Pencarian

Kamis, 24 Februari 2022

Nafs Wahidah dan Rahmat Allah

Nafs Wahidah dan Ketakwaan

Allah menciptakan setiap manusia berdasarkan nafs wahidah, dan dengan nafs wahidah tersebut seseorang dapat mengetahui ukuran ketakwaan dirinya kepada Allah. Nafs wahidah terkait sangat erat dengan ketakwaan-ketakwaan yang harus dibangun oleh setiap insan. Seseorang tidak mempunyai ukuran ketakwaan manakala tidak mengkaitkan amal perbuatannya dengan nafs wahidah. Manakala seseorang berbicara ketakwaan sedangkan ia tidak mengetahui hubungannya dengan nafs wahidah dirinya, mungkin itu tanpa pijakan pengetahuan yang kokoh.

﴾۱﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An-Nisaa’ : 1)

Nafs wahidah merupakan cetak biru penciptaan setiap manusia. Kelahiran setiap manusia di alam jasmani merupakan wujud yang terbentuk berdasar nafs wahidah masing-masing, akan tetapi tidak banyak manusia yang mengerti hal tersebut. Dengan keadaan tersebut, kebanyakan manusia kemudian justru lebih tertarik dengan hal-hal lain yang memecah-belah integritas dirinya. Seorang manusia seringkali tumbuh mengejar harta benda dengan berbuat jahat melupakan kebahagiaan dirinya yang merindukan kebaikan yang bisa disumbangkannya. Seseorang dapat tumbuh mengejar kesohoran melupakan makna kehidupan yang baik. Sedemikian banyak hal dapat melupakan manusia dari hakikat penciptaan dirinya.

Allah meletakkan jati diri setiap manusia pada nafs wahidah masing-masing. Dengan mencari pengetahuan tentang jati diri penciptaannya, setiap orang dapat menemukan jalan ketakwaannya kepada Allah. Ayat di atas menjelaskan tentang makna ketakwaan secara jelas, yang dapat dijabarkan bahwa ketakwaan itu terkait dengan pengetahuan tentang kehendak Allah, dan kehendak Allah telah ditetapkan dalam nafs wahidah masing-masing. Ketakwaan dapat ditemukan oleh seseorang yang benar-benar berusaha memahami kehendak Allah atas diri mereka secara tulus melalui nafs wahidah. Ketakwaan tidak dapat ditemukan tanpa disertai keinginan mengetahui kehendak Allah, walaupun dengan mengumbar keindahan syariat sebagaimana ibadah kaum khawarij membuat para sahabat merasa rendah dengan ibadahnya.

Jati diri harus diletakkan secara proporisonal sebagai media ukur ketakwaan kepada Allah. Ketakwaan kepada Allah harus menjadi tujuan utama dari setiap insan, dan hal itu dapat diukur dengan baik bilamana seseorang mempunyai pengetahuan tentang nafs wahidah dirinya. Ketakwaan dapat diukur melalui kitabullah, tetapi sebenarnya kitabullah itu baru akan benar-benar terbuka manakala seseorang mengenal nafs wahidah. Sebelum itu, seseorang dapat meraba-raba ukuran ketakwaan dirinya dengan kitabullah. Langkah berpegang dengan kitabullah ini merupakan bentuk ketakwaan walaupun mungkin harus dilakukan dan dimulai dengan akal yang belum sempurna.

Sebagian kaum berlebihan dalam mensikapi jati diri tanpa merasa perlu mengetahui urusannya dengan ketakwaan, dan hal demikian menjadikan syaitan mudah menggelincirkan, sebagaimana iblis dahulu menipu Adam dengan pohon khuldi. Sebagaimana tukang yang hanya memiliki alat berupa palu menganggap semua hal sebagai paku, jati diri digunakan sebagai seluruh kunci kesejahteraan hingga terjadi perbuatan melanggar ketentuan-ketentuan Allah. Hal ini merupakan sikap yang tidak tepat dalam perkara jati diri. Bukan kesejahteraan yang akan datang, tetapi bencana yang akan menimpa bilamana mencari jati diri tidak digunakan untuk ketakwaan.

Menemukan Jalan Takwa

Beberapa aspek harus diperhatikan oleh seseorang dalam mencari pengetahuan tentang nafs wahidah untuk menemukan ketakwaan kepada Allah, di antaranya keberpasangan dan al-arhaam. Aspek yang paling dzahir bagi seseorang yang berusaha mengenal nafs wahidah adalah keberpasangan dengan isteri dan anak-anak yang terlahir. Aspek lain yang terkait dengan usaha mencari jati diri adalah membangun al-arhaam, yaitu kedudukan dirinya dalam Al-jamaah yang dipimpin oleh rasulullah SAW. Pernikahan dan Al-arhaam merupakan dua hal yang saling bersinergi dalam prosesnya. Kemajuan dalam pernikahan akan memudahkan seseorang untuk menemukan kedudukan diri dalam Al-jamaah, dan mencari kedudukan diri dalam Al-jamaah akan memudahkan seseorang maju dalam pernikahannya. Ukuran kemajuan pernikahan adalah terbentuknya at-thayyibat dan as-sakiinah.

Untuk mengenal nafs wahidah melalui pernikahan, seseorang harus berusaha sejak sebelum melakukan pernikahan. Bagi laki-laki, ada perempuan di sekitarnya yang diciptakan dari nafs wahidah dirinya yang harus ditemukan. Setiap perempuan harus berusaha menyadari bahwa dirinya diciptakan dari nafs wahidah laki-laki tertentu. Bila seseorang bisa menemukan pasangan jiwanya, pernikahan mereka akan menjadi media yang paling baik untuk mengenali nafs wahidah mereka, dan pada akhirnya menjadikan mereka melihat jalan ketakwaan mereka. Hal ini tidak mudah. Kecantikan dan hal duniawi dari setiap perempuan akan menjadikan pandangan laki-laki terhadap pasangan jiwanya lamur. Demikian pula pandangan perempuan terhadap pasangan jiwanya.

Ada hal yang harus dibangun oleh pasangan dalam pernikahan. Seorang perempuan harus tumbuh dalam sifat-sifat perempuan ahli surga berupa sikap mawaddah terhadap suaminya, subur bagi pertumbuhan suaminya, dan selalu berusaha kembali kepada suaminya. Seorang laki-laki harus menumbuhkan pemahamannya terhadap kehendak Allah atas mereka bersama melalui pernikahan mereka. Dengan pertumbuhan demikian, maka pernikahan mereka akan tumbuh sebagai keluarga yang thayyibat dan kemudian turun sakinah ke dalam hati mereka.

Seringkali terjadi kegagalan dalam pernikahan sekalipun seseorang menemukan pasangan dari jiwanya sendiri. Keberpasangan harus disyukuri dan disikapi dengan baik. Misalnya kadang ada kesombongan baik pada laki-laki atau perempuan yang menghambat pernikahan. Bila seseorang menyombongkan diri terhadap pasangannya, jalannya untuk mengenal nafs wahidah itu akan tertutup baginya, walaupun mungkin tidak bagi pasangannya. Seorang laki-laki harus menyayangi isterinya sebagai dirinya sendiri. Seorang perempuan tidak boleh memandang rendah suaminya, atau calon suaminya baik dikatakan atau tidak dikatakan.

Sikap merendahkan yang disampaikan akan bersifat lebih merusak dan menjadi media syaitan membuat fitnah bagi manusia. Perbaikan dalam urusan ini akan lebih rumit karena syaitan akan mendatangi semua pihak untuk mencegah ishlah. Hendaknya setiap orang meminimalkan sekecil mungkin syarat untuk melakukan ishlah. Mempersyaratkan permintaan maaf atau pengakuan bersalah merupakan syarat yang terlalu besar yang akan menghalangi ishlah. Dalam proses rujuk atau perjodohan yang terpisah, pernyataan tersamar atau halus bahwa merendahkan yang lain bukan perbuatan yang layak dilakukan hendaknya mencukupi untuk menerima ishlah. Di pihak yang menyatakan, pernyataan demikian itu harus lebih terwujud dalam amal. Permintaan ishlah dengan disertai perbuatan kembali merendahkan pihak lain menunjukkan tidak ada keinginan ishlah atau justru dianggap mengobarkan pertikaian. Dalam keadaan demikian, setiap orang hendaknya benar-benar memeriksa kesombongan yang mungkin ada dalam hatinya, kemudian memeriksa kembali proses ishlah yang dilakukannya karena syaitan mungkin berhasil menyelipkan fitnahnya dalam proses ishlah.

Kesombongan tidak boleh ada dalam diri seseorang dalam segala bentuknya. Seorang perempuan yang merasa seperti Asiyah r.a yang menikah dengan Firaun sebenarnya telah tertipu syaitan dalam kesombongan. Bagaimanapun suaminya adalah jalannya untuk beribadah kepada Allah, tidak boleh disikapi dengan kesombongan walaupun dalam bentuk keshalihan. Kedudukan seorang perempuan dalam jalinan al-arham terletak pada keluarganya.

Kesombongan tidak boleh ada dalam diri setiap insan baik laki-laki ataupun perempuan. Kesombongan dalam diri laki-laki bersifat lebih halus sesuai dengan kadar akalnya. Setiap laki-laki harus berusaha menemukan kedudukan dirinya dalam jalinan al-arhaam. Ini adalah sebuah tuntutan bersikap rendah hati, sekaligus tuntutan tumbuhnya rasa kasih sayang dalam diri seseorang terhadap yang lain. Seseorang harus mengetahui kebutuhan dirinya akan imam yang menuntunnya kepada Allah. Tanpa merasakan kebutuhan ini menunjukkan kemungkinan masih ada kesombongan dalam diri seseorang, dalam wujud perasaan layak untuk hadir di hadapan Allah dengan mengandalkan dirinya sendiri tanpa perlu memperhatikan washilah yang diturunkan Allah. Seorang beriman seharusnya menemukan kedudukan dirinya dalam shaff yang tepat. Dengan keadaan merasa mampu tegak dalam kebenaran secara mandiri, kelak di hadapan Allah di alam makhsyar mereka akan berbantah-bantahan tentang ash-shidq, dan Allah akan menyingkirkannya dari hadirat-Nya sesuai tempat yang selayaknya.

Umat Wahidah Sebagai Rahmat

Jati diri atau nafs wahidah adalah sarana untuk bertakwa kepada Allah. Tanda ketakwaan seseorang yang mengenal nafs wahidah adalah bahwa seorang laki-laki menemukan kedudukan dirinya dalam shaff yang dipimpin Rasulullah SAW. Dalam keadaaan tersebut, tidak ada perselisihan dalam kebenaran. Mereka itu adalah orang-orang yang memperoleh rahmat Allah dan mereka itu adalah umat wahidah. Setiap orang dalam umat yang satu mengerti kebenaran yang disampaikan oleh yang lain dan bersikap dengan sikap yang sama. Sikap mereka sama dengan sikap yang diperintahkan Allah.

﴾۸۱۱﴿وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ﴾۹۱۱﴿إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَ وَلِذٰلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
(118)Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, (119)kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya. (QS Huud : 118-119)

Agak sulit menemukan hal demikian bagi orang kebanyakan. Dalam pandangan akal yang kurang sempurna, orang yang beramar ma’ruf nahy munkar akan tampak sama dengan orang yang berselisih pendapat sehingga enggan mengikuti amar ma’ruf nahy munkar tersebut. Sebaliknya, seseorang mungkin suka mengikuti orang yang suka berselisih, yang tampak sama dengan orang yang melakukan amar ma’ruf nahy munkar. Sebagian orang tidak mengenali kehendak Allah tapi justru kemudian berbantah-bantahan dengan petunjuk agama merasa yang paling benar, tapi sebenarnya tidak sedikitpun mengerti agama. Sebagian mengenali kebenaran tetapi mempunyai hasrat membantah karena tidak menguntungkan. Hanya orang yang memperoleh rahmat Allah yang akan mengenali kebenaran tanpa ada keinginan dan maksud melakukan perselisihan.

Kalimat Allah telah sempurna. Persoalan perselisihan dan rahmat Allah ini akan menentukan ke arah mana seseorang akan tinggal di akhirat. Sebagian orang memperoleh rahmat dengan sempurna dan mereka tinggal di surga, sebagian kufur dengan sempurna dan mereka akan tinggal di neraka selama-lamanya. Sebagian orang berada di sekitar orang-orang yang memperoleh rahmat dan karena itu mereka mengikuti rahmat itu, dan sebagian tertipu setelah mengikuti. Sebagian manusia hidup dalam kegelapan mengikuti hawa nafsu mereka masing-masing. Banyak corak manusia dalam perkara rahmat Allah, dan yang menjadi parameter mengikuti rahmat adalah perdebatan tentang kebenaran. Orang yang memperoleh rahmat tidak ingin berselisih tentang kebenaran. Orang yang mengikuti rahmat ditandai dengan mengikuti kebenaran dan tidak ada perdebatan dalam kebenaran itu, dan yang tertipu akan berbantah-bantah tentang kebenaran. Mengukur bahwa seseorang mengikuti atau berbantah tentang kebenaran ini harus diukur dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW, tidak dengan hal yang lain karena sangat mungkin akan tersilaukan tipuan syaitan. Tidak ada putusan baru tentang suatu perkara bisa dibuat dengan ketentuan menyimpang di luar firman Allah dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar