Pencarian

Senin, 01 November 2021

Mempersiapkan Pembinaan Bayt

Allah berkenan memberikan kesempurnaan nikmat-Nya kepada makhluk berwujud manusia. Keterbukaan kesadaran tentang risalah Rasulullah SAW adalah bentuk penyempurnaan nikmat Allah yang paling utama kepada manusia. Seseorang yang menerima penyempurnaan nikmat Allah akan dimulai dengan suatu keterbukaan terhadap nafsnya sendiri dan sebagian ketetapannya, kemudian akan mengenal kedudukan dirinya dalam perjuangan rasulullah SAW. Jalan untuk memperoleh kesempurnaan nikmat itu berada di dalam diri manusia sendiri. Hal itu akan diketahui oleh seseorang manakala ia diijinkan Allah untuk memperoleh keterbukaan terhadap dirinya sendiri.

Kesempurnaan itu seharusnya tidak berdiri sendiri. Ada penyempurnaan nikmat dalam bentuk lain berupa kemampuan mendzahirkan pengetahuan dalam jiwanya dalam wujud amal shalih bagi lingkungannya.

﴾۰۵۱﴿وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk. (QS Al-Baqarah : 150)

Masjid al-haram merupakan representasi bentuk ubudiyah yang ideal bagi umat manusia, sebuah monumen bayt yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya, dibangun oleh uswatun hasanah Ibrahim a.s yang menjadi tauladan bagi manusia. Perintah menghadapkan wajah menuju masjid al-haram adalah perintah kepada setiap orang beriman untuk mengarahkan kehidupan diri untuk membentuk bayt yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya, mengikuti langkah perjalanan uswatun hasanah Ibrahim a.s dalam mendzikirkan asma Allah dan meninggikan asma-Nya melalui keluarga sakinah, yaitu Ibrahim a.s dan para ahlul bayt yang berjihad dalam perjuangan bersama beliau a.s.

Keluarga sakinah sebagai bayt tersebut merupakan wujud turunan dari seorang insan kamil yang harus terbentuk dalam struktur sosial. Bayt demikian hanya dapat dibentuk oleh seorang yang mengalami pengenalan terhadap nafs-nya, merupakan lanjutan perjalanan seseorang manusia setelah sampai ke tanah haram. Setiap insan harus berusaha mendzikirkan asma Allah dan meninggikan asma-Nya, dan hal itu hanya dapat terbentuk melalui keluarga sakinah. Keluarga sakinah itu merupakan wujud nikmat Allah paling sempurna yang dilimpahkan Allah bagi seorang manusia, nikmat paling sempurna di antara seluruh makhluk.

Tauladan Nabi Ibrahim a.s

Tauladan membangun bayt sebagaimana masjidil haram untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah dicontohkan oleh nabi Ibrahim bersama isteri beliau siti Hajar r.a. Upaya untuk membina bayt demikian tidaklah mudah. Upaya demikian baru dapat dimulai ketika seseorang mengenal untuk apa dirinya diciptakan, karena untuk membentuk bayt itu perlu visi dan pengetahuan tentang nafs dirinya. Demikian pula perlu kesiapan para wanita yang menjadi isteri seorang laki-laki untuk mengikuti langkah suaminya. Tanpa peran serta setiap pihak, tidak akan terbentuk bayt demikian.

Nabi Ibrahim a.s memulai upaya membentuk bayt al-haram dari keadaan yang sangat sulit. Kisah pembinaan bayt al-haram dimulai ketika Siti Hajar r.a memasuki ruang kehidupan nabi Ibrahim a.s dan Siti Sarah r.a. Sebagai pendahuluan, terjadi peristiwa perampasan isteri pertama beliau Siti Sarah r.a yang dijadikan isteri oleh Fir’aun raja mesir, yang merampasnya dari nabi Ibrahim a.s. Kisah itu memulai proses kehadiran Siti Hajar r.a dalam kehidupan mereka. Itu merupakan gambaran keadaan awal yang menjadi nuansa proses dibangunnya bayt.

Keadaan itu adalah keadaan yang sangat berat. Pada dasarnya, nabi Ibrahim a.s mengalami kehilangan bagian dirinya berupa isterinya yang shalihah. Hubungan beliau a.s dengan isterinya terputus karena perampasan oleh Fir’aun. Isterinya benar-benar hilang dari kehidupan beliau a.s, walaupun untuk sementara dan sebenarnya juga tidak tersentuh oleh Fir’aun. Hal ini merupakan wujud yang terbentuk dari upaya syaitan memisahkan seorang laki-laki dari isterinya. Walaupun dalam kasus beliau a.s pemisahan itu tidak berhasil dilakukan syaitan, akan tetapi upaya pemisahan itu benar-benar terjadi atas diri beliau.

Keberhasilan beliau a.s dalam peristiwa itu sebenarnya merupakan cerminan rahmat Allah sebelumnya yang telah memberikan keselamatan nafs beliau a.s dalam mencermati tipuan syaitan. Ketika seseorang mengalami keterbukaan atas nafs dirinya, Iblis besar itu benar-benar menunggu di atas shirat al-mustaqim untuk menyesatkannya. Tanduk syaitan terbit bersama dengan terbitnya matahari. Karena Allah melimpahkan rahmat yang menyelamatkan nabi Ibrahim a.s dari tipuan syaitan, Allah memberikan pula keselamatan kepada pernikahan mereka. Menjalani fragmen kehidupan demikian bukanlah sesuatu yang ringan untuk dijalani. Hal ini sebenarnya akan berlaku untuk setiap orang, tidak hanya untuk nabi Ibrahim a.s, walaupun mungkin bentuknya mempunyai perbedaan.

Siti Hajar r.a hadir melalui peristiwa perampasan isteri nabi Ibrahim a.s. Beliau r.a diberikan Fir’aun kepada Siti Sarah r.a ketika pembebasan beliau ra untuk kembali kepada nabi Ibrahim a.s. Sebenarnya Siti Hajar r.a dan Siti Sarah r.a merupakan satu entitas yang saling melengkapi. Fir’aun mengembalikan kepada Ibrahim a.s isterinya secara lebih lengkap. Beliau r.a berdua merupakan kesatuan isteri bagi nabi Ibrahim a.s yang menjadi bayt bagi beliau. Siti Hajar r.a kemudian mewujudkan bayt al-haram di tanah suci Makkah, dan Siti Sarah r.a mewujudkan bayt al-aqsha di al-aqsha. Kedua masjid tersebut menjadi dua kiblat umat islam, satu kesatuan yang dijadikan jalan bagi Rasulullah SAW untuk mi’raj kepada Allah.

Mempersiapkan Pembinaan Bayt

Nabi Ibrahim a.s memulai pembinaan bayt dalam keadaan terputus dari isteri-isteri beliau a.s. Siti Sarah r.a dan Siti Hajar r.a keduanya berada dalam kekuasaan Fir’aun. Tidak ada jalan bagi beliau untuk berinteraksi dengan belahan jiwa beliau a.s. Dari keadaan demikian, beliau harus merealisasikan kehendak Allah bersama-sama dengan para isteri untuk membangun bayt untuk mendzikirkan dan meninggikan asma Allah di dalamnya. Ini merupakan keadaan yang sangat berat, dimana seolah-olah Allah tidak memberikan atau bahkan menghilangkan bekal untuk mewujudkan kehendak-Nya membentuk bayt. Keimanan beliau benar-benar sangat teruji dalam urusan ini, dan perlu totalitas sikap keberserahan para isteri terhadap ketentuan-ketentuan Allah. Tanpa kedua hal ini, akan terjadi kekurangan dalam uswah yang harus digelar bagi umat manusia.

Bayt al-aqsha merupakan representasi kiblat awal umat islam yang menjabarkan upaya untuk menemukan tanah yang dijanjikan. Upaya membentuk bayt al-aqsha dijabarkan dalam proses yang sangat panjang oleh keturunan nabi Ibrahim a.s dari Siti Sarah r.a terutama oleh bani Israel. Upaya Bani Israel sebenarnya tidak hanya untuk menemukan tanah yang dijanjikan, tetapi juga untuk membentuk bayt. Akan tetapi bayt mereka tidak dijadikan kiblat yang abadi bagi umat Islam. Bani Israel berperan lebih khusus dalam kisah menemukan tanah yang dijanjikan sebagai bagian untuk membentuk bayt. Hal ini menjadi penjelasan agar umat islam tidak terjebak berhenti dalam upaya menemukan tanah yang dijanjikan saja. Umat islam harus menghadapkan wajah menuju urusan Allah secara lebih komprehensif yaitu pembentukan bayt al-haram mengikuti langkah nabi Ibrahim a.s.

Untuk membentuk bayt, seorang perempuan harus menempatkan dirinya dalam kepemimpinan seorang laki-laki yang shalih. Untuk memulai membentuk bayt al-haram, Siti Hajar r.a harus melalui dua proses persyaratan. Proses pertama adalah penyerahan beliau r.a oleh Fir’aun kepada Siti Sarah r.a, dan proses berikutnya berupa kerelaan Siti Sarah r.a untuk menjadikan beliau r.a sebagai isteri nabi Ibrahim a.s, sebagai madunya. Ketika Siti Hajar r.a menjadi isteri nabi Ibrahim a.s, proses membentuk bayt baru dapat dimulai. Kedua persyaratan ini merupakan hal yang sangat berat bagi setiap perempuan.

Seorang perempuan harus menemukan laki-laki yang seharusnya memimpin dirinya untuk membentuk bayt. Ketika telah menemukan, ia harus berusaha menempatkan dirinya dalam dunia laki-laki tersebut secara tepat seiring sejalan dengan suaminya yang shalih. Ia barangkali harus berpindah dari cara pandang yang keliru kepada cara pandang lain yang lebih baik hingga menemukan kedudukannya di sisi suaminya yang shalih. Seringkali seorang perempuan harus berusaha menemukan kedudukan dirinya bersama isteri suaminya yang lain agar dapat menempati kedudukannya di sisi suaminya dengan tepat tanpa berselisih. Seorang perempuan akan menemukan jalan bersama suaminya manakala ia dapat menngerti cara berpikir dan jalan kehidupan suaminya dengan tepat, tidak kurang dan tidak berlebihan. Bila suaminya seorang laki-laki yang harus membentuk bayt, ia akan dapat mendampingi suaminya untuk membentuk bayt tersebut.

Seorang laki-laki akan menemukan kesulitan yang besar bila isterinya tidak sejalan. Dalam peristiwa Ibrahim a.s, Siti Sarah r.a berada dalam kekuasaan Fir’aun, demikian pula Siti Hajar r.a. Sebenarnya mereka tetap berjalan bersama walaupun tanpa saling berkomunikasi. Ada pemahaman bersama yang dipegang dengan kuat oleh masing-masing untuk melangkah ke arah yang sama, yaitu berpegang pada tali Allah. Hal itu menggerakkan mereka untuk kembali berkumpul membangun bayt.

Barangkali orang lain tidak akan mengalami keterpisahan yang sedemikian, tetapi ada prinsip bersama yang harus dipegang oleh masing-masing, yaitu iktikad untuk kembali kepada Allah melalui jalan yang ditentukan Allah. Bilamana masing-masing pihak dapat berkomunikasi, hal itu akan lebih mempermudah keadaan untuk berjalan ke arah yang sama. Seorang suami memimpin isteri-isterinya untuk membentuk bayt. Bilamana semuanya terpisah, setiap pihak harus beriktikad untuk kembali kepada Allah melalui jalan yang ditentukan.

Siti Sarah r.a harus berpindah dari kekuasaan Fir’aun kembali kepada Ibrahim a.s. Seorang isteri seorang laki-laki yang shalih yang terampas oleh laki-laki lain harus berusaha kembali kepada suaminya dengan menempuh jalan yang ditentukan Allah. Perampasan ini adalah pertanda upaya syaitan. Peristiwa ini seharusnya tidak dijadikan suatu aib yang mencoreng perempuan demikian, karena hal itu akibat iblis berusaha sangat keras untuk memisahkannya dengan suaminya. Keterampasan isteri seorang laki-laki shalih adalah hal yang jamak terjadi selama isteri itu berkeinginan kembali kepada suaminya. Bila perempuan itu memperturutkan keinginan orang yang merampasnya, ia akan tersesat bersama-sama orang yang merampasnya.

Siti Hajar r.a harus berpindah dari kekuasaan Fir’aun dan memperoleh restu dari Siti Sarah r.a untuk menjadi isteri Ibrahim a.s. Kadangkala seorang perempuan lajang harus membentuk bayt bersama seorang laki-laki shalih. Hal itu menuntutnya harus bertransformasi terlebih dahulu hingga keadaan yang dipersyaratkan. Ia harus membentuk pola berpikir dan kehidupannya mendekati cara berpikir dan kehidupan laki-laki yang ditentukan baginya, dan memperoleh pengetahuan tentang kedudukannya secara terpat untuk duduk bersama madunya. Perempuan demikian harus menumbuhkan iktikad yang kuat untuk menempuh proses itu, sehingga dapat bersama-sama membina pernikahan membentuk bayt yang dikehendaki Allah. Ia akan melihat tembok penghalang yang terlihat sangat besar, tetapi Allah menghendakinya untuk melewati.

Ibrahim a.s harus membina pernikahan dengan kedua wanita yang dikuasai Fir’aun untuk membentuk bayt yang dikehendaki Allah. Hal demikian tidaklah mudah bagi seorang laki-laki yang shalih. Hal ini barangkali tidak dirasakan oleh laki-laki kebanyakan. Seringkali seorang laki-laki akan merasakan perasaan sangat marah karena isterinya terampas. Perlu pengamatan yang benar dan teliti untuk melihat duduk masalahnya dengan benar. Perlu pemaafan dan hati yang luas untuk seluruh luka akibat dinamika pernikahan mereka. Kehadiran seorang perempuan lain dalam kehidupan mereka yang sedemikian bukanlah perkara yang mudah bagi seorang laki-laki shalih. Ia harus berjalan dengan adil dan setimbang di antara isteri dan perempuan yang baru hadir, sedangkan pernikahan mereka begitu keras dan perempuan baru itu mungkin akan sangat menarik perhatian hawa nafsunya. Ia harus mempertahankan dan meningkatkan cinta kasihnya dengan isterinya, dan menjaga hawa nafsunya agar tidak terlalu terseret oleh perempuan baru, sedangkan ia harus mulai menjalin hubungan dengan perempuan yang baru hadir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar