Pencarian

Rabu, 10 November 2021

Shilaturrahmi

Allah menjadikan Ibrahim a.s sebagai uswatun hasanah bagi umat manusia, sebagaimana Rasulullah SAW dijadikan uswatun hasanah. Terdapat sedikit perbedaan peran dari kedua insan mulia tersebut dalam urusan uswatun hasanah yang harus ditunaikan. Rasulullah SAW menjadi uswatun hasanah bagi orang-orang yang menginginkan perjumpaan dengan rabb mereka, sedangkan nabi Ibrahim a.s menjadi uswatun hasanah bagi umat manusia untuk membangun al-arhaam (kekerabatan) di antara umat manusia. Kedua insan mulia tersebut menjadi tauladan bagi setiap manusia untuk kembali kepada Allah melalui agama bagaikan dua permukaan kepingan yang sama. Tidak sah agama tanpa mengenali kedua uswatun hasanah tersebut atau hanya sebagian. Agama mempersyaratkan seseorang untuk mengikuti sunnah rasulullah SAW dan millah Ibrahim a.s bersama-sama bukan salah satunya saja.

﴾۴﴿قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن شَيْءٍ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali". (QS Al-Mumtahanah : 4)

Seseorang yang ingin kembali kepada Allah tidak boleh melupakan terbangunnya kekerabatan (al-arhaam) melalui dirinya, dan seseorang yang membangun kekerabatan (al-arhaam) harus berlandaskan suatu tujuan untuk ibadah kepada Allah. Seseorang tidak akan dapat kembali kepada Allah dengan benar tanpa berusaha membangun kekerabatan (al-arhaam). Kekerabatan (al-arhaam) yang dibangun di atas tujuan ubudiyah akan menjadi kekerabatan yang abadi, sedangkan kekerabatan yang tidak dibangun atas tujuan ubudiyah kepada Allah hanya akan berlaku di dunia ini saja, dan mereka mungkin akan terpisah setelah kehidupan dunia ini. Dalam prosesnya, kekerabatan (al-arhaam) akan tumbuh bertentangan dengan kekerabatan-kekerabatan lain yang tidak selaras dengan keimanan, hingga suatu saat akan terjadi permusuhan antara kekerabatan yang haq dengan kekerabatan yang berlandaskan kekufuran.

Nafs Wahidah dan Shilaturrahmi

Al-arhaam terdapat dalam nafs wahidah. Dengan nafs wahidahnya, seseorang akan mengenal kedudukannya dalam urusan Rasulullah SAW baik secara langsung ataupun melalui washilah-washilah yang terhubung hingga kepada beliau SAW. Seluruh washilah bagi setiap insan akan bermuara pada nabi Ibrahim a.s sebelum terhubung kepada Rasulullah SAW. Itu adalah kekerabatan (al-arhaam) yang sebenarnya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ
Ar-rahim itu tergantung di Arsy. Ia berkata: “Barang siapa yang menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa yang memutusku, maka Allah akan memutus hubungan dengannya“. [Muttafaqun ‘alaihi].

Kekerabatan (Al-arhaam) yang didasarkan pada pengenalan nafs wahidah-lah kekerabatan yang tersambung hingga Ar-rahim yang bergantung ‘arsy Allah. Dalam wujudnya, Ar-rahim merupakan asma Allah yang diperkenalkan kepada nabi Ibrahim a.s, sebagai sisi lain asma Allah sebagai Ar-rahman yang diperkenalkan kepada Rasulullah SAW. Orang yang berhasil mengenali nafs wahidah dirinya akan mengenali ar-rahim, sehingga ia menjadi orang yang dapat terhubung kepada Ar-rahman yang beristiwa di atas ‘arsy. Bila ia kemudian berusaha untuk menyambungkan diri dengan para washilahnya, ia akan terhubung kepada Allah, sedangkan bila ia memutuskan diri dengan washilahnya ia akan terputus dari Allah.

Hal ini harus diperhatikan oleh orang-orang yang mulai mengenali nafs wahidahnya. Kekerabatan (al-arhaam) nafs wahidah itu merupakan al-arhaam yang sebenarnya. Kekerabatan demikian hanya dapat dibangun berdasarkan tujuan ibadah yang sebenarnya kepada Allah. Mengenal nafs wahidah bukanlah tujuan akhir kehidupan seseorang, tetapi sebenarnya merupakan awal keterbukaan agama. Ia harus mencari silsilahnya untuk menyatu dengan kehendak Allah. Hal itu dapat dilakukan dengan membangun shilaturrahmi hingga terbina hubungan dengan ar-rahim di alam nafs di langit. Kegagalan dalam menyambungkan dirinya dengan para washilahnya akan membuat ia terputus dari Allah. Hal ini akan memunculkan masalah dalam jangka panjang, sebagaimana Iblis pada akhirnya harus terusir dari surga dan menjadi penghulu ahli neraka.

Berikutnya, keterhubungan seseorang dalam kekerabatan di alam langit hendaknya diwujudkan dalam kekerabatan di alam bumi. Ia harus berupaya membentuk bayangan shilaturrahmi di bumi. Untuk mewujudkan hal ini, seseorang akan terbantu melalui pernikahannya. Kadangkala terjadi kegagalan mewujudkan kekerabatan itu di bumi. Setiap laki-laki yang shalih harus berhasil membangun kekerabatan di alam nafs wahidah walaupun mungkin gagal membentuknya di kehidupan bumi. Mungkin seorang laki-laki yang shalih gagal dalam membangun kekerabatan di kehidupan dunia ini, tetapi setidaknya ia harus selalu berusaha membangunnya.

 

Nafs Wahidah dan Pasangannya

Pernikahan merupakan wujud kekerabatan yang melekat pada diri seseorang yang harus diwujudkan di bumi, sebagai bayangan untuk mewujudkan kekeluargaan yang berlandaskan al-arham di langit. Terdapat hubungan timbal balik yang cukup baik antara membangun pernikahan dengan membangun al-arhaam di langit dan di bumi. Seseorang akan mengenali kedudukannya di langit dengan mengenali nafs wahidah, dan nafs wahidah itu akan lebih mudah dikenali seseorang melalui pernikahan. Sebaliknya kedudukan di langit akan lebih mudah diwujudkan di bumi bila terbentuk pernikahan sakinah.


﴾۱﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari nafs wahidah, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An-Nisaa’ : 1)

Untuk mengenali nafs wahidah, ada beberapa tahapan yang harus ditempuh oleh setiap pasangan. Pernikahan berguna untuk mewujudkan langkah  menuju pengenalan nafs wahidah melalui tahapan yang jelas. Tahapan itu secara garis besar adalah pengorbanan, membentuk at-thayyibat dan turunnya as-sakiinah. Itu adalah tahapan yang dapat dicapai dalam pernikahan secara berurutan. Sepasang suami isteri tidak akan memperoleh as-sakinah tanpa mengenal at-thayyibat, dan tidak akan memperoleh at-thayyibat tanpa melakukan pengorbanan. Pernikahan yang dimulai tanpa keinginan membangun pengenalan terhadap nafs wahidah, tetapi hanya dengan harapan muluk duniawi terhadap pasangan, itu akan menjadi beban pertama penyebab kandasnya pernikahan. Dan itu akan mempersulit mengarahkan bahtera rumah tangga untuk mengenal nafs wahidah dan kekerabatan di langit.

Sebuah pernikahan seharusnya dilandasi keinginan untuk bersama-sama menempuh jalan kembali kepada Allah. Setiap pihak yang menikah harus mempersiapkan mental untuk memberikan hal terbaik bagi pasangannya, dan berusaha mengenali kebaikan dari pasangannya. Pengorbanan menjadi landasan awal untuk membentuk at-thayyibat di antara pasangan itu. Bila masing-masing bersikeras pada keinginan sendiri tanpa berkeinginan memperhatikan pasangannya, tidak akan terbentuk at-thayyibat di antara mereka.

At-thayyibat merupakan kepahaman pasangan terhadap urusan Allah yang ada di antara mereka melalui cermin kepahaman satu pihak terhadap pihak lainnya. Seorang suami diberi akal yang lebih kuat, ia harus menggunakannya untuk mengenali khazanah Allah yang dibawa oleh isteri. Setiap isteri merupakan makhluk pembawa khazanah Allah di dalam jiwanya yang harus dijaga dan diberikan kepada suaminya saja. Untuk mengolah itu, ada prinsip mawaddah dan rahmah yang harus dijadikan sebagai landasan upaya mereka. Hilangnya kasih sayang ini akan menyulitkan atau bahkan menghilangkan tumbuhnya at-thayyibat di antara mereka. Pengkhianatan menjadi penyebab terbesar hilangnya semua aspek ini. Seorang isteri mungkin akan kehilangan khazanah dalam dirinya bagi suaminya, dan seorang suami kehilangan akalnya, dan mawaddah dan rahmah di antara mereka akan lenyap sulit ditemukan.

Bagi orang-orang beriman, at-thayyibat merupakan jalan rezeki yang paling baik. Allah menurunkan rezeki bagi mereka melalui at-thayyibat yang terbentuk. Semakin baik ath-thayyibat terbentuk di antara pasangan beriman, semakin banyak bagian rezeki yang dapat diturunkan bagi mereka melalui at-thayyibat baik rezeki bagi jiwa mereka ataupun rezeki bagi bumi mereka. Kerusakan pada salah satu pihak akan merusak bagian rezeki pada bagian itu. Kualitas at-thayyibat ini sangat dipengaruhi oleh keberpasangan jiwa di antara mereka. Bila seseorang memilih pasangan mereka sepenuhnya berdasarkan hawa nafsu atau syahwat, semakin kecil at-thayyibat yang dapat terbentuk karena tingkat irisan keberpasangan mereka mungkin kecil. Semakin dekat seseorang menemukan pasangan berdasarkan jati diri penciptaan mereka, semakin besar at-thayyibat yang dapat terbentuk di antara mereka.

Kadangkala seseorang kufur terhadap nikmat Allah dengan membuang petunjuk tentang pasangan yang diturunkan ke dalam hati, biasanya karena tidak sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka. Ini merupakan kerugian yang sangat besar, karena ia kehilangan jalan mengikuti sunnah Rasulullah SAW dalam upaya mengenali nafs wahidah. Mungkin ia dapat mengikuti langkah Musa a.s untuk mencari tanah yang dijanjikan sebagai pengganti sunnah rasulullah SAW, tetapi kedua jalan ini bukanlah jalan yang sebanding.

Sebenarnya Musa a.s pun tidak benar-benar mengantarkan umatnya sampai ke tanah yang dijanjikan. Musa a.s meninggalkan umatnya menjelang tiba di tanah yang dijanjikan, di seberangnya. Beliau tidak meninggal ketika meninggalkan mereka, sedangkan wafatnya nabi Musa a.s menjadi misteri bagi kebanyakan makhluk. Yang terjadi sebenarnya adalah beliau mengharapkan Allah membinasakan dirinya dengan gempa, akan tetapi tidak dikabulkan. Malaikat maut yang datang menjemput dipukul beliau. Ketika malaikat maut kembali untuk mengabarkan bahwa Allah akan memberi tambahan umur dan amalnya bagi umatnya, Musa a.s hanya menanyakan bagaimana hidupnya akan berakhir. Akhir kehidupannya di bumi berupa kematian tidak diharapkan oleh nabi Musa a.s, sedangkan yang beliau harapkan adalah pembinasaan dirinya oleh Allah terkait bengkoknya akal umatnya karena penyembahan patung anak sapi emas.

Musa a.s meninggalkan umatnya menjelang tanah yang dijanjikan, agar umatnya lebih memperhatikan dan mengikuti tauladan Ibrahim a.s. Bagi nabi Musa a.s, memasuki tanah yang dijanjikan merupakan sesuatu yang menakutkan. Tanah yang dijanjikan adalah pohon khuldi di mana syaitan menunggu. Pohon khuldi bisa menjadi wujud yang lebih menipu daripada patung anak sapi emas samiri. Apa yang beliau a.s bawa tidaklah mencukupi untuk berhadapan dengan pohon khuldi, dan beliau mengetahui bahwa umatnya harus mulai benar-benar menyadari langkah berikutnya setelah tiba di tanah yang dijanjikan, yaitu millah Ibrahim a.s membentuk bayt. Berhenti pada tanah haram akan menjadikan seseorang celaka. Hanya tauladan Ibrahim a.s yang dapat menuntun seseorang ketika memasuki tanah haram, yaitu membina bayt di tanah haram bersama keluarganya Ismail a.s dan Hajar r.a.

Pernikahan adalah sunnah rasulullah SAW yang merupakan kesempurnaan millah Ibrahim a.s membentuk bayt. Ada tujuan puncak yang dapat dicapai dengan jauh lebih aman dengan mengikuti sunnah tersebut, yaitu membentuk ummat wahidah yang menyatu dalam ibadah kepada Allah dalam jalinan al-arham. Tentunya hal ini dapat dicapai bila seseorang memperhatikan kesatuan langkah yang telah dijabarkan secara terperinci oleh para nabi dan rasul seluruhnya, yaitu bahwa apa yang para nabi dan rasul jelaskan merupakan satu kesatuan yang tidak berbeda.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar