Pencarian

Selasa, 30 November 2021

Bait dan Pelaksanaan Bakti (al-Birr)

 Allah menjadikan rumah sebagai media bagi manusia untuk melakukan kebaktian (al-birr). Tidak mudah untuk mendefinisikan secara pasti apa yang dimaksud sebagai kebaktian (al-birr). Kebaktian (al-birr) dapat dikatakan sebagai amal kebaikan yang terlahir dari kebaikan akhlak, yang dilakukan seseorang sebagai upaya menyambungkan suatu khazanah dari Allah hingga mengalir mencapai alam mulkiyahnya. Dalam mewujudkan amal demikian, seseorang membutuhkan media berpijak berupa bayt untuk meninggikan dan menyebutkan asma Allah di dalamnya.

﴾۹۸۱﴿ يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS Al-Baqarah :189)

Inti dari ayat tersebut adalah tentang tatacara mewujudkan al-birr yang perlu diperhatikan oleh seseorang yang harus mewujudkan al-birr. Ayat tersebut menghubungkan beberapa hal yang terkait dengan al-birr. Bulan sabit, haji, rumah-rumah, dan ketakwaan disebutkan dalam satu rangkaian ayat, seolah-olah tanpa suatu hubungan yang jelas. Tentu tidak demikian, bahwa sebenarnya keseluruhan hal yang disebut dalam ayat tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain. Dari sudut pandang bayt, haji berkaitan dengan rumah-rumah, bulan sabit berkaitan dengan rumah-rumah, al-birr berkaitan dengan rumah-rumah dan ketakwaan.

Bayt yang disebut ayat tersebut menunjukkan pada rumah tangga, bukan baitullah al-haram atau al-aqsha karena disebutkan sebagai bayt-bayt yang banyak, tidak tunggal atau berdua-dua yang menunjuk pada qiblat atau dua qiblat. Itu adalah salinan millah Ibrahim a.s yang harus dibentuk oleh setiap orang yang ingin kembali kepada Allah.

Hilal menunjuk pada suatu hubungan tertentu antara bumi dan bulan terhadap matahari. Hal demikian juga terkait dengan bentuk keluarga yang harus dibentuk seseorang. Bulan merupakan satelit bagi bumi yang bermanfaat memberikan stabilitas poros putar bumi. Tanpa bulan, bumi tidak akan memperoleh poros putar yang stabil sehingga akan banyak terjadi keguncangan di bumi, dan laut tidak dapat tenang. Hal itu terjadi karena bumi berputar tanpa poros yang ajeg. Tanpa bulan, tidak dapat dilakukan perhitungan waktu di muka bumi, tidak dapat menghitung cuaca dan musim dengan baik, dan lain-lain. Pada pokoknya, hilal menjadi dasar perhitungan waktu bagi manusia. Bumi dan bulan bersama-sama melakukan thawaf mengelilingi matahari untuk memberikan kemakmuran di permukaan bumi. Hal itu terkait dengan hubungan rumah tangga, bahwa suami dan isteri harus dapat menciptakan hubungan yang tepat sebagaimana hubungan bulan dengan bumi terhadap matahari, agar mereka dapat menghadap kepada Allah dengan baik dengan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan di bumi.

Haji merupakan ibadah mengunjungi baitullah dengan tatacara yang ditetapkan yaitu mengikuti perjalanan ibrahim a.s. Hal itu terkait dengan rumah seseorang yang harus dibentuk bersama keluarganya, dalam bentuk keluarga sebagaimana keluarga Ibrahim a.s. Untuk mengikuti millah Ibrahim a.s, yaitu membentuk bayt yang diijinkan Allah untuk meninggikan asma Allah dan mendzikirkan asma-Nya, harus terbentuk hubungan yang tepat antara seorang suami dengan isterinya sebagaimana hubungan bumi, bulan dan matahari. Dengan berdasarkan hilal, seseorang dapat menentukan perhitungan waktu untuk berhajji.

Millah Ibrahim a.s merupakan gambaran tentang bayt yang harus dibentuk seseorang agar Allah mengijinkan bayt itu untuk meninggikan dan disebut asma Allah di dalamnya. Seorang laki-laki menghadapkan diri kepada Allah dengan akalnya, dan isteri menghadapkan diri kepada Allah dengan akalnya melalui suaminya. Keduanya telah diberi modal akal yang sesuai dengan sasaran dan beban tugas masing-masing. Setiap orang harus mengusahakan terwujudnya bayt demikian dalam kebersamaan mereka dalam pernikahan. Manakala seorang mukminat tidak mengupayakan terbentuknya bayt, maka ia termasuk dalam kategori perempuan yang lalai. Walaupun seorang perempuan termasuk golongan mukminat dan menjaga diri, bila ia lalai maka syaitan dapat menemukan jalan untuk menjerat jiwanya menuju jalan yang melenceng.

Sebenarnya kedudukan bulan terhadap bumi juga menggambarkan tentang kedudukan seseorang dalam urusan Allah. Ketika seorang laki-laki mengalami keterbukaan terhadap fitrah dirinya, ia akan menemukan bahwa ia berada pada kedudukan tertentu dalam amr rasulullah SAW yang terhubung melalui wasilah-wasilahnya. Bila seorang perempuan mengenal dirinya, ia akan mengetahui kedudukannya bagi suaminya, dan dapat melakukan amal yang tepat yang dibutuhkan untuk mendukung suaminya. Hal itu semisal dengan kedudukan bulan, bumi dan matahari.

Hubungan pernikahan untuk mewujudkan bayt harus dibentuk berdasarkan ketakwaan, tidak dengan melanggar ketentuan-ketentuan Allah. Seseorang bisa saja berusaha mendatangi bayt yang demikian melalui pintu belakang, akan tetapi al-birr tidak dapat terwujud dengan cara demikian. Bilamana seseorang mendatangi bayt melalui pintu belakangnya, tidak bersesuaian dengan ketentuan-ketentuan Allah, maka tidak akan terwujud media untuk melakukan kebaktian (al-birr). Bait sebagai tempat berpijak melakukan kebaktian (al-birr) itu hanya dapat terbentuk melalui ketakwaan, yaitu upaya yang dilakukan bersesuaian dengan ketentuan Allah. Hendaknya setiap orang mengupayakan terbentuknya bayt demikian sesuai dengan ketentuan yang dikehendaki Allah. Keberuntungan akan diberikan kepada orang-orang yang melakukan kebaktian (al-birr) dengan ketakwaan.

Tingginya Kedudukan Al-Birr

Tidak mudah bagi seseorang untuk menemukan kebaktian (al-birr) yang ditentukan Allah kepada dirinya. Banyak kriteria yang menjadi prasyarat bagi seseorang yang ingin menemukan kebaktian dirinya. Pembicaraan tentang penghadapan wajah ke timur atau ke barat bukanlah suatu kebaktian. Ini adalah pembicaraan tentang menghadapkan wajah ke wujud-wujud mulkiyah atau menghadapkan wajah ke alam yang tinggi. Seseorang yang harus mewujudkan kebaktian (al-birr) adalah seseorang yang telah mengerti kesatuan antara wujud mulkiyah dalam kaitannya dengan ibadah kepada Allah.

﴾۷۷۱﴿ لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولٰئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang berjalan pada sabil dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Baqarah : 177)

Ayat tersebut menyebutkan hal-hal yang terkait dengan terwujudnya al-birr. Ada kualitas-kualitas bathiniah dan amal-amal dzahir yang harus terwujud. Amal-amal tersebut tampaknya tidak akan dapat dilaksanakan tanpa sebuah kesungguhan hati. Ayat tersebut menunjukkan adanya kualitas tertentu baik terkait dengan bathin ataupun kualitas dzahir yang sangat tinggi bagi kebanyakan manusia. Tidak semua orang dapat menemukan jalan kebaktian (al-birr).

Dari sisi sebaliknya, tidaklah mudah bagi seseorang melaksanakan kebaktian (al-birr) yang ditemukannya. Kadang-kadang al-birr itu merupakan sesuatu yang tersembunyi atau tidak terpahami oleh kebanyakan manusia. Pada masa kesempurnaan agama, tidak ada lagi kebaktian (al-birr) yang harus dilakukan dengan menyelisihi kitabullah, tetapi pada masa dahulu, al-birr itu seringkali tampak bagai perbuatan yang tidak masuk akal. Akan tetapi tetap saja tidak mudah melakukan amal tersebut bagi seseorang yang harus melakukannya walaupun di zaman kesempurnaan agama.

عَنْ ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أَخْبِرْنِـيْ بِمَـا يَـحِلُّ لِـيْ وَ يَـحْرُمُ عَلَيَّ ؟ قَالَ : فَصَعَّدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَوَّبَ فِيَّ النَّظَرَ ، فَقَالَ : اَلْبِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَاْلإِثْمُ مَا لَـمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلاَ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ ، وَإِنْ أَفْتَاكَ الْـمُفْتُوْنَ
Dan dari Abu Tsa’labah al-Khusyani, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullâh! Jelaskan kepadaku apa saja yang halal dan haram bagiku.” Rasulullah SAW naik (ke suatu tempat) dan menebar pandangan, beliau SAW bersabda, “kebaktian ialah apa saja yang apa saja yang menjadikan jiwa tenang dan hati menjadi tenteram. Dan dosa ialah apa saja yang menjadikan jiwa tidak tenang dan hati tidak tenteram kendati para pemberi fatwa berfatwa kepadamu.” [HR. Ahmad]

Kadangkala kebaktian (al-birr) harus dilakukan oleh seseorang dengan menyelisihi fatwa dari para pemberi fatwa. Permasalahan pelaksanaan al-birr seringkali tidak bersesuaian dengan apa yang diputuskan oleh seorang pemberi fatwa atau majelis pemberi fatwa sekalipun.. Perlu diperhatikan bahwa meminta fatwa kepada hati dan nafs ini diperuntukkan bagi seseorang yang menemukan kebaktian (al-birr) yang harus dilakukan. Orang tersebut sebenarnya berada pada kedudukan tertentu, bukan kebanyakan orang.

Kadangkala seseorang harus mengikuti nafs dan hatinya sendiri. Al-birr akan membuat jiwa seseorang menjadi sakinah dan hati menjadi muthmainnah. Harus diketahui bahwa hal demikian itu tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan perasaan saja. Sakinah dapat dikatakan sebagai perasaan merasa bersesuaian dan memperoleh manfaat, sedangkan muthmainnah menunjukkan keadaan merasa percaya dan tercukupi. Sakinah akan muncul disertai dengan pengetahuan tentang objek, dan pengetahuan itu bersesuaian dengan pengenalan tentang diri sendiri. Sedangkan muthmainnah muncul berkaitan dengan kemampuan qalb membenarkan persoalan yang terjadi. Seseorang yang harus melaksanakan al-birr sedangkan ia bertentangan dengan fatwa para pemberi fatwa harus mempunyai pengetahuan terkait objek al-birr dan mengerti kehendak Allah dalam perkara al-birr tersebut. Dengan keadaan itulah ia mengerti bahwa nafsnya merasa sakinah dengan al-birr yang harus dilaksanakan, dan qalb-nya merasakan muthmainnah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar