Pencarian

Sabtu, 30 Oktober 2021

Penyempurnaan Nikmat Allah

Manusia diciptakan di muka bumi sebagai makhluk yang paling sempurna di antara seluruh makhluk Allah, melampaui kedudukan para malaikat mulia yang diciptakan dari cahaya. Allah berkenan memberikan kesempurnaan nikmat-Nya kepada makhluk berwujud manusia. Jalan untuk memperoleh kesempurnaan nikmat itu berada di dalam diri manusia sendiri. Hal itu akan diketahui oleh seseorang manakala ia diijinkan Allah untuk memperoleh keterbukaan terhadap dirinya sendiri. Dengan keterbukaan terhadap dirinya sendiri, ia akan mengetahui di antaranya amal-amal yang mendatangkan ampunan Allah bagi seluruh dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang. Dengan melaksanakan amal-amal itu, Allah akan memberikan ampunan yang dijanjikan, dan akan memberikan kesempurnaan nikmat-Nya dan memberikan petunjuk kepada shirat al-mustaqim.

﴾۲﴿لِّيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيمًا
supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, (QS Al-Fath : 2)

Amal-amal itu adalah amal-amal yang ditentukan Allah bagi setiap orang sebelum kelahirannya di bumi. Dengan keterbukaan itu, ia mengenal perintah dan urusan Allah bagi dirinya.   

Keterbukaan seseorang terkait pengetahuan tentang nafs diri akan mengantarkan suatu keterbukaan lain berupa suatu pemahaman dalam diri seseorang tentang risalah Rasulullah SAW.  Seorang laki-laki yang benar dalam mengenal perintah dan urusan Allah akan mengenali perintah bagi dirinya itu dalam wujud bagian dari urusan rasulullah SAW. Tidak ada perintah dan urusan Allah yang terpisah dari urusan rasulullah SAW. Bila seseorang tidak menemukan perintah itu dalam urusan rasulullah SAW, ia harus berusaha benar-benar untuk mengenali urusan rasulullah SAW untuk ruang dan waktu dirinya, kemudian mencari hubungan perintah bagi dirinya dengan urusan rasulullah SAW.

﴾۱۵۱﴿كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
(Kami menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.(QS Al-Baqarah : 151)

Keterbukaan kesadaran tentang risalah Rasulullah SAW adalah salah satu bentuk penyempurnaan nikmat Allah yang paling utama kepada manusia. Ayat ini sangat terkait dengan penyempurnaan nikmat Allah yang lain berupa keterbukaan terhadap jiwa yang disebut sebagai al-fath. Seseorang yang menerima penyempurnaan nikmat Allah akan dimulai dengan suatu keterbukaan terhadap jiwa dan sebagian ketetapannya, kemudian akan mengenal kedudukan dirinya dalam perjuangan rasulullah SAW.

Akal Untuk Mengikuti Sunnah

Struktur manusia telah diciptakan sedemikian hingga cukup mewadahi setiap orang untuk mampu mengenal peran dirinya dalam perjuangan rasulullah SAW, yaitu bila seseorang mengikuti langkah rasulullah dengan benar. Kelengkapan yang membuat seseorang mengerti kedudukan diri dalam perjuangan rasulullah SAW adalah akal. Akal bukanlah, dan tidak sama dengan kemampuan logika. Akal merupakan wujud kemampuan manusia untuk mengerti dan terhubung dengan kehendak Allah. Akal itu bagian dalam jiwa manusia yang akan mampu membaca Alquran sesuai dengan kehendak Sang Pemberi Firman, hingga seseorang mengerti apa yang diajarkan rasulullah SAW. Akal berbeda dengan kemampuan logika seseorang.

Akal merupakan kelengkapan manusia pada tingkatan bathin, sedangkan kemampuan logika hanya merupakan bayangan akal pada tingkat jasadiah manusia yang seringkali tidak serupa dengan akalnya. Kekuatan akan sangat terkait dengan tingkat kesucian jiwa manusia, sedangkan kekuatan logika tergantung pada kekuatan pengamatan terhadap alam fisik. Tidak ada seseorang yang bisa memahami ayat-ayat Allah tanpa akalnya, atau dengan jiwa yang tidak disucikan. Seseorang dengan akal yang kuat kadangkala diberi bayangan logika tidak sama panjang dengan akalnya, sebaliknya akal yang lemah kadangkala mempunyai bayangan yang panjang dan menakjubkan.

Sekelompok umat yang terlalu berlebihan dalam menjalankan agama mengatakan bahwa mereka tidak mendahulukan akal dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Perkataan demikian ini sebenarnya tidak pada tempatnya, karena mengikuti rasulullah SAW hanya dapat dilakukan dengan menggunakan akal. Orang-orang yang berlebihan seringkali tidak mengetahui keberadaan akal dalam diri mereka, sedangkan yang mereka maksud dengan akal adalah kekuatan logika. Dengan cara demikian ini, ayat-ayat alquran dan sunnah yang berbicara tentang akal sebenarnya tidak dapat dimengerti sesuai dengan kehendak Allah. Selanjutnya banyak kesalahan yang ditimbulkan ajaran kaum yang berlebihan sehingga agama tidak dapat dipahami oleh umat manusia dengan jernih, fitnah-fitnah bertaburan mencoreng agama.

Hanya dengan akal manusia dapat mengikuti sunnah Rasulullah SAW dengan benar, dan akal hanya terdapat pada orang-orang yang berusaha mensucikan dirinya. Akal yang sempurna terdapat pada orang-orang yang disucikan Allah, bukan orang yang sekadar mensucikan dirinya. Sebagian kelompok umat melakukan klaim sebagai pengikut sunnah nabi yang paling benar, tetapi mereka membuang akal mereka dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Tanpa melakukan tazkiyatun nafs, sekelompok orang membaca tuntunan yang ditinggalkan rasulullah SAW secara acak dengan hawa nafsu, dan kemudian mereka mengaku sebagai orang yang paling benar dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Kaum khawarij sebenarnya bangkit dari golongan yang demikian, bahkan mereka adalah orang-orang yang membaca Alquran dan beribadah dengan cara yang menakjubkan para sahabat Rasulullah SAW.

Mencari ilmu dengan cara demikian merupakan cara mencari ilmu yang tidak benar, karena akal hanya ada pada orang-orang yang mensucikan jiwanya. Meninggalkan pensucian jiwa dalam mencari ilmu sebenarnya menunjukkan pencarian ilmu hanya dilakukan atas dasar hawa nafsu. Mungkin hawa nafsu akan menjadi baik, tetapi hawa nafsu selalu ada kecenderungan untuk melenceng. Hawa nafsu dapat berkembang dengan baik bila dipimpin oleh nafs. Orang yang ingin belajar agama dengan benar harus mengikuti orang yang mengajarkan tatacara mensucikan jiwa, bukan hanya membahas ayat-ayat atau sunnah saja. Tentu ayat-ayat Allah dan sunnah Rasulullah merupakan pembahasan utama dalam majelis ilmu yang benar, tetapi seseorang tidak boleh meninggalkan tahap pensucian diri dalam mencari ilmu agama.

Hanya dengan mensucikan jiwa-lah akal akan tumbuh hingga terjadi pelimpahan keterbukaan pemahaman sepenuhnya terhadap risalah Rasulullah SAW, pelimpahan keterbukaan terhadap amal-amal yang menjadi jalan turunnya maghfirah Allah bagi dosa-dosanya yang telah lampau ataupun dosa yang akan datang, dan pelimpahan keterbukaan pemahaman tentang shirat al-mustaqim bagi dirinya. Ini adalah tatacara yang benar dalam mengikuti rasulullah SAW. Orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dalam mengikuti rasulullah SAW hanya akan terjebak (sebenarnya : dijebak), dalam klaim-klaim sebagai pengikut sunnah yang paling benar, sedangkan mereka terpuruk dalam hawa nafsu mereka saja. Akal mereka terpuruk mengikuti taghut.

Di sisi lain, sekelompok umat manusia berusaha mensucikan jiwa mereka, tetapi terlalai menumbuhkan akal untuk memahami kehendak Allah melalui firman-Nya dalam kitabullah dan alam kauniyah. Hal ini berpotensi menjadikan mereka tersesat. Mereka mungkin akan mempunyai hati tapi tidak digunakan untuk memahami firman-Nya, mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat, mempunyai pendengaran tetapi tidak digunakan untuk mendengar. Dengan keadaan ini, mereka dapat tersesat dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya. Mereka dapat melihat dan mendengar tetapi tidak tahu harus menuju ke arah mana kehidupan mereka dilangkahkan. Tidak jarang mereka menjadikan makhluk lain sebagai taghut, menyangka bahwa apa yang keluar darinya adalah jejak suci tuhan. Sedangkan akal mereka tidak digunakan untuk memahami firman Allah dan kadangkala bahkan mendustakan firman-Nya untuk mengikuti taghutnya.

Pembinaan akal harus dilakukan pada diri setiap manusia, yaitu dengan melakukan pensucian jiwa dan memberikan pengetahuan tentang ayat-ayat Allah. Termasuk dalam pensucian jiwa adalah berlatih untuk mengenali hawa nafsu dan perbedaannya dengan nafs muthmainnah, menguasai hawa nafsu dan mengendalikannya untuk ibadah yang sebenarnya kepada Allah. Tidak ada pensucian jiwa dapat dilakukan dengan hanya mempermainkan emosi hawa nafsu, tetapi harus bisa menyentuh jiwa yang tenang. Akal manusia akan tumbuh manakala nafs yang bersih berupaya memahami ayat-ayat Allah di dalam kitabullah dan alam kauniyah.

Amal Sebagai Penyempurnaan Nikmat Allah

Kesempurnaan nikmat Allah yang paling utama bagi manusia berwujud keterbukaan pemahaman seseorang tentang risalah Rasulullah SAW melalui akal dalam jiwanya. Kesempurnaan itu seharusnya tidak berdiri sendiri. Ada penyempurnaan nikmat dalam bentuk lain berupa kemampuan mendzahirkan pengetahuan dalam jiwanya dalam wujud amal shalih bagi lingkungannya. Ada beberapa faktor yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk memperoleh keadaan demikian. Faktor pertama, kualitas jiwa seseorang harus dibina untuk mencapai akhlak mulia berupa akal yang memahami kehendak Allah. Hal ini harus dilakukan dengan pensucian jiwa. Selain faktor itu, jiwa dan raga seseorang harus dibina untuk dapat melahirkan amal-amal shalih bagi lingkungannya. Pembinaan jiwa dengan akhlak mulia dan pembinaan jiwa dan raga melahirkan amal shalih adalah dua pilar yang mendukung keterbukaan pemahaman seseorang terhadap risalah Rasulullah SAW.

Untuk memperoleh keadaan itu, dua langkah harus ditempuh seseorang bersama-sama. Membangun akal harus dilakukan bersama-sama dengan membangun bayt. Itu dua langkah satu tujuan. Kedua hal itu merupakan sarana agar Allah mengaruniakan kesempurnaan nikmat-Nya. Terbentuknya bayt berfungsi agar seseorang dapat melahirkan pengetahuan dalam jiwanya. Walaupun dua jalan, sebenarnya keduanya saling bergantung satu dengan yang lainnya, yang hampir tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Membina akal akan jauh lebih mudah dilakukan bersama dengan membangun bayt, dan membangun bayt akan dapat dilakukan dengan benar bila akal terbina. Kedua hal itu disebut dalam Alquran sebagai sarana untuk menyempurnakan nikmat Allah bagi manusia.

﴾۰۵۱﴿وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk. (QS Al-Baqarah : 150)

Masjid al-haram dijadikan qiblat akhir kehidupan umat manusia. Masjid al-haram merupakan representasi bentuk ubudiyah yang ideal bagi umat manusia, sebuah monumen bayt yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya, dibangun oleh uswatun hasanah Ibrahim a.s yang menjadi tauladan bagi manusia. Perintah menghadapkan wajah menuju masjid al-haram adalah perintah kepada setiap orang beriman untuk mengarahkan kehidupan diri untuk membentuk bayt yang diijinkan Allah untuk disebut dan ditinggikan asma-Nya di dalamnya, mengikuti langkah perjalanan uswatun hasanah Ibrahim a.s dalam mendzikirkan asma Allah dan meninggikan asma-Nya melalui keluarga sakinah, yaitu Ibrahim a.s dan para ahlul bayt yang berjihad dalam perjuangan bersama beliau a.s.

Keluarga sakinah sebagai bayt tersebut merupakan wujud turunan dari seorang insan kamil yang harus terbentuk dalam struktur sosial. Bayt demikian merupakan lanjutan perjalanan seseorang manusia setelah sampai ke tanah haram. Seorang insan tidak mempunyai kepentingan untuk menjadi kamil kecuali untuk mendzikirkan asma Allah dan meninggikan asma-Nya, dan hal itu hanya dapat terbentuk melalui keluarga sakinah. Keluarga sakinah itu merupakan wujud nikmat Allah paling sempurna yang dilimpahkan Allah bagi seorang manusia, nikmat paling sempurna di antara seluruh makhluk.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar