetapi mereka tetap hidup dalam perselisihan tidak memahami kehendak Allah dengan cara yang benar. Landasan untuk membentuk ummatan wahidah telah diturunkan kepada Rasulullah SAW, dan orang-orang yang mengikuti beliau SAW akan menjadi bagian dari umatan wahidah. Umat wahidah hanya terbentuk bila setiap orang beriman membentuk diri mereka mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan millah Ibrahim a.s. Banyak orang yang menyeru pada persatuan umat akan tetapi tidak mengerti dasar terbentuknya umatan wahidah, maka seruan mereka menarik umat dalam suatu kesatuan parsial yang seringkali mempunyai nuansa hawa nafsu. Tidak sedikit seruan persatuan umat yang dilakukan oleh suatu pihak justru untuk memecah belah umat Rasulullah SAW, membentuk suatu kelompok mengikuti kebenaran parsial yang mereka rumuskan dan merintis jalan untuk menyalahkan kelompok lainnya.

Untuk mencapai umatan wahidah, orang-orang beriman harus berusaha memperoleh tempat di antara orang-orang beriman yang membentuk jalinan kasih sayang dan persaudaraan di atas pengetahuan tentang kehendak Allah yang sebenarnya, tidak mengikuti seruan untuk berbangga dengan kebenaran parsial yang mereka ikuti sendiri. Nuansa kehidupan orang beriman yang mendekati kehendak Allah adalah umat yang setiap orang berusaha menjadi wali bagi yang lain, menyuruh pada pengetahuan tentang kehendak Allah bukan keinginan mereka sendiri, mencegah umat dari berbuat berdasar kebodohan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka mentaati Allah dan Rasulullah SAW. Adanya setiap ciri di atas mempertegas perbedaan antara keadaa yang benar dengan nuansa yang bercampur dengan munafik.

﴾۱۷﴿وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) wali bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh dengan yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS At-Taubah : 71)

Manusia yang berusaha menjadi bagian dari umat yang benar keimanannya akan berusaha menjadi wali bagi orang beriman lainnya hingga terbentuk kehidupan yang sebaik-baiknya. Manakala seorang beriman menjumpai saudaranya seiman tidak mempunyai kemampuan melakukan sesuatu yang seharusnya, maka hendaknya mereka berusaha menjadi wali agar saudara seimannya mempunyai kemampuan, tidak membiarkannya tetap dalam keadaan tidak mampu atau justru menganggapnya sebagai orang yang harus disingkirkan. Manakala tidak terbentuk keadaan demikian, maka boleh jadi mereka bukan umat yang dapat mengerti tentang kehendak Allah yang sebenarnya, atau menunjukkan adanya nifaq pada keimanannya.

Dalam hal ini sangat banyak aspek yang merupakan sendi kehidupan di antara manusia, dan barangkali tidak seluruh aspek tersebut dapat diperhatikan oleh jamaah orang-orang beriman. Tidak semua kasus ketidakmampuan seseorang menunaikan amal dapat dijadikan parameter kemunafikan umat tersebut. Beberapa aspek menjadi pokok yang harus menjadi perhatian utama dan aspek lainnya menjadi cabang yang dapat diperhatikan setelah pokoknya. Pokok utama yang harus diperhatikan di antara umat adalah memerintahkan urusan yang menjadi kehendak Allah (amar ma’ruf) dan mencegah berbuat berdasarkan kebodohan (nahy munkar). Itu adalah sendi keumatan yang utama. Amar ma’ruf nahy munkar hanya dapat dilaksanakan oleh pribadi-pribadi yang dibentuk dengan kualitas tertentu, dan amar ma’ruf nahy munkar menjadi sendi pokok keumatan. 

Kehidupan orang beriman pada dasarnya berada pada tepi jurang neraka, di sisi luar neraka akan tetapi dekat. Orang-orang yang menyeru pada al-ma’ruf dan mencegah dari kemunkaran adalah orang-orang yang mengajak manusia untuk menjauh dari jurang neraka. Mereka menyeru orang-orang beriman untuk mendekat pada sumber keselamatan dan membangun rumah pada tempat yang tepat bagi masing-masing orang. Orang yang mengenal al-ma’ruf mengetahui wilayah yang tepat untuk membangun rumah abadi, yaitu wilayah yang menjadikan setiap manusia mampu bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah. Mereka menyeru manusia dengan al-ma’ruf agar manusia berhijrah menuju wilayah itu dan mencegah manusia dari kemunkaran yang mengarahkan mereka ke neraka.  

Sebenarnya orang yang melaksanakan amar ma’ruf nahy munkar merupakan orang yang paling beriktikad untuk menjadi wali bagi orang beriman lain pada bidang amal shalih yang ditetapkan Allah baginya. Al-ma’ruf merupakan pengetahuan seseorang tentang kehendak Allah yang diketahui hatinya dan mempunyai akar pengetahuan pada kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW. Al-munkar adalah setiap perbuatan yang dapat menimbulkan madlarat karena terlahir tanpa landasan pengetahuan yang benar, baik karena pengetahuan yang salah maupun tidak adanya landasan pengetahuan. Pengetahuan tentang kehendak Allah yang disumbangkan seseorang bagi orang beriman lainnya itu merupakan bentuk kewalian yang berusaha ia berikan. Demikian juga upayanya mencegah manusia dari kebodohan. Amar ma’ruf nahy munkar merupakan bentuk kewalian yang paling utama yang dapat diberikan seorang mukmin kepada mukmin yang lain, karena dengan hal itu kaum mukminin mengetahui jalan untuk dekat kepada Allah dan mengetahui jalan untuk terhindar dari celaka. 

Terkait perwalian yang harus dilakukan orang-orang beriman, orang-orang yang melaksanakan amar ma’ruf nahy munkar harus menjadi pokok perhatian. Orang beriman harus memberikan perhatian utama kepada orang yang berupaya melakasanakan amar ma’ruf nahy munkar dan berusaha menjadi wali bagi orang itu tidak membiarkannya tersia-sia. Manakala seseorang mempunyai pengetahuan tentang kehendak Allah, maka membantu orang itu untuk beramal pada dasarnya menjadi bentuk pertolongan kepada Allah, dan membiarkannya tersia-sia berarti tidak memperhatikan urusan Allah bagi mereka, dan boleh jadi keimanan mereka tidak termasuk dalam kategori mukminin dan mukminat, baik karena hati yang tumpul terhadap cahaya Allah atau karena tipuan syaitan dan sifat munafik yang menempel dalam hati mereka.

Keadaan ini sangat penting diperhatikan. Al-ma’ruf seharusnya dapat memberikan jejak pemahaman dalam hati orang-orang yang beriman karena isi al-ma’ruf itu merupakan tujuan utama dalam kehidupan orang beriman. Demikian pula tentang upaya mencegah kemunkaran, ia akan menjadi peringatan bagi hati orang beriman, tidak dipandang sebagai suatu serangan yang mengganggu. Bila suatu umat tidak membentuk sikap demikian, ada suatu bahaya besar yang mengintai mereka dalam setiap langkah perjalanan kembali kepada Allah. Pemimpin mereka akan kewalahan menjaga sendirian umatnya dalam perjalanan, dan ini bisa menjadi sebuah pertanda bahwa mereka akan celaka dalam perjalanan mereka. Hendaknya setiap orang beriman membuka akal agar dapat merasakan dan mengerti makna setiap ma’rifat yang disampaikan kepada mereka.

Sikap Orang Munafik

Orang-orang yang beriman harus dapat mengenali orang-orang yang menegakkan amar ma’ruf nahy munkar karena mereka menjadi penjelas bagi firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Banyak orang munafik yang menggunakan firman Allah dengan cara yang tidak benar, bahkan ada di antara orang-orang munafik yang mengatakan perkataan-perkataan kufur hingga mereka menjadi kafir setelah keislaman mereka. Ketika Allah menurunkan penjelasan masalah perkataan mereka, mereka bersumpah atas nama Allah bahwa mereka tidaklah mengatakan hal demikian.

﴾۴۷﴿يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا وَمَا نَقَمُوا إِلَّا أَنْ أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِن فَضْلِهِ فَإِن يَتُوبُوا يَكُ خَيْرًا لَّهُمْ وَإِن يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذَابًا أَلِيمًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Mereka bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu) sedangkan sungguh mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mereka menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. (QS At-Taubah : 74)

Perkataan-perkataan mereka itu merupakan celaan-celaan terhadap kebenaran yang ditujukan kepada orang beriman, berupa perkataan yang disusun dengan cara yang salah tidak memperhatikan kehendak Allah, tetapi hanya untuk mencapai keinginan mereka sendiri. Mereka mempunyai suatu kepentingan dibalik perkataan yang mereka sampaikan. Mereka menginginkan apa yang tidak dapat mereka capai, dan mereka tidaklah akan dapat menggapai apa yang mereka inginkan. Manakala orang beriman menjelaskan perkataan itu, para munafikin itu menolak sendiri sanad perkataan itu kepada diri mereka.

Mereka mencela al-ma’ruf dengan bekal yang telah mereka peroleh yang dikaruniakan Allah berupa kekayaan dan fadhilah. Apa yang mereka cela dari orang-orang beriman yang menyampaikan al-ma’ruf barangkali didasarkan pula pada fadhilah-fadhilah yang dikaruniakan Allah kepada mereka, tetapi tidaklah kekayaan fadhilah itu bermanfaat manakala mereka lebih mengejar keinginan-keinginan mereka. Pengetahuan mereka bukan bagian dari al-ma’ruf atau bayangannya. Mereka itu sebenarnya telah mengatakan perkataan-perkataan yang kufur dan mereka telah kufur setelah keislaman mereka.

Sekalipun kufur setelah keislaman, barangkali Allah belumlah menjadikan mereka sebagai bagian dari orang yang pasti mendapatkan adzab. bertaubat dari hal demikian akan mendatangkan kebaikan bagi mereka. Apabila mereka berpaling dari kebenaran, niscaya Allah akan memberikan adzab kepada mereka dengan adzab yang pedih di kehidupan dunia maupun akhirat. Apaabila Allah membuka permasalahan orang-orang yang mencela al-ma’ruf dari kalangan orang-orang munafiq, maka mereka tidak akan lagi mempunyai penolong dan wali yang membantu mereka bahkan dalam kehidupan dunia. 

Orang-orang munafik merupakan bagian dari orang-orang beriman yang terburu-buru untuk membangun rumah dengan keinginan mereka sendiri tanpa memperhatikan petunjuk Allah, hingga kadang mereka membangunnya dari neraka atau bahkan di dalam neraka. Manakala seseorang mencela amar ma’ruf nahy munkar yang dilakukan oleh orang beriman, sangat mungkin mereka itu termasuk kelompok orang yang membangun rumah kekafiran di dalam neraka. Apabila mereka menyadarinya dan bertaubat meninggalkan apa yang dibangunnya, maka mereka akan memperoleh kebaikan. Bila mereka tidak meninggalkan apa yang dibangunnya, maka bangunan itu akan menjadi tempat tinggal baginya selamanya.  

Mengikuti Al-Ma’ruf

Tanpa seruan dengan al-ma’ruf dan mencegah kemunkaran, orang beriman akan sulit untuk berjalan menjauh dari tepi jurang neraka. Barangkali mereka berkeinginan untuk menjauh dari neraka, akan tetapi barangkali tidak mengetahui jalannya sehingga mereka berjalan berkeliling di sekitar neraka atau justru mendekat ke neraka. Sebagian orang tidak menyadari bahwa mereka di tepi neraka atau bahkan tidak menyadari telah terjerumus ke dalamnnya. Sebagian orang mempunyai konsep tentang tanah yang dijadikan sebagai tempat hijrah bagi mereka, tetapi tidak mengetahui jalan untuk mencapainya sedangkan mereka mengira bahwa mereka berjalan menuju tempat itu, tanpa berpegang pada tuntunan yang diturunkan Allah, maka boleh jadi mereka hanya melangkah berputar-putar atau bahkan tersesat tidak menjumpai musyahadah.

Orang yang menyeru pada al-ma’ruf dan mencegah kemunkaran hendaknya berhati-hati dalam berkata-kata agar tidak terjadi terbaliknya seruan itu. Rasulullah SAW bersabda kepada Muadz ibn Jabal r.a sambil memberikan isyarat ke lidah :

كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا قال يَا نَبِيَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ ؟ قال ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
Tahanlah olehmu ini! (Mu’adz) bertanya : Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab ucapan yang kita katakan ? Beliau SAW menjawab : Kasihan engkau hai Mu’adz! Adakah yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka di atas wajah-wajah mereka atau hidung-hidung mereka? Hanyalah di atas hasil-hasil lisan-lisan mereka ?”. [HR Tirmidzi, no: 2616; Ibnu Mâjah, no: 3872; Ahmad 5/230, 236, 237, 245]

Orang yang mengenal al-ma’ruf sangat berkeinginan agar orang lain mengenal pula al-ma’ruf yang dikenal oleh dirinya, dan menyimpan keinginan untuk bersama-sama menempuh perjalanan menuju tanah tempat tinggal mereka yang abadi. Mereka juga mempunyai rasa takut karena banyak hal yang bisa membuat mereka celaka dalam perjalanan itu. Suatu perkataan keliru yang keluar dari lisannya dapat menjerumuskan sahabatnya ke jurang neraka, maka dengan itu ia akan terikat pula pada sahabat itu. Kadangkala yang terjadi bukan kesalahpahaman sahabatnya karena perkataannya, tetapi sahabatnya tersangkut kesalahan dirinya. Karena itu hendaknya setiap orang menjaga lisannya yang dapat menjerumuskan manusia ke neraka. Manakala ia berkata, hendaknya ia berusaha agar perkataan yang disampaikan lurus dan tegak tidak membuat orang lain mempunyai interpretasi yang salah terhadap maksud perkataannya.

Bagi orang yang beramar ma’ruf nahy munkar, tujuan paling penting dari upaya yang disampaikannya adalah keterbukaan akal sahabatnya terhadap pengetahuan tentang kehendak Allah, bukan keikutsertaan sahabatnya kepada dirinya. Bila akal terbuka, seseorang bisa memperoleh peringatan dari sahabatnya manakala ia keliru. Kualitas kebersamaan di antara mereka akan lebih baik manakala mereka mempunyai tujuan mulia yang sama. Seseorang tidak harus menanggung resiko banyaknya kesalahan yang mungkin terjadi di antara mereka bila akal tidak terbuka. Manakala mereka tiba di tanah yang dijanjikan, sahabat tersebut hanya akan mengenalinya sebagai tanah suci dengan akalnya. Bila akal mereka tertutup ketika mengikuti seruannya, maka upaya mereka akan sia-sia walaupun mereka tiba di tanah yang dijanjikan karena boleh jadi mereka tidak mengetahui makna tanah yang dijanjikan tersebut. Banyak faktor yang menjadikan keterbukaan akal lebih berharga daripada kesertaannya saja.

Bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahy munkar, keterbukaan akal seorang sahabat memberikan makna jauh lebih baik daripada kesertaan mereka. Hanya saja ada sebuah keutamaan yang membuat mereka harus diikuti berupa pengetahuan tentang al-ma’ruf. Setiap orang hendaknya mentaati seruan orang yang melakukan amar ma’ruf nahy munkar karena kebaikan yang mereka perkenalkan kepada umat. Ketaatan itu hendaknya dengan ketaatan yang ma’ruf. Tanpa ketaatan di atas pengetahuan tentang kehendak Allah (tha’atun ma’rufah), maka kesertaan manusia akan menjadi beban bagi orang yang menyeru. Bila dilakukan ketaatan yang ma’ruf, maka penyeru itu hanya perlu meluruskan manakala terjadi penyimpangan pada langkah mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar