Pencarian

Minggu, 16 Oktober 2022

Kakbah Sebagai Bayt Al-haram

Allah telah menjadikan kakbah yang dibangun oleh nabi Ibrahim a.s bersama sang putera Ismail a.s di tanah haram makkah sebagai bayt al-haram yang tegak bagi manusia. Kakbah itulah bayt yang dijadikan Allah sebagai bayt yang menjadi tauladan bagi seluruh manusia untuk dijadikan kiblat dalam mengarungi kehidupan di bumi. Ia bersifat tegak, yaitu bilamana manusia mengambil pelajaran dari kisah kakbah maka ia akan memperoleh pelajaran yang menjadikannya dapat melangkah maju lebih dekat kepada Allah.

﴾۷۹﴿ جَعَلَ اللَّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ قِيَامًا لِّلنَّاسِ وَالشَّهْرَ الْحَرَامَ وَالْهَدْيَ وَالْقَلَائِدَ ذٰلِكَ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah telah menjadikan Ka'bah sebagai bayt al-haram yang tegak bagi manusia, dan bulan Haram, hadya dan qalaid. Yang demikian itu agar kalian mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Maidah : 97)

Pada dasarnya setiap manusia harus membina bayt masing-masing berupa tegaknya nafs wahidah dirinya bersama pasangannya dan kesatuan hal-hal yang terserak bagi mereka untuk melaksanakan amr Allah yang dijadikan amanah bagi diri mereka. Tanpa bayt, segala sesuatu akan tetap terserak bagi seseorang hingga ia tidak akan dapat meninggikan asma Allah. Hanya dengan bayt yang diijinkan Allah maka seseorang akan dapat meninggikan dan mendzikirkan asma Allah.

Bayt Ibrahim a.s berupa kakbah itulah contoh bayt yang diijinkan Allah untuk meninggikan dan mendzikirkan asma Allah. Ia menjadi bayt yang tegak yang dijadikan tauladan bagi manusia, maka hendaknya setiap orang menjadikannya kiblat kehidupannya agar ia dapat berjalan di bumi dengan arah yang benar. Hal ini sangat penting diperhatikan. Seseorang dapat tersesat arahnya bila mengambil kiblat kehidupan yang lain walaupun kiblat itu berupa kebenaran. Mungkin suatu kaum mengambil kiblat langkah perjalanan bani Israel, atau mengikuti kiblat pengajaran timur hindu atau filsafat yunani dan segala sumber tauladan kebenaran yang pernah diturunkan Allah di bumi. Walaupun mungkin merupakan kebenaran, tapi hal-hal itu bukanlah kiblat yang menjadi arah kehidupan. Kiblat kehidupan manusia adalah kakbah yang dijadikan Allah sebagai bayt al-haram.

Bayt Al-haram dijadikan kiblat bagi manusia dalam keadaan apapun. Bukan hanya orang yang telah berhijrah ke pengenalan diri yang harus mengarahkan kiblatnya ke bayt al-haram. Orang yang gelisah dalam menempuh kehidupan, orang yang mencari makna segala sesuatu dalam kehidupannnya, orang yang ditimpa masalah dan segala macam keadaan, hingga orang yang mengenal penciptaan dirinya, hendaknya mereka semua menghadapkan wajahnya ke arah bayt al-haram. Bila ia membuka diri untuk menerima pelajaran dari bayt al-haram, ia akan mengetahui ke arah mana ia harus melangkah. Tanpa menghadap ke bayt al-haram, seseorang akan tersesat menempuh arah kehidupan.

﴾۹۴۱﴿وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِن رَّبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Dan dari mana saja kamu keluar, maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang haqq dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Baqarah : 149)

Bila seseorang mengarahkan wajahnya ke bayt al-haram dan mengambil pelajaran darinya, ia akan dapat mengambil langkah yang benar dalam kehidupannya. Hal itu adalah kebenaran dari Allah (alhaqq). Seringkali perenungan kehidupan tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan niat baik. Kadangkala seseorang menyatakan dengan sebenarnya bahwa ia mencari kebenaran, atau ia mencari Allah, atau ia benar-benar memohon kepada Allah memberi arah kehidupan, tetapi kehidupannya berjalan ke arah yang salah. Hal demikian dapat terjadi karena ada hal yang terlewat yang harus diperhatikan kembali, bahwa Allah telah menurunkan kiblat melalui Ibrahim a.s dan keluarga beliau.

Kadangkala seseorang tertimpa masalah dan melihat berbagai saran yang membingungkannya karena semua terlihat benar, atau mungkin ia tidak dapat menimbang bobot kebenaran dari semua saran dan kemungkinan solusinya, atau ia tidak dapat melihat kesalahan dari suatu solusi yang disarankan. Hendaknya ia melihat kepada millah Ibrahim a.s dan keluarganya, dan mengikuti arah yang sesuai atau paling mendekati arah perjalanan Ibrahim a.s dan keluarganya. Bila seseorang tergesa-gesa mengangkat masalahnya ke langit tanpa memperhatikan jalannya ke arah kiblat, syaitan bisa menyambarnya manakala ada keluhan yang terungkap dan bisa jadi syaitan memberikan solusi palsu bagi masalahnya ataupun merusak keadaan semestanya hingga ia tidak mengetahui arah yang benar.

Bagi seorang pencari kebenaran, sebuah keluhan yang terungkap bisa sangat berbahaya karena syaitan dapat menebarkan duri penghalang yang sangat banyak dalam perjalanan taubatnya berdasar keluhannya. Pada dasarnya suatu keluhan adalah dosa kepada Allah. Begitu pula ungkapan keengganan memikul keadaan yang terjadi. Syaitan akan menyebarkan banyak masalah terkait langkah taubat yang harus dilakukan manakala suatu keluhan telah terungkapkan. Hal ini tidak berarti seseorang tidak boleh berdoa, tetapi hendaknya ia tidak melupakan untuk memperhatikan hal-hal yang telah diturunkan Allah terkait masalahnya dan meletakkan masalah pada kedudukannya melalui millah Ibrahim a.s dan keluarganya.

Menggali At-thayyib Melalui Bayt Al-Haram

Dalam keadaan apapun setiap orang hendaknya menghadapkan wajah ke bayt al-haram. Sangat banyak pengetahuan terdapat di sepanjang jalan mengikuti millah Ibrahim a.s yang tidak layak ditinggalkan. Pengetahuan-pengetahuan itu akan menjadikan seseorang mengetahui bahwa Allah maha mengetahui segala yang terdapat di langit dan bumi. Manakala seseorang ditimpa masalah, ia akan menjumpai bahwa dengan menghadapkan wajah ke bayt al-haram mengikuti millah Ibrahim a.s akan mendatangkan jawaban yang bersifat dekat dengan pengetahuan Allah. Dengan semakin banyaknya pengetahuan yang diperoleh dengan mengikuti millah Ibrahim a.s, maka seseorang akan mengetahui bahwa Allah mengetahui segala sesuatu.

Pengetahuan yang diperoleh dengan cara demikian termasuk at-thayyibat. Dengan menghadapkan wajah ke masjid al-haram, seseorang akan memperoleh kebaikan berupa at-thayyibat. Pengetahuan itu berasal dari Allah yang bermanfaat bagi kehidupan baik di alam dunia maupun alam akhirat. Kebaikan demikian itu bukan sebuah rekaan keahlian lisan dalam mengambil hikmah. Orang yang memperoleh at-thayyibat akan mengetahui bahwa nilai yang diperoleh dari at-thayyibat itu berbeda dengan yang lain berupa ungkapan indah lisan. Mereka dapat membedakan dengan jelas ungkapan indah lisan tanpa pengetahuan dari Allah dengan hal yang berupa pengetahuan dari Allah.

Ungkapan indah lisan tanpa pengetahuan dari Allah itu termasuk dalam kelompok al-khabits. Kebanyakan manusia hanya memperoleh dan mengungkapkan al-khabits, namun hal itu telah bisa membangkitkan motivasi sementara. Sangat banyak motivator dapat mengarahkan dan membangkitkan manusia tanpa landasan kitabullah atau tanpa kejelasan asal usul landasannya. Demikian pula banyak orang mengungkapkan kata-kata penuh ungkapan hiasan indah tanpa mengerti makna yang diucapkannya layaknya beo yang menirukan suara. Hal-hal demikian termasuk dalam kelompok al-khabits.

﴾۰۰۱﴿قُل لَّا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Katakanlah: "Tidak sama yang buruk (alkhabits) dengan yang baik (at-thayyib), meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan". (QS Al-Maidah : 100)

Sebagian perkataan khabits itu disampaikan dalam bentuk-bentuk perjuangan agama. Misalnya sebagian orang mengatakan: tetaplah membicarakan bid’ah walaupun tidak melihatnya karena Rasulullah SAW membicarakannya sedangkan tidak ada ahli bid’ah di hadapan beliau SAW. Perkataan demikian ini bagi sebagian besar umat manusia merupakan perkataan khabits karena dibuat untuk membangkitkan perselisihan. Rasulullah SAW membicarakan bid’ah dalam keadaan memahami perihal bid’ah yang akan terjadi, sedangkan mereka berbicara bid’ah hanya berkeinginan membuat perselisihan di antara kaum muslimin tanpa memahami atau tanpa keinginan memahami apa yang dimaksud sebagai bid’ah. Mengikuti perbuatan gemar memperselisihkan masalah di antara muslimin merupakan perbuatan yang terlahir dari al-khabits. Selain contoh di atas, ada banyak perkataan-perkataan khabits yang dihadirkan dalam bentuk seruan agama.

Bobot dari perkataan yang baik (at-thayyibat) sangatlah berbeda dengan perkataan yang berasal dari perkataan tanpa landasan yang jelas (al-khabits), namun tidak semua orang dapat merasakan perbedaaan di antara keduanya. Kebanyakan manusia menilai sesuatu tidak sepenuhnya berdasarkan hati akan tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh perkataan orang lain atau dipengaruhi batasan pengetahuan dirinya, sedangkan ia tidak membuka hati dan akal sepenuhnya untuk menimbang kebenaran berdasarkan seluruh hal yang bisa dipertimbangkan akalnya. Dengan keadaan demikian, maka kebanyakan manusia hanya mengikuti kebenaran menurut perkataan orang lain.

Banyaknya orang yang menilai baik tentang sesuatu yang buruk hendaknya tidak menghalangi seseorang untuk menilai dengan nilai sebenarnya. Untuk memberikan nilai sebenarnya, seseorang dituntut seseorang untuk memperkuat akalnya dan membuka hati terhadap kebenaran, tidak didikte dengan pendapat orang lain tentang kebenaran. Bila seseorang tidak melakukan tazkiyatun nafs, maka akalnya tidak akan memperoleh kemampuan memberikan nilai. Bila seseorang melakukan tazkiyatun nafs tetapi tidak menggunakan akalnya, maka ia tidak memperoleh manfaat tazkiyatun nafs. Orang baik yang tidak berakal akan mudah ditipu oleh syaitan, dan akan mudah terjatuh oleh fitnah manakala Allah mendatangkannya. Setiap orang harus membina akalnya dan membuka hatinya untuk memahami kebenaran maka ia akan mampu memberikan bobot nilai terhadap kebaikan (at-thayyibat) dan keburukan (al-khabitsat) dengan seharusnya.

Yang dimaksud akal adalah kemampuan seseorang berpegang pada kehendak Allah melalui firman-Nya dan sunnah Rasulullah SAW. Tidak dikatakan berakal orang yang mampu berpikir luas tanpa mengetahui kaitan pikirannya dengan kehendak Allah melalui firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Orang yang berakal adalah orang yang memahami kehendak Allah, dan pemahamannya dapat dibuktikan dengan firman Allah dan sunnah Rasulullah SAW. Pemahaman tentang kehendak Allah yang tidak dapat dibuktikan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW seringkali sebenarnya hanya merupakan halusinasi walaupun boleh jadi banyak orang mempercayai. Dengan akal demikian inilah seseorang dapat memberikan nilai yang benar terhadap at-thayyibat dan al-khabitsat. Setiap orang harus membina akal yang demikian, tidak boleh membiarkannya tidak berkembang.

Tumbuhnya kekuatan akal dengan menghadapkan wajah pada bayt al-haram serupa dengan pertumbuhan nafs melalui pernikahan. Bila seseorang tidak menikah, pertumbuhan nafs akan terjadi secara semu tidak berakar dengan kuat. Demikian pula akal yang tumbuh tanpa menghadapkan wajah kepada kiblat akan menghadapi banyak pertumbuhan semu hingga dapat menyebabkan seseorang tersesat. Berjalan kembali kepada Allah dalam langkah taubat membutuhkan sasaran praktis yang dapat diwujudkan dalam perbuatan tidak semata berpegang pada niat taubat. Sasaran praktis ini akan membuat seseorang mewujudkan langkah yang kokoh berupa amal di bumi. Sasaran praktis taubat yang dibenarkan Allah adalah bayt al-haram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar