Pencarian

Rabu, 05 Oktober 2022

Agama dan Tashawwuf

Rasulullah SAW dan orang-orang yang bersama beliau SAW menyeru umat manusia untuk kembali kepada Allah melalui taubat. Kembali kepada Allah adalah memperbaiki akhlak hingga mencapai kesempurnaan akhlak mulia. Rasulullah SAW adalah makhluk yang diberi kesempurnaan kemuliaan akhlak, yang dengan kesempurnaan itu beliau SAW dapat memahami dengan benar seluruh hakikat penciptaan yang digelar Allah untuk dipahami makhluk-Nya tanpa kekeliruan. Sebagian manusia yang bertaubat memperoleh limpahan akhlak mulia hingga memperoleh sebagian dari pemahaman Rasulullah SAW tanpa berselisih.

Dalam proses taubat mengikuti Rasulullah SAW, terdapat sebuah batas yang menjadi pembeda keadaan pengikut Rasulullah SAW. Batas itu adalah pengetahuan tentang fitrah diri. Para pengikut Rasulullah SAW mempunyai dua status yang berbeda karena adanya pengetahuan fitrah diri, yaitu orang yang memperoleh agama (ad-diin) dan orang yang belum memperoleh agama. Orang yang sedang mengalami keterbukaan terhadap fitrah dirinya berarti sedang berada pada gerbang agama (ad-diin), sedangkan sebagian besar manusia belum mengetahui letak gerbang agama masing-masing. Gerbang agama itu adalah awal dari agama (ad-diin) bagi seseorang.

﴾۰۳﴿فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
﴾۱۳﴿ مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Ad-diin); (yaitu) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang tegak; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (31) dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,(QS Ar-Ruum: 30-31)

Tidak semua orang yang mengikuti Rasulullah SAW telah melalui gerbang agama, akan tetapi semua merupakan pengikut Rasulullah SAW selama seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat. Seseorang tidak boleh menggolongkan mereka sebagai kafir. Boleh jadi seseorang baru memasuki gerbang berserah diri (muslim), atau yang lebih lanjut memasuki gerbang keimanan (mukmin), dan sebagian orang memasuki gerbang agama mereka. Setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat adalah pengikut Rasulullah SAW yang tidak dapat diperangi kecuali dengan hujjah yang nyata. Kewajiban antara satu pengikut Rasulullah SAW dengan yang lain adalah menyeru pada al-ma’ruf dan melarang dari kemunkaran baik dengan tangan, ucapan atau sekadar dengan hati mereka.

Di antara bagian perjalanan mengikuti Rasulullah SAW, terdapat bagian perjalanan berupa pembinaan nafs agar seseorang dapat mengenal fitrah dirinya, berupa upaya tazkiyatun nafs membina hawa nafsu agar dapat mengenali fitrah diri terbebas dari penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi diakibatkan dorongan hawa nafsu. Seringkali pembinaan diri tersebut disebut sebagai tashawwuf. Tashawwuf merupakan bagian dari perjalanan mengikuti Rasulullah SAW. Pembinaan demikian hanya dapat dilakukan dengan dipimpin oleh orang yang telah memasuki gerbang agama dan mempunyai fitrah diri sebagai pembimbing tashawwuf.

Kadangkala sebagian muslimin memperdebatkan hal yang tidak perlu terkait tashawwuf karena tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang perjalanan mengikuti Rasulullah SAW. Mereka memecah-belah agama menjadi beberapa golongan dan setiap golongan berbangga dengan apa yang ada pada golongan mereka sendiri. Mereka tidak berpikir untuk mengikuti langkah Rasulullah SAW menuju akhlak mulia tetapi berbangga dengan pendapat yang mereka susun sendiri, dan meyakini bahwa pendapat mereka itulah yang disebut sebagai mengikuti Rasulullah SAW, sedangkan mereka mempunyai akhlak yang buruk tanpa akal untuk memahami.

﴾۲۳﴿مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
(32)yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.(QS Ar-Ruum: 32)

Kelompok demikian sebenarnya dibangkitkan oleh orang-orang musyrik untuk mengalahkan umat Rasulullah SAW. Hendaknya kaum muslimin mewaspadai seruan yang membangkitkan kebanggaan terhadap kelompok sendiri, dan memperhatikan seruan untuk menuju pengetahuan (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Kesempurnaan akhlak manusia tergantung pada perkembangan akal dalam diri mereka, yaitu kemampuan untuk berpegang pada tuntunan Allah yang terdapat pada Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.

Karakteristik Dalam Agama (Ad-Diin)

Pada tingkatan agama, seseorang harus membangun bayt untuk berdzikir dan meninggikan asma Allah mengikuti millah Ibrahim a.s mendirikan bayt bersama keluarganya. Wujud bayt bagi setiap orang itu adalah kesatuan seseorang dengan berbagai hal yang menjadi bagian dirinya, terutama dan diawali penyatuan nafs wahidah dirinya. Dengan kesatuan itu, ia harus memberikan pelayanan bagi umatnya sesuai dengan fitrah dirinya. Misalnya bila fitrah diri seseorang adalah raja, ia harus menyatukan bagian dirinya berupa kesatuan bersama sang ratu dan kerajaan yang harus dibentuk. Ia harus mengabdi kepada Allah dengan fitrah dirinya.

Bayt merupakan hal yang sangat penting bagi orang yang berada dalam agama. Proses dalam pelaksanaan fitrah diri sangat terkait dengan kesatuan nafs wahidah. Terlahirnya amal shalih bagi umat sangat terkait dengan kesuburan yang ada di antara dua insan yang menikah. Seorang laki-laki yang mengenal Allah akan mengalami kesulitan melahirkan urusan mereka bagi umat tanpa didampingi oleh isteri yang shalihah dan subur. Seorang isteri yang shalihah akan terbatasi lingkup manfaatnya dalam rumah tangga tanpa mempunyai suami yang shalih dan mengenal urusan Allah bagi mereka. Kelahiran amal shalih bagi umat mereka hanya akan terlahir bila ada penyatuan nafs kedua pihak dalam amr Allah.

Terdapat beberapa fitur utama yang harus dicapai dalam penyatuan nafs wahidah membentuk bayt, berupa (1) perbincangan/komunikasi antara suami-isteri untuk memperoleh ketakwaan dalam perkara yang dihadirkan Allah bagi mereka, dan (2) pengetahuan kedudukan diri mereka dalam jamaah kaum mukminin di bawah pimpinan Rasulullah SAW berupa al-arham. Dengan kedua hal ini, seseorang akan mengetahui fitrah diri mereka sebagai bagian dari urusan yang diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW dan tidak melampaui batas-batas yang ditetapkan bagi mereka, karena mengetahui kedudukan mereka di antara mukminin lain.

﴾۱﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling bertanya satu sama lain, dan (bertakwalah) terhadap Al-arham. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An-Nisaa’ : 1)

Bayt merupakan sasaran utama mengikuti millah Ibrahim a.s, menjadi sebuah sarana yang harus dibentuk untuk dapat mengikuti Rasulullah SAW menjadi hamba yang didekatkan. Melahirkan amal shalih, perbincangan untuk meraih ketakwaan dan al-arham dapat diperoleh pasangan menikah melalui upaya membentuk bayt.

Rasa mawaddah dan rahmah di antara suami-isteri akan terbentuk melalui proses dalam ayat ini, yaitu proses terlahirnya amal shalih, terjadinya perbincangan di antara mereka tentang Allah untuk meraih ketakwaan, dan adanya pengenalan tentang kedudukan mereka di antara jamaah pengikut Rasulullah SAW. Ini adalah cinta kasih sejati yang terbentuk di antara mukmin yang menikah. Kecintaan dapat terbentuk melalui berbagai jaan, tetapi sebagian besar dapat luntur seiring waktu dan perubahan dalam diri, akan tetapi akan abadi manakala cinta terbentuk melalui proses ini. Sebagian mukmin barangkali hanya dapat mencintai melalui proses yang ada pada ayat demikian, tidak dapat melalui jalan yang lain.

Dengan proses terbentuknya mawaddah dan rahmah, sepasang mukmin dapat lebih mudah membentuk bayt untuk berdzikir dan meninggikan asma Allah. Meninggikan asma Allah harus dilakukan dengan menyatukan apa yang terserak dari diri seseorang, berupa pengenalan nafs wahidah dan penyatuan segala hal yang menjadi turunan dari diri mereka berupa pasangan dan bagian alam mulkiyah yang diperuntukkan bagi mereka.

Al-arham pada intinya merupakan pengetahuan seseorang tentang kedudukan diri dalam urusan yang menjadi amanah Rasulullah SAW untuk ruang dan waktu dirinya. Dalam tataran praktisnya, seseorang akan mengenali orang-orang yang harus terhubung dengan dirinya dan mengenali bentuk hubungan yang harus dibentuk. Al-arham merupakan komponen yang kedudukannya sejajar dengan komunikasi untuk ketakwaan, komponen yang mendukung keberhasilan meninggikan asma Allah melalui bayt. Pengenalan terhadap al-arham dapat diperoleh melalui keberpasangan dan proses penyatuan nafs wahidah.

Sebagai contoh, mungkin seseorang menjadi imam agama pada jamannya, maka ia harus mengetahui hubungannya dengan imam tashawwuf yang sejaman agar dapat menunaikan amanah sebagai bagian dari urusan Rasulullah SAW dalam al-jamaah. Demikian pula ia harus mengenal hubungan yang harus dibentuk bersama dengan orang yang lain. Hal itu merupakan contoh bentuk al-arham yang harus terbentuk di dalam agama. Setiap orang seharusnya mengenali sahabat yang harus berjuang bersamanya. Tanpa hal itu, seseorang mungkin saja akan tersesat dalam agamanya, atau tidak mampu menunaikan amanahnya, atau setidaknya ia akan melampaui batas-batas diri dalam menunaikan agama.

Tashawwuf Sebagai Serambi Agama

Dalam tingkatan tashawwuf dan sebelumnya, setiap orang harus menurunkan ide membentuk bayt sebagai sasaran dalam langkah mereka, bersamaan dengan upaya mencapai sasaran tahapan perjalanan yang ditempuh. Serambi agama tidak dapat berdiri sendiri tanpa mengarah pada agama. Seorang guru yang benar mungkin mengatakan bahwa suci itu tidak hanya untuk diri sendiri. Yang beliau maksud adalah bahwa pensucian jiwa (tazkiyatun nafs) mempunyai tujuan untuk melahirkan amal shalih bagi umat mereka, dan itu seharusnya terbentuk melalui bayt. Hal itu bisa mempunyai makna yang sama dengan pentingnya membentuk bayt untuk melahirkan amal shalih.

Pada tahap tashawuf, pengenalan diri akan terjadi bila perjalanan seseorang mengarah pada terbentuknya bayt. Tazkiyatun nafs akan berjalan ke arah yang benar bila semua pihak memperhatikan rumah tangga mereka. Seorang mursyid harus membimbing para murid untuk dapat membentuk rumah tangga berdasarkan tuntunan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW, maka proses pembinaan nafs dapat berarah dengan benar. Arah yang benar dalam proses tashawuf akan menentukan keberhasilan seseorang untuk mengenal fitrah diri mereka. Proses yang cepat pada arah yang salah tidak akan mengantarkan seseorang mencapai sasaran, sedangkan proses yang perlahan pada arah yang benar akan mendekatkan seseorang pada sasarannya.

Setiap orang harus membangun pondasi rumah tangga berdasarkan millah Ibrahim a.s, yaitu penyatuan nafs wahidah dan turunannya. Pernikahan sebisa mungkin dilakukan untuk menyatukan dua nafs yang berasal dari satu nafs wahidah yang sama, tidak karena landasan lain. Bila rasa cinta menjadi landasan, maka cinta itu bisa terbentuk dalam setiap komponen individu, baik komponen jasadiah atau hawa nafsu, atau mungkin pula nafs wahidah. Bila landasan pernikahan adalah cinta, maka boleh jadi mereka hanya akan menyatukan jasadiah atau hawa nafsu mereka saja, tidak berhasil menyatu pada nafs wahidah. Masalah kesuburan, perbincangan untuk ketakwaan dan pengenalan al-arham akan terbentuk dengan baik pada pasangan dari satu nafs wahidah, dan itulah yang akan mengantarkan pasangan untuk saling mencintai dengan cinta sejati.

Walaupun demikian, perasaan cinta tidak boleh diabaikan, karena hawa nafsu pun merupakan turunan dari nafs wahidah yang terlahir karena jasad yang hidup. Hanya saja hawa nafsu itu seringkali terwarnai kebodohan. Bila sepasang manusia menerima petunjuk keberpasangan mereka, maka aspek rasa cinta harus dikalahkan. Petunjuk yang mengalahkan rasa cinta itu lebih mendekati tuntutan nafs wahidah daripada kesenangan hawa nafsu. Jauh lebih banyak manusia yang harus lebih berjuang menundukkan hawa nafsu daripada yang hawa nafsunya sejalan dengan kebenaran. Hawa nafsu dan nafs wahidah sama sekali tidak berada pada derajat yang sama. Hawa nafsu merupakan nafs yang palsu, sedangkan nafs wahidah merupakan inti penciptaan manusia yang sebenarnya. Bila pasangan nafs wahidah berhasil mengarah pada terbentuknya bayt, maka akan tumbuh cinta yang sejati di antara mereka.

Mendahulukan nafs wahidah daripada kecintaan hawa nafsu ini seringkali menjadi masalah bagi pasangan yang memperoleh petunjuk. Fenomena ini sering terjadi pada orang-orang dalam tingkatan tashawwuf, dimana seseorang kadang memperoleh petunjuk yang benar tetapi hawa nafsu masih kuat mempengaruhi. Kadangkala seseorang yang telah memasuki tingkatan agama juga mengalami hal demikian, lebih disebabkan karena ada persepsi yang terbentuk tentang pasangannya tampak tidak sejalan dengan arah hidupnya, atau ketidakyakinan akan menempuh arah hidup yang sama. Hal demikian hendaknya disikapi dengan mendekatkan pergaulan mereka hingga mereka dapat mengetahui keadaan pasangannya dengan baik, bukan berdasar persepsi prematur. Bilamana ada masalah sebelumnya yang menghambat pergaulan mereka, maka perlu dilakukan langkah ishlah terlebih dahulu hingga masalah di antara mereka terurai dengan baik.

Pernikahan merupakan setengah bagian dari agama. Pada tingkatan apapun, pernikahan memberikan landasan yang kuat bagi seseorang untuk melangkah kembali kepada Allah. Pernikahan yang terbaik akan terwujud dari pasangan yang berusaha menyatukan diri dalam nafs wahidah yang menjadi asal-usul penciptaan mereka. Itu merupakan jati diri yang menjadi kedudukan terbaik bagi mereka, dan itu merupakan landasan bagi agama yang terbaik bagi mereka, tidak dapat digantikan oleh landasan-landasan yang berdasarkan hawa nafsu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar